Share

BAB 3

"Ray?" Haidar memegang tangan Raya yang masih belum sadarkan diri. Dingin. Tangan istrinya terasa dingin. Haidar terisak. Walau pandangannya buram karena air mata, dia masih bisa melihat wajah Raya yang pucat.

“Bangunlah, Ray.” Haidar mencicit. Hatinya mendadak terasa sangat sakit mengingat perjuangan yang Raya lalui agar bisa mempersembahkan keturunan untuknya.

“Tak apa, Mas. Mungkin jika Raya bisa melahirkan anak Mas, Mas bisa sedikit mencintai Raya. Semoga saja anak ini nanti bisa menjadi pengobat luka yang terus menganga di hati Mas Haidar sejak bercerai dari Karin.” Haidar tergugu mengingat ucapan Raya beberapa bulan yang lalu. Dia terkejut setengah mati saat istrinya itu memberikan hasil pemeriksaan USG yang menunjukkan janin di rahimnya yang sudah berusia sepuluh minggu.

“Kamu hamil, Ray?” Suara Haidar bergetar. Tangan lelaki itu gemetar saat mengambil lembar hasil USG dari tangan Raya. Matanya berkaca, dia kehabisan kata. Antara khawatir dan bahagia, Haidar tak bisa mengekspresikan perasaannya.

Sejak Raya keguguran di kehamilan pertama lebih dari tiga tahun yang lalu, mereka memang tak pernah membahas tentang anak sekali pun. Dokter yang menangani proses operasi darurat waktu itu mengatakan kondisi Raya tidak stabil.

Preeklampsia berat yang sudah terdeteksi dari adanya kandungan protein saat tes urin menjadi salah satu penyebab wanita itu mengalami proses kehamilan yang berat. Selain itu, kondisi kandungannya yang lemah membuat Raya harus bedrest sepanjang kehamilan.

Banyak faktor lain yang bisa membahayakan bagi Raya jika wanita itu berkeras mempertahankan kandungan. Hal yang paling buruk bisa saja menyebabkannya kehilangan nyawa. Oleh karena itulah, seperti ada kesepakatan khusus di antara mereka jika tidak akan pernah membahas masalah anak lagi.

Walau Haidar sangat menginginkan keturunan, tapi dia tak ingin membahayakan hidup Raya. meskipun rasa cinta belum menyapa hati, tapi perasaan harus melindungi dan menjaga sebagai suami tumbuh dengan sendirinya di hati Haidar. Itulah sebabnya dia benar-benar kacau saat beberapa tahun lalu Raya hampir kehilangan nyawa saat keguguran.

Kekacauan yang membuatnya tak bisa berpikir jernih hingga hanya fokus pada Raya. Dia abai pada semua termasuk pada dirinya sendiri. Hal yang paling dia sesali, dia bahkan lupa mempedulikan Kiran yang masih tertatih membalut luka sendirian.

Sesuatu yang sangat dia sesali hingga detik ini. Kehilangan Kiran, istri sekaligus belahan hati yang melengkapi separuh jiwanya.

“Mas tidak senang?”

“Ray, kenapa tidak bicara dulu? Mas tak ingin kejadian waktu itu terulang kembali ….”

“Kalau kita bicara, memangnya Mas akan mengizinkan atau menolak?” Raya tersenyum lembut sambil mengambil kembali kertas USG dari tangan Haidar. Dia menggerakkan kursi rodanya menuju dapur untuk membuatkan teh hangat beraroma melati kesukaan suaminya.

Haidar menarik napas panjang. Setelah mandi dan berganti baju dia menyusul Raya untuk makan malam bersama. Lelaki itu tersenyum melihat hidangan yang tersaji. Raya sama seperti Kiran, dua wanita itu pandai menyenangkan lidah suami.

“Raya tahu Mas Haidar sangat menginginkan anak. Candaan-candaan di luar sana bukan tak pernah sampai di telinga Raya, Mas. Raya hanya berpura tuli agar tak tergerak bertanya dan membahasnya dengan Mas.”

Haidar tertegun. Gerakannya yang akan menyendok nasi terhenti. Telinganya mendadak berdengung saat candaan bernada ejekan di luar sana kembali terdengar. “Dua kali beristri, tapi belum juga dikaruniai buah hati. Kopong, Dar?” “Jangan terlalu lama menikmati masa bulan madu, Dar. Nanti terlanjur ketuaan.” “Programlah, kalau yang satu hamil kan masih ada satunya buat cadangan.”

Lelaki itu meletakkan sendok. Selera makannya hilang sudah. Ucapan teman-temannya berdengung memenuhi telinga. Enteng saja kalimat itu keluar dari mulut mereka. Tak tahukah teman-temannya jika hatinya tergores karena itu?

Sungguh, dia sebenarnya penat. Dua kali beristri dan keduanya tak juga memberi buah hati. Pandangan di luar sana seolah menghujam batin Haidar. Dia memang tidak mau membicarakan siapa yang bermasalah di antara mereka sehingga tak ada yang tahu jika Kiran memiliki masalah dengan hormon dan kondisi Raya yang sangat lemah jika sedang hamil.

“Mas ….”

“Kehamilan ini bisa membahayakanmu, Ray. Kenapa mendengarkan omongan orang kalau bisa membahayakan diri sendiri?”

“Karena ….”

Haidar mengangkat kepala. Dia tertegun melihat wajah Raya basah oleh air mata. Sepanjang pernikahan mereka yang hampir menginjak tahun keempat, ini pertama kalinya wanita itu menangis. Biasanya Raya hanya akan berdiam diri dan pergi menyendiri jika hatinya sedang tidak baik-baik saja.

“Kenapa, Ray?” Haidar memegang tangan Raya, sebelah tangannya mengusap air mata di pipi istrinya.

“Karena Raya ingin Mas Haidar memandang Raya sebagai wanita yang dicinta. Sekali saja. Raya ingin Mas Haidar menatap Raya seperti tatapan Mas pada Kiran.”

“Ray ….” Sesak. Dada Haidar terasa sesak mendengar suara bergetar Raya. Apakah begitu jelas terasa oleh Raya kalau hatinya masih belum bisa berpaling juga? Bukankah selama ini dia sudah bersikap sewajar mungkin sebagai seorang suami?

“Kiran telah pergi bertahun lalu, tapi bayangnya seolah masih terus berkelindan di antara kita. Raya tidak muluk-muluk berharap bisa menggantikan posisinya, Mas. Raya hanya ingin Mas Haidar bisa memandang Raya sebagai seorang istri. Sekali saja. Raya ingin Mas Haidar bisa menatap Raya dengn penuh cinta, sekali saja. Sekali ….”

“Ray ….”

“Mohon bantuan agar Raya bisa melewati masa kehamilan. Semoga dengan adanya buah hati, cinta Mas Haidar bisa hadir di dalam rumah tangga kita. Walau bukan untukku, setidaknya cinta itu ada untuk anakku ….”

“Raya ….” Haidar tergugu mengingat percakapan mereka kala itu. Betapa zalimnya dia sebagai seorang suami hingga istrinya harus berkorban sejauh ini hanya untuk menyentuh hatinya. Namun, rasa itu memang tak bisa dia hilangkan begitu saja. Nama Kiran sudah terpatri sempurna di relung jiwa hingga sulit menghapus setiap kenangan mereka.

Desing pendingin ruangan memenuhi kamar rawat Raya. Dengan tangan gemetar, Haidar menyentuh pipi Raya. Wajah itu pucat karena pendarahan hebat. Ah … Haidar sekali lagi mengeluh dalam hati. Dia bahkan sedang sibuk berusaha menyentuh hati Kiran lagi saat tadi Raya tak sadarkan diri. Dia kehilangan darah cukup banyak sehingga buah hati mereka tak bisa diselamatkan.

Bagaimana dia akan membalut luka Raya saat wanita itu bangun nanti? Seperti apa dia akan menjelaskan pada wanita yang bertahun mendamba cintanya itu kalau buah hati mereka telah pergi? Dua kali. Dua kali Raya hampir kehilangan nyawa karena ingin menyempurnakan Haidar sebagai seorang lelaki.

Ayah.

Panggilan yang selalu ingin Raya sematkan untuknya agar tak ada lagi cerca di luar sana yang menggores jiwa.

Tepat saat tangan Haidar menyentuh pipi dingin Raya, detik itu juga alat pendeteksi aktivitas jantung berbunyi kencang. Haidar tersentak, refleks dia menoleh pada layar yang menampilkan garis lurus. Haidar membeku.

Sedetik berlalu.

Lelaki itu langsung memencet bel untuk memanggil suster jaga.

“Ray? Raya?!” Haidar mencicit. Sekali lagi dia menoleh pada layar yang menampilkan rekam aktivitas jantung berharap dia salah lihat dan bunyi yang memenuhi ruangan ini hanya salah dengar saja. Nihil. Layar itu tetap menampilkan garis lurus.

Haidar terduduk. Kakinya lemas seketika. Matanya membelalak lebar melihat wajah Raya yang terpejam dengan damai. Matanya terasa panas. Pandangannya mendadak buram.

Tidak.

Tidak.

Dia tidak siap jika harus kehilangan Raya.

Comments (4)
goodnovel comment avatar
Nur Janah
apa di sini Raya meninggal
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
cari istri kedua koq g lebih baik dari yg pertama. cuman bisa hamil tapi g pernah jadi. jadi g ada gunanya juga disesali. balasan krn g sabar dg ujian. klu istri pertama sesempurna itu dan istri kedua yg cacat masihkah bernafsu ketika menggaulinya? g usah bicara cinta klu nafsu mu yg lebih bertahta.
goodnovel comment avatar
Denovanti
Mungkinkah Kiran masih bisa direngkuh?
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status