Aku kembali menulis usaha perjuanganku pada notebook yang kubeli dulu ketika mengunjungi toko buku bersama Ruri.
Senyum seolah tidak mau beranjak dari bibirku kala melirik dua buah tiket yang terletak di atas meja belajarku. Namun hal itu terganggu begitu ponselku berbunyi, tanda notifikasi bahwa sebuah pesan masuk.
Aku meletakkan pulpen yang kupegang, lalu menggantinya dengan ponsel. Kulihat pesan itu dari Ruri.
Ruri : Kiraaaan!
Kiran : Apaan sih?
Ruri : Hehe, PR Kimia tentang Logam Alkali sudah selesai?
Aku mengernyitkan dahi, bisa menebak apa niat Ruri berkata seperti itu.
Kiran : Sudah dong, tapi gak bisa diintip.
Ruri : Eh kok gitu, aku beri imbalan deh.
Kiran : Gak tertarik.
Ruri : Yakin?
Tidak lama kemudian setelah pesan terakhir Ruri, dia mengirimiku sebuah gambar foto. Sebuah tiket untuk masuk ke rumah hantu.
Ah Ruri, tahu saja kalau aku sedang penasaran sama wahana rumah hantu yang berada dekat dengan sekolah kami. Hanya butuh lima menit perjalanan dari sekolah untuk mengunjungi destinasi untuk merasakan pengalaman horror tersebut.
Kiran : Iya deh, siapin cepat bukumu. Aku kirim malam ini juga.
Aku bisa melihat wajah semringah Ruri ketika berhasil mengumpulkan buku yang berisi pekerjaan rumah untuk pelajaran Kimia. Dia kemudian beralih menatapku.
"Makasih banyak Kiran," ujar Ruri lalu merogoh sesuatu dari saku rok abu-abu yang dipakainya.
Sebuah lolipop kini terpampang di hadapanku. Aku tentu tergiur melihat warna ceria dan meriah pada lolipop tersebut. Bisa kubayangkan bagaimana rasa manis yang akan memenuhi setiap sudut indera perasaku.
"Hari ini cuma kita berdua yang ke rumah hantu?" tanyaku memasukkan lolipop dari Ruri ke dalam tas. Akan kunikmati ketika menonton film atau drama Korea nantinya.
Ruri mengangguk pelan. "Soalnya wahana rumah hantunya, kita bakal naik kereta. Bukan jalan kaki."
Aku mengangguk pelan. Bisa kubayangkan bagaimana suasana dan atmosfir rumah hantu tersebut. Aku sebenarmya bukanlah perempuan yang pemberani-rani amat, tetapi kapan lagi bisa mengunjungi tempat horror seperti itu? Tidak selamanya wahana rumah hantu itu ada di kota ini.
Suasana kelas menjadi sunyi kala pelajaran Bahasa Jepang memasuki waktunya, tepat pada jam terakhir. Bagi mereka yang menyukai menonton anime atau dorama Jepang, maka pelajaran ini akan terasa menyenangkan. Siapa tahu ad adi antara teman sekelasku bakal jadi translator atau dubber Bahasa Jepang.
Namun berbeda denganku dan Ruri yang masih kesulitan mengingat dan membedakan huruf katakana dan hiragana. Padahal aku telah mempelajarinya selama tiga tahun terakhir.
"Aku bahkan belum mahir membedakan beberapa kata baku dan tidak baku ketika menulis esai Bahasa Indonesia, lalu apa sekarang?" keluh Ruri membuatku menahan tawa.
Kali ini kami disuruh mengisi beberapa pertanyaan memakai Bahasa Jepang, setelah kami diberi materi berupa beberapa contoh penggunakan partikel dalam kalimat. Kulirik Guru Bahasa Jepang kami sedang menerima telepon, sehingga keluar dari ruangan kelas.
"Apa setan Sadako juga akan muncul di wahana rumah hantu nanti?" tanyaku dengan nada berbisik. Aku terus fokus menulis dan memandang hasil tulisanku.
Suara kekehan kecil Ruri lalu terdengar. "Sadako kan bisa dibilang wujud kuntilanak yang geraknya ngesot, lalu keluar dari sumur dan bisa tembus dari layar televisi," balasnya terdengar polos.
"Jadi kau tidak takut nih?" tanyaku kini menoleh.
Kulihat Ruri menghentikkan tulisannya. Kepalanya ikut menoleh. "Tidak dong. Mereka yang jadi hantunya kan cuma manusia yang memakai kostum dan riasan."
Aku mengernyitkan dahi tidak yakin. Obralan kami kemudian berakhir, ketika Guru Bahasa Jepang kembali masuk ke dalam kelas dan meminta yang sudah selesai agar mengumpulkan tugasnya.
Tepat setelah pulang sekolah, aku dan Ruri memakai taksi daring untuk menuju wahana rumah hantu, tetapi rasa lapar yang tidak dipenuhi dengan baik pada saat jam istirahat, membuatku dan Ruri memutuskan menikmati pentol yang mana mas-mas jualan sedang mangkal dekat pintu masuk.
"Hm, ini enak loh Mas," puji Ruri setelah menghabiskan goceng untuk membeli pentol. "Kalau aku beli lima ribu lagi, boleh ditambah dua gak?"
Mataku membulat mendengar bujuk rayu Ruri. Kini aku mengerti, kenapa Ruri tidak langsung membeli pentol seharga sepuluh ribu alias ceban sepertiku tadi.
Suara Mas Penjual Pentol terkekeh kecil. "Iya deh Neng, nanti Mas tambahin."
"Yes!" pekik Ruri dengan girang.
Aku hanya menggelengkan kepalaku melihat tingkat Ruri. Perut kekenyangan membawa kami pada akhirnya masuk ke wahana rumah hantu. Aku mengira bentuk bangunan rumah hantu akan seperti rumah kosong, tetapi aku lupa bahwa nantinya kami akan memakai kereta.
Jadinya bangunan rumah hantu tersebut didesain terlihat memanjang. Adanya tirai besar dan panjang di bagian depan sebelum masuk membuatku tidak bisa menebak bagaimana penampakan awal di sana. Apalagi antrean cukup panjang, bahkan bagiku dan Ruri yang sudah memegang tiket.
"Kiran?"
Sebuah suara familier membuatku berbalik badan. Betapa terkejutnya aku melihat Deril berdiri tepat di belakangku.
"Deril."
Ruri yang tadinya berdiri di depanku, kini mensejajarkan dirinya denganku sambil ikut berbalik badan.
"Kalian mau masuk?" tanya Deril dengan alis terangkat.
Aku mendengus pelan. "Iyalah, gak mungkin kan aku dan Ruri antre kalau gak mau masuk."
Deril terkekeh kecil. "Bukan itu maksudku, tapi menurut pengalaman orang yang sudah masuk di sana, suasananya cukup menyeramkan."
"Masa sih?" tanyaku sedikit ragu.
"Benar loh, bahkan Kakak perempuanku yang sudah kuliah sampai menangis," sahut seorang lelaki yang berdiri di belakang Deril. Melihat seragam SMA-nya, membuatku yakin bahwa lelaki itu adalah satu kelas Deril yang tidak kuketahui namanya.
"Oh ya, dia Lintang. Teman sekelas," ujar Deril yang mungkin menyadari tatapan bingungku dengan Ruri.
Aku dan Ruri kemudian berjabat tangan dengan Lintang sebagai perkenalan diri. Ketika suara pengumuman agar antrean maju ke depan, aku dan Ruri kembali berbalik badan.
Ketika tubuh kami berdua melewati tirai, mataku melotot melihat pintu gerbang sesungguhnya untuk masuk ke dalam wahana rumah hantu. Bagian atasnya terdapat patung tengkorak besar dan suara-suara menyeramkan mulai terdengar menggema.
"Silakan naik kereta ini," ujar petugas wahana setelah Ruri menyerahkan tiket kami. Begitu pula dengan Deril dan temannya yang menyusul di belakang.
Kereta mulai berjalan pelan, diiringi oleh suara-suara yang mampu membuat bulu kudukku berdiri. Aku dan Ruri berada pada bangku belakang, sedangkan di depanku terdapat Deril.
"Haaaa…," teriakku dan Ruri ketika mengetahui bahwa jalur kereta bukan hanya lurus dan datar. Melainkan berkelok dan bergelombang.
Aku tidak bisa menyebut wahana ini sebagai rumah hantu, lebih tepatnya lorong hantu. Suasananya sangat gelap dan sebagian besar hanya memakai lampu yang cahaya seolah dibiarkan redup.
Kurasakan kereta seolah melambat, membuat tanganku spontan menggenggam tangan Ruri. Kulirik Deril juga berusaha mengedarkan pandangannya dengan waswas.
"Itu pocong Kiran," seru Ruri menunjuk sesuatu yang telah berdiri di depan kami.
Namun baru saja fokus kami memandang takut ke arah pocong tersebut, tiba-tiba terdengar suara cekikan wanita dan begitu aku menoleh, terlihat kuntilanak baru saja merangkak dari sebuah lubang buatan.
"Aaahhh, gila," teriakku spontan memukul punggung Deril.
Kami melewati pocong dan kuntilanak tersebut dengan tenaga yang hampir terkuras, karena berteriak. Begitu kereta berbelok, dua pasang tangan dengan kuku yang panjang seolah akan menampar wajah dua lelaki di depanku dan Ruri.
"Anjir apaan nih," seru Lintang terkejut.
Melihat reaksi Lintang membuatku dan Ruri tertawa pelan. Kulirik Deril tampak tidak bergeming dan malah menggeleng-gelengkan kepalanya memandang temannya itu.
Perjalanan berlanjut hingga terlihat kabut asap di bagian depan. Mataku terbelalak begitu kini mendengar suara tangisan bayi. Ini melebihi bayanganku, bahwa wahana ini hanya sedikit menakutkan.
Benar saja, penampakan hantu satu per satu mulai muncul. Bukan hanya jenis hantu yang biasa ada di film, tetapi juga mulai merambah negara lain. Bahkan Sadako dan Valak pun menyambut hangat kereta kami yang lewat.
"Gila gila, aku gak akan mau masuk lagi," ujar Ruri begitu kami berhasil keluar.
Aku sendiri merasa sedikit pusing, karena kebanyakan berteriak dan telah merasakan keringat pada punggungku, akibat mengeluarkan tenaga ekstra untuk mencoba kuat di dalam.
Deril terkekeh kecil. "Bayangkan jika kalian hanya berdua di dalam."
"Aku bahkan juga tidak bisa membayangkan diriku sendirian di dalam," sahut Lintang yang kurang lebih sama terkejutnya denganku dan Ruri.
"Kok bisa sih, kau tidak takut?" tanyaku heran kepada Deril. Seolah lelaki itu berteman dengan hantu-hantu di dalam.
"Mereka kan cuma sekadar cosplay hantu, ditambah suara-suara aneh. Aku bahkan kecewa, karena tidak menakutkan apa yang dibicarakan orang-orang," balas Deril dengan tenang.
Aku mendengus kesal. "Aku datang ke sini berniat melepas penat sebelum akhir pekan, tapi kenapa malah membuang energiku."
Aku lalu memikirkan bahwa ajakan makan bersama Evan hari minggu untuk mencoba membuat mood-ku kembali tenang.
Eh, bagaimana ya kalau aku dan Evan memasuki wahana ini bersama?
Apakah lelaki itu penakut atau seberani Deril? Atau aku bisa memeluk lengannya saat ketakutan, seperti yang kulakukan kepada Ruri tadi?
"Kiran, mukamu merah sekali? Saking takutnya ya?" ujar Ruri membuat imajinasi liarku tersadarkan.
"Apaan sih, ya sudah kita pulang yuk?"
Baru saja aku menarik tangan Ruri untuk keluar dari pekarangan wahana rumah hantu, tiba-tiba kurasakan sebuah tangan menahanku.
"Kiran, biar aku antar. Kebetulan aku dan Lintang bawa mobil ke sini," ucap Deril yang ternyata menahan tanganku.
Aku mengerjap sekali menatapnya dan kulirik wajah semringah sekaligus terkejut dari Ruri. Bisa kubayangkan apa yang ada di kepala perempuan itu.
♡♡♡
08538908*** : Ini aku Evan. Besok kita berangkat jam sepuluh.Aku yang baru saja akan tidur, ketika membaca pesan dari nomor yang tidak tersimpan, tetapi begitu membaca nama Evan, hatiku menolak untuk tidak bersorak kegirangan."Assa!" Aku mengangkat kepalan tangan dengan wajah semringah.Aku mencoba membalasnya akan terdengar semanis dan selembut mungkin. Namun sebelumnya aku menyimpan nomor lelaki itu dengan nama Kak Evan♡.Aku cekikikan sendiri membaca tanda love pada nama kontak yang kubuat. Lalu beralih memikirkan balasan yang bisa membuat obrolan kami tidak terputus.Kiran : Kalau boleh tahu, Kak Evan lagi apa sekarang?Aku menggigit kuku jempolku setelah mengirim pesan tersebut. Kurang dari semenit balasan dari lelaki itu sudah datang.Kak Evan♡ : Kerja laporan.Aku berdecak lidah, karena balasan singkat tersebut. Namun Evan malah tidak balik bertanya tentang kegiatanku. Bangkit dari tempat tidur, aku meli
Jika kemarin pujian kata manis Evan membuatku seolah melayang, kini kepalaku malah pusing mengartikannya. Pasalnya aku mengingat hari di mana Evan memberiku kue, karena lelaki itu mengatakan bahwa dia tidak suka makanan manis."Ini sedikit ambigu," gumamku setelah merapikan rambutku, lalu segera keluar dari kamar.Aku menuju meja makan di mana sudah ada Kanaya yang makan dengan terburu-buru. "Pelan-pelan saja."Kanaya langsung mendongak dan menatapku tajam. Ia kemudian segera menghabiskan susunya. "Kuliah nanti, baru tahu rasa," balasnya ketus lalu bangkit dari kursi makan menuju pintu depan dengan menyampirkan ransel yang dipakainya."Oh ya Bu, Ayah mana? Kok tidak sarapan," tanyaku mulai memakan sarapanku."Ayahmu sudah tadi. Kelamaan tunggu kau selesai pakaian. Sekarang lagi ngobrol sama Evan di teras sambil minum kopi," balas ibu membuat mataku seketika terbelalak.Tanpa berbicara lagi, aku segera menghabiskan sarapanku dengan terburu-bu
Kegiatan sekolah semakin menumpuk. Tugas tanpa henti meski sudah mendekati ujian sekolah, les yang semakin rajin serta beberapa praktikum yang harus selesai sebelum ujian. Semua masalah akademik tersebut membuat usaha dan rencanaku untuk dekat dengan Evan menjadi terhambat.Disaat Evan mulai sedikit terbuka, dengan mengajakku sekadar makan bersama meski Kanaya terkadang ikut untuk menghilangkan rasa jenuhnya itu. Namun semuanya kembali renggang, karena jadwal sekolah serta bagaimana Evan terlihat sibuk dengan pekerjaannya."Jadi kau masih saling mengirim pesan dengan Kak Kanaya?" tanyaku pada Deril yang kini duduk denganku di bangku dekat lapangan basket.Deril tertawa pelan. "Kau masih menganggapku mendekati kakakmu? Aku hanya pernah beberapa kali bertanya tentang kampus.""Lalu setelahnya saling komen lewat direct message instagram?" timpalku mengingat dengan jelas bagaimana Kanaya yang selalu meng
Kesibukan akan praktikum menjadikan hariku hampir tidak bisa bersantai. Belum lagi ujian nasional yang sebentar lagi akan berlangsung. Semua tentang akademik membuat kepalaku berat dan terasa pening. Namun kurasa semua anak kelas dua belas mengalaminya. Tidak terkecuali Deril yang mengajakku makan di kantin, hanya berdua."Dan sekarang orang-orang mulai akan semakin yakin bahwa kita berpacaran," ujarku lalu menyesap jus jeruk di hadapanku.Derik terkekeh pelan. "Ayolah Kiran, sebentar lagi masa SMA akan berakhir. Lupakan ucapan murid lainnya."Aku mengendikkan bahu samar. "Baiklah. Jadi rencanamu setelah lulus bakal kuliah?""Tentu saja. Kau sendiri, mau nikah?" tanya Deril balik dengan sebuah candaan.
Ketika duniamu mulai dipusingkan oleh persoalan akademik, tambatan hati yang ingin pindah kota dan pernyataan cinta belum kesampaian, maka hal-hal tersebut bertambah rumit ketika kakak perempuanmu hamil diluar nikah.Aku tidak pernah memperkirakan bahwa Kanaya akan melakukan tindakan berisiko. Padahal setahuku Kanaya adalah perempuan yang penuh pertimbangan matang, logis dan bukan tipikal yang bisa dipaksa. Namun ketika tidak seng
Rasa lelah untuk ujian nasional. Perasaan resah memikirkan Kanaya, serta patah hati mengingat penolakan Evan. Semua seolah bercampur dan bersatu dalam relung jiwaku. Benar-benar berat rasanya memikul semua itu.
Satu minggu berlalu sejak ujian nasional berakhir. Dalam kurun waktu sesingkat itu, banyak hal yang terjadi. Mulai dari Kanaya dan Irvan telah menikah secara agama dan pengantin baru tersebut tinggal di rumah orang tua Irvan sementara. Alasannya, karena ayah dan ibu ingin bersiap akan kepindahan mereka ke Bandung, daerah asal ibu.
Rencana pernikahan Evan, penolakan SNMPTN hingga usaha Kanaya untuk aborsi bahkan setelah menikah. Semua bagai mimpi buruk bagiku. Rasanya begitu berat menjalani hari-hariku, bahkan sekadar untuk bernapas. Namun hidup harus tetap berjalan dan dihadapi.Hari ini Evan resmi meninggalkan status sebagai tetanggaku. Lelaki itu datang ke rumah untuk berpamitan kepada orang tuaku, utamanya ayahku. Sedangkan aku hanya bisa mendengarnya da
"Kalian berangkat saja. Evan sudah mempersiapkan segalanya seperti ini," ujar ibuku setelah aku memberitahu tentang rencana bulan madu yang telah dipersiapkan oleh Evan.Namun aku masih khawatir akan satu hal, yaitu Karin. "Tapi ini bukan libur sekolah.""Karin biar aku dan ayahmu yang jaga. Antar dia ke sekolah dan juga menjemputnya. Lagipula Kanaya dan Kenzo akan datang akhir pekan ini, jadi Karin tidak akan begitu kesepian," balas ibu telah menebak bahwa aku berniat mengikutsertakan Karin ke rencana bulan madu yang Evan susun sebelumnya."Benarkah?" Aku sebenarnya tidak ragu bahwa Karin akan melarang kami, karena anak perempuan itu sudah terbiasa
Setiap orang memiliki harapan.Awalnya aku meragukan kalimat tersebut, hingga sampai aku bisa kembali duduk, berjalan dan bahkan berlari. Bentuk fisikku juga mulai kembali seperti layaknya wanita berusia dua puluhan tanpa kekurangan apapun. Bukan usaha yang mudah dan waktu yang singkat. Setidaknya satu tahun membuatku mencoba menggenggam harapan itu agar semakin nyata."Kau menyukai tempat ini?" Suara Evan membuat lamunanku buyar."Ya?"Evan terkekeh kecil. "Aku mengajakmu melihat calon hunian baru kita dan kau mengkhayal?"
Author POV-------------------------------------------------------------------Pada sebuah toko buku di pusat perbelanjaan, tampak adanya antrean panjang di dalamnya. Pengunjung yang baru datang lalu membaca spanduk yang terdapat pada pintu depanFan Meeting With RiruNovel terbaru : Linggar (Impian, Harapan dan Cinta)Ruri telah sukses menjadi seorang penulis novel, setelah mengundurkan diri sebagai editor. Ia juga memakai nama Riru sebagai nama penanya. Hanya membalik huruf pada
Sudah tiga hari sejak Ruri membawa surat yang kutulis untuk Evan tersebut. Namun belum ada tanda-tanda kedatangannya. Aku tidak pernah meragukan bahwa Ruri akan terlambat menyerahkan surat itu. Mungkin … Evan sedang sibuk.Aku tidak membohongi diriku sendiri bahwa rasa sakit ini mulai menyiksaku. Berharap bahwa ini akan segera berakhir. Bukan hanya soal rasa sakit secara fisik, tetapi batinku tersayat melihat ayah, ibu dan Kanaya yang menangis di sampingku kala aku memejamkan mata seolah tengah tertidur, padahal mendengar bagaimana rintihan mereka.Hari ini gerimis hujan turun membasahi tanah. Aroma petrichor menyusup ke dalam kamar rawatku, sengaja aku meminta Kanaya tidak menutup jendela. Suara rinai hujan membuat ingatanku tertaut pada
Aku berpikir bahwa menyingkir dari hiruk pikuk Jakarta akan membuat kesehatanku mulai membaik. Namun ternyata aku salah, baru sehari tiba di Bandung, aku langsung tumbang.Ayah dan ibu pun langsung mengetahui penyakitku setelah aku dirawat di rumah sakit. Mendapat perawatan bukan berarti membuat kerisauanku menghilang. Nyatanya aku malah bertambah akan satu hal. Evan, lelaki itu telah mengetahui surat pengunduran diriku.Evan♡ : Bagaimana bisa kau melakukan ini padaku? Apakah aku membuat kesalahan? Maafkan aku tidak terlalu memperhatikanmu disaat sedang bersama Karin.Evan♡ : Berikan aku alasan pengunduran dirimu, di mana kau sekarang?
Masalah kebohonganku kepada layanan darurat telah di atasi oleh Evan. Pria itu bahkan menemaniku ke kantor polisi terlebih dahulu, kemudian akan menyusul Karin yang telah dibawa ke rumah sakit.Menurut keterangan polisi, pria yang menculik Karin dari tempat les adalah pemain lama yang memiliki komplotan tersendiri. Salah satu dari penculik yang telah ditangkap tersebut bahkan merupakan residivis untuk kasus yang sama."Kiran," panggil Evan melangkah mendekat, lalu memelukku erat. "Terima kasih, terima kasih."Aku tersenyum lalu membalas pelukan lelaki itu. Kemudian terdengar isak tangis, perasaanku tersayup, apakah Evan sedang menangis dalam p
Sesuai dengan instruksi dokter, aku menuju salah satu rumah sakit besar yang ada di Indonesia untuk melakukan pemeriksaan lanjutan dan pemeriksaan kali ini jauh lebih banyak serta kompleks, sehingga aku harus meminta izin agar tidak masuk kantor selama satu hari.Aku tidak mungkin memberitahu Evan tentang penyakitku ini, karena lelaki itu pasti akan khawatir dan mulai tidak fokus dalam bekerja. Tanggung jawab Evan begitu besar dan melibatkan banyak orang. Namun Evan mencoba mencari tahu alasanku untuk cuti satu hari tersebut.Maka dari itu kami kini tersambung melalui panggilan suara. Aku berada di depan ruang pemeriksaan setelah mengganti baju. Sebelah tanganku memegang nomor antrean dan satunya lagi memegang ponsel."Kau sungguh mengajukan cuti, karena Kanaya meminta
Sesuai dengan janji kami, aku mendatangi salah satu restoran untuk bertemu dengan Kanaya pada jam istirahat kerja. Ketika aku sampai, ternyata Kanaya telah duduk pada sudut restoran terlebih dahulu."Kak Kanaya," sapaku membuat Kanaya mendongak menatapku. Dia tersenyum tipis sekilas lalu mempersilakanku."Kau benar-benar sibuk sampai terlambat hampir setengah jam?"Aku tertawa sumbang. "Jam makan siang selalu membuat jalan di depan kantor menjadi padat.""Bukan karena menemani Kak Evan makan siang dulu?" Balasan Kanaya menjadikanku terdiam. Dia langsung membahas tentang hubunganku dengan lelaki itu."Apakah … Ibu dan Ayah telah tahu tentang hal
Aku memandangi penampilanku di depan cermin saat ini. Memakai gaun mungkin adalah pertama kalinya dalam beberapa bulan terakhir. Jika bukan karena ajakan kencan dari Evan, mana mungkin aku mau repot-repot memakainya."Aku ingin mengajakmu menonton bersama, namun malah ada agenda kencan," keluh Ruri yang telah sengaja mengosongkan jadwalnya dan berangkat menuju indekos tempatku tinggal.Aku melirik Ruri sekilas. "Salah sendiri tidak kabarin dulu. Waktu akhir pekan untuk perempuan yang telah memiliki kekasih bukanlah di rumah," ujarku terdengar sombong sampai Ruri berdecak lidah."Ketemu tiap hari juga."Aku mengeluarkan liptint dari tasku. Mengoleskannya sebagai sentuhan terakhir untuk acara kencanku hari ini. Semoga