“Ran.”“Ran? Sibuk ya?”“Ran? Kabur saja dari kerjaan. Makan siang bareng yuk? Nanti biar tembus target, aku top up lagi modal kerjanya.”“Hai, Kiran, ciee … cie … sombong nih yeee.”“Pulang jam berapa, Ran?”“Rannnnnn, Rannnnn, Rannnnnn ….”Kiran tersenyum lebar saat membuka ponsel. Dia menggeleng pelan melihat pesan dari Pras yang menumpuk. Pras terus-terusan mengiriminya pesan karena dia tidak membalas. Kiran terbahak membacanya.Apalagi saat membaca pesan terakhir, Kiran seakan mendengar suara Pras sedang mengganggunya. Dulu, setiap kali dia ngambek, Pras akan memanggilnya seperti itu dengan nada motor gede yang berkali-kali di gas. "Drrrnnnn, Drrrrrnnnn, Drrnnnnn". Seharian ini Kiran sibuk sekali. Setelah pulang dari kunjungan proyek perumahan FLPP milik Haidar, dia langsung melengkapi berkas pengajuan proposal pinjaman dan presentasi di hadapan pinca dan reviewer.Setelah memastikan semua sudah OK dan pihak ADP serta Legal menyatakan besok dapat dilakukan akad pembiayaan antar
“Tuh!” dia mengacungkan tunjuk pada Lira dan Hadi. “Kalian sudah punya angka belum? Sibuk aja nyinyirin Kiran.” Kiran tertawa dan melambaikan tangan pada Mira. sudahlah, maksudnya.Lepas maghrib, mobil Pras sudah parkir manis di depan Bank. Dia tersenyum lebar melihat Kiran keluar. “Aku sudah izin sama Bapak dan Ibu. Kubawakan martabak manis Mang Johar, izin mulus kudapatkan.” Pras membuka obrolan setelah mobil berjalan.“Nyogok nih yeeee.” Pras terkekeh mendengar sindiran Kiran. Lelaki itu terlihat santai malam ini. Seperti biasa. Pras tidak pernah tampil formal dan kaku. Kaos putih dan celana jeans menjadi andalannya. Dia tidak menggunakan jaket, sehingga dadanya yang bidang terekspos jelas.Suasana jalanan sedikit padat. Kiran tidak banyak bertanya mereka akan makan kemana. Terserah Pras saja, toh dia juga ditraktir. Namun, Kiran mendadak menegakkan punggung dan membelalakkan mata saat mobil Pras parkir setengah jam kemudian.“Kita … kesini?” Kiran menoleh dan menatap Pras bingung s
"Sudah hampir jam sembilan, Pras." Kiran turun dari kap mobil. "Besok aku harus berangkat pagi." Kiran memeluk dirinya sendiri karena udara malam mulai terasa dingin.Pras mengembuskan napas pelan karena Kiran tidak menjawab. Kiran mengalihkan pandangan ke arah langit seolah sedang memandangi bintang saat mata Pras menatapnya penuh harap. Kiran menggigil. Embusan angin terasa menusuk karena dia tidak mengenakan jaket.Pras melompat dari kap mobil dan membukakan pintu untuk Kiran. "Silakan, Tuan Putri." Dia sedikit membungkukkan badan dengan posisi tangan mempersilakan Kiran masuk.Kiran tertawa melihat kelakuan Pras. Dia memukul bahu Pras pelan sambil menggelengkan kepala. Ada-ada saja tingkah Pras yang membuat senyumnya kembali terbit. "Thank you."Pras tersenyum tipis dan menutup pintu mobil. Lelaki itu menghembuskan napas kencang sebelum berjalan memutar dan ikut masuk ke dalam mobil. “Kiran,” lirihnya."Loh? Kita kemana ini?" Kiran menautkan alis saat mobil justru berjalan berlawa
Ini alasan terbesar Kiran selalu menghindar setiap kali Pras membahas tentang perasaan. Masalah harta bisa dicari, tapi restu orangtua adalah segalanya bagi Kiran. Tidak akan berkah kehidupan yang mereka lalui kalau restu orangtua tidak membersamai.Selain itu, penolakan Linda kala itu masih membekas di hati Kiran. Nyeri itu bahkan masih terasa sampai saat ini. Sepanjang hidup dia hanya berteman dekat dengan Pras. Dia bahkan tidak mengenal cinta monyet saat SMP dan SMA karena Pras selalu menempel padanya.Saat harap mereka mulai berkecambah, Linda mencabut habis hingga ke akar-akarnya. Penolakan dengan membawa status keluarga, meninggalkan jejak yang sangat membekas di dasar perasaan Kiran.“Aku hanya meminta kita mencoba, Ran.”Kiran menarik napas panjang. Ucapan Pras membuyarkan ingatannya tentang masa itu. Dia pura-pura menggaruk hidung untuk menghilangkan jejak air mata di wajahnya. Dia memperhatikan sekitar. Tidak lama lagi mereka kan sampai.Kiran tersenyum tipis saat mendengar
Kiran melemparkan ponselnya sembarangan. Dia menggeliat dan kembali bergelung dibawah selimut sambil memeluk guling.Akhir pekan, Kiran memang sering bermalas-malasan. Ibunya pun mengerti anak semata wayangnya itu butuh istirahat karena lima hari penuh dari pagi sampai malam sibuk bekerja. Dia baru saja menunaikan shalat Shubuh dan bermaksud tidur kembali saat ponselnya bergetar. Matanya yang tadi sudah setengah tertutup mendadak terbuka lebar. Kiran bergegas menyeret tubuhnya agar bisa menggapai ponsel di ujung tempat tidur.“Nanti Mas jemput jam delapan ya, Ran :-)”Kiran menepuk kepala. Hampir saja dia lupa ada janji pergi dengan Haidar hari ini. Hubungannya dengan Haidar mulai membaik. Walau tidak terlalu intens, tapi Kiran sudah mulai menanggapi pesan dari Haidar.Bagaimanapun, Haidar adalah nasabah di tempatnya bekerja. Mau tidak mau, dia harus menjaga hubungan baik. Selain itu, Kiran mulai mencoba berdamai dengan masa lalu. Tiga tahun berlalu, sudah saatnya dia lepas dari semu
Satu jam lebih mereka akhirnya sampai ke tempat tujuan. Pantai. Tempat kencan Kiran dan Haidar pertama kali. Di sana pula dulu Haidar menyatakan keseriusan dan melamar Kiran sebelum menemui Ahmad dan Rista.“Hmmmm … sudah lama tidak mencium aroma laut.” Kiran merentangkan tangan saat keluar dari mobil. Angin laut yang asin langsung menyergap dan membuat jilbab Kiran melambai-lambai.Haidar tertawa melihat Kiran yang memejamkan mata. Dia membiarkan wanita itu tenggelam sejenak dalam dunianya. Haidar memilih memesan dua butir kelapa muda.Setelah puas, Kiran menghampiri Haidar yang sedang duduk. Pantai itu tidak terlalu ramai. Hanya ada dua keluarga kecil dan beberapa sejoli yang berpasangan. Kiran tertawa saat balita gembul berumur sekitar tiga tahun berlari dari ibunya. Sementara si Ibu terlihat kewalahan mengejar anaknya.Di sebelah gazebo mereka persis, dua sejoli sedang saling diam. Si wanita berjilbab biru duduk dengan kedua kaki ditekuk. Wajahnya dia telungkupkan di antara lutut.
Kiran mengalihkan pandangan saat yakin lelaki berkaos putih itu adalah Pras. Mendadak dia merasa dibohongi. Entah kenapa ada kemarahan yang muncul di hatinya saat melihat Pras berjalan mesra dengan seorang wanita.“Itu Pras, kan?” Haidar menoleh pada Kiran. Dia melihat wanita itu memegang ujung baju sambil menatap ke tempat lain seolah tidak melihat Pras yang berjalan semakin dekat dengan gazebo mereka.“Kiran?” Haidar memegang bahu Kiran. Refleks, Kiran menoleh. Hati Haidar berdenyut nyeri melihat wajah mendung Kiran.“baj*ngan!” Haidar mengepalkan tangan dan memukul lantai gazebo hingga menimbulkan bunyi yang cukup keras. “Tunggu disini! Biar Mas yang urus lelaki sia*lan itu.”“MAS!” Kiran terlambat. Haidar sudah melompat dan berjalan cepat menghampiri Pras yang masih belum menyadari keberadaan mereka.“Pengecut!” Sekuat tenaga Haidar melayangkan pukulan ke wajah Pras.“PRAS!” Wanita di samping Pras berteriak kencang karena gandengan tangannya terlepas secara paksa. Sementara Pras t
Haidar yang sedang memperhatikan beberapa bagian tubuhnya yang membiru sontak berdiri saat mendengar suara Pras. Dia berjalan cepat menyusul Kiran dan Pras.“Apa maksudmu?” Haidar tersengal. Dia menahan langkah Pras yang sedang berjalan cepat sambil sedikit menyeret Kiran.“Kiran pulang denganku!”“Aku yang mengajaknya pergi maka aku juga yang akan mengantarnya kembali.”“Minggir!” Pras menolak Haidar hingga lelaki itu terhuyung.“AAARRRRGGGHH!!” Haidar berteriak kencang sambil memukul angin. Kondisi badannya sudah lemas. Dia baru merasakan sakit akibat pertengkaran tadi. Seumur hidup, baru kali ini dia berkelahi. Jadi, mau tidak mau dia hanya bisa menatap kesal pada Pras yang menyeret Kiran ke arah mobilnya.“Sial!” Haidar mengambil putik kelapa yang terjatuh dan melemparkannya dengan kencang ke laut untuk melampiaskan kekesalan. Dia akhirnya memilih duduk dan menikmati angin asin yang menerpa wajahnya. Deburan ombak sedikit banyak membantu perasaannya menjadi sedikit lebih tenang.“
Namun, tak sekalipun dia membicarakan mantan istrinya itu di hadapan istrinya. Bahkan sampai usia pernikahan mereka yang ke empat, Kamila tidak tahu kalau Haidar pernah menikah sebelum dengan Raya. Kamila hanya tahu Haidar pernah menikah dan itu dengan Raya.Bagi Haidar, tidak ada gunanya menceritakan semua yang telah berlalu. Cukup dia dan hatinya saja yang merasakan. Cinta yang tersimpan rapi di dalam hati. Perasaan yang terus ada walau telah coba dia lupakan dan tak pernah lagi dia ucapkan.Untuk Kamila, dia mempersembahkan hati yang baru. Cinta dan rasa hormat yang berdasarkan pada komitmen dan tanggung jawab pada wanita yang sebentar lagi akan memberinya dua buah hati. Cinta dan kasih untuk ibu dari anak-anaknya.“Ah iya, hati-hati di jalan.”Kiran menatap Pras bingung. Sejak pulang dari bertemu Haidar tadi, entah sudah berapa belas kali Pras mengulangi kalimat terakhir yang Haidar ucapkan. Wanita itu menarik napas panjang. Dia melirik jam di dinding, sudah hampir jam sembilan
“Kiran?”Kiran dan Pras yang baru saja keluar dari menebus vitamin kehamilan di bagian farmasi menoleh berbarengan. Pras langsung melingkarkan tangan dengan posesif di bahu Kiran mengetahui siapa yang menyapa.“Mas Haidar?” Kiran tersenyum lebar. Dia menoleh pada Pras hingga mereka saling berpandangan. Suaminya itu meremas bahu istrinya pelan. Kiran hampir kelepasan tertawa melihat sorot mata Pras yang seolah mengatakan “jangan tebar pesona”.“Pras, sehat?” Haidar mengulurkan tangan pada Pras saat menyadari dia terpaku cukup lama menatap Kiran barusan. Ah … hampir lima tahun tak berjumpa, Kiran tak berubah. Wajah mulus, hidung mancung, bibir kecil dan penuh, kombinasi yang menciptakan keindahan di mata Haidar.Perlahan, pandangannya turun ke bawah. Mata Haidar mengembun. Mendadak perasaannya buncah. Hampir saja isaknya keluar tak tertahankan menyadari perut Kiran yang membuncit. Sungguh, walau bukan dia yang menjadi Ayah dari anak yang Kiran kandung saat ini, dia bahagia.“Kapan Kiran
“Untuk proses bayi tabung, ada beberapa tahapan yang harus kita lalui. Secara simpel saja saya jelaskan ya, pertama adalah tahapan induksi ovulasi. Nanti akan ada penyuntikan hormon untuk merangsang proses pembentukan sel telur. Nanti bisa dilakukan secara mandiri di rumah setelah saya berikan petunjuknya.Nah selama proses ini, Ibu harus kontrol setiap beberapa hari karena saya harus memantau ukuran telur yang ada. Setelah dirasa ukurannya sesuai, nanti disuntik dengan hormon lagi untuk membantu proses pematangannya.Maaf sebelumnya, apa menstruasi Ibu sudah teratur?”Kiran menggeleng. “Kadang dua bulan sekali, pernah sampai tiga bulan tidak halangan.” Kiran menjawab dengan bibir bergetar.“Baik, berarti kemungkinan besar tidak ada sel telur yang matang sehingga tidak terjadi pembuahan. Nah, setelah penyuntikan hormon untuk pematangan telur dilakukan, kita bisa mulai mengambil sel telur. Kemudian pengambilan sp**ma, proses pembuahan dan terakhir transfer embrio. Singkatnya seperti it
“Wa ja’alna minal-maa-I kulla syai’in hayyin. Afala yu’minuna.” (QS. Al-Anbiya: 30).“Dan dari air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka mengapakah mereka tiada juga beriman?”"Alhamdulillah." Kiran langsung mengucap hamdalah begitu turun dari mobil. Waktu sudah senja saat mereka tiba. "Bu, Pak." Kiran berjalan menghampiri orangtuanya yang memang sudah menunggu kedatangan mereka.Kiran menatap sekitar. Dia benar-benar merindukan suasana rumah mereka. Dua belas hari perjalanan umroh ditambah dengan masa karantina membuat dia dan Pras cukup lama meninggalkan tempat itu."Istirahat dulu." Linda yang menjemput mereka di tempat karantina tadi menepuk punggung Kiran pelan. Wanita itu membantu membawakan beberapa bawaan khas oleh-oleh dari tanah suci. Rista dan Ahmad bergegas ikut bergabung membawakan barang-barang dari mobil.Tidak terasa, azan isya’ berkumandang saat mereka baru saja selesai merapikan barang bawaan agar tidak terlalu berantakan.Setelah membersihkan diri dan makan m
Kesyahduan itu terhenti saat dua kanak-kanak berteriak riang di dekat mereka. Anak lelaki berusia sekitar enam tahun sedang mengejar anak wanita berusia sekitar empat tahun yang tertawa-tawa. “Oh!” Kiran menutup mulut. Matanya membelalak lebar pada Pras. Sedetik kemudian tawa Kiran berderai saat kedua anak itu berlarian di bawah meja mereka. Dia benar-benar senang melihat anak-anak itu bercanda.“Sini!” Teriak si anak laki-laki.“Tangkap ayo tangkap!” Anak wanita itu menjulurkan lidah dari seberang meja.“Nina, Fajar, kemari!” Wanita muda yang seusia dengan Kiran dan Pras berteriak galak pada kedua anaknya. “Maaf ya, Mas, Mbak, anak saya mengganggu makan malamnya.” Wanita itu mengangguk sungkan.“Tidak apa-apa, anaknya lucu.” Kiran menuntun anak itu memutari meja dan menyerahkannya pada ibunya. Kiran masih sempat mencubit gemas pipi gembil itu sebelum mereka berlalu.Pras dan Kiran tersenyum berbarengan saat meja mereka kembali sepi. Mereka mulai menikmati hidangan penutup malam itu.
"Makan yang banyak, biar cepat pulih. Ini Mama bawakan buah-buahan, bolu gulung, dimsum, ayo dimakan." Linda mengeluarkan barang bawaannya di meja. Satu persatu makanan itu diletakkan di hadapan Kiran. "Atau kalau nggak selera, biar Mama pesankan, Nak Kiran mau apa?"Kiran menggeleng pelan sambil tersenyum pada Linda. "Terima kasih, Ma." Tangannya terulur mengambil sumpit, dia mengangguk-angguk saat satu gigitan dimsum masuk ke mulutnya. "Enak, Ma." Kiran mengacungkan jempol."Sama-sama." Linda ikut duduk di meja makan. Wanita itu mengelus bahu Kiran pelan. "Habiskan." Linda tersenyum lembut."Diminum, Bu Linda, Pak Sakti." Rista meletakkan teh hangat. Dia lalu mengambil beberapa buah dan mengupasnya untuk dimakan bersama. Sementara Ahmad dan Sakti mulai asyik dengan topik obrolan mereka berdua."Kata Pras, Nak Kiran susah makan. Masih kepikiran ya?" Linda mengelus bahu Kiran. "Paksakan makan biar cepat pulih. Ajak Pras liburan, mumpung Nak Kiran dapat jatah cuti, toko nanti biar Papa
“Dugaan awal saya, kemungkinan janin tidak berkembang, Pak, Bu.” Dokter menjelaskan dengan hati-hati. Dia tahu sekali bagaimana perasaan dua orang di hadapannya ini. Mereka yang tadi datang dengan wajah cerah dan penuh rona bahagia kini terlihat pucat pasi seolah tak ada aliran darah di wajahnya.“Tidak berkembang bagaimana?” Pras mengepalkan tangan. Suaranya terdengar meninggi karena merasa dokter begitu lambat menjelaskan. Napasnya terengah menahan perasaan yang tidak karuan di dalam sana.“Begini, saya akan resepkan obat.” Dokter berdehem menyadari kondisi Kiran dan Pras yang mulai tidak bisa mengendalikan diri. “Semoga kontrol bulan depan, janinnya sudah bergerak aktif dan terdengar detak jantung. Dalam beberapa kasus, hal seperti ini sering terjadi. Kita usahakan yang terbaik.”Pras menekan matanya dengan jari. Sebisa mungkin dia mengendalikan diri dan menahan tangis. Dalam keadaan seperti ini, Pras menyadari ada Kiran yang pasti sangat terpukul mengetahui hasil pemeriksaan. Kala
"Berhenti dulu, Pi, beliin rujak buah itu." Kiran mencengkram tangan Pras sambil menunjuk ke pinggir jalan. "Mual, pengen yang asem-asem." Kiran nyengir melihat wajah Pras yang kesal karena dia minta berhenti mendadak."Ini Dedek yang mau, bukan aku.” Kiran mengelus perutnya pelan. Dia menahan tawa saat Pras memperhatikan dia dengan pandangan curiga.Pras menatap istrinya penuh selidik. Setelahnya, Pras tertawa dengan pandangan tidak percaya. “Dedek yang mau?” Pras tersenyum menggoda dengan sebelah alis terangkat. Dia mengelus pelan perut Kiran yang masih rata.“Iya.” Kiran mengangguk dengan raut wajah lucu hingga membuat Pras merasa gemas. Lelaki itu mencubit pipi istrinya sebelum membuka pintu mobil dan menyeberang jalan menuruti keinginan Kiran.Pras menggeleng pelan sambil menyerahkan plastik berisi irisan buah segar pada Kiran. Sejak tadi malam, istrinya itu mulai merasakan “ngidam”. Kiran bahkan menjadi lebih manja padanya. Pras sedikit heran karena sebelum mengetahui sedang ham
Mata Kiran membelalak lebar melihat testpack di tangannya. Garis dua. Seketika sekujur tubuh wanita itu bergetar hebat hingga dia harus berpegangan pada dinding agar tidak terjatuh.Kiran akhirnya jongkok di toilet kantor. Dia masih menatap tidak percaya pada hasil tes di tangannya. Dia bahkan berkali-kali memastikan bahwa itu adalah alat tes kehamilan, bukan testpack ovulasi untuk mengetahui masa subur."Ran?"Gedoran di pintu terdengar. Sementara Kiran masih tercekat tidak percaya dengan testpack di tangannya. Pagi tadi, Mira mendadak membawakan alat pengecek kehamilan dan memberikannya pada Kiran."Sana cek dulu!" Melihat Mira yang sangat ngotot bahkan sampai meminta OB membelikan alat itu tadi, Kiran akhirnya menerima walau dengan sedikit enggan.Sudah lama sekali dia tidak menggunakan testpack, dia takut kecewa dan sakit hati saat hasilnya tidak garis dua. Bahkan, selama menjalani program kehamilan dengan Pras, Kiran juga tidak menggunakannya. Untuk Kiran yang PCOS, telat dapat s