08538908*** : Ini aku Evan. Besok kita berangkat jam sepuluh.
Aku yang baru saja akan tidur, ketika membaca pesan dari nomor yang tidak tersimpan, tetapi begitu membaca nama Evan, hatiku menolak untuk tidak bersorak kegirangan.
"Assa!" Aku mengangkat kepalan tangan dengan wajah semringah.
Aku mencoba membalasnya akan terdengar semanis dan selembut mungkin. Namun sebelumnya aku menyimpan nomor lelaki itu dengan nama Kak Evan♡.
Aku cekikikan sendiri membaca tanda love pada nama kontak yang kubuat. Lalu beralih memikirkan balasan yang bisa membuat obrolan kami tidak terputus.
Kiran : Kalau boleh tahu, Kak Evan lagi apa sekarang?
Aku menggigit kuku jempolku setelah mengirim pesan tersebut. Kurang dari semenit balasan dari lelaki itu sudah datang.
Kak Evan♡ : Kerja laporan.
Aku berdecak lidah, karena balasan singkat tersebut. Namun Evan malah tidak balik bertanya tentang kegiatanku. Bangkit dari tempat tidur, aku melirik rumah depan dan terlihat beberapa lampu masih menyala.
Kiran : Kak Evan sudah makan malam?
Kak Evan♡ : Pertanyaan apa itu? Kenapa tidak berbobot sama sekali.
Mataku membulat membacanya. Seketika aku menghela napas frustrasi. Pikiran bahwa Evan akan menganggap pemikiranku sangat dangkal membuat suasana hatiku berubah dratis, yang tadinya berbunga-bunga kini seolah berkabut.
Kiran : Siapa tahu Kak Evan terlalu sibuk kerja sampai lupa makan :(
Kak Evan♡ : Kiran … kalau manusia lapar pasti instingnya cari makan.
Jawaban yang terdengar ilmiah, tetapi menohok membuatku melempar ponsel ke atas tempat tidur, lalu ikut melempar tubuhku dalam posisi tengkurap. Aku menenggelamkan wajahku ke bantal, lalu membalik kembali tubuhku.
"Apakah jawaban seperti itu juga akan diberikan Kak Evan kepada pacarnya?" gumamku merasa bahwa pertanyaan sederhana tersebut sering muncul dalam percakapan via telepon antar pasangan kekasih.
Aku bahkan mengakui bahwa beberapa bulan menjalin hubungan dengan Fahmi, maka pertanyaan seperti itu kebanyakan yang muncul. Namun sepertinya melihat usia Evan yang lebih dewasa, pertanyaan seperti itu sudah tidak relevan lagi baginya.
"Sepertinya aku harus sering membaca dan menonton berita terkini, mungkin Kak Evan suka membahas tentang hal begitu," ucapku merasa bahwa membuka obrolan dengan Evan lebih sulit dibandingkan mencari materi untuk mengerjakan makalah.
Hari minggu datang juga, dengan menyetel alarm, aku tidak terlambat untuk bangun. Aku bahkan masih sempat membantu ibuku untuk menyiapkan sarapan, sedangkan ayah sudah pergi lari pagi.
"Tumben bangun cepat," sapa Kanaya dengan wajah bantalnya. Bahkan sapaan paginya sangat menyebalkan.
Aku menaruh mangkuk besar berisi nasi goreng ke atas meja makan. "Hari ini mau jalan sama Kak Evan," ujarku dengan nada sombong.
Kulihat Kanaya mendelik. "Benar Kak Evan mengajakmu jalan?"
Aku mengangguk dengan cepat. "Iya dong. Pembukaan restoran Jepang yang didirikan oleh temannya."
Kanaya kemudian menyungging senyuman miring. "Oh gitu … paling Kak Evan membawamu, karena akan menggunakanmu sebagai alasan untuk pulang dengan cepat."
Aku menggeram, langsung duduk di depan Kanaya dan segera mengambil nasi goreng dan memakannya dengan emosi. Kulirik kakak perempuanku itu menahan senyum dan makan dengan santainya.
Mencoba tidak terpengaruh dengan ucapan Kanaya, setelah sarapan dan mencuci piring, segera aku kembali ke kamar dan memilih pakaian yang akan kugunakan nanti.
Aku membuka lemariku dan memandang pakaian yang biasa aku pakai untuk jalan-jalan. Aku mengeluarkan blouse kuning dan rok panjang putih bercorak bunga.
"Ouh, ini terlihat terlalu kuno dan kolot," komentarku mengangkat gantungan kedua jenis pakaian tersebut dan melihatnya dengan saksama. Otakku membayangkan ketika memakainya dan berdiri di samping Evan yang mungkin tampil dengan keren. Sangat tidak sepadan.
Kemudian ada jaket denim dan celana jeans biru. Aku menyipitkan mata dan merasa terlalu tomboy apabila mengenakannya nanti. Pilihanku akhirnya jatuh kepada blouse orange dengan kerah ruffled dan celana kulot. Selesai memilih pakaian membuatku berlanjut memasukkan dompet dan ponsel ke dalam sling bag yang biasa aku gunakan untuk berjalan-jalan singkat dan santai.
Tanpa membuang waktu agar nantinya bisa berdandan yang santai, aku segera mandi. Jika biasanya aku akan menghabiskan waktu hampir satu jam di dalam kamar mandi, maka kali ini setengah jam cukup.
Pakaian sudah, tas sudah, oh … sepatu. Masih dengan memakai baju mandi dan handuk pada rambutku yang basah, aku segera menuju rak sepatu yang terdapat di dekat pintu depan. Namun begitu sampai di sana, aku baru menyadari bahwa sepatu ballet flat milikku rusak. Hanya tersisa sneakers dan boots yang tidak mungkin aku pakai nanti.
Mataku lalu menangkap flatform sandals milik Kanaya. Aku melirik sekitar sekilas, memastikan Kanaya tidak berada di sana ketika aku membuka pintu kaca rak sepatu.
"Kalau dia mau murka setelah jalan-jalanku bersama Kak Evan, maka tidak masalah," ucapku lalu menegak saliva dan mengambil sandal Kanaya tersebut, lalu masuk ke dalam kamar.
Setelah berpakaian, aku mulai memoles wajahku dengan hanya memakai hiasan sederhana, tetapi tetap menonjolkan beberapa bagian. Seperti pipi yang blush warna merah mudah, bibir dengan liptint, maskara dan eyeliner. Pemakaian BB cream membuat wajahku cerah tanpa noda, namun terlihat tidak berat dibanding memakai foundation yang biasa dipakai ibuku.
Kurang dari sepuluh menit, aku mendapat notifikasi pesan dari Evan. Kali ini bukan lagi via pesan pada umumnya, melainkan WhatsApp dan itu membuatku senang.
Kak Evan♡ : Ayo kita berangkat sekarang.
Aku pun segera membalasnya. Takut Evan akan mengira bahwa aku belum siap dan lelet.
Kiran : Oke, aku segera ke sana.
Aku bukan berlari atau berjalan terburu-buru, ketika keluar kamar. Melainkan waswas, takut Kanaya akan melihatku memakai salah satu sandal kesayangannya. Namun melihat Kanaya tidak berada di ruang tengah dan ruang tamu membuatku berasumsi bahwa perempuan itu berada di dalam kamarnya.
Senyum bahagia langsung tersungging di wajahku. Namun senyuman itu sirna, begitu aku membuka pintu dan berpapasan dengan Kanaya yang kelihatannya baru akan masuk ke dalam rumah.
"Kau darimana?" tanyaku spontan.
Alis Kanaya terangkat sebelah. "Buang sampah."
Aku yang tidak berharap pandangannya akan tertunduk, nyatanya sudah dilakukan oleh Kanaya sekarang dan membuatku tegang sekaligus menegak saliva.
"Pantas aku tidak melihat sandalku itu di rak sepatu tadi," ujarnya kembali menatapku.
"Biarkan aku meminjamnya hari ini," pintaku berusaha menunjukkan wajah memelas.
Kanaya menghela napas sejenak. "Pastikan tidak rusak," balasnya lalu berjalan mendahuluiku.
Mendapat izin sudah menggunakan sandal membuatku segera menuju rumah depan dan kulihat lampu mobil milik Evan telah menyala. Artinya lelaki itu sudah berada di dalam mobil.
Begitu aku membuka pintu mobil bagian depan di sebelah pengemudi, aroma parfum maskulin langsung menyeruak.
"Wah Kak Evan harus sekali," ujarku spontan lalu segera naik duduk.
Aku melihat Evan hanya menyeringai kecil, lalu mulai menjalankan mobilnya. Sepanjang perjalanan aku hanya menggenggam tali sling bag milikku. Bibirku terasa keluh untuk membuka obrolan kali ini, karena melihat penampilan lelaki di sebelahku yang begitu keren dan terlihat semakin tampan.
Evan hanya memakai jaket berkerah abu-abu dengan dalaman kaus oblong hitam, celana denim hitam dan sepatu kulit. Namun itu sudah menyihir mataku agar terus meliriknya dari samping.
Untung saja jarak restoran yang cukup dekat, sehingga kami cepat sampai dan membuatku tidak berhalusinasi lebih lanjut. Perasaan kagum itu kemudian berganti dengan gugup, melihat banyaknya orang yang datang.
Setelah berhasil masuk ke dalam restoran. Evan langsung memberi selamat kepada temannya dan aku hanya bisa berdiri di belakangnya sambil memandang sekitar. Evan sempat memperkenalkanku dengan sang pemilik restoran yang bernama Figo.
"Ayo kita bergabung ke sana," ajak Figo yang menjadikan Evan berjalan menuju salah satu meja yang terdapat lima orang dan semuanya adalah laki-laki.
"Woy Evan, kirain kau tidak datang." Salah satu pria dengan senyuman langsung menyambut dan menjabat tangan Evan.
Evan tertawa pelan. "Tentu saja aku datang. Figo mengirimkan undangannya langsung."
"Kukira kau hanya akan datang sendiri seperti kami." Pria lainnya kemudian melihat ke arahku.
Evan ikut berbalik badan sekilas. "Ayo duduk," ajaknya mendorongkan kursi keluar.
"Wah baiknya Evan ini," celetuk pria pertama yang mengajak Evan bicara tadi.
"Oh ya, namanya siapa?" tanya salah satu pria yang duduk di depanku sambil tersenyum lebar.
Aku hanya mengerjapkan mata sebentar. "Kiran," balasku singkat.
"Aku Raka." Lelaki bernama Raka itu lalu mengulurkan tangannya. Namun ketika aku akan menjabat tangannya, tiba-tiba dari arah samping Evan menepis tangan lelaki tersebut.
"Tidak usah modus sembarang. Kiran adalah adikku."
Aku terkejut sekaligus bingung apakah harus senang, karena tepisan tangan Evan atau sedih, karena seolah menegaskan bahwa dia hanya menganggapku sebagai adiknya.
Pria lainnya tertawa. "Sudah kuduga bahwa Kiran bukan pacarmu. Dia terlihat terlalu muda untukmu. Iya kan Kiran?"
Aku mengangguk singkat. "Aku baru berusia tujuh belas tahun."
"Lihatlah, Kiran masih anak SMA dan di bawah umur," balas Raka sambil menghela napas.
Aku melirik Evan tersenyum tipis. "Tapi dia bukan anak di bawah umur. Kau sudah punya KTP bukan?" tanyanya menoleh padaku.
Sekali lagi aku menganggukkan kepala. "Aku bukan lagi anak-anak."
Evan tersenyum simpul. Dia tersenyum seperti itu sambil menatapku untuk pertama kalinya. Sebuah senyuman yang terlihat tulus dan membuat dadaku berdebar kencang saat ini.
Tidak lama kemudian pelayan membawakan kami makanan dan membuat Evan kembali menghadap ke depan. Disertai Figo yang datang ke meja kami.
"Makanlah yang banyak semuanya. Termasuk Kiran," ucap Figo dengan ramah.
Aku pun mengangguk spontan. "Terima kasih Kak Figo."
"Ini." Sebuah sumpit kemudian diberikan Evan padaku. Aku menoleh memandangnya yang mulai sibuk mengaduk ramen di dalam mangkuknya.
Aku tersenyum tipis. "Selamat makan Kak Evan."
Evan ikut menoleh dan menatapku untuk beberapa saat. "Kau terlihat manis hari ini." Dia kemudian mulai menyeruput mie ramennya. Sedangkan aku masih terpaku oleh perkataannya tadi.
Deg.
Rasanya jantungku akan copot hari ini. Setelah senyuman tadi, kini Evan memujiku dengan nada berbisik.
Aku … benar-benar bersyukur datang ke restoran ini bersamanya. Sepertinya aku semakin jatuh hati kepada Evan. Perlu usaha yang lebih keras lagi, semangat Kiran!
***
♡♡♡
Jika kemarin pujian kata manis Evan membuatku seolah melayang, kini kepalaku malah pusing mengartikannya. Pasalnya aku mengingat hari di mana Evan memberiku kue, karena lelaki itu mengatakan bahwa dia tidak suka makanan manis."Ini sedikit ambigu," gumamku setelah merapikan rambutku, lalu segera keluar dari kamar.Aku menuju meja makan di mana sudah ada Kanaya yang makan dengan terburu-buru. "Pelan-pelan saja."Kanaya langsung mendongak dan menatapku tajam. Ia kemudian segera menghabiskan susunya. "Kuliah nanti, baru tahu rasa," balasnya ketus lalu bangkit dari kursi makan menuju pintu depan dengan menyampirkan ransel yang dipakainya."Oh ya Bu, Ayah mana? Kok tidak sarapan," tanyaku mulai memakan sarapanku."Ayahmu sudah tadi. Kelamaan tunggu kau selesai pakaian. Sekarang lagi ngobrol sama Evan di teras sambil minum kopi," balas ibu membuat mataku seketika terbelalak.Tanpa berbicara lagi, aku segera menghabiskan sarapanku dengan terburu-bu
Kegiatan sekolah semakin menumpuk. Tugas tanpa henti meski sudah mendekati ujian sekolah, les yang semakin rajin serta beberapa praktikum yang harus selesai sebelum ujian. Semua masalah akademik tersebut membuat usaha dan rencanaku untuk dekat dengan Evan menjadi terhambat.Disaat Evan mulai sedikit terbuka, dengan mengajakku sekadar makan bersama meski Kanaya terkadang ikut untuk menghilangkan rasa jenuhnya itu. Namun semuanya kembali renggang, karena jadwal sekolah serta bagaimana Evan terlihat sibuk dengan pekerjaannya."Jadi kau masih saling mengirim pesan dengan Kak Kanaya?" tanyaku pada Deril yang kini duduk denganku di bangku dekat lapangan basket.Deril tertawa pelan. "Kau masih menganggapku mendekati kakakmu? Aku hanya pernah beberapa kali bertanya tentang kampus.""Lalu setelahnya saling komen lewat direct message instagram?" timpalku mengingat dengan jelas bagaimana Kanaya yang selalu meng
Kesibukan akan praktikum menjadikan hariku hampir tidak bisa bersantai. Belum lagi ujian nasional yang sebentar lagi akan berlangsung. Semua tentang akademik membuat kepalaku berat dan terasa pening. Namun kurasa semua anak kelas dua belas mengalaminya. Tidak terkecuali Deril yang mengajakku makan di kantin, hanya berdua."Dan sekarang orang-orang mulai akan semakin yakin bahwa kita berpacaran," ujarku lalu menyesap jus jeruk di hadapanku.Derik terkekeh pelan. "Ayolah Kiran, sebentar lagi masa SMA akan berakhir. Lupakan ucapan murid lainnya."Aku mengendikkan bahu samar. "Baiklah. Jadi rencanamu setelah lulus bakal kuliah?""Tentu saja. Kau sendiri, mau nikah?" tanya Deril balik dengan sebuah candaan.
Ketika duniamu mulai dipusingkan oleh persoalan akademik, tambatan hati yang ingin pindah kota dan pernyataan cinta belum kesampaian, maka hal-hal tersebut bertambah rumit ketika kakak perempuanmu hamil diluar nikah.Aku tidak pernah memperkirakan bahwa Kanaya akan melakukan tindakan berisiko. Padahal setahuku Kanaya adalah perempuan yang penuh pertimbangan matang, logis dan bukan tipikal yang bisa dipaksa. Namun ketika tidak seng
Rasa lelah untuk ujian nasional. Perasaan resah memikirkan Kanaya, serta patah hati mengingat penolakan Evan. Semua seolah bercampur dan bersatu dalam relung jiwaku. Benar-benar berat rasanya memikul semua itu.
Satu minggu berlalu sejak ujian nasional berakhir. Dalam kurun waktu sesingkat itu, banyak hal yang terjadi. Mulai dari Kanaya dan Irvan telah menikah secara agama dan pengantin baru tersebut tinggal di rumah orang tua Irvan sementara. Alasannya, karena ayah dan ibu ingin bersiap akan kepindahan mereka ke Bandung, daerah asal ibu.
Rencana pernikahan Evan, penolakan SNMPTN hingga usaha Kanaya untuk aborsi bahkan setelah menikah. Semua bagai mimpi buruk bagiku. Rasanya begitu berat menjalani hari-hariku, bahkan sekadar untuk bernapas. Namun hidup harus tetap berjalan dan dihadapi.Hari ini Evan resmi meninggalkan status sebagai tetanggaku. Lelaki itu datang ke rumah untuk berpamitan kepada orang tuaku, utamanya ayahku. Sedangkan aku hanya bisa mendengarnya da
Untuk minggu pertama di Yogyakarta, aku benar-benar hanya mengunjungi tempat wisata, terutama yang paling ikonik adalah Candi Borobudur. Tatsuya benar-benar seperti tour guide untukku.
"Kalian berangkat saja. Evan sudah mempersiapkan segalanya seperti ini," ujar ibuku setelah aku memberitahu tentang rencana bulan madu yang telah dipersiapkan oleh Evan.Namun aku masih khawatir akan satu hal, yaitu Karin. "Tapi ini bukan libur sekolah.""Karin biar aku dan ayahmu yang jaga. Antar dia ke sekolah dan juga menjemputnya. Lagipula Kanaya dan Kenzo akan datang akhir pekan ini, jadi Karin tidak akan begitu kesepian," balas ibu telah menebak bahwa aku berniat mengikutsertakan Karin ke rencana bulan madu yang Evan susun sebelumnya."Benarkah?" Aku sebenarnya tidak ragu bahwa Karin akan melarang kami, karena anak perempuan itu sudah terbiasa
Setiap orang memiliki harapan.Awalnya aku meragukan kalimat tersebut, hingga sampai aku bisa kembali duduk, berjalan dan bahkan berlari. Bentuk fisikku juga mulai kembali seperti layaknya wanita berusia dua puluhan tanpa kekurangan apapun. Bukan usaha yang mudah dan waktu yang singkat. Setidaknya satu tahun membuatku mencoba menggenggam harapan itu agar semakin nyata."Kau menyukai tempat ini?" Suara Evan membuat lamunanku buyar."Ya?"Evan terkekeh kecil. "Aku mengajakmu melihat calon hunian baru kita dan kau mengkhayal?"
Author POV-------------------------------------------------------------------Pada sebuah toko buku di pusat perbelanjaan, tampak adanya antrean panjang di dalamnya. Pengunjung yang baru datang lalu membaca spanduk yang terdapat pada pintu depanFan Meeting With RiruNovel terbaru : Linggar (Impian, Harapan dan Cinta)Ruri telah sukses menjadi seorang penulis novel, setelah mengundurkan diri sebagai editor. Ia juga memakai nama Riru sebagai nama penanya. Hanya membalik huruf pada
Sudah tiga hari sejak Ruri membawa surat yang kutulis untuk Evan tersebut. Namun belum ada tanda-tanda kedatangannya. Aku tidak pernah meragukan bahwa Ruri akan terlambat menyerahkan surat itu. Mungkin … Evan sedang sibuk.Aku tidak membohongi diriku sendiri bahwa rasa sakit ini mulai menyiksaku. Berharap bahwa ini akan segera berakhir. Bukan hanya soal rasa sakit secara fisik, tetapi batinku tersayat melihat ayah, ibu dan Kanaya yang menangis di sampingku kala aku memejamkan mata seolah tengah tertidur, padahal mendengar bagaimana rintihan mereka.Hari ini gerimis hujan turun membasahi tanah. Aroma petrichor menyusup ke dalam kamar rawatku, sengaja aku meminta Kanaya tidak menutup jendela. Suara rinai hujan membuat ingatanku tertaut pada
Aku berpikir bahwa menyingkir dari hiruk pikuk Jakarta akan membuat kesehatanku mulai membaik. Namun ternyata aku salah, baru sehari tiba di Bandung, aku langsung tumbang.Ayah dan ibu pun langsung mengetahui penyakitku setelah aku dirawat di rumah sakit. Mendapat perawatan bukan berarti membuat kerisauanku menghilang. Nyatanya aku malah bertambah akan satu hal. Evan, lelaki itu telah mengetahui surat pengunduran diriku.Evan♡ : Bagaimana bisa kau melakukan ini padaku? Apakah aku membuat kesalahan? Maafkan aku tidak terlalu memperhatikanmu disaat sedang bersama Karin.Evan♡ : Berikan aku alasan pengunduran dirimu, di mana kau sekarang?
Masalah kebohonganku kepada layanan darurat telah di atasi oleh Evan. Pria itu bahkan menemaniku ke kantor polisi terlebih dahulu, kemudian akan menyusul Karin yang telah dibawa ke rumah sakit.Menurut keterangan polisi, pria yang menculik Karin dari tempat les adalah pemain lama yang memiliki komplotan tersendiri. Salah satu dari penculik yang telah ditangkap tersebut bahkan merupakan residivis untuk kasus yang sama."Kiran," panggil Evan melangkah mendekat, lalu memelukku erat. "Terima kasih, terima kasih."Aku tersenyum lalu membalas pelukan lelaki itu. Kemudian terdengar isak tangis, perasaanku tersayup, apakah Evan sedang menangis dalam p
Sesuai dengan instruksi dokter, aku menuju salah satu rumah sakit besar yang ada di Indonesia untuk melakukan pemeriksaan lanjutan dan pemeriksaan kali ini jauh lebih banyak serta kompleks, sehingga aku harus meminta izin agar tidak masuk kantor selama satu hari.Aku tidak mungkin memberitahu Evan tentang penyakitku ini, karena lelaki itu pasti akan khawatir dan mulai tidak fokus dalam bekerja. Tanggung jawab Evan begitu besar dan melibatkan banyak orang. Namun Evan mencoba mencari tahu alasanku untuk cuti satu hari tersebut.Maka dari itu kami kini tersambung melalui panggilan suara. Aku berada di depan ruang pemeriksaan setelah mengganti baju. Sebelah tanganku memegang nomor antrean dan satunya lagi memegang ponsel."Kau sungguh mengajukan cuti, karena Kanaya meminta
Sesuai dengan janji kami, aku mendatangi salah satu restoran untuk bertemu dengan Kanaya pada jam istirahat kerja. Ketika aku sampai, ternyata Kanaya telah duduk pada sudut restoran terlebih dahulu."Kak Kanaya," sapaku membuat Kanaya mendongak menatapku. Dia tersenyum tipis sekilas lalu mempersilakanku."Kau benar-benar sibuk sampai terlambat hampir setengah jam?"Aku tertawa sumbang. "Jam makan siang selalu membuat jalan di depan kantor menjadi padat.""Bukan karena menemani Kak Evan makan siang dulu?" Balasan Kanaya menjadikanku terdiam. Dia langsung membahas tentang hubunganku dengan lelaki itu."Apakah … Ibu dan Ayah telah tahu tentang hal
Aku memandangi penampilanku di depan cermin saat ini. Memakai gaun mungkin adalah pertama kalinya dalam beberapa bulan terakhir. Jika bukan karena ajakan kencan dari Evan, mana mungkin aku mau repot-repot memakainya."Aku ingin mengajakmu menonton bersama, namun malah ada agenda kencan," keluh Ruri yang telah sengaja mengosongkan jadwalnya dan berangkat menuju indekos tempatku tinggal.Aku melirik Ruri sekilas. "Salah sendiri tidak kabarin dulu. Waktu akhir pekan untuk perempuan yang telah memiliki kekasih bukanlah di rumah," ujarku terdengar sombong sampai Ruri berdecak lidah."Ketemu tiap hari juga."Aku mengeluarkan liptint dari tasku. Mengoleskannya sebagai sentuhan terakhir untuk acara kencanku hari ini. Semoga