"Mainlah ke rumah, Ran. Raya akan senang kalau kau mau sesekali berkunjung. Kehamilannya yang kedua ini lebih payah dari yang pertama. Mungkin kalau kau mau datang, dia akan sedikit lebih tenang."
Kiran tersenyum mendengar ucapan Haidar, mantan suaminya."In syaa Allah." Dia refleks meremas ujung baju. Rasa itu masih sama. Walau telah bercerai lama, Kiran masih merasakan sakit setiap kali Haidar menyebut nama Raya, wanita yang tiga tahun lalu menjadi alasannya memilih berpisah.Ponsel Haidar berbunyi. Melalui ujung mata, Kiran bisa melihat layar ponsel itu menampilkan notifikasi pesan. Dia menarik napas dalam. Mantan suaminya itu belum berubah, ponselnya tidak pernah dikunci sehingga setiap ada pesan masuk langsung bisa terbaca dengan jelas di layar depan."Mas, pulang nanti tolong bawakan nasi goreng Pak Aji. Perutku kram lagi, aku tidak kuat masak."Kiran menarik napas panjang. Dari sini, dia bisa membaca dengan jelas pesan di ponsel Haidar yang ada di atas meja. Lelaki itu mengambil ponselnya setelah menyeruput seteguk jus melon dingin.Kiran Zarina bekerja sebagai Account Officer salah satu Bank Syariah. Bulan depan, dia genap berusia tiga puluh dua tahun. Karena tuntutan pekerjaan, Kiran selalu tampil modis. Hal itu terbawa hingga kehidupannya sehari-hari. Seperti hari ini, dia mengenakan blus coklat tua yang dipadukan dengan celana bahan dan hijab beige. Perpaduan warna yang terlihat sangat cocok dengan kulit putihnya.Kiran memiliki mata hitam yang tajam, hidung mancung, wajah lonjong telur dengan bibir kecil dan tipis yang membuatnya terlihat sangat manis kalau sedang tersenyum. Riasan wajah natural membuat wajahnya selalu tampak segar. Sebagai karyawan Bank, Kiran selalu menjaga tubuh tetap langsing sehingga proporsional dengan tingginya, 173 sentimeter."Jadi, bagaimana?""Apanya yang bagaimana?" Kiran mengerutkan kening mendengar pertanyaan Haidar. Dia berdecak pelan saat lelaki itu memasukkan ponselnya ke celana dan seperti bersiap akan segera pergi."Apa Bank bisa memberiku pinjaman modal usaha seperti yang kuajukan di proposal? Kau urus saja masalah termin pencairannya, Kiran. Aku ikut skema yang kalian berikan.""Data yang Bapak berikan ….""Mas.""Hah?""Panggil Mas saja.""Maaf, saya bekerja secara profesional. Saya menemui Bapak sebagai nasabah kami." Kiran mengepalkan tangan di bawah meja. Dia berusaha mengendalikan hatinya yang kebat-kebit. Tak dapat dipungkiri jantungnya berdegup kencang melihat tatapan teduh dan senyum di wajah Haidar."Dokumen yang Bapak berikan masih ada kekurangan. Izin lokasi, peil banjir dan hasil tes air bersih masih belum dilengkapi. Saya bisa mengajukan ke pimpinan jika semua dokumen legal sudah terpenuhi.""Gampang itu, Ran." Haidar terkekeh. "Semua sudah lengkap, aku lupa membawanya karena beda map. Kapan kita bisa bertemu lagi?"Kiran mengeluh dalam hati. Setiap janji pertemuan, selalu ada saja kekurangan dokumen yang sepertinya sengaja Haidar tinggalkan. Ini pertemuan ketiga sejak awal lelaki itu mengajukan pembiayaan. Hal yang biasa sebenarnya bertemu beberapa kali dengan calon nasabah untuk melengkapi persyaratan. Namun, Haidar bukan nasabah biasa. Itu masalahnya."Nanti saya ambil saja ke kantor Bapak. Sekalian melihat lokasi perumahan dan progres pembangunan rumah contoh.""Ok." Haidar mengangguk dan tersenyum. Dia menarik napas panjang. Kiran selalu menjadi candu baginya. Setiap pertemuan memberikan kebahagiaan tersendiri. Itulah sebabnya dia sengaja mengulur waktu untuk melengkapi dokumen pengajuan pinjaman agar bisa kembali berjumpa.Ah … andai bisa memutar waktu, Haidar akan merengkuh Kiran sekuat tenaga. Dia tidak akan membiarkan wanita yang namanya masih terpatri di singgasana tertinggi perasaannya itu pergi. Bahkan, hingga tiga tahun berlalu, dia menyadari cintanya masih utuh untuk Kiran.Kiran menarik napas lega saat ponsel Haidar berdering. Dia merasa sedikit kikuk karena mantan suaminya terus memandangi wajahnya dengan tatap memuja. Kiran tahu persis, cinta itu masih utuh untuknya."Raya pendarahan?"Kiran tersentak mendengar suara panik Haidar. Dia menahan napas saat melihat wajah lelaki dengan rahang tegas itu memucat."Rumah sakit mana? Aku segera meluncur kesana."Kiran menatap Haidar dengan mata bertanya, bibirnya tidak bisa mengeluarkan sepatah katapun. Ketakutan mendadak memenuhi hati Kiran. Bayangan Raya yang bersimbah darah beberapa tahun lalu berkelebat di matanya."Boleh aku pergi sekarang, Ran?" Suara Haidar bergetar. Kekhawatiran jelas terpancar dari mata teduh itu."Pergilah, urusan pengajuan pinjaman bisa dibahas lain kali. Titip salam untuk Bapak dan Ibu. Semoga Raya dan kandungannya baik-baik saja.""Terima kasih." Suara Haidar tercekat. "Dulu aku sangat panik, Ran." Haidar tersenyum tanggung.Kiran menautkan alis. Dia tidak mengerti maksud ucapan Haidar."Andai dulu aku meminta izin untuk merawat Raya setelah keguguran yang pertama, mungkin saat ini kita masih bersama ….""Pergilah, Mas.""Ran ….""Bagiku, kita hanya masa lalu. Pertemuan kita akhir-akhir ini murni karena pekerjaan.""Maaf."Haidar akhirnya bangkit saat Kiran tak menjawab ucapannya. Wanita itu dengan tegas telah menarik batasan yang jelas di antara mereka. "Berkunjunglah sesekali, itu akan membuat Raya tak terlalu merasa bersalah."Kiran menatap kepergian Haidar dengan mata berkaca. Sungguh, jauh di dalam sana dia masih menyimpan cinta. Tiga tahun Kiran berjuang melupakan semua cerita tentang mereka. Namun, dia tahu pasti hatinya belum pergi. Getaran itu masih sama. Andai dia tidak sadar posisi, Kiran bahkan masih bisa tenggelam saat menatap mata teduh Haidar."Raya …." Kiran berbisik lirih. Bayangan mantan madunya yang sedang duduk di kursi roda melintas di ruang ingatan.Raya Velisha, wanita itu biasa saja jika dibandingkan dengan dirinya. Ditambah kakinya yang tidak berfungsi sejak lahir, membuat Raya tak ada apa-apanya saat disandingkan dengan Kiran.Raya memiliki wajah bulat dengan tubuh mungil. Jika bersebelahan, tinggi Raya hanya sebatas dada Kiran. Alisnya tebal dengan hidung yang tidak terlalu mancung. Bibir Raya kecil dan penuh dengan kulit sawo matang khas perempuan Indonesia.Ah … andai kehidupan tak sekejam itu pada mereka. Pasti saat ini Raya dan Kiran masih menjadi sahabat dekat. Namun, tak semua hal bisa dibagi. Apalagi jika itu menyangkut hati. Kiran memilih pergi saat perasaannya tak bisa lagi memberikan toleransi. Bagi wanita dengan segala kesempurnaan yang dia punya itu, seumur hidup terlalu lama jika harus menderita karena berbagi cinta.Berulang kali dia meneguhkan hati saat Haidar mati-matian mempertahankan pernikahan mereka. Lelaki itu bahkan bersimpuh di hadapannya saat di dalam ruang sidang perceraian. Membuat sahabat-sahabat dan keluarga yang datang terisak menahan sesak, hingga hakim memutuskan menjeda persidangan untuk memberikan kesempatan berpikir kembali.Namun, tekad Kiran sudah bulat. Bahkan permohonan dari kedua mertuanya tak mampu meruntuhkan keinginannya untuk berpisah. Tepat di hari pembacaan ikrar talak dilakukan sebagai tanda sah mereka tak lagi terikat pernikahan, detik itu juga kabar Raya kembali dilarikan ke rumah sakit terdengar.Haidar langsung berlari kencang. Lelaki yang tadi membacakan ikrar talak dengan suara bergetar hingga membuat yang hadir ikut merasakan sakit itu berlalu begitu saja di samping Kiran. Dia bahkan tak menoleh sedikitpun pada wanita yang sejak awal proses perceraian berusaha dia pertahankan mati-matian.Kiran terluka. Semua pernyataan cinta Haidar seolah menguap jika itu berhubungan dengan Raya. Perasaan sakit itu dia resapi dan nikmati agar bisa melupakan cinta sang mantan suami.Naas, tiga tahun berlalu. Dia belum juga bisa melepaskan belenggu masa lalu. Perasaan itu masih tersimpan rapi di dasar sanubari. Walau tak pernah Kiran ucapkan, tapi dia menyadari cinta itu masih utuh dia rasakan.Dering ponsel di tas membawa Kiran kembali dari kenangan masa lalu. Mobil Haidar telah lama meninggalkan kafe tempat mereka bertemu. Kiran mendesah, dia tak dapat menolak permintaan Haidar yang ingin berjumpa disini. Wanita itu tahu persis dia sudah menyalahi SOP. Biasanya, setiap ada nasabah yang mengajukan pengajuan pembiayaan, Kiran akan menemui di tempat usaha atau tempat kerja yang bersangkutan. Namun, Haidar bukan hanya sekedar nasabah. Itu masalahnya. "Halo, iya, Mas?" Alis Kiran bertaut saat mendengar serentetan tugas dari manajer marketing tempatnya bekerja. "Baik, Mas. Saya masih di luar, baru selesai prospect nasabah. Nanti sampai di kantor Kiran langsung buat ya." Kiran mematikan sambungan telepon saat atasannya itu selesai memberikan instruksi.Wanita bertubuh semampai itu langsung mengambil tas dan beranjak dari kafe. Seperti biasa, Haidar sudah membayar makan siang mereka hari ini. Gratifikasi, hal yang sangat Kiran hindari. Dia selalu menjaga diri dari jamuan-jamuan k
"Ray?" Haidar memegang tangan Raya yang masih belum sadarkan diri. Dingin. Tangan istrinya terasa dingin. Haidar terisak. Walau pandangannya buram karena air mata, dia masih bisa melihat wajah Raya yang pucat.“Bangunlah, Ray.” Haidar mencicit. Hatinya mendadak terasa sangat sakit mengingat perjuangan yang Raya lalui agar bisa mempersembahkan keturunan untuknya. “Tak apa, Mas. Mungkin jika Raya bisa melahirkan anak Mas, Mas bisa sedikit mencintai Raya. Semoga saja anak ini nanti bisa menjadi pengobat luka yang terus menganga di hati Mas Haidar sejak bercerai dari Karin.” Haidar tergugu mengingat ucapan Raya beberapa bulan yang lalu. Dia terkejut setengah mati saat istrinya itu memberikan hasil pemeriksaan USG yang menunjukkan janin di rahimnya yang sudah berusia sepuluh minggu.“Kamu hamil, Ray?” Suara Haidar bergetar. Tangan lelaki itu gemetar saat mengambil lembar hasil USG dari tangan Raya. Matanya berkaca, dia kehabisan kata. Antara khawatir dan bahagia, Haidar tak bisa mengekspr
Haidar memeluk lutut. Mendadak tubuhnya menggigil kencang. Dia menggigit bibir hingga terasa asin. Pernikahannya dengan Kiran berakhir di tahun ke empat. Akankah dia kembali kehilangan istri? Apakah Raya benar-benar akan meninggalkannya juga di tahun keempat pernikahan mereka?“Haidar! Astagfirullahaladzim, Naaaaak.” Ratna berlari ke dalam dan langsung menuntun anaknya Haidar. Dia sempat menoleh pada dokter dan perawat yang langsung menyiapkan tindakan untuk Raya.Di luar, Haidar membisu. Tatapan matanya kosong. Dia tidak memperdulikan sedikitpun gerakan gelisah sang Ayah yang berjalan mondar-mandir ke sana kemari. Sementara ibunya sejak tadi terus mengelus punggungnya untuk memberikan ketenangan.Haidar menyugar rambut dengan kasar. Perasaannya campur aduk. Baru saja dia mendengar kabar anak mereka telah tiada, kini dia harus menghadapi kenyataan Raya sedang bertarung dengan maut di dalam sana.Gelap.Mendadak pandangan Haidar menjadi hitam kelam. Telinganya berdenging seakan berada
“Mbak Kiran ya? Iiih benar, kan? Masya Allah tambah cantik aja.”“Numpang parkir ya, Bu.” Kiran tersenyum sopan pada Desi. Wanita itu merapikan motor agar selaras dengan kendaraan lain yang juga sedang parkir di sana. Dia menarik napas panjang saat menoleh ke samping, rumah yang dulu pernah menjadi tempat ternyamannya untuk pulang.Tempat itu terlihat ramai. Pakaian hitam menjadi penanda bahwa di sana sedang berduka. Bendera kuning berkibar tertiup angin sepoi-sepoi yang sedikit basah. Gerimis kecil membungkus kota itu sejak jam dua tadi.Sebagian besar pelayat adalah tetangga sekitar sana. Beberapa tamu dikenali oleh Kiran sebagai rekan kerja Haidar kala masih bekerja di salah satu kantor BUMN dulu. Beberapa lagi dia tak tahu, mungkin dari kenalan keluarga Raya.“Lama tak berjumpa, Mbak.” Desi menepuk pelan pundak Kiran yang sedang termangu menatap keramaian. Dalam balutan busana hitam, para pelayat terlihat muram. Tak ada canda tawa, hanya wajah kelam dan penuh duka yang menggelayut
Kiran melepas kacamata hitam yang dia gunakan. Titik-titik air hujan membuat buram penglihatannya. Gerimis terus membungkus bumi seakan enggan pergi. Andai ini hari-hari biasa, pastilah Kiran lebih memilih bergelung dengan selimut di atas kasur atau menepi sejenak dari kesibukan pekerjaan dengan menikmati semangkuk bakso hangat jualan Pakde Wiryo di samping kantor.Sayangnya, ini bukan hari biasa.Di tengah rinai hujan, kalimah tahlil mengiringi langkah sepanjang jalan menuju tempat pemakaman. Kiran mengusap wajah. Dia merapikan jilbabnya yang sedikit basah. Wanita itu menggigil. Bukan hanya karena bajunya yang lembab terkena rintik, tapi juga karena kenyataan bahwa kini dia sedang mengantar sahabat sekaligus mantan madunya ke tempat peristirahatan menuju keabadian.“Astaghfirullahaladzim, hati-hati, jalannya licin.” Kiran menoleh ke belakang. Beberapa pelayat tampak sibuk membantu temannya yang terpeleset barusan. “Sudah pulang kerja, Nak?”Kiran menoleh ke samping. Dia tidak menyad
Dapur itu ramai oleh suara tawa. Kiran sengaja membelikan jam tangan untuk Haidar karena miliknya hilang. Entah ketinggalan saat sedang wudhu atau jatuh dimana, Haidar tidak ingat persis kapan hilangnya.“Ah iya, jam berapa mau berangkat nanti malam, Mas?” Kiran mendadak teringat dengan pesan dari Ibu mertuanya kemarin malam. Mereka diminta datang untuk makan malam bersama. Ada teman lama yang hendak berkunjung.“Nanti sepulang Mas dari kantor kita langsung berangkat. Biar shalat maghrib di sana saja. Takut macet di jalan kalau berangkat habis maghrib. Tidak enak sampai tamu Ayah dan Ibu menunggu.”Kiran mengangguk setuju. Haidar memang selalu pulang setiap jam makan siang. Lokasi kantor yang hanya memakan waktu sepuluh menit perjalanan menggunakan sepeda motor membuatnya leluasa setiap jam istirahat tiba.Sayang, harapan kadang tak seiring dengan rencana. Haidar mendapat cukup banyak pekerjaan yang harus diselesaikan hari itu juga. Posisi tutup bulan membuat pekerjaan tak bisa ditund
“Masya Allah, merdu sekali suara adzan Mas Haidar.”Kiran menarik napas panjang saat mendengar beberapa pelayat memuji mantan suaminya. Dia mengakui Haidar memang memiliki suara yang bagus. Setiap kali mereka sedang shalat berjamaah di rumah, Kiran selalu terharu dan meneteskan air mata mendengar kalimah Allah dilantunkan. Ah … itu pula yang dulu menjadi alasan bapaknya menerima lamaran Haidar. Mereka baru dekat tiga bulan dan Haidar langsung mengajaknya ke pelaminan. Haidar sempat panas dingin saat bertemu untuk pertama kalinya dengan kedua orangtua Kiran dengan maksud langsung mengajukan pinangan.“Adzan isya’ baru selesai berkumandang, alangkah baiknya sebelum meneruskan pembicaraan ini kita menunaikan kewajiban terlebih dahulu.” Kiran ingat sekali, Haidar yang sudah panas dingin dengan cepat mengangguk saat itu.“Mari silakan, Nak Haidar.” Kiran tersenyum tipis mengingat wajah Haidar yang tidak mengerti saat bapaknya mempersilakan menjadi imam shalat mereka.“Saya, Pak?”“Iya, Ba
"Aku senang kamu sering kemari, Ran. Sejak kecil, aku jarang mempunyai teman dekat. Dulu ada satu orang, tapi dia pindah ke luar kota dan kami kehilangan kontak.”Kiran menautkan alis. Dia menghentikan kegiatan merajut dan menatap Raya yang masih asyuk terus menyulam. “Kamu memang jarang keluar rumah ya, Ray?”“Iya.” Raya mengangguk. “Aku takut kenapa-kenapa dan akan merepotkan banyak orang.”Kiran tersenyum tipis. Ini pertama kalinya Raya berbicara panjang lebar sejak perkenalan mereka. Biasanya, Raya hanya akan tertawa dan sesekali menanggapi jika Kiran bercerita. Pembawaannya yang riang dapat menghidupkan suasana di antara mereka.“Mbak Kiran? Pulang sekarang?”Kiran tersentak saat ada yang mencolek bahunya. Wanita itu tersenyum saat mengetahui Desi yang tadi memanggil. Dia mengangguk dan menoleh pada Ratna, mantan ibu mertuanya. Wanita itu tak melepaskan tangannya sedikitpun sejak berangkat tadi hingga sampai proses pemakaman selesai.“Bu, Kiran pamit.”“Pamit? Bisakah Kiran menem