Sudah hampir dua minggu sejak Evan pindah rumah. Namun kedekatanku dengannya masih sebatas melempar senyum dan salam jika tidak sengaja berpapasan di luar pagar.
Aku mengakui bagaimana sibuknya lelaki itu bekerja. Setidaknya itulah yang kutangkap setelah memperhatikan Evan selama beberapa hari belakangan ini. Dia akan berangkat bekerja kurang lebih sama seperti diriku yang berangkat ke sekolah, hanya saja lelaki itu pulang sebelum petang.
Melihat rutinitasnya berangkat dan pulang kerja secara teratur mengingatkanku akan ucapan Evan tempo hari yang berkata bahwa lelaki itu perfeksionis.
"Haafhh."
"Kenapa Ki?" tanya Ruri memandangku bingung.
Kami sedang berada di kafe pada salah satu pusat perbelanjaan. Rasa haus yang mendera setelah mengunjungi beberapa tempat les untuk masuk ke perguruan tinggi membuatku berakhir dengan segelas milk brown sugar.
"Enggak, bingung aja nanti mau ambil jurusan apa," ujarku mengatakan hal yang sejujurnya.
Selain pusing memikirkan cara pendekatan dengan Evan, aku sebagai anak kelas dua belas juga punya kerisauan sendiri mengenai masa depan setelah lulus nanti. Setidaknya pusing memikirkan jurusan bangku kuliah dulu.
"Kalau aku tetap bakal ambil sastra Indonesia," ujar Ruri mengutarakan keinginannya. Impian yang telah diucapkannya dari semester tahun lalu. Menjadi seorang penulis atau editor.
Aku tersenyum, lalu mencubit pelan pipi sahabatku itu. Merasa gemas dengan keseriusan Ruri yang jarang ditampakkannya. "Nanti kalau nulis, jangan lupa masukin namaku bagian awal sebelum prolog ceritamu."
Ruri mendengus kesal. "Tapi ya gak sabar deh mau jadi mahasiswi. Kak Reno setiap libur semester selalu dua bulanan gitu," ujarnya mengungkit kakak laki-lakinya bernama Reno. Aku pernah bertemu sekali dan lelaki itu sangat berbeda dengan Ruri.
Reno adalah tipikal laki-laki pendiam, namun jika sudah nyaman dengan seseorang akan berubah menjadi cerewet. Sedangkan Ruri selalu cerewet entah di hadapan orang yang dikenalnya ataupun orang asing.
"Jadi mahasiswi berarti kita sudah dewasa dong," balasku memikirkan status remaja yang mungkin sebentar lagi akan hilang.
Ruri tertawa keras. "Kiran, ukuran kedewasaan seseorang itu tidak bergantung kepada fisik atau usianya, tetapi pola pikirnya." Terkadang aku mengakui bagaimana jalan pikiran Ruri yang benar dan bijak.
"Gimana ya kalau punya pacar orang dewasa?" tanyaku kembali mengingat Evan.
"Tergantung sih, aku lihat Kak Reno pacaran sama Kak Siska kadang saling ngambekan, tapi salah satunya pasti ada yang ngalah."
"Terus Kak Reno itu romantis gak sih?"
Kulihat Ruri tampak berpikir sejenak. "Banget, luarnya aja kayak cuek. Tapi hampir tiap malam kirimin Kak Siska camilan malam, baik antar langsung oleh dia atau via ojek daring."
Tanpa sadar bibirku terangkat ke atas. Membayangkan kalau Evan akan datang malam-malam ke rumahku membawakan martabak.
"Eh, tapi kok kau malah bahas seolah punya gebetan orang dewasa?" ujar Ruri menatapku curiga.
"Enggak, cuma penasaran aja gitu."
Aku tidak mungkin memberitahukan tentang Evan sekarang kepada Ruri. Setidaknya progress kedekatanku dengan lelaki itu harus berjalan sekitar tiga puluh persen, baru Ruri boleh tahu.
Setelah bersantai di kafe kurang lebih satu jam, Ruri mengajakku ke toko buku untuk melihat-lihat buku paket cetakan untuk persiapan ujian sekolah dan masuk perguruan tinggi.
Namun langkah kakiku malah menuju ke arah buku yang banyak memberikan tips dan trik tentang masalah percintaan, terlihat lebih efektif daripada artikel yang kubaca sebelumnya. Mataku seketika membulat dan melirik sekitar, memastikan Ruri tidak melihat apa yang sedang kubaca ini. Yang membuatku bertambah tertarik membeli buku tersebut adalah bagian belakangnya terdapat diari, di mana kita bisa menuliskan perjalanan kisah untuk menggapai orang yang dicintai.
"Ayolah Kiran, tanpa usaha Evan tidak menatapmu," gumamku kemudian buru-buru menuju kasir untuk membayar buku tersebut dan setelah berhasil, segera kumasukkan ke dalam tas.
Matahari yang sudah mulai terbenam membuatku dan Ruri pulang secara terpisah. Rasa lelah yang kurasakan setelah seharian berada di luar membuatku ingin segera merebahkan tubuhku di atas kasur. Aku pulang dengan taksi daring dengan baterai ponsel yang sudah sekarat dan pas sudah sampai, ponselku langsung mati secara otomatis.
"Baru pulang?" ujar Kanaya saat kami berpapasan di ruang tamu. Ia tidak sendiri, melainkan bersama dua orang teman kuliahnya.
"Eh Kiran, wah pakai seragam darimana aja nih." Salah satu teman Kanaya bernama Ayu menatapku sedikit heran.
"Habis dari toko buku, sekalian jalan-jalan di mall," balasku singkat, lalu tersenyum dan berlalu pergi.
Suara kekehan Kanaya dan teman-temannya terus terdengar pada telingaku, hingga aku menutup pintu kamar. Tanpa membuang waktu lagi, segera aku menuju kamar mandi untuk membersihkan diri dari segala debu dan keringat yang menempel.
Setelah merasa segar, aku mengeluarkan buku yang kubeli sambil menunggu makan malam yang disiapkan ibuku jadi. Senyum langsung merekah pada bibirku, ketika membuka bagian pertama dari buku tersebut.
"Selalu tersenyum padanya ketika bertemu."
Suara yang begitu familier kemudian memaksa diriku menoleh. Mendapati Kanaya berdiri di belakangku sambil menyeringai.
Hap.
Buku yang tadi kubeli seketika telah berada dalam genggaman kakak perempuanku yang kini tertawa pelan.
"Ibu, Kiran lagi jatuh cinta," seru Kanaya berlari keluar sambil menenteng buku tersebut.
Aku mendengus kesal, lalu berjalan mengikutinya. Menemukan Kanaya memperlihatkan buku tersebut kepada ibu.
"Kiran, kau sekarang sudah kelas dua belas loh," ujar ibuku kini beralih menatapku.
Ibuku sebenarnya tidak pernah berkata secara langsung untuk melarangku pacaran, meski begitu beliau sering memberikanku petuah agar tidak sampai terjadi hal-hal yang buruk. Lagipula Fahmi adalah pacar pertamaku dan sudah pernah bertemu ibuku ketika mengantarku pulang dulu.
"Ih sini," ujarku berusaha merebut buku tersebut, namun gagal, karena tubuh Kanaya yang jelas lebih tinggi dariku.
Tidak puas hanya menunjukkannya pada ibu, Kanaya juga mulai menunjukkan buku tersebut pada teman-temannya dan mereka tertawa sambil memandangku.
Mataku terasa panas sekarang. Entah karena merasa terlalu menyedihkan harus membeli buku seperti itu untuk bisa dekat dengan Evan atau merasa terlalu malu di hadapan teman-teman Kanaya. Tanpa sadar, kakiku mulai berbalik berjalan cepat masuk ke dalam kamar dan menguncinya.
Sudah, luruh air mataku ketika telah tengkurap di atas tempat tidur. Beberapa menit kemudian aku mendengar suara pintu terketuk.
"Yakin nih gak mau makan malam?" tanya Kanaya dengan suara keras.
Aku melirik pintu dengan tatapan kesal. "Enggak!"
Satu balasan yang lantang membuat Kanaya tidak lagi bersuara. Sepertinya dia sudah pergi. Namun bersikap sok keren seperti ini, nyatanya menyiksa diri sendiri. Terbukti, perutku meringis menahan rasa lapar. Akhirnya aku mencoba bermain ponsel untuk mengalihkan rasa laparku.
Tok!
Tok!
Suara ketukan kembali terdengar, namun aku berusaha mengabaikannya. Anehnya lagi, tidak ada sahutan lain, hingga setelah sepuluh menit aku diam-diam berjalan menuju pintu dan membukanya. Tampaklah sebuah nampan berisi semangkuk mie ayam dan segelas es teh yang membuat perutku berbunyi tanpa sadar. Di samping mangkuk terdapat buku yang tadi kubeli.
Aku berdecak lidah, mengetahui bahwa mie ayam tersebut adalah sogokan permintaan maaf dari Kanaya. Harga diriku nyatanya tidak sekuat rasa laparku. Tanpa berpikir lagi aku segera memasukkan nampan tersebut ke dalam kamar dan menikmati makan malam itu di atas meja belajarku.
Hubunganku dan Kanaya bukanlah tipikal yang manis dan saling curhat satu sama lain. Bahkan kuyakin orang tua kami sudah lelah dengan segala drama pertengkaran yang kami lakukan, namun anehnya kami juga bisa saling mengerti tanpa harus berkata apapun.
Seperti sekarang, meskipun Kanaya sadar bahwa aku tidak ikut makan malam, karena merasa kesal kepadanya dan tidak ingin bertemu. Namun kakak perempuanku itu malah membelikanku mie ayam untuk makan malam.
Satu jam berlalu setelah aku menghabiskan mie ayam itu. Merasa es teh tidak cukup, membuatku terpaksa keluar dari kamar sambil.membawa nampan dengan mangkuk dan gelas yang telah kosong. Namun begitu melirik sekitar, keadaan rumah terlihat sepi.
Kuyakin Kanaya sedang keluar bersama teman-temannya tadi. Aku pun segera mengambil sebotol air dingin di dalam kulkas, namun ketika akan kembali ke kamar, terdengar suara bel depan berbunyi.
Aku yang tanpa rasa curiga segera berjalan ke pintu depan dan membukanya, tanpa mengintip terlebih dahulu.
"Kak Evan?" seruku pelan melihat Evan berdiri di hadapanku. Masih lengkap memakai setelan kerjanya.
Evan tersenyum tipis kemudian menyodorkanku sebuah kotak. "Tadi ada yang kasih. Kebetulan aku tidak terlalu suka makanan yang manis."
Aku menerima kotak tersebut dengan perasaan berkecamuk, antara terkejut sekaligus bahagia. "Makasih Kak."
Evan mengangguk singkat. Terlihat akan berbalik, namun berhenti sejenak. "Habis nangis ya?"
Pipiku seketika bersemu. Reflek mengusap bagian pipi dan mataku. Lampu teras rumahku tidak begitu terang, tetapi Evan bisa melihatnya?
"Bertengkar sama Kanaya," ujarku berkata jujur.
Tap.
Tap.
Aku menegak salivaku begitu merasakan tangan Evan menepuk kepalaku dengan pelan. "Namanya juga saudara. Romantisnya, ya bertengkar satu sama lain."
Aku mendongak menatapnya. "Tapi ini lebih terasa romantis," balasku memegang tangan Evan yang menepuk kepalaku itu.
Evan menjadi terdiam menatapku dalam tanpa menarik tangannya dan aku tenggelam dalam tatapannya itu.
Kiran! Apa yang baru saja kau katakan tadi?
***
Perkataanku yang ceroboh membuat situasiku untuk dekat dengan Evan malah menjadi penuh kecanggungan. Aku merutuki diriku yang terlalu terbawa suasana ketika lelaki itu menepuk kepalaku."Argghhh!""Apa otakmu sedang error sehingga mengeluarkan suara sumbang seperti itu?"Ucapan sarkastik Kanaya memaksa kepalaku menoleh menatapnya yang sedang asyik menikmati siaran Netflix dengan camilan tortilla chips andalannya.Jika Kanaya sedang duduk di sofa depan televisi di ruang tengah, maka aku berada di sofa dekat dinding dengan posisi berbaring.Aku tentu saja berusaha mengabaikan ucapan Kanaya dan memilih fokus menatap ponselku. Mendekati Evan dalam dunia nyata, tampaknya akan sedikit sulit. Mengingat kesan terakhirku yang kurang menampakkan sisi anggun dan polosnya diriku. Oleh karena itu, aku berencana untuk mengulik sisi Evan melalui dunia maya.Pertama aku mencari media sosialnya dan seperti generasi modern saat ini,
Berstatus murid kelas tiga SMA membuat tubuh dan pikiranku benar-benar lelah. Banyaknya tugas, materi kelas tambahan dan mengikuti simulasi ujian membuatku ingin segera merebahkan tubuhku di atas tempat tidur.Namun apa daya kini aku malah menatap jengah kepada kumpulan murid laki-laki yang ributnya minta ampun. Aku yang selesai makan siang di kantin berniat menghabiskan waktu istirahat dengan meletakkan kepalaku di atas meja sambil memejamkan mata harus gagal.Aku melirik Ruri mulai bergabung dengan murid laki-laki tersebut. Helaan napas langsung keluar dari hidung dan mulutku. Aku tetap meletakkan kepalaku di atas meja, dengan memakai sebelah tanganku sebagai bantalan.Aku memiringkan kepalaku seraya merogoh saku rok abu-abu yang kupakai untuk mengeluarkan ponselku. Tentu saja tidak ada hiburan lain saat ini selain berselancar di dunia maya.Namun mataku melebar begitu melihat pertama kali instastory Evan yang sejak beberapa hari lalu kuikut
"Jadi kau akan menyerah kepada Kak Evan?" tanya Deril dengan suara penasaran. Ini bermula dari cuitan twitter yang kulakukan pagi ini. Sejak kapan juga Deril mengikutiku di twitter? Aku memang tidak memperhatikan orang yang mengikutiku, karena jumlahnya bisa puluhan dengan username yang aneh dan unik."Apa ya, aku belum berjuang, tetapi sudah dipatahkan beberapa kali oleh ucapan dan tindakan Kak Evan yang memang sepertinya tidak memberi ruang di hatinya dengan kehadiranku," balasku berkaca pada realitas yang ada.Saat ini kami berdua sedang berada di pinggir lapangan basket ketika jam istirahat sedang berlangsung, di mana murid lainnya sedang berlalu-lalang. Pasalnya untuk bisa ke kantin harus melewati lapangan basket yang juga berdekatan dengan lapangan futsal.Kudengar suara kekehan Deril. "Yakin nih? Padahal aku ada rencana bertemu dengan Kak Evan untuk berdiskusi tentang pelajaran fisika."Aku menoleh menatapnya. "Bahkan jika kau mengajakku b
Aku kembali menulis usaha perjuanganku pada notebook yang kubeli dulu ketika mengunjungi toko buku bersama Ruri.Senyum seolah tidak mau beranjak dari bibirku kala melirik dua buah tiket yang terletak di atas meja belajarku. Namun hal itu terganggu begitu ponselku berbunyi, tanda notifikasi bahwa sebuah pesan masuk.Aku meletakkan pulpen yang kupegang, lalu menggantinya dengan ponsel. Kulihat pesan itu dari Ruri.Ruri : Kiraaaan!Kiran : Apaan sih?Ruri : Hehe, PR Kimia tentang Logam Alkali sudah selesai?Aku mengernyitkan dahi, bisa menebak apa niat Ruri berkata seperti itu.Kiran : Sudah dong, tapi gak bisa diintip.Ruri : Eh kok gitu, aku beri imbalan deh.Kiran : Gak tertarik.Ruri : Yakin?Tidak lama kemudian setelah pesan terakhir Ruri, dia mengirimiku sebuah gambar foto. Sebuah tiket untuk masuk ke rumah hantu.Ah Ruri, tahu saja kalau aku sedang penasaran sama wahana ru
08538908*** : Ini aku Evan. Besok kita berangkat jam sepuluh.Aku yang baru saja akan tidur, ketika membaca pesan dari nomor yang tidak tersimpan, tetapi begitu membaca nama Evan, hatiku menolak untuk tidak bersorak kegirangan."Assa!" Aku mengangkat kepalan tangan dengan wajah semringah.Aku mencoba membalasnya akan terdengar semanis dan selembut mungkin. Namun sebelumnya aku menyimpan nomor lelaki itu dengan nama Kak Evan♡.Aku cekikikan sendiri membaca tanda love pada nama kontak yang kubuat. Lalu beralih memikirkan balasan yang bisa membuat obrolan kami tidak terputus.Kiran : Kalau boleh tahu, Kak Evan lagi apa sekarang?Aku menggigit kuku jempolku setelah mengirim pesan tersebut. Kurang dari semenit balasan dari lelaki itu sudah datang.Kak Evan♡ : Kerja laporan.Aku berdecak lidah, karena balasan singkat tersebut. Namun Evan malah tidak balik bertanya tentang kegiatanku. Bangkit dari tempat tidur, aku meli
Jika kemarin pujian kata manis Evan membuatku seolah melayang, kini kepalaku malah pusing mengartikannya. Pasalnya aku mengingat hari di mana Evan memberiku kue, karena lelaki itu mengatakan bahwa dia tidak suka makanan manis."Ini sedikit ambigu," gumamku setelah merapikan rambutku, lalu segera keluar dari kamar.Aku menuju meja makan di mana sudah ada Kanaya yang makan dengan terburu-buru. "Pelan-pelan saja."Kanaya langsung mendongak dan menatapku tajam. Ia kemudian segera menghabiskan susunya. "Kuliah nanti, baru tahu rasa," balasnya ketus lalu bangkit dari kursi makan menuju pintu depan dengan menyampirkan ransel yang dipakainya."Oh ya Bu, Ayah mana? Kok tidak sarapan," tanyaku mulai memakan sarapanku."Ayahmu sudah tadi. Kelamaan tunggu kau selesai pakaian. Sekarang lagi ngobrol sama Evan di teras sambil minum kopi," balas ibu membuat mataku seketika terbelalak.Tanpa berbicara lagi, aku segera menghabiskan sarapanku dengan terburu-bu
Kegiatan sekolah semakin menumpuk. Tugas tanpa henti meski sudah mendekati ujian sekolah, les yang semakin rajin serta beberapa praktikum yang harus selesai sebelum ujian. Semua masalah akademik tersebut membuat usaha dan rencanaku untuk dekat dengan Evan menjadi terhambat.Disaat Evan mulai sedikit terbuka, dengan mengajakku sekadar makan bersama meski Kanaya terkadang ikut untuk menghilangkan rasa jenuhnya itu. Namun semuanya kembali renggang, karena jadwal sekolah serta bagaimana Evan terlihat sibuk dengan pekerjaannya."Jadi kau masih saling mengirim pesan dengan Kak Kanaya?" tanyaku pada Deril yang kini duduk denganku di bangku dekat lapangan basket.Deril tertawa pelan. "Kau masih menganggapku mendekati kakakmu? Aku hanya pernah beberapa kali bertanya tentang kampus.""Lalu setelahnya saling komen lewat direct message instagram?" timpalku mengingat dengan jelas bagaimana Kanaya yang selalu meng
Kesibukan akan praktikum menjadikan hariku hampir tidak bisa bersantai. Belum lagi ujian nasional yang sebentar lagi akan berlangsung. Semua tentang akademik membuat kepalaku berat dan terasa pening. Namun kurasa semua anak kelas dua belas mengalaminya. Tidak terkecuali Deril yang mengajakku makan di kantin, hanya berdua."Dan sekarang orang-orang mulai akan semakin yakin bahwa kita berpacaran," ujarku lalu menyesap jus jeruk di hadapanku.Derik terkekeh pelan. "Ayolah Kiran, sebentar lagi masa SMA akan berakhir. Lupakan ucapan murid lainnya."Aku mengendikkan bahu samar. "Baiklah. Jadi rencanamu setelah lulus bakal kuliah?""Tentu saja. Kau sendiri, mau nikah?" tanya Deril balik dengan sebuah candaan.
"Kalian berangkat saja. Evan sudah mempersiapkan segalanya seperti ini," ujar ibuku setelah aku memberitahu tentang rencana bulan madu yang telah dipersiapkan oleh Evan.Namun aku masih khawatir akan satu hal, yaitu Karin. "Tapi ini bukan libur sekolah.""Karin biar aku dan ayahmu yang jaga. Antar dia ke sekolah dan juga menjemputnya. Lagipula Kanaya dan Kenzo akan datang akhir pekan ini, jadi Karin tidak akan begitu kesepian," balas ibu telah menebak bahwa aku berniat mengikutsertakan Karin ke rencana bulan madu yang Evan susun sebelumnya."Benarkah?" Aku sebenarnya tidak ragu bahwa Karin akan melarang kami, karena anak perempuan itu sudah terbiasa
Setiap orang memiliki harapan.Awalnya aku meragukan kalimat tersebut, hingga sampai aku bisa kembali duduk, berjalan dan bahkan berlari. Bentuk fisikku juga mulai kembali seperti layaknya wanita berusia dua puluhan tanpa kekurangan apapun. Bukan usaha yang mudah dan waktu yang singkat. Setidaknya satu tahun membuatku mencoba menggenggam harapan itu agar semakin nyata."Kau menyukai tempat ini?" Suara Evan membuat lamunanku buyar."Ya?"Evan terkekeh kecil. "Aku mengajakmu melihat calon hunian baru kita dan kau mengkhayal?"
Author POV-------------------------------------------------------------------Pada sebuah toko buku di pusat perbelanjaan, tampak adanya antrean panjang di dalamnya. Pengunjung yang baru datang lalu membaca spanduk yang terdapat pada pintu depanFan Meeting With RiruNovel terbaru : Linggar (Impian, Harapan dan Cinta)Ruri telah sukses menjadi seorang penulis novel, setelah mengundurkan diri sebagai editor. Ia juga memakai nama Riru sebagai nama penanya. Hanya membalik huruf pada
Sudah tiga hari sejak Ruri membawa surat yang kutulis untuk Evan tersebut. Namun belum ada tanda-tanda kedatangannya. Aku tidak pernah meragukan bahwa Ruri akan terlambat menyerahkan surat itu. Mungkin … Evan sedang sibuk.Aku tidak membohongi diriku sendiri bahwa rasa sakit ini mulai menyiksaku. Berharap bahwa ini akan segera berakhir. Bukan hanya soal rasa sakit secara fisik, tetapi batinku tersayat melihat ayah, ibu dan Kanaya yang menangis di sampingku kala aku memejamkan mata seolah tengah tertidur, padahal mendengar bagaimana rintihan mereka.Hari ini gerimis hujan turun membasahi tanah. Aroma petrichor menyusup ke dalam kamar rawatku, sengaja aku meminta Kanaya tidak menutup jendela. Suara rinai hujan membuat ingatanku tertaut pada
Aku berpikir bahwa menyingkir dari hiruk pikuk Jakarta akan membuat kesehatanku mulai membaik. Namun ternyata aku salah, baru sehari tiba di Bandung, aku langsung tumbang.Ayah dan ibu pun langsung mengetahui penyakitku setelah aku dirawat di rumah sakit. Mendapat perawatan bukan berarti membuat kerisauanku menghilang. Nyatanya aku malah bertambah akan satu hal. Evan, lelaki itu telah mengetahui surat pengunduran diriku.Evan♡ : Bagaimana bisa kau melakukan ini padaku? Apakah aku membuat kesalahan? Maafkan aku tidak terlalu memperhatikanmu disaat sedang bersama Karin.Evan♡ : Berikan aku alasan pengunduran dirimu, di mana kau sekarang?
Masalah kebohonganku kepada layanan darurat telah di atasi oleh Evan. Pria itu bahkan menemaniku ke kantor polisi terlebih dahulu, kemudian akan menyusul Karin yang telah dibawa ke rumah sakit.Menurut keterangan polisi, pria yang menculik Karin dari tempat les adalah pemain lama yang memiliki komplotan tersendiri. Salah satu dari penculik yang telah ditangkap tersebut bahkan merupakan residivis untuk kasus yang sama."Kiran," panggil Evan melangkah mendekat, lalu memelukku erat. "Terima kasih, terima kasih."Aku tersenyum lalu membalas pelukan lelaki itu. Kemudian terdengar isak tangis, perasaanku tersayup, apakah Evan sedang menangis dalam p
Sesuai dengan instruksi dokter, aku menuju salah satu rumah sakit besar yang ada di Indonesia untuk melakukan pemeriksaan lanjutan dan pemeriksaan kali ini jauh lebih banyak serta kompleks, sehingga aku harus meminta izin agar tidak masuk kantor selama satu hari.Aku tidak mungkin memberitahu Evan tentang penyakitku ini, karena lelaki itu pasti akan khawatir dan mulai tidak fokus dalam bekerja. Tanggung jawab Evan begitu besar dan melibatkan banyak orang. Namun Evan mencoba mencari tahu alasanku untuk cuti satu hari tersebut.Maka dari itu kami kini tersambung melalui panggilan suara. Aku berada di depan ruang pemeriksaan setelah mengganti baju. Sebelah tanganku memegang nomor antrean dan satunya lagi memegang ponsel."Kau sungguh mengajukan cuti, karena Kanaya meminta
Sesuai dengan janji kami, aku mendatangi salah satu restoran untuk bertemu dengan Kanaya pada jam istirahat kerja. Ketika aku sampai, ternyata Kanaya telah duduk pada sudut restoran terlebih dahulu."Kak Kanaya," sapaku membuat Kanaya mendongak menatapku. Dia tersenyum tipis sekilas lalu mempersilakanku."Kau benar-benar sibuk sampai terlambat hampir setengah jam?"Aku tertawa sumbang. "Jam makan siang selalu membuat jalan di depan kantor menjadi padat.""Bukan karena menemani Kak Evan makan siang dulu?" Balasan Kanaya menjadikanku terdiam. Dia langsung membahas tentang hubunganku dengan lelaki itu."Apakah … Ibu dan Ayah telah tahu tentang hal
Aku memandangi penampilanku di depan cermin saat ini. Memakai gaun mungkin adalah pertama kalinya dalam beberapa bulan terakhir. Jika bukan karena ajakan kencan dari Evan, mana mungkin aku mau repot-repot memakainya."Aku ingin mengajakmu menonton bersama, namun malah ada agenda kencan," keluh Ruri yang telah sengaja mengosongkan jadwalnya dan berangkat menuju indekos tempatku tinggal.Aku melirik Ruri sekilas. "Salah sendiri tidak kabarin dulu. Waktu akhir pekan untuk perempuan yang telah memiliki kekasih bukanlah di rumah," ujarku terdengar sombong sampai Ruri berdecak lidah."Ketemu tiap hari juga."Aku mengeluarkan liptint dari tasku. Mengoleskannya sebagai sentuhan terakhir untuk acara kencanku hari ini. Semoga