Share

Belenggu Hati Mantan Suami
Belenggu Hati Mantan Suami
Author: Asda Witah busrin

BAB 1

"Mainlah ke rumah, Ran. Raya akan senang kalau kau mau sesekali berkunjung. Kehamilannya yang kedua ini lebih payah dari yang pertama. Mungkin kalau kau mau datang, dia akan sedikit lebih tenang."

Kiran tersenyum mendengar ucapan Haidar, mantan suaminya.

"In syaa Allah." Dia refleks meremas ujung baju. Rasa itu masih sama. Walau telah bercerai lama, Kiran masih merasakan sakit setiap kali Haidar menyebut nama Raya, wanita yang tiga tahun lalu menjadi alasannya memilih berpisah.

Ponsel Haidar berbunyi. Melalui ujung mata, Kiran bisa melihat layar ponsel itu menampilkan notifikasi pesan. Dia menarik napas dalam. Mantan suaminya itu belum berubah, ponselnya tidak pernah dikunci sehingga setiap ada pesan masuk langsung bisa terbaca dengan jelas di layar depan.

"Mas, pulang nanti tolong bawakan nasi goreng Pak Aji. Perutku kram lagi, aku tidak kuat masak."

Kiran menarik napas panjang. Dari sini, dia bisa membaca dengan jelas pesan di ponsel Haidar yang ada di atas meja. Lelaki itu mengambil ponselnya setelah menyeruput seteguk jus melon dingin.

Kiran Zarina bekerja sebagai Account Officer salah satu Bank Syariah. Bulan depan, dia genap berusia tiga puluh dua tahun. Karena tuntutan pekerjaan, Kiran selalu tampil modis. Hal itu terbawa hingga kehidupannya sehari-hari. Seperti hari ini, dia mengenakan blus coklat tua yang dipadukan dengan celana bahan dan hijab beige. Perpaduan warna yang terlihat sangat cocok dengan kulit putihnya.

Kiran memiliki mata hitam yang tajam, hidung mancung, wajah lonjong telur dengan bibir kecil dan tipis yang membuatnya terlihat sangat manis kalau sedang tersenyum. Riasan wajah natural membuat wajahnya selalu tampak segar. Sebagai karyawan Bank, Kiran selalu menjaga tubuh tetap langsing sehingga proporsional dengan tingginya, 173 sentimeter.

"Jadi, bagaimana?"

"Apanya yang bagaimana?" Kiran mengerutkan kening mendengar pertanyaan Haidar. Dia berdecak pelan saat lelaki itu memasukkan ponselnya ke celana dan seperti bersiap akan segera pergi.

"Apa Bank bisa memberiku pinjaman modal usaha seperti yang kuajukan di proposal? Kau urus saja masalah termin pencairannya, Kiran. Aku ikut skema yang kalian berikan."

"Data yang Bapak berikan …."

"Mas."

"Hah?"

"Panggil Mas saja."

"Maaf, saya bekerja secara profesional. Saya menemui Bapak sebagai nasabah kami." Kiran mengepalkan tangan di bawah meja. Dia berusaha mengendalikan hatinya yang kebat-kebit. Tak dapat dipungkiri jantungnya berdegup kencang melihat tatapan teduh dan senyum di wajah Haidar.

"Dokumen yang Bapak berikan masih ada kekurangan. Izin lokasi, peil banjir dan hasil tes air bersih masih belum dilengkapi. Saya bisa mengajukan ke pimpinan jika semua dokumen legal sudah terpenuhi."

"Gampang itu, Ran." Haidar terkekeh. "Semua sudah lengkap, aku lupa membawanya karena beda map. Kapan kita bisa bertemu lagi?"

Kiran mengeluh dalam hati. Setiap janji pertemuan, selalu ada saja kekurangan dokumen yang sepertinya sengaja Haidar tinggalkan. Ini pertemuan ketiga sejak awal lelaki itu mengajukan pembiayaan. Hal yang biasa sebenarnya bertemu beberapa kali dengan calon nasabah untuk melengkapi persyaratan. Namun, Haidar bukan nasabah biasa. Itu masalahnya.

"Nanti saya ambil saja ke kantor Bapak. Sekalian melihat lokasi perumahan dan progres pembangunan rumah contoh."

"Ok." Haidar mengangguk dan tersenyum. Dia menarik napas panjang. Kiran selalu menjadi candu baginya. Setiap pertemuan memberikan kebahagiaan tersendiri. Itulah sebabnya dia sengaja mengulur waktu untuk melengkapi dokumen pengajuan pinjaman agar bisa kembali berjumpa.

Ah … andai bisa memutar waktu, Haidar akan merengkuh Kiran sekuat tenaga. Dia tidak akan membiarkan wanita yang namanya masih terpatri di singgasana tertinggi perasaannya itu pergi. Bahkan, hingga tiga tahun berlalu, dia menyadari cintanya masih utuh untuk Kiran.

Kiran menarik napas lega saat ponsel Haidar berdering. Dia merasa sedikit kikuk karena mantan suaminya terus memandangi wajahnya dengan tatap memuja. Kiran tahu persis, cinta itu masih utuh untuknya.

"Raya pendarahan?"

Kiran tersentak mendengar suara panik Haidar. Dia menahan napas saat melihat wajah lelaki dengan rahang tegas itu memucat.

"Rumah sakit mana? Aku segera meluncur kesana."

Kiran menatap Haidar dengan mata bertanya, bibirnya tidak bisa mengeluarkan sepatah katapun. Ketakutan mendadak memenuhi hati Kiran. Bayangan Raya yang bersimbah darah beberapa tahun lalu berkelebat di matanya.

"Boleh aku pergi sekarang, Ran?" Suara Haidar bergetar. Kekhawatiran jelas terpancar dari mata teduh itu.

"Pergilah, urusan pengajuan pinjaman bisa dibahas lain kali. Titip salam untuk Bapak dan Ibu. Semoga Raya dan kandungannya baik-baik saja."

"Terima kasih." Suara Haidar tercekat. "Dulu aku sangat panik, Ran." Haidar tersenyum tanggung.

Kiran menautkan alis. Dia tidak mengerti maksud ucapan Haidar.

"Andai dulu aku meminta izin untuk merawat Raya setelah keguguran yang pertama, mungkin saat ini kita masih bersama …."

"Pergilah, Mas."

"Ran …."

"Bagiku, kita hanya masa lalu. Pertemuan kita akhir-akhir ini murni karena pekerjaan."

"Maaf."

Haidar akhirnya bangkit saat Kiran tak menjawab ucapannya. Wanita itu dengan tegas telah menarik batasan yang jelas di antara mereka. "Berkunjunglah sesekali, itu akan membuat Raya tak terlalu merasa bersalah."

Kiran menatap kepergian Haidar dengan mata berkaca. Sungguh, jauh di dalam sana dia masih menyimpan cinta. Tiga tahun Kiran berjuang melupakan semua cerita tentang mereka. Namun, dia tahu pasti hatinya belum pergi. Getaran itu masih sama. Andai dia tidak sadar posisi, Kiran bahkan masih bisa tenggelam saat menatap mata teduh Haidar.

"Raya …." Kiran berbisik lirih. Bayangan mantan madunya yang sedang duduk di kursi roda melintas di ruang ingatan.

Raya Velisha, wanita itu biasa saja jika dibandingkan dengan dirinya. Ditambah kakinya yang tidak berfungsi sejak lahir, membuat Raya tak ada apa-apanya saat disandingkan dengan Kiran.

Raya memiliki wajah bulat dengan tubuh mungil. Jika bersebelahan, tinggi Raya hanya sebatas dada Kiran. Alisnya tebal dengan hidung yang tidak terlalu mancung. Bibir Raya kecil dan penuh dengan kulit sawo matang khas perempuan Indonesia.

Ah … andai kehidupan tak sekejam itu pada mereka. Pasti saat ini Raya dan Kiran masih menjadi sahabat dekat. Namun, tak semua hal bisa dibagi. Apalagi jika itu menyangkut hati. Kiran memilih pergi saat perasaannya tak bisa lagi memberikan toleransi. Bagi wanita dengan segala kesempurnaan yang dia punya itu, seumur hidup terlalu lama jika harus menderita karena berbagi cinta.

Berulang kali dia meneguhkan hati saat Haidar mati-matian mempertahankan pernikahan mereka. Lelaki itu bahkan bersimpuh di hadapannya saat di dalam ruang sidang perceraian. Membuat sahabat-sahabat dan keluarga yang datang terisak menahan sesak, hingga hakim memutuskan menjeda persidangan untuk memberikan kesempatan berpikir kembali.

Namun, tekad Kiran sudah bulat. Bahkan permohonan dari kedua mertuanya tak mampu meruntuhkan keinginannya untuk berpisah. Tepat di hari pembacaan ikrar talak dilakukan sebagai tanda sah mereka tak lagi terikat pernikahan, detik itu juga kabar Raya kembali dilarikan ke rumah sakit terdengar.

Haidar langsung berlari kencang. Lelaki yang tadi membacakan ikrar talak dengan suara bergetar hingga membuat yang hadir ikut merasakan sakit itu berlalu begitu saja di samping Kiran. Dia bahkan tak menoleh sedikitpun pada wanita yang sejak awal proses perceraian berusaha dia pertahankan mati-matian.

Kiran terluka. Semua pernyataan cinta Haidar seolah menguap jika itu berhubungan dengan Raya. Perasaan sakit itu dia resapi dan nikmati agar bisa melupakan cinta sang mantan suami.

Naas, tiga tahun berlalu. Dia belum juga bisa melepaskan belenggu masa lalu. Perasaan itu masih tersimpan rapi di dasar sanubari. Walau tak pernah Kiran ucapkan, tapi dia menyadari cinta itu masih utuh dia rasakan.

Comments (2)
goodnovel comment avatar
cataleyaa
salah...kiran tidak sesempurna itu...agak bego sih...udah direndahkan tapi ga move on..helooo...ga usah ngaku sempurna dibanding raya klo masih bego kir...buktinya raya yg fisiknya kamu anggap cacat menang telak drpd mu...
goodnovel comment avatar
Nur Janah
ya Alloh KK aku ikut nyesek bacanya, apa yang sebenarnya terjadi dulu sampai Haidar menikahi Raya????
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status