"Waalaikumussalam, kalau mau silaturahmi silakan saja, Mas. Menyambung tali silaturahmi sangat dianjurkan dalam agama kita. Tapi, aku mohon jangan ada bahasan apapun tentang masa lalu. Kasihan Bapak dan Ibu. Bagiku, semua tentang kita sudah berlalu saat hakim mengetuk palu.”Kiran menarik napas panjang setelah mengirimkan balasan untuk Haidar. Dia melemparkan ponsel ke sembarang arah. Aroma melati dari diffuser membuatnya menjadi sedikit lebih relaks. Dia melirik jam dinding. Dalam temaram lampu tidur, Kiran masih dapat melihat waktu menunjukkan hampir tengah malam.Beginilah malam-malam yang dia lalui semenjak pembacaan ikrar talak dibacakan Haidar di depan pengadilan. Walau penat beraktivitas seharian, dia belum juga bisa memejamkan mata. Semua kelebatan masa lalu seakan memenuhi ruang ingatannya.Hari-hari bahagia penuh canda, saling menguatkan saat program hamil yang dijalani belum juga berhasil, hingga saat-saat kelam yang sangat ingin Kiran lupakan. Semua kenangan itu sempurna m
Kiran menepuk kening saat pesan kedua masuk dari Pras. Lelaki itu tidak berubah sedikitpun sejak terakhir kali mereka bertemu delapan tahun lalu. Kiran mendadak terkekeh geli mengingat masa-masa putih biru dan saat-saat putih abu-abu yang mereka lalui bersama.Sejak masuk SMA, Pras sudah mengakuinya sebagai pacar kepada siapapun. “Kamu itu cantik, Ran. kalau mengaku jomblo, pasti banyak Kakak kelas yang mendekati. Jadi, berterima kasihlah padaku. Aku menyelamatkanmu dari para buaya itu.” Kiran menggeleng mengingat ucapan Pras dulu.“Lagipula, aku kan juga ganteng. Serasi kita. Kalau aku mengatakan kita pacaran, yang lain akan percaya saja. Toh kita terlihat cocok ….”“Kata siapa?” Kiran memonyongkan bibir. Dia bergegas mengambil es teh manis karena kepedasan. Biasanya, Kiran hanya menambahkan dua sendok sambal ke baksonya, tapi tadi dia tidak sengaja menumpahkan sambal itu sehingga jadilah kepedasan.“Ya kata aku lah, Ran.” Pras menepuk kening sambil menatap Ranti yang sibuk dengan ba
“Ah, silakan masuk, Mas Haidar. Saya Pras, calon suami Kiran.” Pras tersenyum lebar sambil mengulurkan tangan. Sementara Haidar mematung dengan tatapan bingung. Ucapan Pras membuat jantungnya seakan terlepas dari rongga dada.“Ayo, ayo, duduk.” Pras terkekeh. Dia mengambil tangan Haidar yang masih terpaku dan menjabatnya erat sambil mengayunkan jabat tangan mereka beberapa kali hingga badan Haidar terguncang-guncang.“Silakan duduk, Mas.” Kiran akhirnya berdiri dan ikut mempersilakan. Dia tidak menyangka Haidar tetap memutuskan datang karena lelaki itu tidak membalas pesan yang dia kirim tadi malam.“Pak.” Haidar mencium tangan Ahmad lama. Setelahnya, dia bergeser dan melakukan yang sama pada Rista. “Maafkan Haidar, Bu.” Suara Haidar serak terdengar.Rista menengadahkan kepala sambil mengelus bahu Haidar. Dulu, Haidar adalah menantu yang sangat dia sayangi. Mereka bahkan sudah menganggap Haidar anak sendiri. Setahu mereka, rumah tangga anak dan menantunya itu baik-baik saja. Begitu pi
Pras. Itu kode mereka dulu kalau sedang bosan di kelas. Pras akan mengajaknya menyelinap ke kantin di tengah pelajaran, atau sekedar menghirup udara sejenak di luar kelas.Kiran mengangkat kepala. Tawanya hampir saja menyembur saat melihat wajah memelas Pras. "Bosen deh lihat drama." Kiran yakin Pras akan mengatakan itu padanya jika yang lain tak mendengar. Pras menunjuk ke arah pintu keluar dengan pandangan mata. "Ayo keluar!"Kiran menggeleng. "Ogah!"Pras mengangguk sambil mengedipkan mata. "Ayolah …."Kiran menggeleng kembali. "Nggak ah!"Pras semakin mengangguk-anggukan kepala. "Ayoooooo, yuuuuuk."Kiran menutup mulut menahan tawa. Sementara Pras langsung memperbaiki posisi saat Haidar sudah bangkit dari salim pada Rista dan duduk di sampingnya. "Maksud kedatangan Haidar kemari karena ada yang ingin dibicarakan. Mohon maaf kalau waktunya tidak tepat. Ternyata sedang ada tamu ….""Ah … tidak masalah, Mas Haidar. Silahkan bicara dengan Bapak dan Ibu sebagai ahli rumah. Saya dan K
“Haidar orang baik, Ran, kamu tahu pasti itu.” Kiran menarik napas panjang mendengar ucapan bapaknya.Hampir sebulan berlalu sejak kedatangan Haidar. Kemarin-kemarin tidak ada pembicaraan sedikitpun di antara mereka tentang hari itu. Ahmad dan Rista tidak memulai bicara dan Kiran pun enggan bertanya. Jadilah, Kiran sedikit menautkan alis saat Ahmad membuka percakapan ketika sarapan pagi ini.“Bapak sengaja tidak mau membahas hal itu dulu. Bapak mau berpikir dengan tenang sebelum menyampaikan hasil pembicaraan padamu. Bagaimanapun, Haidar pernah menjadi orang yang sangat Bapak percaya untuk menjagamu, tapi dia juga yang menghancurkan kepercayaan itu.”Kiran menelan sarapan dengan susah payah. Hatinya kembali tercubit setiap kali mendengar nama Haidar disebut. Sudah hampir sebulan ini juga dia sering mengabaikan pesan-pesan dari Haidar. Kiran hanya menanggapi sesekali jika itu berhubungan dengan rencana pengajuan modal usaha Haidar ke Bank. Di luar itu, Kiran berusaha menjaga jarak.“Se
Setiap kali mendengar nama Haidar, hati Kiran bergetar. Kala mata mereka tak sengaja bertemu, degup jantung Kiran bertalu-talu.Setengah jam berlalu, Kiran langsung memarkirkan motor dan bergegas masuk ke dalam. Dia menarik napas lega saat melihat jam masih kurang lima menit lagi sebelum batas absensi ditutup.“Aduuh yang habis dipuji, sumringah banget, Bu.”Kiran hanya tersenyum menanggapi ucapan Hadi. Dia langsung duduk di meja kerjanya dan menyalakan komputer. Wanita itu membuka jadwal rencana kerjanya hari ini. Sebelum pulang, Kiran memang terbiasa membuat agenda pekerjaan yang akan dikerjakan esok hari. Sehingga, setiap jam kantor dimulai, Kiran sudah tahu apa yang akan dikerjakan.“Kayaknya bakal menyabet penghargaan AO terbaik lagi nih.” Lira ikut menimpali ucapan Hadi. dari sudut matanya, Kiran dapat menangkap Hadi dan Lira saling melempar senyum. “Tapi kalau cara kerjanya kotor, tidak akan bertahan lama biasanya.” “Maksudnya, Ris?” Lira mengedipkan mata pada Risdi.“Bukanny
“Ran.”“Ran? Sibuk ya?”“Ran? Kabur saja dari kerjaan. Makan siang bareng yuk? Nanti biar tembus target, aku top up lagi modal kerjanya.”“Hai, Kiran, ciee … cie … sombong nih yeee.”“Pulang jam berapa, Ran?”“Rannnnnn, Rannnnn, Rannnnnn ….”Kiran tersenyum lebar saat membuka ponsel. Dia menggeleng pelan melihat pesan dari Pras yang menumpuk. Pras terus-terusan mengiriminya pesan karena dia tidak membalas. Kiran terbahak membacanya.Apalagi saat membaca pesan terakhir, Kiran seakan mendengar suara Pras sedang mengganggunya. Dulu, setiap kali dia ngambek, Pras akan memanggilnya seperti itu dengan nada motor gede yang berkali-kali di gas. "Drrrnnnn, Drrrrrnnnn, Drrnnnnn". Seharian ini Kiran sibuk sekali. Setelah pulang dari kunjungan proyek perumahan FLPP milik Haidar, dia langsung melengkapi berkas pengajuan proposal pinjaman dan presentasi di hadapan pinca dan reviewer.Setelah memastikan semua sudah OK dan pihak ADP serta Legal menyatakan besok dapat dilakukan akad pembiayaan antar
“Tuh!” dia mengacungkan tunjuk pada Lira dan Hadi. “Kalian sudah punya angka belum? Sibuk aja nyinyirin Kiran.” Kiran tertawa dan melambaikan tangan pada Mira. sudahlah, maksudnya.Lepas maghrib, mobil Pras sudah parkir manis di depan Bank. Dia tersenyum lebar melihat Kiran keluar. “Aku sudah izin sama Bapak dan Ibu. Kubawakan martabak manis Mang Johar, izin mulus kudapatkan.” Pras membuka obrolan setelah mobil berjalan.“Nyogok nih yeeee.” Pras terkekeh mendengar sindiran Kiran. Lelaki itu terlihat santai malam ini. Seperti biasa. Pras tidak pernah tampil formal dan kaku. Kaos putih dan celana jeans menjadi andalannya. Dia tidak menggunakan jaket, sehingga dadanya yang bidang terekspos jelas.Suasana jalanan sedikit padat. Kiran tidak banyak bertanya mereka akan makan kemana. Terserah Pras saja, toh dia juga ditraktir. Namun, Kiran mendadak menegakkan punggung dan membelalakkan mata saat mobil Pras parkir setengah jam kemudian.“Kita … kesini?” Kiran menoleh dan menatap Pras bingung s
Namun, tak sekalipun dia membicarakan mantan istrinya itu di hadapan istrinya. Bahkan sampai usia pernikahan mereka yang ke empat, Kamila tidak tahu kalau Haidar pernah menikah sebelum dengan Raya. Kamila hanya tahu Haidar pernah menikah dan itu dengan Raya.Bagi Haidar, tidak ada gunanya menceritakan semua yang telah berlalu. Cukup dia dan hatinya saja yang merasakan. Cinta yang tersimpan rapi di dalam hati. Perasaan yang terus ada walau telah coba dia lupakan dan tak pernah lagi dia ucapkan.Untuk Kamila, dia mempersembahkan hati yang baru. Cinta dan rasa hormat yang berdasarkan pada komitmen dan tanggung jawab pada wanita yang sebentar lagi akan memberinya dua buah hati. Cinta dan kasih untuk ibu dari anak-anaknya.“Ah iya, hati-hati di jalan.”Kiran menatap Pras bingung. Sejak pulang dari bertemu Haidar tadi, entah sudah berapa belas kali Pras mengulangi kalimat terakhir yang Haidar ucapkan. Wanita itu menarik napas panjang. Dia melirik jam di dinding, sudah hampir jam sembilan
“Kiran?”Kiran dan Pras yang baru saja keluar dari menebus vitamin kehamilan di bagian farmasi menoleh berbarengan. Pras langsung melingkarkan tangan dengan posesif di bahu Kiran mengetahui siapa yang menyapa.“Mas Haidar?” Kiran tersenyum lebar. Dia menoleh pada Pras hingga mereka saling berpandangan. Suaminya itu meremas bahu istrinya pelan. Kiran hampir kelepasan tertawa melihat sorot mata Pras yang seolah mengatakan “jangan tebar pesona”.“Pras, sehat?” Haidar mengulurkan tangan pada Pras saat menyadari dia terpaku cukup lama menatap Kiran barusan. Ah … hampir lima tahun tak berjumpa, Kiran tak berubah. Wajah mulus, hidung mancung, bibir kecil dan penuh, kombinasi yang menciptakan keindahan di mata Haidar.Perlahan, pandangannya turun ke bawah. Mata Haidar mengembun. Mendadak perasaannya buncah. Hampir saja isaknya keluar tak tertahankan menyadari perut Kiran yang membuncit. Sungguh, walau bukan dia yang menjadi Ayah dari anak yang Kiran kandung saat ini, dia bahagia.“Kapan Kiran
“Untuk proses bayi tabung, ada beberapa tahapan yang harus kita lalui. Secara simpel saja saya jelaskan ya, pertama adalah tahapan induksi ovulasi. Nanti akan ada penyuntikan hormon untuk merangsang proses pembentukan sel telur. Nanti bisa dilakukan secara mandiri di rumah setelah saya berikan petunjuknya.Nah selama proses ini, Ibu harus kontrol setiap beberapa hari karena saya harus memantau ukuran telur yang ada. Setelah dirasa ukurannya sesuai, nanti disuntik dengan hormon lagi untuk membantu proses pematangannya.Maaf sebelumnya, apa menstruasi Ibu sudah teratur?”Kiran menggeleng. “Kadang dua bulan sekali, pernah sampai tiga bulan tidak halangan.” Kiran menjawab dengan bibir bergetar.“Baik, berarti kemungkinan besar tidak ada sel telur yang matang sehingga tidak terjadi pembuahan. Nah, setelah penyuntikan hormon untuk pematangan telur dilakukan, kita bisa mulai mengambil sel telur. Kemudian pengambilan sp**ma, proses pembuahan dan terakhir transfer embrio. Singkatnya seperti it
“Wa ja’alna minal-maa-I kulla syai’in hayyin. Afala yu’minuna.” (QS. Al-Anbiya: 30).“Dan dari air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka mengapakah mereka tiada juga beriman?”"Alhamdulillah." Kiran langsung mengucap hamdalah begitu turun dari mobil. Waktu sudah senja saat mereka tiba. "Bu, Pak." Kiran berjalan menghampiri orangtuanya yang memang sudah menunggu kedatangan mereka.Kiran menatap sekitar. Dia benar-benar merindukan suasana rumah mereka. Dua belas hari perjalanan umroh ditambah dengan masa karantina membuat dia dan Pras cukup lama meninggalkan tempat itu."Istirahat dulu." Linda yang menjemput mereka di tempat karantina tadi menepuk punggung Kiran pelan. Wanita itu membantu membawakan beberapa bawaan khas oleh-oleh dari tanah suci. Rista dan Ahmad bergegas ikut bergabung membawakan barang-barang dari mobil.Tidak terasa, azan isya’ berkumandang saat mereka baru saja selesai merapikan barang bawaan agar tidak terlalu berantakan.Setelah membersihkan diri dan makan m
Kesyahduan itu terhenti saat dua kanak-kanak berteriak riang di dekat mereka. Anak lelaki berusia sekitar enam tahun sedang mengejar anak wanita berusia sekitar empat tahun yang tertawa-tawa. “Oh!” Kiran menutup mulut. Matanya membelalak lebar pada Pras. Sedetik kemudian tawa Kiran berderai saat kedua anak itu berlarian di bawah meja mereka. Dia benar-benar senang melihat anak-anak itu bercanda.“Sini!” Teriak si anak laki-laki.“Tangkap ayo tangkap!” Anak wanita itu menjulurkan lidah dari seberang meja.“Nina, Fajar, kemari!” Wanita muda yang seusia dengan Kiran dan Pras berteriak galak pada kedua anaknya. “Maaf ya, Mas, Mbak, anak saya mengganggu makan malamnya.” Wanita itu mengangguk sungkan.“Tidak apa-apa, anaknya lucu.” Kiran menuntun anak itu memutari meja dan menyerahkannya pada ibunya. Kiran masih sempat mencubit gemas pipi gembil itu sebelum mereka berlalu.Pras dan Kiran tersenyum berbarengan saat meja mereka kembali sepi. Mereka mulai menikmati hidangan penutup malam itu.
"Makan yang banyak, biar cepat pulih. Ini Mama bawakan buah-buahan, bolu gulung, dimsum, ayo dimakan." Linda mengeluarkan barang bawaannya di meja. Satu persatu makanan itu diletakkan di hadapan Kiran. "Atau kalau nggak selera, biar Mama pesankan, Nak Kiran mau apa?"Kiran menggeleng pelan sambil tersenyum pada Linda. "Terima kasih, Ma." Tangannya terulur mengambil sumpit, dia mengangguk-angguk saat satu gigitan dimsum masuk ke mulutnya. "Enak, Ma." Kiran mengacungkan jempol."Sama-sama." Linda ikut duduk di meja makan. Wanita itu mengelus bahu Kiran pelan. "Habiskan." Linda tersenyum lembut."Diminum, Bu Linda, Pak Sakti." Rista meletakkan teh hangat. Dia lalu mengambil beberapa buah dan mengupasnya untuk dimakan bersama. Sementara Ahmad dan Sakti mulai asyik dengan topik obrolan mereka berdua."Kata Pras, Nak Kiran susah makan. Masih kepikiran ya?" Linda mengelus bahu Kiran. "Paksakan makan biar cepat pulih. Ajak Pras liburan, mumpung Nak Kiran dapat jatah cuti, toko nanti biar Papa
“Dugaan awal saya, kemungkinan janin tidak berkembang, Pak, Bu.” Dokter menjelaskan dengan hati-hati. Dia tahu sekali bagaimana perasaan dua orang di hadapannya ini. Mereka yang tadi datang dengan wajah cerah dan penuh rona bahagia kini terlihat pucat pasi seolah tak ada aliran darah di wajahnya.“Tidak berkembang bagaimana?” Pras mengepalkan tangan. Suaranya terdengar meninggi karena merasa dokter begitu lambat menjelaskan. Napasnya terengah menahan perasaan yang tidak karuan di dalam sana.“Begini, saya akan resepkan obat.” Dokter berdehem menyadari kondisi Kiran dan Pras yang mulai tidak bisa mengendalikan diri. “Semoga kontrol bulan depan, janinnya sudah bergerak aktif dan terdengar detak jantung. Dalam beberapa kasus, hal seperti ini sering terjadi. Kita usahakan yang terbaik.”Pras menekan matanya dengan jari. Sebisa mungkin dia mengendalikan diri dan menahan tangis. Dalam keadaan seperti ini, Pras menyadari ada Kiran yang pasti sangat terpukul mengetahui hasil pemeriksaan. Kala
"Berhenti dulu, Pi, beliin rujak buah itu." Kiran mencengkram tangan Pras sambil menunjuk ke pinggir jalan. "Mual, pengen yang asem-asem." Kiran nyengir melihat wajah Pras yang kesal karena dia minta berhenti mendadak."Ini Dedek yang mau, bukan aku.” Kiran mengelus perutnya pelan. Dia menahan tawa saat Pras memperhatikan dia dengan pandangan curiga.Pras menatap istrinya penuh selidik. Setelahnya, Pras tertawa dengan pandangan tidak percaya. “Dedek yang mau?” Pras tersenyum menggoda dengan sebelah alis terangkat. Dia mengelus pelan perut Kiran yang masih rata.“Iya.” Kiran mengangguk dengan raut wajah lucu hingga membuat Pras merasa gemas. Lelaki itu mencubit pipi istrinya sebelum membuka pintu mobil dan menyeberang jalan menuruti keinginan Kiran.Pras menggeleng pelan sambil menyerahkan plastik berisi irisan buah segar pada Kiran. Sejak tadi malam, istrinya itu mulai merasakan “ngidam”. Kiran bahkan menjadi lebih manja padanya. Pras sedikit heran karena sebelum mengetahui sedang ham
Mata Kiran membelalak lebar melihat testpack di tangannya. Garis dua. Seketika sekujur tubuh wanita itu bergetar hebat hingga dia harus berpegangan pada dinding agar tidak terjatuh.Kiran akhirnya jongkok di toilet kantor. Dia masih menatap tidak percaya pada hasil tes di tangannya. Dia bahkan berkali-kali memastikan bahwa itu adalah alat tes kehamilan, bukan testpack ovulasi untuk mengetahui masa subur."Ran?"Gedoran di pintu terdengar. Sementara Kiran masih tercekat tidak percaya dengan testpack di tangannya. Pagi tadi, Mira mendadak membawakan alat pengecek kehamilan dan memberikannya pada Kiran."Sana cek dulu!" Melihat Mira yang sangat ngotot bahkan sampai meminta OB membelikan alat itu tadi, Kiran akhirnya menerima walau dengan sedikit enggan.Sudah lama sekali dia tidak menggunakan testpack, dia takut kecewa dan sakit hati saat hasilnya tidak garis dua. Bahkan, selama menjalani program kehamilan dengan Pras, Kiran juga tidak menggunakannya. Untuk Kiran yang PCOS, telat dapat s