"Pernikahan terus dibahas. Mantan cuy mantan." Pras terbahak."Sudah, sudah, ayo sarapan." Kiran melerai keduanya. Kalau tidak segera dihentikan, Kiran khawatir bisa terjadi baku hantam lagi.Mereka makan sambil mengobrol ringan. Sesekali, Kiran melirik Pras yang melempar lelucon hingga membuat ruang makan ramai. Haidar menghembuskan napas pelan. Nafsu makannya mendadak menurun melihat Kiran begitu sumringah dan bisa tertawa lepas di samping Pras. padahal, candaan yang dilempar Pras biasa saja bahkan cenderung garing menurutnya.Kiran hampir saja kelepasan tertawa melihat kode dari Pras. Lelaki itu sejak selesai makan tadi terus mengedip-ngedipkan mata minta diantar keluar. Biasa, itu juga salah satu kode mereka saat masih sekolah dulu. Kiran dan Pras bahkan dapat berbicara hanya dari kedipan mata.“Antar keluar.” Kepala Pras sedikit bergerak ke arah pintu, memberikan kode pada Kiran yang sedang menganguk-angguk mendengarkan Haidar dan Ahmad berbincang.“Ran! Ran!” Pras mengetuk-ngetu
Kiran menatap kepergian Haidar dengan perasaan yang terhimpit. Setiap kalimat yang Haidar ucapkan meninggalkan lubang di hati Kiran. Dia masih terus termenung bahkan setelah mobil mantan suaminya itu menghilang dari pandangan.Kiran menarik napas panjang. Aroma minyak wangi yang Haidar kenakan tertingal di udara sehingga dia masih dapat menciumnya. Kiran mendadak tersenyum, ini aroma minyak wangi yang dia pilihkan dulu.Kiran termenung. Tarian kupu-kupu yang berterbangan dari satu kuntum ke kuntum lainnya menarik perhatian Kiran. Ucapan Pras tiba-tiba memenuhi isi kepalanya.““Bodoh! Dia tidak akan datang dan mendekatimu andai istrinya tidak mati. TIDAK AKAN!” Kiran memejamkan mata. Wajah penuh emosi Pras saat mengucapkan itu melintas di ingatannya.“Bangun, Kiran, bangun! Pikirkan andai istrinya masih ada dan mereka sudah mempunyai anak. Apa b*jingan itu akan duduk di pantai denganmu hari ini? Hah?! Kalau benar dia mencintaimu, dia tidak akan menunggu tiga tahun untuk mengajak kembal
“Jodoh itu mutlak kuasa Allah.” Kiran tersentak saat menyadari Ahmad telah duduk di sampingnya, menggantikan posisi Haidar.“Bapak sudah lama?” Kiran menunduk dan mengusap air mata. Matanya sedikit silau karena cahaya matahari yang semakin terang.“Kamu berteman dengan Pras sejak dari SMP sampai lulus kuliah. Sepuluh tahun lebih kalian dekat, tapi justru berjodoh dan menikah dengan Haidar yang hanya saling kenal tiga bulan.” Ahmad mengelus punggung Kiran.“Kini, setelah bercerai lama dari Haidar, dua lelaki itu datang kembali secara bersamaan. Seolah takdir sedang bercanda dengan kita, bukan?” Ahmad tersenyum menatap wajah basah Kiran.Jarang sekali dia melihat Kiran menangis. Anak tunggalnya itu wanita yang tangguh dan periang. Ahmad tahu, Kiran menyembunyikan semua luka dan menangisinya sendirian. Hampir tidak pernah Kiran mendatangi dia dan Rista dalam keadaan merengek karena ada masalah.“Haidar dan Pras sama-sama lelaki baik. Kalau hatimu lebih berat pada Haidar, tidak ada salahn
“Betul, Pak Rifky, dua tahun terakhir ini memang bisnis saya agak sedikit goyang, tapi itu ‘kan hanya di satu sektor. Sementara sektor yang lain ‘kan tetap jalan. Yang saya ajukan di Bank Pak Rifky ini bisnis yang sudah mumpuni.” Danu mempersilakan Kiran dan Rifky untuk menikmati makanan ringan yang baru saja disajikan.“Betul, di era ekonomi yang tidak menentu ini usaha Pak Danu termasuk salah satu yang cukup kuat. Hal itu sudah menjadi perhatian pihak pusat. Makanya begitu mendapat kabar Pak Danu mengajukan tambahan modal kerja, Dirut langsung menelepon saya."Danu terkekeh. Dia merupakan nasabah VIP sekaligus teman baik Dirut Bank tempat mereka bekerja. Portofolio pembiayaannya sampai lima puluh milyar lebih."Dirut memerintahkan langsung agar pengajuan lain ditunda dan punya Pak Danu didahulukan. Tapi tenang saja, Mbak Kiran ini adalah salah satu AO terbaik. Dia bisa menyelesaikan pekerjaan dengan cepat.""Semua data dan legalitas usaha sudah ada pada kami. Paling nanti update kon
Kiran mengepalkan tangan. Sementara Rifky menarik napas panjang. Dia paham sekali situasi ini. Dia memegang tangan Kiran agar tidak kembali menyerang Danu. seharusnya dia tidak meninggalkan kancil di kandang harimau.“Lihat saja di CCTV, Ma!” Danu menunjuk layar laptop di meja kerjanya. “Kalau mau selingkuh, sudah sejak dulu Papa lakukan. Umur sudah tua, buat apa bertingkah macam-macam.” Danu mengaduh pelan.Viona berjalan cepat menuju meja dan mengecek rekaman CCTV. “Mati, Pa?” Viona menatap Danu bingung.“Mati?” Danu ikut bertanya. Dia tersenyum tipis. Danu memang sengaja mematikan CCTV itu kemarin saat tahu hari ini akan ada kunjungan dari Rifki dan Kiran. Bahkan, orang yang menghubungi Rifky tadi juga merupakan orang suruhan Danu. "Pergi kalian! Dasar gatel!""Eh, itu suami Ibu yang gatel bukan saya!""Kiran." Rifky berbisik pelan."Pak Danu, sepertinya ada kesalahpahaman di sini. Ada baiknya kami pulang dulu agar bisa menyelesaikan masalah ini dengan tenang.""Lunasi saja pinjam
Kiran memperhatikan bangunan yang seolah berlarian di luar sana. Hatinya kacau. Dia lelah. Kenapa semesta seolah senang benar mengajaknya bercanda? Tak hanya masalah percintaan, masalah pekerjaan pun kini dia berada dalam posisi sulit.“Tenangkan diri, Ran, jangan terbawa emosi.” Rifky menarik napas panjang. Dari sini dia bisa melihat dengan jelas kegundahan di wajah Kiran.Kiran mengangguk. Entah sudah berapa kali kalimat itu Rifky ucapkan sepanjang perjalanan mereka kembali ke kantor. Wajah Kiran pucat. Ujung-ujung jari kakinya terasa dingin. Andai tidak mengenakan riasan, pasti wajah pucat Kiran akan terlihat sangat jelas.“Bantu hamba ya, Allah.” Kiran mengusap wajah. Berbagai kekhawatiran menyelimuti hatinya. Bagaimana jika dia dipecat? Bayangan wajah kedua orangtuanya melintas. Ahmad yang hanya buruh di pabrik gula, Rista yang sehari-hari hanya di rumah. Dulu, ibunya berjualan di pasar. Namun, sejak asam urat menyerang, Rista kesulitan mengangkat barang-barang sehingga berhenti
“Kamu kuat, Ran. Kalau aku ada di posisimu, mungkin saat ini aku tidak sanggup lagi kembali ke kantor. Bisa saja aku sudah pingsan di tempat kejadian.” Mira kembali memberi semangat pada Kiran. Dia sungguh kagum pada temannya itu. Mental Kiran cukup kuat hingga masih bisa duduk tenang di kantor saat ini.“Aku shalat dulu, Mir.” Kiran mendadak teringat belum shalat. Dia langsung membereskan meja kerjanya. Kiran berencana istirahat di mushola kantor saja sambil menunggu jam pulang. “Aku duluan, nanti sekalian pulang. Pak Nurman sudah memberi izin tadi.”“Hati-hati.” Mira mengangguk.“Istirahat yang cukup, Ran. Sepertinya besok merupakan hari yang berat. Pak Dirut langsung turun loh.”Kiran mengabaikan ucapan Rusdi. Dia bahkan tidak ambil pusing saat tawa ketiga rekan kerjanya itu berderai-derai di belakangnya. Kiran langsung menuju mushola. Air wudhu terasa segar membasuh wajah dan bagian yang lain untuk disucikan.Kiran sujud lama di sujud terakhirnya. Segala kegundahan hati dan ketaku
"Sebenarnya, ini urusan anak-anak, Pak Sakti. Sebagai orangtua, kita tidak berhak ikut campur terlalu jauh. Tapi, kejadian kemarin cukup membuat penilaian saya terhadap Nak Pras berubah. Bisa-bisanya anak kami Verlin ditinggal begitu saja. Beruntung saya sedang di sekitar sana, jadi saat mendapat telepon bisa langsung meluncur dan dia tidak menunggu lama."Sakti melirik Pras dengan ujung matanya. Sementara Pras memilih menunduk. Rencana berkunjung ke rumah Verlin selalu tertunda hingga baru terlaksana hari ini.“Kita sama-sama pernah muda, Pak Sakti. Jadi, masalah pacaran, putus, orang ketiga dan sebagainya bukan hal baru lah bagi kita.” Danu melambaikan tangan. “Tapi, senakal-nakalnya saya dulu, saya tidak pernah meninggalkan atau menurunkan anak gadis orang di jalan.” Danu terkekeh. Tubuh lelaki itu bergerak-gerak pelan mengikuti irama tawanya.“Itulah, Pak Danu. Tujuan kami kemari untuk minta maaf karena kejadian itu. Sebenarnya, saya malu datang kemari, tapi bagaimana lagi? Mau ti
Namun, tak sekalipun dia membicarakan mantan istrinya itu di hadapan istrinya. Bahkan sampai usia pernikahan mereka yang ke empat, Kamila tidak tahu kalau Haidar pernah menikah sebelum dengan Raya. Kamila hanya tahu Haidar pernah menikah dan itu dengan Raya.Bagi Haidar, tidak ada gunanya menceritakan semua yang telah berlalu. Cukup dia dan hatinya saja yang merasakan. Cinta yang tersimpan rapi di dalam hati. Perasaan yang terus ada walau telah coba dia lupakan dan tak pernah lagi dia ucapkan.Untuk Kamila, dia mempersembahkan hati yang baru. Cinta dan rasa hormat yang berdasarkan pada komitmen dan tanggung jawab pada wanita yang sebentar lagi akan memberinya dua buah hati. Cinta dan kasih untuk ibu dari anak-anaknya.“Ah iya, hati-hati di jalan.”Kiran menatap Pras bingung. Sejak pulang dari bertemu Haidar tadi, entah sudah berapa belas kali Pras mengulangi kalimat terakhir yang Haidar ucapkan. Wanita itu menarik napas panjang. Dia melirik jam di dinding, sudah hampir jam sembilan
“Kiran?”Kiran dan Pras yang baru saja keluar dari menebus vitamin kehamilan di bagian farmasi menoleh berbarengan. Pras langsung melingkarkan tangan dengan posesif di bahu Kiran mengetahui siapa yang menyapa.“Mas Haidar?” Kiran tersenyum lebar. Dia menoleh pada Pras hingga mereka saling berpandangan. Suaminya itu meremas bahu istrinya pelan. Kiran hampir kelepasan tertawa melihat sorot mata Pras yang seolah mengatakan “jangan tebar pesona”.“Pras, sehat?” Haidar mengulurkan tangan pada Pras saat menyadari dia terpaku cukup lama menatap Kiran barusan. Ah … hampir lima tahun tak berjumpa, Kiran tak berubah. Wajah mulus, hidung mancung, bibir kecil dan penuh, kombinasi yang menciptakan keindahan di mata Haidar.Perlahan, pandangannya turun ke bawah. Mata Haidar mengembun. Mendadak perasaannya buncah. Hampir saja isaknya keluar tak tertahankan menyadari perut Kiran yang membuncit. Sungguh, walau bukan dia yang menjadi Ayah dari anak yang Kiran kandung saat ini, dia bahagia.“Kapan Kiran
“Untuk proses bayi tabung, ada beberapa tahapan yang harus kita lalui. Secara simpel saja saya jelaskan ya, pertama adalah tahapan induksi ovulasi. Nanti akan ada penyuntikan hormon untuk merangsang proses pembentukan sel telur. Nanti bisa dilakukan secara mandiri di rumah setelah saya berikan petunjuknya.Nah selama proses ini, Ibu harus kontrol setiap beberapa hari karena saya harus memantau ukuran telur yang ada. Setelah dirasa ukurannya sesuai, nanti disuntik dengan hormon lagi untuk membantu proses pematangannya.Maaf sebelumnya, apa menstruasi Ibu sudah teratur?”Kiran menggeleng. “Kadang dua bulan sekali, pernah sampai tiga bulan tidak halangan.” Kiran menjawab dengan bibir bergetar.“Baik, berarti kemungkinan besar tidak ada sel telur yang matang sehingga tidak terjadi pembuahan. Nah, setelah penyuntikan hormon untuk pematangan telur dilakukan, kita bisa mulai mengambil sel telur. Kemudian pengambilan sp**ma, proses pembuahan dan terakhir transfer embrio. Singkatnya seperti it
“Wa ja’alna minal-maa-I kulla syai’in hayyin. Afala yu’minuna.” (QS. Al-Anbiya: 30).“Dan dari air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka mengapakah mereka tiada juga beriman?”"Alhamdulillah." Kiran langsung mengucap hamdalah begitu turun dari mobil. Waktu sudah senja saat mereka tiba. "Bu, Pak." Kiran berjalan menghampiri orangtuanya yang memang sudah menunggu kedatangan mereka.Kiran menatap sekitar. Dia benar-benar merindukan suasana rumah mereka. Dua belas hari perjalanan umroh ditambah dengan masa karantina membuat dia dan Pras cukup lama meninggalkan tempat itu."Istirahat dulu." Linda yang menjemput mereka di tempat karantina tadi menepuk punggung Kiran pelan. Wanita itu membantu membawakan beberapa bawaan khas oleh-oleh dari tanah suci. Rista dan Ahmad bergegas ikut bergabung membawakan barang-barang dari mobil.Tidak terasa, azan isya’ berkumandang saat mereka baru saja selesai merapikan barang bawaan agar tidak terlalu berantakan.Setelah membersihkan diri dan makan m
Kesyahduan itu terhenti saat dua kanak-kanak berteriak riang di dekat mereka. Anak lelaki berusia sekitar enam tahun sedang mengejar anak wanita berusia sekitar empat tahun yang tertawa-tawa. “Oh!” Kiran menutup mulut. Matanya membelalak lebar pada Pras. Sedetik kemudian tawa Kiran berderai saat kedua anak itu berlarian di bawah meja mereka. Dia benar-benar senang melihat anak-anak itu bercanda.“Sini!” Teriak si anak laki-laki.“Tangkap ayo tangkap!” Anak wanita itu menjulurkan lidah dari seberang meja.“Nina, Fajar, kemari!” Wanita muda yang seusia dengan Kiran dan Pras berteriak galak pada kedua anaknya. “Maaf ya, Mas, Mbak, anak saya mengganggu makan malamnya.” Wanita itu mengangguk sungkan.“Tidak apa-apa, anaknya lucu.” Kiran menuntun anak itu memutari meja dan menyerahkannya pada ibunya. Kiran masih sempat mencubit gemas pipi gembil itu sebelum mereka berlalu.Pras dan Kiran tersenyum berbarengan saat meja mereka kembali sepi. Mereka mulai menikmati hidangan penutup malam itu.
"Makan yang banyak, biar cepat pulih. Ini Mama bawakan buah-buahan, bolu gulung, dimsum, ayo dimakan." Linda mengeluarkan barang bawaannya di meja. Satu persatu makanan itu diletakkan di hadapan Kiran. "Atau kalau nggak selera, biar Mama pesankan, Nak Kiran mau apa?"Kiran menggeleng pelan sambil tersenyum pada Linda. "Terima kasih, Ma." Tangannya terulur mengambil sumpit, dia mengangguk-angguk saat satu gigitan dimsum masuk ke mulutnya. "Enak, Ma." Kiran mengacungkan jempol."Sama-sama." Linda ikut duduk di meja makan. Wanita itu mengelus bahu Kiran pelan. "Habiskan." Linda tersenyum lembut."Diminum, Bu Linda, Pak Sakti." Rista meletakkan teh hangat. Dia lalu mengambil beberapa buah dan mengupasnya untuk dimakan bersama. Sementara Ahmad dan Sakti mulai asyik dengan topik obrolan mereka berdua."Kata Pras, Nak Kiran susah makan. Masih kepikiran ya?" Linda mengelus bahu Kiran. "Paksakan makan biar cepat pulih. Ajak Pras liburan, mumpung Nak Kiran dapat jatah cuti, toko nanti biar Papa
“Dugaan awal saya, kemungkinan janin tidak berkembang, Pak, Bu.” Dokter menjelaskan dengan hati-hati. Dia tahu sekali bagaimana perasaan dua orang di hadapannya ini. Mereka yang tadi datang dengan wajah cerah dan penuh rona bahagia kini terlihat pucat pasi seolah tak ada aliran darah di wajahnya.“Tidak berkembang bagaimana?” Pras mengepalkan tangan. Suaranya terdengar meninggi karena merasa dokter begitu lambat menjelaskan. Napasnya terengah menahan perasaan yang tidak karuan di dalam sana.“Begini, saya akan resepkan obat.” Dokter berdehem menyadari kondisi Kiran dan Pras yang mulai tidak bisa mengendalikan diri. “Semoga kontrol bulan depan, janinnya sudah bergerak aktif dan terdengar detak jantung. Dalam beberapa kasus, hal seperti ini sering terjadi. Kita usahakan yang terbaik.”Pras menekan matanya dengan jari. Sebisa mungkin dia mengendalikan diri dan menahan tangis. Dalam keadaan seperti ini, Pras menyadari ada Kiran yang pasti sangat terpukul mengetahui hasil pemeriksaan. Kala
"Berhenti dulu, Pi, beliin rujak buah itu." Kiran mencengkram tangan Pras sambil menunjuk ke pinggir jalan. "Mual, pengen yang asem-asem." Kiran nyengir melihat wajah Pras yang kesal karena dia minta berhenti mendadak."Ini Dedek yang mau, bukan aku.” Kiran mengelus perutnya pelan. Dia menahan tawa saat Pras memperhatikan dia dengan pandangan curiga.Pras menatap istrinya penuh selidik. Setelahnya, Pras tertawa dengan pandangan tidak percaya. “Dedek yang mau?” Pras tersenyum menggoda dengan sebelah alis terangkat. Dia mengelus pelan perut Kiran yang masih rata.“Iya.” Kiran mengangguk dengan raut wajah lucu hingga membuat Pras merasa gemas. Lelaki itu mencubit pipi istrinya sebelum membuka pintu mobil dan menyeberang jalan menuruti keinginan Kiran.Pras menggeleng pelan sambil menyerahkan plastik berisi irisan buah segar pada Kiran. Sejak tadi malam, istrinya itu mulai merasakan “ngidam”. Kiran bahkan menjadi lebih manja padanya. Pras sedikit heran karena sebelum mengetahui sedang ham
Mata Kiran membelalak lebar melihat testpack di tangannya. Garis dua. Seketika sekujur tubuh wanita itu bergetar hebat hingga dia harus berpegangan pada dinding agar tidak terjatuh.Kiran akhirnya jongkok di toilet kantor. Dia masih menatap tidak percaya pada hasil tes di tangannya. Dia bahkan berkali-kali memastikan bahwa itu adalah alat tes kehamilan, bukan testpack ovulasi untuk mengetahui masa subur."Ran?"Gedoran di pintu terdengar. Sementara Kiran masih tercekat tidak percaya dengan testpack di tangannya. Pagi tadi, Mira mendadak membawakan alat pengecek kehamilan dan memberikannya pada Kiran."Sana cek dulu!" Melihat Mira yang sangat ngotot bahkan sampai meminta OB membelikan alat itu tadi, Kiran akhirnya menerima walau dengan sedikit enggan.Sudah lama sekali dia tidak menggunakan testpack, dia takut kecewa dan sakit hati saat hasilnya tidak garis dua. Bahkan, selama menjalani program kehamilan dengan Pras, Kiran juga tidak menggunakannya. Untuk Kiran yang PCOS, telat dapat s