"Kiran!"
Seruan melengking seseorang ketika aku baru saja berjalan melewati gedung perpustakaan membuat langkahku terhenti. Aku menarik napas sejenak mengetahui siapa itu tanpa harus berbalik badan.
"Aduh Kiran, aku panggil kenapa gak nyahut sih," ujar Ruri kini berdiri di hadapanku.
Aku berkacak pinggang menatapnya. "Apa Ruri sayang?"
Ruri mendengus pelan. "Pasti kau belum cek instagram kan hari ini?" tanyanya dengan mata menyipit.
Aku menggelengkan kepala. "Kuotaku habis pagi ini. Ada apa?" Mataku sedikit melebar membayangkan sesuatu hal. "Ada berita dating dari anggota BTS?"
Sekali lagi Ruri mendengus. "Aduh bukan itu, tapi Soraya dan Fahmi baru saja posting foto yang sama."
Aku mengangkat sebelah alis. "Terus?"
Entah melihatku kesal atau apa, tiba-tiba Ruri maju selangkah dan memukul kecil lenganku. "Artinya mereka pacaran! Mantanmu Fahmi yang baru putus bulan lalu," ujarnya menegaskan setiap kata dalam ucapannya.
"Aku tahu, kau tidak perlu heboh seperti itu," ujarku melanjutkan kakiku untuk berjalan.
Bagaimana mungkin aku tidak tahu tentang kabar kencan antara Soraya yang merupakan anak ekstrakulikuler tari yang terkenal dengan Fahmi yang anak basket sekaligus mantan pacarku.
Fahmi tiga hari lalu mengajakku untuk balikan dengannya, namun kutolak mentah-mentah. Alasan kami putus pun, karena aku mendapatinya berbohong, di mana dia berkata sedang nongkrong bersama temannya. Namun ternyata jalan bersama Soraya.
"Kiran, hampir seluruh teman angkatan dan junior satu tingkat di bawah kita membicarakan ini. Katanya kau telah dicampakkan," kata Ruri mengikutiku berjalan di sampingku.
"Biarkanlah, mati satu tumbuh seribu."
Akhirnya kami sampai di depan kelas, Ilmu Alam tiga. Begitu aku melangkah masuk, bisa kulihat pandangan teman sekelasku, terutama para murid perempuan dan sekarang aku mengerti maksud Ruri.
"Apakan yang kubilang," bisik Ruri kemudian berjalan duluan menuju bangku kami.
Aku hanya memutar bola mataku tidak peduli, lalu ikut di sebelahnya. Masih ada waktu sebelum waktu istirahat berakhir. Lalu ketika aku mulai membenahi rambutku melalui kamera depan ponselku, suara berbisik teman satu kelasku menggema.
"Ini buku catatan fisikanya."
Jreng! Tiba-tiba sebuah buku tulis di mana bagian depannya terdapat nama Deril di sana. Aku mendongak mendapati pemilik buku tersebut menatapku datar.
Siapa yang tidak mengenal Deril. Anak Ilmu Alam satu yang pintarnya tiada dua dalam sekolah kami, SMA Nusantara Semesta. Juara lomba sains, matematika hingga debat bahasa Inggris. Belum lagi kenyataan bahwa dia anak orang kaya.
"Oh oke, makasih," balasku mengambil buku tersebut dan memasukkannya ke dalam tasku. Sedangkan Deril hanya membalas dengan anggukkan kepala, lalu keluar dari kelasku.
Seketika murid perempuan heboh mengobrol satu sama lain. Termasuk Ruri kini mulai mendekatkan dirinya padaku.
"Ki, apa itu tadi?" tanya Ruri sudah tidak bisa menahan rasa penasarannya.
"See? Mati satu tumbuh seribu," jawabku dengan nada sombong sambil mengendikkan bahu acuh tak acuh.
Padahal kedatangan Deril adalah sesuatu yang sangat terencana. Hal itu bermula ketika aku masuk ke ruang guru untuk mengumpulkan LKS Biologi, lalu tanpa sengaja melihat Deril salah mengumpulkan buku tugas. Ketika lelaki keluar dari ruang guru, dia menjatuhkan kunci mobilnya dan beruntung aku yang menemukannya. Kamu pun membuat kesepakatan, bahwa aku akan mengembalikan kunci mobilnya sepulang sekolah nanti apabila Deril datang membawakanku buku catatan yang salah itu. Dan aku berkata akan mengembalikannya besok.
Tujuan kulakukan hal itu adalah untuk meredam gosip tentang bagaimana diriku yang dicampakkan oleh Fahmi. Padahal para murid tidak tahu yang sebenarnya. Entah Deril terlalu tidak peka atau bermasa bodoh, sehingga menuruti permintaanku itu.
Bel terakhir berbunyi, setelah dua jam aku harus menonton film dokumenter sebagai pengganti kelas mata pelajaran sejarah. Aku meraih tas ransel pada sandaran bangku, namun langkahku tertahan oleh tangan Ruri yang terlentang lebar di depanku.
"Ada apa lagi?" tanyaku dengan nada memelas. Aku yang sudah lelah hari ini, ditambah cuaca yang begitu terasa panas. Membuatku ingin segera masuk ke dalam menyalakan AC sambil berbaring.
"Kau belum jelasin tentang bagaimana Deril dengan gagahnya masuk dan menghampirimu serta memberikan buku catatannya itu."
"Bagaimana mungkin kami tidak saling kenal? Aku dan dia satu kelas sewaktu kelas satu, kemudian … kami satu angkatan dan jurusan juga," balasku memberi penjelasan yang masuk akal.
Ruri berdecak lidah. "Tapi kita bicara tentang Deril, lelaki yang selama ini lebih suka sendiri ke mana-mana dan menyendiri di perpustakaan. Bahkan teman laki-lakinya pun hanya dihitung jari, dan … seorang Kiran murid perempuan yang lebih banyak menghabiskan waktunya di kantin sekolah kenal dengan jenius SMA ini?"
Entah mengapa ucapan Ruri sedikit membuatku tersinggung. Aku mengakui, dibandingkan nilai dan prestasiku daripada Deril, tentu kami jauh berbeda. Deril bukanlah jenis murid cupu yang menghabiskan waktunya di perpustakaan, karena tidak punya teman, tetapi memang lelaki itu saja begitu adanya. Namun bukan mustahil juga bagiku dengan Deril untuk kenal satu sama lain bukan?
"Sudah, sudah. Aku capek, kau perlu menunggu Reni bukan?" ujarku membahas tentang adik perempuan Ruri yang juga bersekolah di sini. Reni sendiri masih kelas satu SMA.
Ruri mendesah. "Ah benar, padahal aku ingin segera pulang melihat serial teenwolf yang baru rilis season terbarunya."
"Baiklah, aku duluan ya," balasku menepuk bahu Ruri sebelum berjalan menuju gerbang sekolah.
Namun langkahku kembali tertahan begitu sebuah tangan memegang tanganku dari arah belakang. Aku berbalik badan dan terkejut menyadari bahwa itu adalah Deril. Yang lebih mengejutkan lagi, karena sedang jam pulang sekolah, sehingga banyak murid yang melihat kami. Oh tidak, ini terlalu menarik perhatian.
"Mana kunci mobilku?"
Aku menatap tajam lelaki itu. "Kenapa harus di sini?" Aku sedikit menggeram.
"Kau bukannya mau pulang bukan? Jika lupa, aku yang tidak bisa pulang," balasnya santai.
Aku baru menyadari tanganku masih dipegangnya ketika akan merogoh tasku untuk mengambil kunci mobilnya.
Deril reflek melepas tanganku yang mungkin baru menyadarinya juga. Setelah memberikan kunci mobilnya, lelaki itu mulai berjalan pergi. Namun baru beberapa langkah dia kembali ke arahku.
"Gak sekalian aku antar?" tanyanya membuat mataku membulat.
Aku tersenyum kikuk. "Gak deh, aku pakai taksi daring saja."
Kulihat Deril tampak berpikir sambil menatapku. "Yakin? Nantikan rumor bahwa kau dicampakkan kedua kalinya akan kembali terdengar."
Aku melongo tidak percaya mendengar ucapan Deril. Lelaki itu bahkan tersenyum tipis setelah mengatakannya.
"Ayo," ajaknya berjalan duluan.
Aku memerhatikan sekitarku di mana masih banyak teman angkatanku yang melihat ke arahku dan Defil. Namun ketika mataku menangkap sosok Fahri yang berjalan bergandengan dengan Soraya, membuatku pada akhirnya mengikuti Deril menuju parkiran.
"Makasih tumpangannya," ujarku menoleh menatap Deril.
Lelaki itu hanya mengangguk singkat. "Jadi bukuku mau kau kembalikan besok atau sekarang?"
"Oh iya ya, aku berkata untuk besok karena kupikir tidak akan bertemu denganmu lagi tadi," balasku kemudian mengeluarkan buku catatan miliki lelaki itu.
"Ternyata rumahmu dekat dengan rumahku," ujar Deril setelah melempar bukunya ke kursi belakang.
Aku mendengus pelan, lalu tersenyum. "Kenapa? Mau jemput besok?" tanyaku bercanda.
"Mau?"
Aku yang sudah memegang pegangan pintu mobil kembali berbalik menatap kaget Deril atas balasan ucapanku. Kulihat dia malah tertawa pelan, membuatku ikut tertawa. Tidak kusangka lelaki itu bisa bercanda juga, padahal selama ini terlihat dingin.
Rumah sepi hanya menyisakan aku seorang diri. Renata--ibuku sedang pergi arisan, ayah belum pulang bekerja dan Kanaya sudah pasti sibuk dengan organisasi kampusnya. Berbagai hal kulakukan untuk mengisi kekosongan, mulai menonton drama, membuat dalgona coffee yang sedang tren atau membaca thread di twitter yang sedang heboh.
Matahari mulai terbenam ketika tanpa sengaja kudengar suara mobil. Sepertinya ayahku baru saja pulang dari bekerja, aku segera menuju pintu depan. Biasanya ayah akan pulang sambil membawa makanan atau camilan yang dibeli di pinggir jalan.
Namun langkahku terhenti tepat di depan pintu, bagaimana tidak, ayah tidak sedang sendiri. Dia berjalan dari mobil dengan seorang lelaki. Bukan, seorang pria yang kelihatan sudah dewasa dan pria tersebut sangatlah tampan.
Rasanya aku ingin berteriak melihat ketampanan pria tersebut. Tatapan mata tajam, hidung mancung, alis tebal dan rahang yang tercetak tajam membuat dadaku seketika berdebar
"Oh Kiran," seru ayah membuat kesadaranku kembali.
"Ayah, siapa dia?" tanyaku pada pria yang kini berdiri di hadapanku.
Ayah tertawa sekilas. "Dia anak sahabat ayah, namanya Evan. Ternyata akan pindah ke depan rumah selama setahun untuk urusan pekerjaan."
Pria bernama Evan itu mengulum senyum tipis ke arahku sambil mengulurkan tangannya. "Evan Davaro Saga. Panggil saja Evan."
Aku tersenyum membalas. "Kiran Naomi Tanaka. Kak Evan bisa panggil Kiran," balasku bisa merasakan sentuhan pertama kami.
Ketika Evan akan menarik tangannya, mata kami bertemu untuk beberapa saat. Tepat pada saat itu seolah aku bisa melihat masa depanku dengannya. Apakah mungkin Evan adalah jodohku?
Satu tahun? Kurasa cukup untuk menjawab setiap tanya atas debaran dada yang kini kurasakan.
♡♡♡
Aku membuka mataku dengan sebuah senyuman. Bagaimana tidak, bertemu dengan Evan dan mengetahui kepindahan lelaki itu ke depan rumahku adalah salah satu kejutan terbesar tahun ini. Aku menaruh tangan di atas dada sebelah kiriku dan merasakan degupan jantungku kala membayangkan kembali suara, tatapan dan senyuman Evan kemarin."Sungguh indah ciptaanmu Tuhan," gumamku menggambarkan sosok Evan.Aku segera bangkit dari tempat tidur. Biasanya untuk hari senin, selasa dan rabu, diriku merasa tidak terlalu bersemangat. Selain akhir pekan yang masih lama, pelajaran pada hari-hari itu juga berat. Namun melihat tanggal di kalender yang menunjukkan hari rabu, rasanya tidak semengerikan minggu-minggu kemarin.Setelah mandi dan berpakaian lengkap, aku mengambil tas ransel berwarna merah polos yang semalam kuganti dengan tas ransel dengan motif bunga."Selamat pagi," sapaku kepada ayah dan Kanaya
Tips yang kedua, cobalah mencari tahu kesukaan atau hobinya agar komunikasi kalian berjalan lancar.Aku menatap layar ponselku, melanjutkan membaca artikel kemarin. Tips yang pertama bisa dibilang cukup berhasil. Buktinya, Evan secara sukarela duduk di sebelahku ketika makan malam. Artinya, dari segi penampilanku tidak masalah bukan?Yang menjadi masalah tadi malam adalah ayah yang lebih banyak bertanya kepada Evan soal kehidupan lelaki itu. Namun karena hal itu, aku mengetahui bahwa Evan hanya memiliki kakak laki-laki bernama Damian yang sekarang bekerja di luar negeri."Kiran, sarapannya dimakan dulu," ujar ibuku membuatku sadar bahwa sekarang aku sedang berada di meja makan."Kan selalu juga gitu si Kiran." Suara Kanaya membuatku menatap tajam kakak perempuanku yang sedang asyik mengunyah sosis dalam mulutnya."Oh ya, Kak Evan yang tinggal di rumah depan kenapa bisa pindah ke sana?" tanya Kanaya membuatku ikut penasaran. Maklum saja, di
"Eh tumben jam segini udah bangun," komentar Kanaya sedang duduk melantai di atas karpet pada ruang tengah.Aku memutar bola mataku malas, berjalan terus menuju dapur untuk mengambil secangkir teh yang ada dalam poci yang sudah mulai dingin. Memang benar bahwa bangun pagi pada akhir pekan adalah sesuatu yang langkah bagiku."Kau juga tumben," balasku duduk di sofa yang terdapat di belakang Kanaya. Bahkan kakak perempuanku itu memakai sofa untuk bersandar.Kanaya menghela napas sejenak. "Kau akan mengerti jika sudah tamat SMA nanti," ujarnya kemudian menggerakkan tangan di atas keyboard laptop miliknya.Aku bisa melihat Kanaya sedang sibuk mengerjakan tugas kuliahnya dalam bentuk powerpoint. Wajahnya yang serius dengan cokelat di atas meja untuk memperbaiki suasana hati perempuan itu."Selamat pagi Ayah," sapaku melihat ayah keluar dari kamar dengan memakai baju kaus dan celana olahraga pendek."Oh pagi Kiran. Kenapa sudah bangun?" t
Sudah hampir dua minggu sejak Evan pindah rumah. Namun kedekatanku dengannya masih sebatas melempar senyum dan salam jika tidak sengaja berpapasan di luar pagar.Aku mengakui bagaimana sibuknya lelaki itu bekerja. Setidaknya itulah yang kutangkap setelah memperhatikan Evan selama beberapa hari belakangan ini. Dia akan berangkat bekerja kurang lebih sama seperti diriku yang berangkat ke sekolah, hanya saja lelaki itu pulang sebelum petang.Melihat rutinitasnya berangkat dan pulang kerja secara teratur mengingatkanku akan ucapan Evan tempo hari yang berkata bahwa lelaki itu perfeksionis."Haafhh.""Kenapa Ki?" tanya Ruri memandangku bingung.Kami sedang berada di kafe pada salah satu pusat perbelanjaan. Rasa haus yang mendera setelah mengunjungi beberapa tempat les untuk masuk ke perguruan tinggi membuatku berakhir dengan segelas milk brown sugar."Enggak, bingung aja nanti mau ambil jurusan apa," ujarku mengatakan hal yan
Perkataanku yang ceroboh membuat situasiku untuk dekat dengan Evan malah menjadi penuh kecanggungan. Aku merutuki diriku yang terlalu terbawa suasana ketika lelaki itu menepuk kepalaku."Argghhh!""Apa otakmu sedang error sehingga mengeluarkan suara sumbang seperti itu?"Ucapan sarkastik Kanaya memaksa kepalaku menoleh menatapnya yang sedang asyik menikmati siaran Netflix dengan camilan tortilla chips andalannya.Jika Kanaya sedang duduk di sofa depan televisi di ruang tengah, maka aku berada di sofa dekat dinding dengan posisi berbaring.Aku tentu saja berusaha mengabaikan ucapan Kanaya dan memilih fokus menatap ponselku. Mendekati Evan dalam dunia nyata, tampaknya akan sedikit sulit. Mengingat kesan terakhirku yang kurang menampakkan sisi anggun dan polosnya diriku. Oleh karena itu, aku berencana untuk mengulik sisi Evan melalui dunia maya.Pertama aku mencari media sosialnya dan seperti generasi modern saat ini,
Berstatus murid kelas tiga SMA membuat tubuh dan pikiranku benar-benar lelah. Banyaknya tugas, materi kelas tambahan dan mengikuti simulasi ujian membuatku ingin segera merebahkan tubuhku di atas tempat tidur.Namun apa daya kini aku malah menatap jengah kepada kumpulan murid laki-laki yang ributnya minta ampun. Aku yang selesai makan siang di kantin berniat menghabiskan waktu istirahat dengan meletakkan kepalaku di atas meja sambil memejamkan mata harus gagal.Aku melirik Ruri mulai bergabung dengan murid laki-laki tersebut. Helaan napas langsung keluar dari hidung dan mulutku. Aku tetap meletakkan kepalaku di atas meja, dengan memakai sebelah tanganku sebagai bantalan.Aku memiringkan kepalaku seraya merogoh saku rok abu-abu yang kupakai untuk mengeluarkan ponselku. Tentu saja tidak ada hiburan lain saat ini selain berselancar di dunia maya.Namun mataku melebar begitu melihat pertama kali instastory Evan yang sejak beberapa hari lalu kuikut
"Jadi kau akan menyerah kepada Kak Evan?" tanya Deril dengan suara penasaran. Ini bermula dari cuitan twitter yang kulakukan pagi ini. Sejak kapan juga Deril mengikutiku di twitter? Aku memang tidak memperhatikan orang yang mengikutiku, karena jumlahnya bisa puluhan dengan username yang aneh dan unik."Apa ya, aku belum berjuang, tetapi sudah dipatahkan beberapa kali oleh ucapan dan tindakan Kak Evan yang memang sepertinya tidak memberi ruang di hatinya dengan kehadiranku," balasku berkaca pada realitas yang ada.Saat ini kami berdua sedang berada di pinggir lapangan basket ketika jam istirahat sedang berlangsung, di mana murid lainnya sedang berlalu-lalang. Pasalnya untuk bisa ke kantin harus melewati lapangan basket yang juga berdekatan dengan lapangan futsal.Kudengar suara kekehan Deril. "Yakin nih? Padahal aku ada rencana bertemu dengan Kak Evan untuk berdiskusi tentang pelajaran fisika."Aku menoleh menatapnya. "Bahkan jika kau mengajakku b
Aku kembali menulis usaha perjuanganku pada notebook yang kubeli dulu ketika mengunjungi toko buku bersama Ruri.Senyum seolah tidak mau beranjak dari bibirku kala melirik dua buah tiket yang terletak di atas meja belajarku. Namun hal itu terganggu begitu ponselku berbunyi, tanda notifikasi bahwa sebuah pesan masuk.Aku meletakkan pulpen yang kupegang, lalu menggantinya dengan ponsel. Kulihat pesan itu dari Ruri.Ruri : Kiraaaan!Kiran : Apaan sih?Ruri : Hehe, PR Kimia tentang Logam Alkali sudah selesai?Aku mengernyitkan dahi, bisa menebak apa niat Ruri berkata seperti itu.Kiran : Sudah dong, tapi gak bisa diintip.Ruri : Eh kok gitu, aku beri imbalan deh.Kiran : Gak tertarik.Ruri : Yakin?Tidak lama kemudian setelah pesan terakhir Ruri, dia mengirimiku sebuah gambar foto. Sebuah tiket untuk masuk ke rumah hantu.Ah Ruri, tahu saja kalau aku sedang penasaran sama wahana ru
"Kalian berangkat saja. Evan sudah mempersiapkan segalanya seperti ini," ujar ibuku setelah aku memberitahu tentang rencana bulan madu yang telah dipersiapkan oleh Evan.Namun aku masih khawatir akan satu hal, yaitu Karin. "Tapi ini bukan libur sekolah.""Karin biar aku dan ayahmu yang jaga. Antar dia ke sekolah dan juga menjemputnya. Lagipula Kanaya dan Kenzo akan datang akhir pekan ini, jadi Karin tidak akan begitu kesepian," balas ibu telah menebak bahwa aku berniat mengikutsertakan Karin ke rencana bulan madu yang Evan susun sebelumnya."Benarkah?" Aku sebenarnya tidak ragu bahwa Karin akan melarang kami, karena anak perempuan itu sudah terbiasa
Setiap orang memiliki harapan.Awalnya aku meragukan kalimat tersebut, hingga sampai aku bisa kembali duduk, berjalan dan bahkan berlari. Bentuk fisikku juga mulai kembali seperti layaknya wanita berusia dua puluhan tanpa kekurangan apapun. Bukan usaha yang mudah dan waktu yang singkat. Setidaknya satu tahun membuatku mencoba menggenggam harapan itu agar semakin nyata."Kau menyukai tempat ini?" Suara Evan membuat lamunanku buyar."Ya?"Evan terkekeh kecil. "Aku mengajakmu melihat calon hunian baru kita dan kau mengkhayal?"
Author POV-------------------------------------------------------------------Pada sebuah toko buku di pusat perbelanjaan, tampak adanya antrean panjang di dalamnya. Pengunjung yang baru datang lalu membaca spanduk yang terdapat pada pintu depanFan Meeting With RiruNovel terbaru : Linggar (Impian, Harapan dan Cinta)Ruri telah sukses menjadi seorang penulis novel, setelah mengundurkan diri sebagai editor. Ia juga memakai nama Riru sebagai nama penanya. Hanya membalik huruf pada
Sudah tiga hari sejak Ruri membawa surat yang kutulis untuk Evan tersebut. Namun belum ada tanda-tanda kedatangannya. Aku tidak pernah meragukan bahwa Ruri akan terlambat menyerahkan surat itu. Mungkin … Evan sedang sibuk.Aku tidak membohongi diriku sendiri bahwa rasa sakit ini mulai menyiksaku. Berharap bahwa ini akan segera berakhir. Bukan hanya soal rasa sakit secara fisik, tetapi batinku tersayat melihat ayah, ibu dan Kanaya yang menangis di sampingku kala aku memejamkan mata seolah tengah tertidur, padahal mendengar bagaimana rintihan mereka.Hari ini gerimis hujan turun membasahi tanah. Aroma petrichor menyusup ke dalam kamar rawatku, sengaja aku meminta Kanaya tidak menutup jendela. Suara rinai hujan membuat ingatanku tertaut pada
Aku berpikir bahwa menyingkir dari hiruk pikuk Jakarta akan membuat kesehatanku mulai membaik. Namun ternyata aku salah, baru sehari tiba di Bandung, aku langsung tumbang.Ayah dan ibu pun langsung mengetahui penyakitku setelah aku dirawat di rumah sakit. Mendapat perawatan bukan berarti membuat kerisauanku menghilang. Nyatanya aku malah bertambah akan satu hal. Evan, lelaki itu telah mengetahui surat pengunduran diriku.Evan♡ : Bagaimana bisa kau melakukan ini padaku? Apakah aku membuat kesalahan? Maafkan aku tidak terlalu memperhatikanmu disaat sedang bersama Karin.Evan♡ : Berikan aku alasan pengunduran dirimu, di mana kau sekarang?
Masalah kebohonganku kepada layanan darurat telah di atasi oleh Evan. Pria itu bahkan menemaniku ke kantor polisi terlebih dahulu, kemudian akan menyusul Karin yang telah dibawa ke rumah sakit.Menurut keterangan polisi, pria yang menculik Karin dari tempat les adalah pemain lama yang memiliki komplotan tersendiri. Salah satu dari penculik yang telah ditangkap tersebut bahkan merupakan residivis untuk kasus yang sama."Kiran," panggil Evan melangkah mendekat, lalu memelukku erat. "Terima kasih, terima kasih."Aku tersenyum lalu membalas pelukan lelaki itu. Kemudian terdengar isak tangis, perasaanku tersayup, apakah Evan sedang menangis dalam p
Sesuai dengan instruksi dokter, aku menuju salah satu rumah sakit besar yang ada di Indonesia untuk melakukan pemeriksaan lanjutan dan pemeriksaan kali ini jauh lebih banyak serta kompleks, sehingga aku harus meminta izin agar tidak masuk kantor selama satu hari.Aku tidak mungkin memberitahu Evan tentang penyakitku ini, karena lelaki itu pasti akan khawatir dan mulai tidak fokus dalam bekerja. Tanggung jawab Evan begitu besar dan melibatkan banyak orang. Namun Evan mencoba mencari tahu alasanku untuk cuti satu hari tersebut.Maka dari itu kami kini tersambung melalui panggilan suara. Aku berada di depan ruang pemeriksaan setelah mengganti baju. Sebelah tanganku memegang nomor antrean dan satunya lagi memegang ponsel."Kau sungguh mengajukan cuti, karena Kanaya meminta
Sesuai dengan janji kami, aku mendatangi salah satu restoran untuk bertemu dengan Kanaya pada jam istirahat kerja. Ketika aku sampai, ternyata Kanaya telah duduk pada sudut restoran terlebih dahulu."Kak Kanaya," sapaku membuat Kanaya mendongak menatapku. Dia tersenyum tipis sekilas lalu mempersilakanku."Kau benar-benar sibuk sampai terlambat hampir setengah jam?"Aku tertawa sumbang. "Jam makan siang selalu membuat jalan di depan kantor menjadi padat.""Bukan karena menemani Kak Evan makan siang dulu?" Balasan Kanaya menjadikanku terdiam. Dia langsung membahas tentang hubunganku dengan lelaki itu."Apakah … Ibu dan Ayah telah tahu tentang hal
Aku memandangi penampilanku di depan cermin saat ini. Memakai gaun mungkin adalah pertama kalinya dalam beberapa bulan terakhir. Jika bukan karena ajakan kencan dari Evan, mana mungkin aku mau repot-repot memakainya."Aku ingin mengajakmu menonton bersama, namun malah ada agenda kencan," keluh Ruri yang telah sengaja mengosongkan jadwalnya dan berangkat menuju indekos tempatku tinggal.Aku melirik Ruri sekilas. "Salah sendiri tidak kabarin dulu. Waktu akhir pekan untuk perempuan yang telah memiliki kekasih bukanlah di rumah," ujarku terdengar sombong sampai Ruri berdecak lidah."Ketemu tiap hari juga."Aku mengeluarkan liptint dari tasku. Mengoleskannya sebagai sentuhan terakhir untuk acara kencanku hari ini. Semoga