Aku membuka mataku dengan sebuah senyuman. Bagaimana tidak, bertemu dengan Evan dan mengetahui kepindahan lelaki itu ke depan rumahku adalah salah satu kejutan terbesar tahun ini. Aku menaruh tangan di atas dada sebelah kiriku dan merasakan degupan jantungku kala membayangkan kembali suara, tatapan dan senyuman Evan kemarin.
"Sungguh indah ciptaanmu Tuhan," gumamku menggambarkan sosok Evan.
Aku segera bangkit dari tempat tidur. Biasanya untuk hari senin, selasa dan rabu, diriku merasa tidak terlalu bersemangat. Selain akhir pekan yang masih lama, pelajaran pada hari-hari itu juga berat. Namun melihat tanggal di kalender yang menunjukkan hari rabu, rasanya tidak semengerikan minggu-minggu kemarin.
Setelah mandi dan berpakaian lengkap, aku mengambil tas ransel berwarna merah polos yang semalam kuganti dengan tas ransel dengan motif bunga.
"Selamat pagi," sapaku kepada ayah dan Kanaya yang telah berada di depan meja makan.
"Kiran, cepetan duduk. Ayahmu bisa terlambat ke rumah sakit," ujar ibu membuatku segera melakukannya.
Kanaya mulai memakan nasi goreng dengan sebelah tangan masih sibuk memegang ponsel. Aku bisa melihat bagaimana perempuan itu begitu terburu-buru seperti biasanya.
"Oh sudah ada teman di luar." Kanaya bangkit, lalu meminum segelas air putih. "Aku pergi duluan," ujarnya sambil berjalan cepat menuju bagian depan.
Aku hanya menggelengkan kepala, kulirik ayahku yang tampak berusaha menghabiskan nasi goreng di depannya. "Ayah, jadi Kak Evan sudah ada di rumah depan?" tanyaku pelan.
Tanaka, ayahku menatapku sekilas. "Belum, nanti sore baru datang beserta perabotan rumahnya."
Ibuku menggantikan Kanaya untuk duduk. "Kalau begitu kita undang saja Evan untuk makan malam bersama," ujarnya membuat mataku sukses membulat.
"Benar, benar. Pasti Kak Evan lelah habis berbenah," ujarku kemudian melanjutkan makanku seolah sekadar berkata setuju.
Kulirik ayah tampak berpikir sejenak. "Baiklah, nanti aku coba hubungi dia."
Yes! Sorakan dalam diriku tidak terbendung lagi.
Kak Evan bakal datang ke rumah. Pikiran itu terus bersarang dalam kepalaku, bahkan hingga aku telah sampai di sekolah.
"Daritadi senyum sendiri, lagi bahagia ya?" Ruri datang sambil mengemut permen kaki setelah masuk ke kelas.
Aku yang begitu tiba di sekolah hanya duduk bertopang dagu di dalam kelas. "Enggak, kulihat tasmu sudah ada. Darimana aja?"
Ruri yang berdiri di depan mejaku mengubah posisinya dengan duduk di sebelahku. "Oh itu, bahas serial drama terbaru."
"Drama Korea?" tanyaku memastikan.
"Bukan, bukan. Tapi drama TV Amerika gitu, entar malam nonton yuk di rumahku, sekalian kerja tugas matematika," ajak Ruri menyenggol lenganku.
Aku menoleh menatapnya sambil tersenyun lebar. "Enggak bisa, nanti malam ada tamu spesial."
Alis Ruri terangkat bingung. "Siapa? Keluarga jauh."
"Ada deh," balasku sok misterius. Aku belum ingin cerita apa-apa soal Evan kepada Ruri. Nanti setelah aku dan Evan telah bersama untuk beberapa waktu.
Bel tanda apel pagi kemudian membuat mood-ku sedikit terganggu. Pasalnya rutinitas setiap pagi itu hampir sama halnya dengan upacara. Bedanya aku masih bisa memaklumi upacara yang diadakan satu kali seminggu sebagai tanda penghormatan kepada pahlawan yang telah berjuang demi kemerdekaan. Namun apel pagi berbeda, kegiatan itu seolah menguras setengah dari tenaga tubuhku.
"Eh, eh tahu gak Tia? Katanya pacaran sama mahasiswa semester lima loh."
Barisan antar kelas yang berdempet membuatku dengan mudah mendengar obrolan dari murid kelas lain. Terutama para murid perempuan yang senang berbisik-bisik bahkan ketika seorang guru sedang memberikan petuahnya.
"Gila, itu sih sudah tahun ketiga kuliah. Gak ketuaan buat Tia."
"Aku juga pernah bilang gitu sama dia. Tapi katanya Tia pacaran sama yang lebih dewasa itu bikin nyaman. Lebih perhatian, pengertian dan kalau cemburu katanya gemesin gitu."
Aku tersenyum diam-diam mendengarkan percakapan mereka. Tanpa sadar, aku mulai membayangkan bagaimana jika berkencan dengan Evan. Apakah lelaki itu juga akan perhatian padaku?
Akhirnya sepanjang apel pagi hari itu, aku hanya bisa memasang kuping agar bisa mendengar obrolan mereka dengan jelas. Terutama fakta bahwa Tia duluan yang berjuang untuk bisa pacaran dengan mahasiswa tersebut. Belum sempat mereka bicara tentang cara Tia menaklukkan lelaki itu, namun apel pagi telah selesai dilakukan.
Aku pun langsung mengeluarkan ponselku dan menuju ke aplikasi laman pencarian dan mengetikkan sesuatu di sana.
Cara membuat pria yang lebih tua jatuh cinta.
Bibirku tak henti-hentinya melengkung ke atas mana kala mulai membaca satu per satu artikel yang ada.
"Hei."
Namun hal tersebut harus terusik oleh seruan seseorang yang membuatku hampir masuk ke dalam kelas, menjadi terhenti dan memandang ke depan.
"Deril?" seruku mengernyit melihatnya berjalan ke arahku. Membuat perhatian teman satu kelasku, maupun murid lain yang lewat menjadi memandangku ataupun Deril.
"Ada apa?"
Deril menghela napas singkat. "Buku catatan fisikaku," ujarnya membuka telapak tanganku.
Sebelah tanganku menutup mulut, sedangkan satunya lagi masih memegang ponsel. "Aku lupa. Bukan, ketinggalan di tasku yang satunya. Semalam aku mengganti tas," balasku berkata jujur sekaligus mengingat buku milik Deril tersebut.
Aku memang tidak lagi mengeluarkan barang-barang dari tasku
Kulihat mata Deril terbelalak. "Apa? Kau bilang akan membawanya hari ini."
Aku mendengus pelan. "Ya namanya juga lupa. Terus gimana dong?"
Deril menyeringai sesaat. Membuat perasaanku seketika tidak nyaman. "Kalau begitu aku akan mencatatnya pada kertas biasa, jadi … kau akan mencatat ulang ke buku catatanku padamu."
"Apa!"
Suaraku sedikit keras saat memprotes ucapan Deril. Aku saja kadang terlalu malas untuk mencatat contoh soal pada papan tulis, apalagi menuliskan catatan orang lain. Mataku kemudian melebar begitu Ruri berjalan ke arah kami.
"Kau harus bertanggungjawab atas apa yang kau katakan kemarin, ingat janjimu," ujar Deril yang mungkin telah didengar oleh Ruri.
Aku memasang senyuman palsu. "Okay, aku akan melakukan. Kau boleh kembali ke kelasmu, karena sebentar guru juga akan datang," balasku lalu menarik tangan Ruri.
Dan bisa dibayangkan bagaimana hariku selama di kelas yang selalu dilempar pertanyaan oleh Ruri seputar hubunganku dengan Deril.
Aku mengira ucapan Deril hanya isapan jempol belaka. Namun ternyata aku salah, lelaki itu kini berdiri di depan kelasku dengan wajah datarnya. Sepertinya kelasnya selesai terlebih dahulu. Yang membuatku kini menghela napas panjang adalah lirikan teman satu kelasku yang seolah menegaskan bahwa aku dan Deril memiliki semacam hubungan spesial.
Begitu bel pulang berbunyi dan guru keluar dari kelas. Segera aku berjalan keluar menuju Deril, sebelum teman satu kelasku, utamanya yang laki-laki akan bersiul menggoda kami.
"Mana kertasnya?" Aku membuka telapak tanganku terburu-buru.
"Kau tidak ingin kuantar pulang lagi?" balasnya sambil mengeluarkan tiga lembar penuh catatan.
Aku merebut dari tangan Deril dengan cepat, lalu memasukkannya ke dalam tasku. "Tidak, makasih ajakannya. Besok akan aku kembalikan, bye."
Aku berjalan dengan cepat sebelum Ruri akan mencecarku dengan pertanyaan lagi. Taksi daring menjadi pilihanku untuk pulang sekolah. Untung saja bayangan wajah Evan membuat pikiranku teralihkan. Aku segera melanjutkan membaca artikel yang sempat kutinggalkan tadi, karena kedatangan Deril. Waktupun berlalu tanpa terasa, hingga aku telah sampai di depan rumah.
Pukul tiga sore, aku melirik sekilas rumah yang berada persis di depan rumahku yang tampak masih kosong, berarti Evan belum datang berbenah. Tidak ingin lelaki itu melihatku dengan keadaan kucel sepulang sekolah seperti sekarang membuatku segera masuk ke kamar.
Aku yang biasanya akan mandi sore pada sekitar jam lima, kini telah menuju kamar mandi. Salah satu tips dari artikel yang kubaca adalah bahwa pria yang sudah dewasa akan menyukai perempuan yang bersih dan wangi.
"Loh?" Ibuku bahkan heran melihatku telah berganti pakaian dengan wajah cerah sehabis mandi.
"Kiran mandi cepat, soalnya gerah banget. Ibu lagi masak?" ujarku dengan sebuah alasan klasik. Aku berjalan menuju kulkas untuk mengambil segelas air dingin.
"Iya lagi persiapin bahannya, kan mau undang Evan nanti buat makan malam bareng. Ayahmu juga mau ajak dia ngopi dan cerita tentang sahabatnya," balas ibuku menjelaskan.
Aku tersenyum mendengarnya. Namun bayangan Deril melintas dalam pikiranku mengenai kertas yang diberikannya tadi membuatku menggerutu dalam hati. Dengan berbagai pertimbangan, akhirnya aku memutuskan untuk mengerjakan catatan Deril sambil menunggu datangnya makan malam.
Mengapa hal tersebut kulakukan? Karena aku tidak ingin melewatkan momen sedikitpun dengan Evan dengan harus mengerjakan catatan Deril pada malam hari nanti. Untuk mempermudah pemantauanku terhadap kedatangan Evan di rumah depan, aku bahkan membawa kertas, buku catatan Deril dan tempat pensilku ke ruang tamu.
Ketika aku melihat kertas yang berisikan tulisan Deril, seketika diriku terdiam sesaat. Kenapa tulisan lelaki itu begitu bagus? Seolah seperti hasil ketika font yang terdapat pada aplikasi pengolah kata. Namun aku tidak ingin memikirkannya lebih jauh untuk bisa segera menuntaskannya.
Tepat hampir sejam setelah aku menulis, namun catatan yang sebagian besar berisikan rumus dan angka tersebut, belum juga selesai. Aku bahkan lupa untuk mengintip melalui jendela ruang tamu untuk melihat apakah rumah depan sudah kedatangan Evan atau belum.
Cklek!
Aku mendengar suara pintu terbuka. Ah, pasti ayah baru saja pulang. Aku segera bangkit dan berdiri akan menyambutnya. Namun mataku melebar begitu melihat sosok Evan yang datang. Aku melirik jam dinding dan masih menunjukkan pukul lima sore lewat beberapa menit, apa ini? Bahkan masih ada dua jam sebelum makan malam.
"Kak Evan," seruku pelan.
Evan tersenyum singkat. "Tadi Om Tanaka menghubungiku untuk bisa menunggu di sini, lagipula rumah masih kotor. Rencana nanti mau panggil orang buat bersihinnya."
"Oh, kalau begitu silakan duduk di sini." Tunjukku pada sofa depanku. Namun Evan malah duduk di sofa bagian belakangku. Sofa yang kubelakangi ketika duduk melantai sambil mencatat tadi.
"Lagi belajar ya?" komentarnya melihat buku di atas meja.
Aku hanya tersenyum kikuk, lalu menutup buku catatan. Namun tersadar akan sesuatu, nama Deril terlihat dan kulihat Evan telah membacanya!
Tangan Evan bergerak mengambil selebaran kertas berisi tulisan Deril. "Pindahin?" ujarnya melirikku. "Nama pacarnya Deril? Baik sekali mau mencatatkannya."
Aku menegak saliva. "Tidak, bukan. Aku … hanya membantu. Soalnya aku lupa kembaliin bukunya jadi dia catat di kertas itu," balasku membantah.
Namun Evan hanya terkekeh pelan. "Indah ya masa SMA? Kapan jadiannya?"
Eh, kok bisa begini sih? Kenapa juga Evan harus datangnya sekarang, belum jam makan malam juga.
***
Tips yang kedua, cobalah mencari tahu kesukaan atau hobinya agar komunikasi kalian berjalan lancar.Aku menatap layar ponselku, melanjutkan membaca artikel kemarin. Tips yang pertama bisa dibilang cukup berhasil. Buktinya, Evan secara sukarela duduk di sebelahku ketika makan malam. Artinya, dari segi penampilanku tidak masalah bukan?Yang menjadi masalah tadi malam adalah ayah yang lebih banyak bertanya kepada Evan soal kehidupan lelaki itu. Namun karena hal itu, aku mengetahui bahwa Evan hanya memiliki kakak laki-laki bernama Damian yang sekarang bekerja di luar negeri."Kiran, sarapannya dimakan dulu," ujar ibuku membuatku sadar bahwa sekarang aku sedang berada di meja makan."Kan selalu juga gitu si Kiran." Suara Kanaya membuatku menatap tajam kakak perempuanku yang sedang asyik mengunyah sosis dalam mulutnya."Oh ya, Kak Evan yang tinggal di rumah depan kenapa bisa pindah ke sana?" tanya Kanaya membuatku ikut penasaran. Maklum saja, di
"Eh tumben jam segini udah bangun," komentar Kanaya sedang duduk melantai di atas karpet pada ruang tengah.Aku memutar bola mataku malas, berjalan terus menuju dapur untuk mengambil secangkir teh yang ada dalam poci yang sudah mulai dingin. Memang benar bahwa bangun pagi pada akhir pekan adalah sesuatu yang langkah bagiku."Kau juga tumben," balasku duduk di sofa yang terdapat di belakang Kanaya. Bahkan kakak perempuanku itu memakai sofa untuk bersandar.Kanaya menghela napas sejenak. "Kau akan mengerti jika sudah tamat SMA nanti," ujarnya kemudian menggerakkan tangan di atas keyboard laptop miliknya.Aku bisa melihat Kanaya sedang sibuk mengerjakan tugas kuliahnya dalam bentuk powerpoint. Wajahnya yang serius dengan cokelat di atas meja untuk memperbaiki suasana hati perempuan itu."Selamat pagi Ayah," sapaku melihat ayah keluar dari kamar dengan memakai baju kaus dan celana olahraga pendek."Oh pagi Kiran. Kenapa sudah bangun?" t
Sudah hampir dua minggu sejak Evan pindah rumah. Namun kedekatanku dengannya masih sebatas melempar senyum dan salam jika tidak sengaja berpapasan di luar pagar.Aku mengakui bagaimana sibuknya lelaki itu bekerja. Setidaknya itulah yang kutangkap setelah memperhatikan Evan selama beberapa hari belakangan ini. Dia akan berangkat bekerja kurang lebih sama seperti diriku yang berangkat ke sekolah, hanya saja lelaki itu pulang sebelum petang.Melihat rutinitasnya berangkat dan pulang kerja secara teratur mengingatkanku akan ucapan Evan tempo hari yang berkata bahwa lelaki itu perfeksionis."Haafhh.""Kenapa Ki?" tanya Ruri memandangku bingung.Kami sedang berada di kafe pada salah satu pusat perbelanjaan. Rasa haus yang mendera setelah mengunjungi beberapa tempat les untuk masuk ke perguruan tinggi membuatku berakhir dengan segelas milk brown sugar."Enggak, bingung aja nanti mau ambil jurusan apa," ujarku mengatakan hal yan
Perkataanku yang ceroboh membuat situasiku untuk dekat dengan Evan malah menjadi penuh kecanggungan. Aku merutuki diriku yang terlalu terbawa suasana ketika lelaki itu menepuk kepalaku."Argghhh!""Apa otakmu sedang error sehingga mengeluarkan suara sumbang seperti itu?"Ucapan sarkastik Kanaya memaksa kepalaku menoleh menatapnya yang sedang asyik menikmati siaran Netflix dengan camilan tortilla chips andalannya.Jika Kanaya sedang duduk di sofa depan televisi di ruang tengah, maka aku berada di sofa dekat dinding dengan posisi berbaring.Aku tentu saja berusaha mengabaikan ucapan Kanaya dan memilih fokus menatap ponselku. Mendekati Evan dalam dunia nyata, tampaknya akan sedikit sulit. Mengingat kesan terakhirku yang kurang menampakkan sisi anggun dan polosnya diriku. Oleh karena itu, aku berencana untuk mengulik sisi Evan melalui dunia maya.Pertama aku mencari media sosialnya dan seperti generasi modern saat ini,
Berstatus murid kelas tiga SMA membuat tubuh dan pikiranku benar-benar lelah. Banyaknya tugas, materi kelas tambahan dan mengikuti simulasi ujian membuatku ingin segera merebahkan tubuhku di atas tempat tidur.Namun apa daya kini aku malah menatap jengah kepada kumpulan murid laki-laki yang ributnya minta ampun. Aku yang selesai makan siang di kantin berniat menghabiskan waktu istirahat dengan meletakkan kepalaku di atas meja sambil memejamkan mata harus gagal.Aku melirik Ruri mulai bergabung dengan murid laki-laki tersebut. Helaan napas langsung keluar dari hidung dan mulutku. Aku tetap meletakkan kepalaku di atas meja, dengan memakai sebelah tanganku sebagai bantalan.Aku memiringkan kepalaku seraya merogoh saku rok abu-abu yang kupakai untuk mengeluarkan ponselku. Tentu saja tidak ada hiburan lain saat ini selain berselancar di dunia maya.Namun mataku melebar begitu melihat pertama kali instastory Evan yang sejak beberapa hari lalu kuikut
"Jadi kau akan menyerah kepada Kak Evan?" tanya Deril dengan suara penasaran. Ini bermula dari cuitan twitter yang kulakukan pagi ini. Sejak kapan juga Deril mengikutiku di twitter? Aku memang tidak memperhatikan orang yang mengikutiku, karena jumlahnya bisa puluhan dengan username yang aneh dan unik."Apa ya, aku belum berjuang, tetapi sudah dipatahkan beberapa kali oleh ucapan dan tindakan Kak Evan yang memang sepertinya tidak memberi ruang di hatinya dengan kehadiranku," balasku berkaca pada realitas yang ada.Saat ini kami berdua sedang berada di pinggir lapangan basket ketika jam istirahat sedang berlangsung, di mana murid lainnya sedang berlalu-lalang. Pasalnya untuk bisa ke kantin harus melewati lapangan basket yang juga berdekatan dengan lapangan futsal.Kudengar suara kekehan Deril. "Yakin nih? Padahal aku ada rencana bertemu dengan Kak Evan untuk berdiskusi tentang pelajaran fisika."Aku menoleh menatapnya. "Bahkan jika kau mengajakku b
Aku kembali menulis usaha perjuanganku pada notebook yang kubeli dulu ketika mengunjungi toko buku bersama Ruri.Senyum seolah tidak mau beranjak dari bibirku kala melirik dua buah tiket yang terletak di atas meja belajarku. Namun hal itu terganggu begitu ponselku berbunyi, tanda notifikasi bahwa sebuah pesan masuk.Aku meletakkan pulpen yang kupegang, lalu menggantinya dengan ponsel. Kulihat pesan itu dari Ruri.Ruri : Kiraaaan!Kiran : Apaan sih?Ruri : Hehe, PR Kimia tentang Logam Alkali sudah selesai?Aku mengernyitkan dahi, bisa menebak apa niat Ruri berkata seperti itu.Kiran : Sudah dong, tapi gak bisa diintip.Ruri : Eh kok gitu, aku beri imbalan deh.Kiran : Gak tertarik.Ruri : Yakin?Tidak lama kemudian setelah pesan terakhir Ruri, dia mengirimiku sebuah gambar foto. Sebuah tiket untuk masuk ke rumah hantu.Ah Ruri, tahu saja kalau aku sedang penasaran sama wahana ru
08538908*** : Ini aku Evan. Besok kita berangkat jam sepuluh.Aku yang baru saja akan tidur, ketika membaca pesan dari nomor yang tidak tersimpan, tetapi begitu membaca nama Evan, hatiku menolak untuk tidak bersorak kegirangan."Assa!" Aku mengangkat kepalan tangan dengan wajah semringah.Aku mencoba membalasnya akan terdengar semanis dan selembut mungkin. Namun sebelumnya aku menyimpan nomor lelaki itu dengan nama Kak Evan♡.Aku cekikikan sendiri membaca tanda love pada nama kontak yang kubuat. Lalu beralih memikirkan balasan yang bisa membuat obrolan kami tidak terputus.Kiran : Kalau boleh tahu, Kak Evan lagi apa sekarang?Aku menggigit kuku jempolku setelah mengirim pesan tersebut. Kurang dari semenit balasan dari lelaki itu sudah datang.Kak Evan♡ : Kerja laporan.Aku berdecak lidah, karena balasan singkat tersebut. Namun Evan malah tidak balik bertanya tentang kegiatanku. Bangkit dari tempat tidur, aku meli
"Kalian berangkat saja. Evan sudah mempersiapkan segalanya seperti ini," ujar ibuku setelah aku memberitahu tentang rencana bulan madu yang telah dipersiapkan oleh Evan.Namun aku masih khawatir akan satu hal, yaitu Karin. "Tapi ini bukan libur sekolah.""Karin biar aku dan ayahmu yang jaga. Antar dia ke sekolah dan juga menjemputnya. Lagipula Kanaya dan Kenzo akan datang akhir pekan ini, jadi Karin tidak akan begitu kesepian," balas ibu telah menebak bahwa aku berniat mengikutsertakan Karin ke rencana bulan madu yang Evan susun sebelumnya."Benarkah?" Aku sebenarnya tidak ragu bahwa Karin akan melarang kami, karena anak perempuan itu sudah terbiasa
Setiap orang memiliki harapan.Awalnya aku meragukan kalimat tersebut, hingga sampai aku bisa kembali duduk, berjalan dan bahkan berlari. Bentuk fisikku juga mulai kembali seperti layaknya wanita berusia dua puluhan tanpa kekurangan apapun. Bukan usaha yang mudah dan waktu yang singkat. Setidaknya satu tahun membuatku mencoba menggenggam harapan itu agar semakin nyata."Kau menyukai tempat ini?" Suara Evan membuat lamunanku buyar."Ya?"Evan terkekeh kecil. "Aku mengajakmu melihat calon hunian baru kita dan kau mengkhayal?"
Author POV-------------------------------------------------------------------Pada sebuah toko buku di pusat perbelanjaan, tampak adanya antrean panjang di dalamnya. Pengunjung yang baru datang lalu membaca spanduk yang terdapat pada pintu depanFan Meeting With RiruNovel terbaru : Linggar (Impian, Harapan dan Cinta)Ruri telah sukses menjadi seorang penulis novel, setelah mengundurkan diri sebagai editor. Ia juga memakai nama Riru sebagai nama penanya. Hanya membalik huruf pada
Sudah tiga hari sejak Ruri membawa surat yang kutulis untuk Evan tersebut. Namun belum ada tanda-tanda kedatangannya. Aku tidak pernah meragukan bahwa Ruri akan terlambat menyerahkan surat itu. Mungkin … Evan sedang sibuk.Aku tidak membohongi diriku sendiri bahwa rasa sakit ini mulai menyiksaku. Berharap bahwa ini akan segera berakhir. Bukan hanya soal rasa sakit secara fisik, tetapi batinku tersayat melihat ayah, ibu dan Kanaya yang menangis di sampingku kala aku memejamkan mata seolah tengah tertidur, padahal mendengar bagaimana rintihan mereka.Hari ini gerimis hujan turun membasahi tanah. Aroma petrichor menyusup ke dalam kamar rawatku, sengaja aku meminta Kanaya tidak menutup jendela. Suara rinai hujan membuat ingatanku tertaut pada
Aku berpikir bahwa menyingkir dari hiruk pikuk Jakarta akan membuat kesehatanku mulai membaik. Namun ternyata aku salah, baru sehari tiba di Bandung, aku langsung tumbang.Ayah dan ibu pun langsung mengetahui penyakitku setelah aku dirawat di rumah sakit. Mendapat perawatan bukan berarti membuat kerisauanku menghilang. Nyatanya aku malah bertambah akan satu hal. Evan, lelaki itu telah mengetahui surat pengunduran diriku.Evan♡ : Bagaimana bisa kau melakukan ini padaku? Apakah aku membuat kesalahan? Maafkan aku tidak terlalu memperhatikanmu disaat sedang bersama Karin.Evan♡ : Berikan aku alasan pengunduran dirimu, di mana kau sekarang?
Masalah kebohonganku kepada layanan darurat telah di atasi oleh Evan. Pria itu bahkan menemaniku ke kantor polisi terlebih dahulu, kemudian akan menyusul Karin yang telah dibawa ke rumah sakit.Menurut keterangan polisi, pria yang menculik Karin dari tempat les adalah pemain lama yang memiliki komplotan tersendiri. Salah satu dari penculik yang telah ditangkap tersebut bahkan merupakan residivis untuk kasus yang sama."Kiran," panggil Evan melangkah mendekat, lalu memelukku erat. "Terima kasih, terima kasih."Aku tersenyum lalu membalas pelukan lelaki itu. Kemudian terdengar isak tangis, perasaanku tersayup, apakah Evan sedang menangis dalam p
Sesuai dengan instruksi dokter, aku menuju salah satu rumah sakit besar yang ada di Indonesia untuk melakukan pemeriksaan lanjutan dan pemeriksaan kali ini jauh lebih banyak serta kompleks, sehingga aku harus meminta izin agar tidak masuk kantor selama satu hari.Aku tidak mungkin memberitahu Evan tentang penyakitku ini, karena lelaki itu pasti akan khawatir dan mulai tidak fokus dalam bekerja. Tanggung jawab Evan begitu besar dan melibatkan banyak orang. Namun Evan mencoba mencari tahu alasanku untuk cuti satu hari tersebut.Maka dari itu kami kini tersambung melalui panggilan suara. Aku berada di depan ruang pemeriksaan setelah mengganti baju. Sebelah tanganku memegang nomor antrean dan satunya lagi memegang ponsel."Kau sungguh mengajukan cuti, karena Kanaya meminta
Sesuai dengan janji kami, aku mendatangi salah satu restoran untuk bertemu dengan Kanaya pada jam istirahat kerja. Ketika aku sampai, ternyata Kanaya telah duduk pada sudut restoran terlebih dahulu."Kak Kanaya," sapaku membuat Kanaya mendongak menatapku. Dia tersenyum tipis sekilas lalu mempersilakanku."Kau benar-benar sibuk sampai terlambat hampir setengah jam?"Aku tertawa sumbang. "Jam makan siang selalu membuat jalan di depan kantor menjadi padat.""Bukan karena menemani Kak Evan makan siang dulu?" Balasan Kanaya menjadikanku terdiam. Dia langsung membahas tentang hubunganku dengan lelaki itu."Apakah … Ibu dan Ayah telah tahu tentang hal
Aku memandangi penampilanku di depan cermin saat ini. Memakai gaun mungkin adalah pertama kalinya dalam beberapa bulan terakhir. Jika bukan karena ajakan kencan dari Evan, mana mungkin aku mau repot-repot memakainya."Aku ingin mengajakmu menonton bersama, namun malah ada agenda kencan," keluh Ruri yang telah sengaja mengosongkan jadwalnya dan berangkat menuju indekos tempatku tinggal.Aku melirik Ruri sekilas. "Salah sendiri tidak kabarin dulu. Waktu akhir pekan untuk perempuan yang telah memiliki kekasih bukanlah di rumah," ujarku terdengar sombong sampai Ruri berdecak lidah."Ketemu tiap hari juga."Aku mengeluarkan liptint dari tasku. Mengoleskannya sebagai sentuhan terakhir untuk acara kencanku hari ini. Semoga