Summer magic
Banjjagin geu Ocean wiro
Nan beolsseo nara
Go go airplane beongaecheoreom narara
Kauai pado sok nareul deonjeo beorige
Yeah yeah, yeah yeah yeah yeah
Let's power up kkamage da tabeoril kkeoyeyo
Ba-banana ba-ba-banana-nana
Ba-banana ba-ba-banana-nana
Ba-banana ba-ba-banana-nana ba
Let's power up nol ttae jeil shinnanikkayo
Aku mendengar suara Red Velvet sedang bernyanyi pada hari pernikahanku dengan Evan. Bagaimana itu bisa terjadi? Tunggu … kenapa pandanganku menjadi kabur, berputar dan gelap.
Aku membuka mataku sambil menghela napas. "Sial hanya mimpi," gumamku mengumpat mimpi yang menerbangkanku ke atas langit, lalu menghempaskanku pada pagi ini.
Brak!
Belum sempat aku berdamai dengan alam bawah sadarku, tiba-tiba pintu kamarku terbuka dengan keras. Menampilkan Kanaya Erika Tanaka, kakak perempuanku yang telah berpakaian rapi.
"Kiran! Sudah kubilang untuk bangun pagi-pagi, hari ini aku ada kuis kelas pertama," seru Kanaya, lalu menarik napas dalam.
Aku memutar bola mataku, lalu bangkit dari tempat tidur. "Kak Naya berangkat duluan saja. Aku naik taksi saja." Kurasa aku perlu lebih banyak waktu untuk mendinginkan kepala untuk membuat mimpi yang tadi terasa begitu nyata untuk kembali menjadi impian pasti.
"Kau pikir aku akan mempertaruhkan nilai semesterku untuk menunggumu?" ujar Kanaya membuatku yang awalnya berjalan menuju kamar mandi yang berada di dalam kamarku menjadi berbalik badan sejenak.
"Lalu?"
Terlihat Kanaya menarik napas. "Kak Evan ada di bawah untuk sarapan sama kita. Katanya dia akan mengantarmu sekalian ke sekolah. Tahu kan, mobil Ayah sedang di bengkel," ujarnya membuat mataku melebar.
"Aku mengerti." Tanpa membuang waktu lagi, aku segera masuk ke dalam kamar mandi. Jika biasanya, aku akan membutuhkan minimal tiga puluh menit untuk bersiap ke sekolah, maka saat ini hanya membutuhkan setengah waktu tersebut.
Aku sedikit bersyukur dengan mobil Tanaka--ayahku yang sedang berada di bengkel, menjadikan Evan yang kebetulan tinggal di depan rumahku dengan sukarela mengantar ayahku bekerja di rumah sakit sekaligus diriku untuk ke sekolah.
Bicara tentang Evan, akan kuceritakan nanti bagaimana pria itu bisa tiba-tiba pindah ke rumah yang sudah tiga tahun tidak berpenghuni itu. Rumah yang berada persis berada di depan rumahku.
"Kak Evan tahu tidak mimpi Kiran semalam?" tanyaku kepada Evan yang duduk di sampingku. Sibuk dan fokus menyetir.
Beberapa menit yang lalu ayahku telah sampai di rumah sakit, sehingga aku yang semula berada di bangku belakang kini pindah ke depan. Tidak mungkin aku menjadikan Evan sebagai sopir! Bisa, tapi nanti setelah jadi suami.
"Bagaimana aku bisa tahu Kiran," balas Evan tanpa menoleh atau bahkan melirik ke arahku.
Aku berdecak pelan. "Ish, coba tebak dong. Mimpinya bagus loh."
Kulihat dahi Evan tampak berkerut, seolah sedang memikirkan mimpiku. "Hm … kau mendapat peringkat pertama semester ini? Oh bukan, kau tidak akan mengulang matematika lagi?"
Aku mendengus kesal. Bagaimana Evan bisa mengetahui tentang remedial ujian matematikaku semester lalu? Pasti Kanaya yang bercerita sambil membuat candaan seperti itu.
"Bukan!"
"Lalu?" Evan masih fokus menatap ke depan sambil melirik kaca spion sesekali.
"Aku bermimpi menikah dengan Kak Evan loh," balasku dengan sedikit tersipu malu. Aku bahkan menangkupkan kedua telapak tanganku untuk memegang pipiku saat ini. Membayangkan mimpiku kembali sambil tersenyum dengan dada berdebar.
Kulihat Evan tersenyum menyeringai. "Kalau begitu biarkan itu tetap menjadi mimpi."
Senyum pada bibirku seolah pupus melihat reaksi Evan yang hanya menganggapnya sebagai candaan.
"Nah sudah sampai," ujar pria itu menghentikan mobilnya dan kini menoleh ke arahku.
Aku menatapnya tajam untuk sesaat. "Lihat saja nanti, Kak Evan akan menjadi suami Kiran suatu hari nanti!" seruku kemudian membuka pintu mobil dan keluar dengan mata berkaca.
Ternyata beginilah rasanya cinta bertepuk sebelah tangan. Namun bukan seorang Kiran jika tidak memperjuangkan cintanya.
☆☆☆
Seperti itulah sesederhana impian seorang Kiran Naomi Tanaka, menjadi wanita dari Evan Davaro Saga.
♡♡♡
"Kiran!"Seruan melengking seseorang ketika aku baru saja berjalan melewati gedung perpustakaan membuat langkahku terhenti. Aku menarik napas sejenak mengetahui siapa itu tanpa harus berbalik badan."Aduh Kiran, aku panggil kenapa gak nyahut sih," ujar Ruri kini berdiri di hadapanku.Aku berkacak pinggang menatapnya. "Apa Ruri sayang?"Ruri mendengus pelan. "Pasti kau belum cek instagram kan hari ini?" tanyanya dengan mata menyipit.Aku menggelengkan kepala. "Kuotaku habis pagi ini. Ada apa?" Mataku sedikit melebar membayangkan sesuatu hal. "Ada berita dating dari anggota BTS?"Sekali lagi Ruri mendengus. "Aduh bukan itu, tapi Soraya dan Fahmi baru saja posting foto yang sama."Aku mengangkat sebelah alis. "Terus?"Entah melihatku kesal atau apa, tiba-tiba Ruri maju selangkah dan memukul kecil lenganku. "Artinya
Aku membuka mataku dengan sebuah senyuman. Bagaimana tidak, bertemu dengan Evan dan mengetahui kepindahan lelaki itu ke depan rumahku adalah salah satu kejutan terbesar tahun ini. Aku menaruh tangan di atas dada sebelah kiriku dan merasakan degupan jantungku kala membayangkan kembali suara, tatapan dan senyuman Evan kemarin."Sungguh indah ciptaanmu Tuhan," gumamku menggambarkan sosok Evan.Aku segera bangkit dari tempat tidur. Biasanya untuk hari senin, selasa dan rabu, diriku merasa tidak terlalu bersemangat. Selain akhir pekan yang masih lama, pelajaran pada hari-hari itu juga berat. Namun melihat tanggal di kalender yang menunjukkan hari rabu, rasanya tidak semengerikan minggu-minggu kemarin.Setelah mandi dan berpakaian lengkap, aku mengambil tas ransel berwarna merah polos yang semalam kuganti dengan tas ransel dengan motif bunga."Selamat pagi," sapaku kepada ayah dan Kanaya
Tips yang kedua, cobalah mencari tahu kesukaan atau hobinya agar komunikasi kalian berjalan lancar.Aku menatap layar ponselku, melanjutkan membaca artikel kemarin. Tips yang pertama bisa dibilang cukup berhasil. Buktinya, Evan secara sukarela duduk di sebelahku ketika makan malam. Artinya, dari segi penampilanku tidak masalah bukan?Yang menjadi masalah tadi malam adalah ayah yang lebih banyak bertanya kepada Evan soal kehidupan lelaki itu. Namun karena hal itu, aku mengetahui bahwa Evan hanya memiliki kakak laki-laki bernama Damian yang sekarang bekerja di luar negeri."Kiran, sarapannya dimakan dulu," ujar ibuku membuatku sadar bahwa sekarang aku sedang berada di meja makan."Kan selalu juga gitu si Kiran." Suara Kanaya membuatku menatap tajam kakak perempuanku yang sedang asyik mengunyah sosis dalam mulutnya."Oh ya, Kak Evan yang tinggal di rumah depan kenapa bisa pindah ke sana?" tanya Kanaya membuatku ikut penasaran. Maklum saja, di
"Eh tumben jam segini udah bangun," komentar Kanaya sedang duduk melantai di atas karpet pada ruang tengah.Aku memutar bola mataku malas, berjalan terus menuju dapur untuk mengambil secangkir teh yang ada dalam poci yang sudah mulai dingin. Memang benar bahwa bangun pagi pada akhir pekan adalah sesuatu yang langkah bagiku."Kau juga tumben," balasku duduk di sofa yang terdapat di belakang Kanaya. Bahkan kakak perempuanku itu memakai sofa untuk bersandar.Kanaya menghela napas sejenak. "Kau akan mengerti jika sudah tamat SMA nanti," ujarnya kemudian menggerakkan tangan di atas keyboard laptop miliknya.Aku bisa melihat Kanaya sedang sibuk mengerjakan tugas kuliahnya dalam bentuk powerpoint. Wajahnya yang serius dengan cokelat di atas meja untuk memperbaiki suasana hati perempuan itu."Selamat pagi Ayah," sapaku melihat ayah keluar dari kamar dengan memakai baju kaus dan celana olahraga pendek."Oh pagi Kiran. Kenapa sudah bangun?" t
Sudah hampir dua minggu sejak Evan pindah rumah. Namun kedekatanku dengannya masih sebatas melempar senyum dan salam jika tidak sengaja berpapasan di luar pagar.Aku mengakui bagaimana sibuknya lelaki itu bekerja. Setidaknya itulah yang kutangkap setelah memperhatikan Evan selama beberapa hari belakangan ini. Dia akan berangkat bekerja kurang lebih sama seperti diriku yang berangkat ke sekolah, hanya saja lelaki itu pulang sebelum petang.Melihat rutinitasnya berangkat dan pulang kerja secara teratur mengingatkanku akan ucapan Evan tempo hari yang berkata bahwa lelaki itu perfeksionis."Haafhh.""Kenapa Ki?" tanya Ruri memandangku bingung.Kami sedang berada di kafe pada salah satu pusat perbelanjaan. Rasa haus yang mendera setelah mengunjungi beberapa tempat les untuk masuk ke perguruan tinggi membuatku berakhir dengan segelas milk brown sugar."Enggak, bingung aja nanti mau ambil jurusan apa," ujarku mengatakan hal yan
Perkataanku yang ceroboh membuat situasiku untuk dekat dengan Evan malah menjadi penuh kecanggungan. Aku merutuki diriku yang terlalu terbawa suasana ketika lelaki itu menepuk kepalaku."Argghhh!""Apa otakmu sedang error sehingga mengeluarkan suara sumbang seperti itu?"Ucapan sarkastik Kanaya memaksa kepalaku menoleh menatapnya yang sedang asyik menikmati siaran Netflix dengan camilan tortilla chips andalannya.Jika Kanaya sedang duduk di sofa depan televisi di ruang tengah, maka aku berada di sofa dekat dinding dengan posisi berbaring.Aku tentu saja berusaha mengabaikan ucapan Kanaya dan memilih fokus menatap ponselku. Mendekati Evan dalam dunia nyata, tampaknya akan sedikit sulit. Mengingat kesan terakhirku yang kurang menampakkan sisi anggun dan polosnya diriku. Oleh karena itu, aku berencana untuk mengulik sisi Evan melalui dunia maya.Pertama aku mencari media sosialnya dan seperti generasi modern saat ini,
Berstatus murid kelas tiga SMA membuat tubuh dan pikiranku benar-benar lelah. Banyaknya tugas, materi kelas tambahan dan mengikuti simulasi ujian membuatku ingin segera merebahkan tubuhku di atas tempat tidur.Namun apa daya kini aku malah menatap jengah kepada kumpulan murid laki-laki yang ributnya minta ampun. Aku yang selesai makan siang di kantin berniat menghabiskan waktu istirahat dengan meletakkan kepalaku di atas meja sambil memejamkan mata harus gagal.Aku melirik Ruri mulai bergabung dengan murid laki-laki tersebut. Helaan napas langsung keluar dari hidung dan mulutku. Aku tetap meletakkan kepalaku di atas meja, dengan memakai sebelah tanganku sebagai bantalan.Aku memiringkan kepalaku seraya merogoh saku rok abu-abu yang kupakai untuk mengeluarkan ponselku. Tentu saja tidak ada hiburan lain saat ini selain berselancar di dunia maya.Namun mataku melebar begitu melihat pertama kali instastory Evan yang sejak beberapa hari lalu kuikut
"Jadi kau akan menyerah kepada Kak Evan?" tanya Deril dengan suara penasaran. Ini bermula dari cuitan twitter yang kulakukan pagi ini. Sejak kapan juga Deril mengikutiku di twitter? Aku memang tidak memperhatikan orang yang mengikutiku, karena jumlahnya bisa puluhan dengan username yang aneh dan unik."Apa ya, aku belum berjuang, tetapi sudah dipatahkan beberapa kali oleh ucapan dan tindakan Kak Evan yang memang sepertinya tidak memberi ruang di hatinya dengan kehadiranku," balasku berkaca pada realitas yang ada.Saat ini kami berdua sedang berada di pinggir lapangan basket ketika jam istirahat sedang berlangsung, di mana murid lainnya sedang berlalu-lalang. Pasalnya untuk bisa ke kantin harus melewati lapangan basket yang juga berdekatan dengan lapangan futsal.Kudengar suara kekehan Deril. "Yakin nih? Padahal aku ada rencana bertemu dengan Kak Evan untuk berdiskusi tentang pelajaran fisika."Aku menoleh menatapnya. "Bahkan jika kau mengajakku b
"Kalian berangkat saja. Evan sudah mempersiapkan segalanya seperti ini," ujar ibuku setelah aku memberitahu tentang rencana bulan madu yang telah dipersiapkan oleh Evan.Namun aku masih khawatir akan satu hal, yaitu Karin. "Tapi ini bukan libur sekolah.""Karin biar aku dan ayahmu yang jaga. Antar dia ke sekolah dan juga menjemputnya. Lagipula Kanaya dan Kenzo akan datang akhir pekan ini, jadi Karin tidak akan begitu kesepian," balas ibu telah menebak bahwa aku berniat mengikutsertakan Karin ke rencana bulan madu yang Evan susun sebelumnya."Benarkah?" Aku sebenarnya tidak ragu bahwa Karin akan melarang kami, karena anak perempuan itu sudah terbiasa
Setiap orang memiliki harapan.Awalnya aku meragukan kalimat tersebut, hingga sampai aku bisa kembali duduk, berjalan dan bahkan berlari. Bentuk fisikku juga mulai kembali seperti layaknya wanita berusia dua puluhan tanpa kekurangan apapun. Bukan usaha yang mudah dan waktu yang singkat. Setidaknya satu tahun membuatku mencoba menggenggam harapan itu agar semakin nyata."Kau menyukai tempat ini?" Suara Evan membuat lamunanku buyar."Ya?"Evan terkekeh kecil. "Aku mengajakmu melihat calon hunian baru kita dan kau mengkhayal?"
Author POV-------------------------------------------------------------------Pada sebuah toko buku di pusat perbelanjaan, tampak adanya antrean panjang di dalamnya. Pengunjung yang baru datang lalu membaca spanduk yang terdapat pada pintu depanFan Meeting With RiruNovel terbaru : Linggar (Impian, Harapan dan Cinta)Ruri telah sukses menjadi seorang penulis novel, setelah mengundurkan diri sebagai editor. Ia juga memakai nama Riru sebagai nama penanya. Hanya membalik huruf pada
Sudah tiga hari sejak Ruri membawa surat yang kutulis untuk Evan tersebut. Namun belum ada tanda-tanda kedatangannya. Aku tidak pernah meragukan bahwa Ruri akan terlambat menyerahkan surat itu. Mungkin … Evan sedang sibuk.Aku tidak membohongi diriku sendiri bahwa rasa sakit ini mulai menyiksaku. Berharap bahwa ini akan segera berakhir. Bukan hanya soal rasa sakit secara fisik, tetapi batinku tersayat melihat ayah, ibu dan Kanaya yang menangis di sampingku kala aku memejamkan mata seolah tengah tertidur, padahal mendengar bagaimana rintihan mereka.Hari ini gerimis hujan turun membasahi tanah. Aroma petrichor menyusup ke dalam kamar rawatku, sengaja aku meminta Kanaya tidak menutup jendela. Suara rinai hujan membuat ingatanku tertaut pada
Aku berpikir bahwa menyingkir dari hiruk pikuk Jakarta akan membuat kesehatanku mulai membaik. Namun ternyata aku salah, baru sehari tiba di Bandung, aku langsung tumbang.Ayah dan ibu pun langsung mengetahui penyakitku setelah aku dirawat di rumah sakit. Mendapat perawatan bukan berarti membuat kerisauanku menghilang. Nyatanya aku malah bertambah akan satu hal. Evan, lelaki itu telah mengetahui surat pengunduran diriku.Evan♡ : Bagaimana bisa kau melakukan ini padaku? Apakah aku membuat kesalahan? Maafkan aku tidak terlalu memperhatikanmu disaat sedang bersama Karin.Evan♡ : Berikan aku alasan pengunduran dirimu, di mana kau sekarang?
Masalah kebohonganku kepada layanan darurat telah di atasi oleh Evan. Pria itu bahkan menemaniku ke kantor polisi terlebih dahulu, kemudian akan menyusul Karin yang telah dibawa ke rumah sakit.Menurut keterangan polisi, pria yang menculik Karin dari tempat les adalah pemain lama yang memiliki komplotan tersendiri. Salah satu dari penculik yang telah ditangkap tersebut bahkan merupakan residivis untuk kasus yang sama."Kiran," panggil Evan melangkah mendekat, lalu memelukku erat. "Terima kasih, terima kasih."Aku tersenyum lalu membalas pelukan lelaki itu. Kemudian terdengar isak tangis, perasaanku tersayup, apakah Evan sedang menangis dalam p
Sesuai dengan instruksi dokter, aku menuju salah satu rumah sakit besar yang ada di Indonesia untuk melakukan pemeriksaan lanjutan dan pemeriksaan kali ini jauh lebih banyak serta kompleks, sehingga aku harus meminta izin agar tidak masuk kantor selama satu hari.Aku tidak mungkin memberitahu Evan tentang penyakitku ini, karena lelaki itu pasti akan khawatir dan mulai tidak fokus dalam bekerja. Tanggung jawab Evan begitu besar dan melibatkan banyak orang. Namun Evan mencoba mencari tahu alasanku untuk cuti satu hari tersebut.Maka dari itu kami kini tersambung melalui panggilan suara. Aku berada di depan ruang pemeriksaan setelah mengganti baju. Sebelah tanganku memegang nomor antrean dan satunya lagi memegang ponsel."Kau sungguh mengajukan cuti, karena Kanaya meminta
Sesuai dengan janji kami, aku mendatangi salah satu restoran untuk bertemu dengan Kanaya pada jam istirahat kerja. Ketika aku sampai, ternyata Kanaya telah duduk pada sudut restoran terlebih dahulu."Kak Kanaya," sapaku membuat Kanaya mendongak menatapku. Dia tersenyum tipis sekilas lalu mempersilakanku."Kau benar-benar sibuk sampai terlambat hampir setengah jam?"Aku tertawa sumbang. "Jam makan siang selalu membuat jalan di depan kantor menjadi padat.""Bukan karena menemani Kak Evan makan siang dulu?" Balasan Kanaya menjadikanku terdiam. Dia langsung membahas tentang hubunganku dengan lelaki itu."Apakah … Ibu dan Ayah telah tahu tentang hal
Aku memandangi penampilanku di depan cermin saat ini. Memakai gaun mungkin adalah pertama kalinya dalam beberapa bulan terakhir. Jika bukan karena ajakan kencan dari Evan, mana mungkin aku mau repot-repot memakainya."Aku ingin mengajakmu menonton bersama, namun malah ada agenda kencan," keluh Ruri yang telah sengaja mengosongkan jadwalnya dan berangkat menuju indekos tempatku tinggal.Aku melirik Ruri sekilas. "Salah sendiri tidak kabarin dulu. Waktu akhir pekan untuk perempuan yang telah memiliki kekasih bukanlah di rumah," ujarku terdengar sombong sampai Ruri berdecak lidah."Ketemu tiap hari juga."Aku mengeluarkan liptint dari tasku. Mengoleskannya sebagai sentuhan terakhir untuk acara kencanku hari ini. Semoga