Haidar yang sedang memperhatikan beberapa bagian tubuhnya yang membiru sontak berdiri saat mendengar suara Pras. Dia berjalan cepat menyusul Kiran dan Pras.“Apa maksudmu?” Haidar tersengal. Dia menahan langkah Pras yang sedang berjalan cepat sambil sedikit menyeret Kiran.“Kiran pulang denganku!”“Aku yang mengajaknya pergi maka aku juga yang akan mengantarnya kembali.”“Minggir!” Pras menolak Haidar hingga lelaki itu terhuyung.“AAARRRRGGGHH!!” Haidar berteriak kencang sambil memukul angin. Kondisi badannya sudah lemas. Dia baru merasakan sakit akibat pertengkaran tadi. Seumur hidup, baru kali ini dia berkelahi. Jadi, mau tidak mau dia hanya bisa menatap kesal pada Pras yang menyeret Kiran ke arah mobilnya.“Sial!” Haidar mengambil putik kelapa yang terjatuh dan melemparkannya dengan kencang ke laut untuk melampiaskan kekesalan. Dia akhirnya memilih duduk dan menikmati angin asin yang menerpa wajahnya. Deburan ombak sedikit banyak membantu perasaannya menjadi sedikit lebih tenang.“
“Kau tahu, Pras? Kadang … perasaan tidak bisa dinalar dengan akal pikiran.” Kiran berkata pelan setelah bisa mengendalikan perasaan. “Kau sebut aku bodoh? Ya! Mungkin di matamu dan mata semua orang aku wanita bodoh yang tidak bisa melepaskan masa lalu ….”“Kalau begitu lepaskan!” Pras memukul kemudi. Dia benar-benar gemas dengan wanita yang sedang menatap sendu lampu jalan di depan sana. Sesekali, lampu itu mati, tak lama menyala kembali. Korslet. Mungkin karena jauh dari pemukiman warga sehingga tidak ada yang berinisiatif membenarkannya.“Boleh aku bicara dulu, Pras?” Kiran menoleh dan menatap Pras dengan mata sayu.Pras menarik napas panjang melihat bola mata Kiran yang berbinar. Pendar sisa-sisa air mata terpancar jelas di wajah itu. Diai akhirnya mengangguk pelan.“Tak semudah itu melepaskan semua, Pras.” Kiran kembali menatap ke depan. “Kami keluarga yang bahagia. Aku dan Mas Haidar saling cinta. Hubunganku dengan mertua pun sudah seperti orangtua kandung dan anak sendiri.” Mata
“Aku takut akan kehilangan lagi. Aku berusaha keras meyakinkan diri semua akan baik-baik saja andai aku mencoba, tapi tidak bisa. Bahkan, terapi dari psikolog pun tidak banyak membantu. Aku berhenti mendatanginya saat dia mengatakan trauma itu hanya bisa disembuhkan jika kau mau berdamai dengan diri sendiri. Allah …, apa psikolog itu pikir aku tidak mau andai tahu caranya?” setetes air mata Kiran kembali terjatuh, mengalir di pipi, kemudian menggantung di dagu membentuk butiran air yang kemudian jatuh membasahi tangannya yang berada di atas paha.“Aku bahkan mengikuti pengajian bersama Ibu agar bisa menyirami jiwaku yang layu. Tapi aku masih merasa sesak, Pras. Tidak semua hal di dunia ini bisa diselesaikan dengan mengisi rohani. Ada hal-hal konkret yang harus diselesaikan secara duniawi. Ibarat haus, ya obatnya minum. Tidak akan reda dahaga itu dengan kajian. Mungkin, begitu juga dengan aku.” Kiran meremas tangan.“Ikhlas, andai semudah itu mencapainya.” Kiran tersenyum dengan bibir
“Biarkan Pras berganti baju dan mengobati lukanya dulu, Pa. Kita bisa bicara dengan lebih tenang setelah itu.” Linda menahan tangan suaminya yang terkepal.“Urus anakmu!” Sakti mendengus dan berlalu. Dia memilih menyalakan televisi dan menonton pertandingan bulu tangkis antar negara.Malam ini final Thomas Cup, Marcus Gideon dan Kevin Sanjaya akan bertarung mewakili ganda putra Indonesia memperebutkan piala kemenangan melawan Liu Cheng dan Zhang Nan yang mewakili China. Andai tidak ada kejadian ini, bisa dipastikan dia dan Pras sudah duduk anteng di depan televisi menyaksikan pertandingan bersama.“Ma?” Pras yang baru saja selesai mandi menghampiri Linda yang duduk di ranjang. Disampingnya, kotak P3K sudah terbuka. Pras duduk di samping mamanya. Sesekali, dia meringis pelan saat Linda mengusap alkohol di lukanya.“Tadi Mama sudah minta Bi Darmi menyiapkan air hangat. Kompres lebam-lebamnya dengan air hangat sebelum tidur.” Linda memegang pelan bibir Pras yang pecah dan bengkak.“Ssshh
“Mama sudah mencari informasi tentang keluarga Kiran. Bukan bermaksud merendahkan, tapi maaf ya, Kiran, kami ingin sekali Pras mendapat pasangan dari keluarga pengusaha juga sehingga usaha kami saat ini bisa semakin maju.” Denting air mata menyeruak di mata Linda saat mengingat ucapannya beberapa tahun yang lalu.“Tidak apa-apa, Tante. Lagipula, saya dan Pras memang hanya berteman saja. Saya permisi.” Ucapan Kiran hari itu memenuhi gendang telinga Linda. Dia seolah sedang melihat gadis muda yang baru saja menyelesaikan kuliah duduk gemetar di sofa yang saat ini mereka duduki.“Kiran!” teriakan nyaring Pras hari itu seolah menusuk sanubari Linda saat ini. Dia bahkan bisa mendengar derap kaki Kiran yang berlari keluar dari rumahnya.“Besok kita ke rumah Pak Danu setelah selesai mengontrol bongkar muat barang di gudang. Minta maaf karena sudah meninggalkan Verlin.” Suara Sakti menarik kembali kesadaran Linda. Tanpa dia sadari, air matanya menetes dan mengalir di pipi. “Kita selesaikan u
"Rumah ini memang sudah lama kosong, Nak Pras. Orangnya berkali-kali menawarkan agar dibeli, tapi Bapak sama ibu belum ada rezeki." Ahmad menyeruput teh beraroma melati yang uapnya masih sedikit mengepul. Dia kemudian mengambil combro dan mengunyahnya dengan nikmat."Kemarin lusa, Bu Lina, pemilik rumah ini datang lagi. Akhirnya Kiran memutuskan membelinya. Kata Kiran dia ingin mencoba hidup mandiri, ya walaupun rumahnya sebelahan dengan Bapak dan Ibu. Paling-paling kalau dia sibuk kerja, Ibu juga yang membersihkan.” Ahmad terkekeh.“Kemana orangnya, Pak?” Pras menyelonjorkan kaki. Pagi-pagi sekali dia sudah datang. Seperti biasa, Pras sudah hafal betul jadwal akhir pekan Ahmad. Ada-ada saja yang akan lelaki itu kerjakan. Merapikan taman, membersihkan kolam, mengecat rumah, masih banyak lagi kegiatan untuk mengisi waktu luang.Seperti hari ini, Ahmad baru saja selesai membersihkan rumah tetangganya yang sudah lama kosong saat Pras datang. Setelah itu, berdua mereka membersihkan rumput
"Pernikahan terus dibahas. Mantan cuy mantan." Pras terbahak."Sudah, sudah, ayo sarapan." Kiran melerai keduanya. Kalau tidak segera dihentikan, Kiran khawatir bisa terjadi baku hantam lagi.Mereka makan sambil mengobrol ringan. Sesekali, Kiran melirik Pras yang melempar lelucon hingga membuat ruang makan ramai. Haidar menghembuskan napas pelan. Nafsu makannya mendadak menurun melihat Kiran begitu sumringah dan bisa tertawa lepas di samping Pras. padahal, candaan yang dilempar Pras biasa saja bahkan cenderung garing menurutnya.Kiran hampir saja kelepasan tertawa melihat kode dari Pras. Lelaki itu sejak selesai makan tadi terus mengedip-ngedipkan mata minta diantar keluar. Biasa, itu juga salah satu kode mereka saat masih sekolah dulu. Kiran dan Pras bahkan dapat berbicara hanya dari kedipan mata.“Antar keluar.” Kepala Pras sedikit bergerak ke arah pintu, memberikan kode pada Kiran yang sedang menganguk-angguk mendengarkan Haidar dan Ahmad berbincang.“Ran! Ran!” Pras mengetuk-ngetu
Kiran menatap kepergian Haidar dengan perasaan yang terhimpit. Setiap kalimat yang Haidar ucapkan meninggalkan lubang di hati Kiran. Dia masih terus termenung bahkan setelah mobil mantan suaminya itu menghilang dari pandangan.Kiran menarik napas panjang. Aroma minyak wangi yang Haidar kenakan tertingal di udara sehingga dia masih dapat menciumnya. Kiran mendadak tersenyum, ini aroma minyak wangi yang dia pilihkan dulu.Kiran termenung. Tarian kupu-kupu yang berterbangan dari satu kuntum ke kuntum lainnya menarik perhatian Kiran. Ucapan Pras tiba-tiba memenuhi isi kepalanya.““Bodoh! Dia tidak akan datang dan mendekatimu andai istrinya tidak mati. TIDAK AKAN!” Kiran memejamkan mata. Wajah penuh emosi Pras saat mengucapkan itu melintas di ingatannya.“Bangun, Kiran, bangun! Pikirkan andai istrinya masih ada dan mereka sudah mempunyai anak. Apa b*jingan itu akan duduk di pantai denganmu hari ini? Hah?! Kalau benar dia mencintaimu, dia tidak akan menunggu tiga tahun untuk mengajak kembal
Namun, tak sekalipun dia membicarakan mantan istrinya itu di hadapan istrinya. Bahkan sampai usia pernikahan mereka yang ke empat, Kamila tidak tahu kalau Haidar pernah menikah sebelum dengan Raya. Kamila hanya tahu Haidar pernah menikah dan itu dengan Raya.Bagi Haidar, tidak ada gunanya menceritakan semua yang telah berlalu. Cukup dia dan hatinya saja yang merasakan. Cinta yang tersimpan rapi di dalam hati. Perasaan yang terus ada walau telah coba dia lupakan dan tak pernah lagi dia ucapkan.Untuk Kamila, dia mempersembahkan hati yang baru. Cinta dan rasa hormat yang berdasarkan pada komitmen dan tanggung jawab pada wanita yang sebentar lagi akan memberinya dua buah hati. Cinta dan kasih untuk ibu dari anak-anaknya.“Ah iya, hati-hati di jalan.”Kiran menatap Pras bingung. Sejak pulang dari bertemu Haidar tadi, entah sudah berapa belas kali Pras mengulangi kalimat terakhir yang Haidar ucapkan. Wanita itu menarik napas panjang. Dia melirik jam di dinding, sudah hampir jam sembilan
“Kiran?”Kiran dan Pras yang baru saja keluar dari menebus vitamin kehamilan di bagian farmasi menoleh berbarengan. Pras langsung melingkarkan tangan dengan posesif di bahu Kiran mengetahui siapa yang menyapa.“Mas Haidar?” Kiran tersenyum lebar. Dia menoleh pada Pras hingga mereka saling berpandangan. Suaminya itu meremas bahu istrinya pelan. Kiran hampir kelepasan tertawa melihat sorot mata Pras yang seolah mengatakan “jangan tebar pesona”.“Pras, sehat?” Haidar mengulurkan tangan pada Pras saat menyadari dia terpaku cukup lama menatap Kiran barusan. Ah … hampir lima tahun tak berjumpa, Kiran tak berubah. Wajah mulus, hidung mancung, bibir kecil dan penuh, kombinasi yang menciptakan keindahan di mata Haidar.Perlahan, pandangannya turun ke bawah. Mata Haidar mengembun. Mendadak perasaannya buncah. Hampir saja isaknya keluar tak tertahankan menyadari perut Kiran yang membuncit. Sungguh, walau bukan dia yang menjadi Ayah dari anak yang Kiran kandung saat ini, dia bahagia.“Kapan Kiran
“Untuk proses bayi tabung, ada beberapa tahapan yang harus kita lalui. Secara simpel saja saya jelaskan ya, pertama adalah tahapan induksi ovulasi. Nanti akan ada penyuntikan hormon untuk merangsang proses pembentukan sel telur. Nanti bisa dilakukan secara mandiri di rumah setelah saya berikan petunjuknya.Nah selama proses ini, Ibu harus kontrol setiap beberapa hari karena saya harus memantau ukuran telur yang ada. Setelah dirasa ukurannya sesuai, nanti disuntik dengan hormon lagi untuk membantu proses pematangannya.Maaf sebelumnya, apa menstruasi Ibu sudah teratur?”Kiran menggeleng. “Kadang dua bulan sekali, pernah sampai tiga bulan tidak halangan.” Kiran menjawab dengan bibir bergetar.“Baik, berarti kemungkinan besar tidak ada sel telur yang matang sehingga tidak terjadi pembuahan. Nah, setelah penyuntikan hormon untuk pematangan telur dilakukan, kita bisa mulai mengambil sel telur. Kemudian pengambilan sp**ma, proses pembuahan dan terakhir transfer embrio. Singkatnya seperti it
“Wa ja’alna minal-maa-I kulla syai’in hayyin. Afala yu’minuna.” (QS. Al-Anbiya: 30).“Dan dari air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka mengapakah mereka tiada juga beriman?”"Alhamdulillah." Kiran langsung mengucap hamdalah begitu turun dari mobil. Waktu sudah senja saat mereka tiba. "Bu, Pak." Kiran berjalan menghampiri orangtuanya yang memang sudah menunggu kedatangan mereka.Kiran menatap sekitar. Dia benar-benar merindukan suasana rumah mereka. Dua belas hari perjalanan umroh ditambah dengan masa karantina membuat dia dan Pras cukup lama meninggalkan tempat itu."Istirahat dulu." Linda yang menjemput mereka di tempat karantina tadi menepuk punggung Kiran pelan. Wanita itu membantu membawakan beberapa bawaan khas oleh-oleh dari tanah suci. Rista dan Ahmad bergegas ikut bergabung membawakan barang-barang dari mobil.Tidak terasa, azan isya’ berkumandang saat mereka baru saja selesai merapikan barang bawaan agar tidak terlalu berantakan.Setelah membersihkan diri dan makan m
Kesyahduan itu terhenti saat dua kanak-kanak berteriak riang di dekat mereka. Anak lelaki berusia sekitar enam tahun sedang mengejar anak wanita berusia sekitar empat tahun yang tertawa-tawa. “Oh!” Kiran menutup mulut. Matanya membelalak lebar pada Pras. Sedetik kemudian tawa Kiran berderai saat kedua anak itu berlarian di bawah meja mereka. Dia benar-benar senang melihat anak-anak itu bercanda.“Sini!” Teriak si anak laki-laki.“Tangkap ayo tangkap!” Anak wanita itu menjulurkan lidah dari seberang meja.“Nina, Fajar, kemari!” Wanita muda yang seusia dengan Kiran dan Pras berteriak galak pada kedua anaknya. “Maaf ya, Mas, Mbak, anak saya mengganggu makan malamnya.” Wanita itu mengangguk sungkan.“Tidak apa-apa, anaknya lucu.” Kiran menuntun anak itu memutari meja dan menyerahkannya pada ibunya. Kiran masih sempat mencubit gemas pipi gembil itu sebelum mereka berlalu.Pras dan Kiran tersenyum berbarengan saat meja mereka kembali sepi. Mereka mulai menikmati hidangan penutup malam itu.
"Makan yang banyak, biar cepat pulih. Ini Mama bawakan buah-buahan, bolu gulung, dimsum, ayo dimakan." Linda mengeluarkan barang bawaannya di meja. Satu persatu makanan itu diletakkan di hadapan Kiran. "Atau kalau nggak selera, biar Mama pesankan, Nak Kiran mau apa?"Kiran menggeleng pelan sambil tersenyum pada Linda. "Terima kasih, Ma." Tangannya terulur mengambil sumpit, dia mengangguk-angguk saat satu gigitan dimsum masuk ke mulutnya. "Enak, Ma." Kiran mengacungkan jempol."Sama-sama." Linda ikut duduk di meja makan. Wanita itu mengelus bahu Kiran pelan. "Habiskan." Linda tersenyum lembut."Diminum, Bu Linda, Pak Sakti." Rista meletakkan teh hangat. Dia lalu mengambil beberapa buah dan mengupasnya untuk dimakan bersama. Sementara Ahmad dan Sakti mulai asyik dengan topik obrolan mereka berdua."Kata Pras, Nak Kiran susah makan. Masih kepikiran ya?" Linda mengelus bahu Kiran. "Paksakan makan biar cepat pulih. Ajak Pras liburan, mumpung Nak Kiran dapat jatah cuti, toko nanti biar Papa
“Dugaan awal saya, kemungkinan janin tidak berkembang, Pak, Bu.” Dokter menjelaskan dengan hati-hati. Dia tahu sekali bagaimana perasaan dua orang di hadapannya ini. Mereka yang tadi datang dengan wajah cerah dan penuh rona bahagia kini terlihat pucat pasi seolah tak ada aliran darah di wajahnya.“Tidak berkembang bagaimana?” Pras mengepalkan tangan. Suaranya terdengar meninggi karena merasa dokter begitu lambat menjelaskan. Napasnya terengah menahan perasaan yang tidak karuan di dalam sana.“Begini, saya akan resepkan obat.” Dokter berdehem menyadari kondisi Kiran dan Pras yang mulai tidak bisa mengendalikan diri. “Semoga kontrol bulan depan, janinnya sudah bergerak aktif dan terdengar detak jantung. Dalam beberapa kasus, hal seperti ini sering terjadi. Kita usahakan yang terbaik.”Pras menekan matanya dengan jari. Sebisa mungkin dia mengendalikan diri dan menahan tangis. Dalam keadaan seperti ini, Pras menyadari ada Kiran yang pasti sangat terpukul mengetahui hasil pemeriksaan. Kala
"Berhenti dulu, Pi, beliin rujak buah itu." Kiran mencengkram tangan Pras sambil menunjuk ke pinggir jalan. "Mual, pengen yang asem-asem." Kiran nyengir melihat wajah Pras yang kesal karena dia minta berhenti mendadak."Ini Dedek yang mau, bukan aku.” Kiran mengelus perutnya pelan. Dia menahan tawa saat Pras memperhatikan dia dengan pandangan curiga.Pras menatap istrinya penuh selidik. Setelahnya, Pras tertawa dengan pandangan tidak percaya. “Dedek yang mau?” Pras tersenyum menggoda dengan sebelah alis terangkat. Dia mengelus pelan perut Kiran yang masih rata.“Iya.” Kiran mengangguk dengan raut wajah lucu hingga membuat Pras merasa gemas. Lelaki itu mencubit pipi istrinya sebelum membuka pintu mobil dan menyeberang jalan menuruti keinginan Kiran.Pras menggeleng pelan sambil menyerahkan plastik berisi irisan buah segar pada Kiran. Sejak tadi malam, istrinya itu mulai merasakan “ngidam”. Kiran bahkan menjadi lebih manja padanya. Pras sedikit heran karena sebelum mengetahui sedang ham
Mata Kiran membelalak lebar melihat testpack di tangannya. Garis dua. Seketika sekujur tubuh wanita itu bergetar hebat hingga dia harus berpegangan pada dinding agar tidak terjatuh.Kiran akhirnya jongkok di toilet kantor. Dia masih menatap tidak percaya pada hasil tes di tangannya. Dia bahkan berkali-kali memastikan bahwa itu adalah alat tes kehamilan, bukan testpack ovulasi untuk mengetahui masa subur."Ran?"Gedoran di pintu terdengar. Sementara Kiran masih tercekat tidak percaya dengan testpack di tangannya. Pagi tadi, Mira mendadak membawakan alat pengecek kehamilan dan memberikannya pada Kiran."Sana cek dulu!" Melihat Mira yang sangat ngotot bahkan sampai meminta OB membelikan alat itu tadi, Kiran akhirnya menerima walau dengan sedikit enggan.Sudah lama sekali dia tidak menggunakan testpack, dia takut kecewa dan sakit hati saat hasilnya tidak garis dua. Bahkan, selama menjalani program kehamilan dengan Pras, Kiran juga tidak menggunakannya. Untuk Kiran yang PCOS, telat dapat s