Berstatus murid kelas tiga SMA membuat tubuh dan pikiranku benar-benar lelah. Banyaknya tugas, materi kelas tambahan dan mengikuti simulasi ujian membuatku ingin segera merebahkan tubuhku di atas tempat tidur.
Namun apa daya kini aku malah menatap jengah kepada kumpulan murid laki-laki yang ributnya minta ampun. Aku yang selesai makan siang di kantin berniat menghabiskan waktu istirahat dengan meletakkan kepalaku di atas meja sambil memejamkan mata harus gagal.
Aku melirik Ruri mulai bergabung dengan murid laki-laki tersebut. Helaan napas langsung keluar dari hidung dan mulutku. Aku tetap meletakkan kepalaku di atas meja, dengan memakai sebelah tanganku sebagai bantalan.
Aku memiringkan kepalaku seraya merogoh saku rok abu-abu yang kupakai untuk mengeluarkan ponselku. Tentu saja tidak ada hiburan lain saat ini selain berselancar di dunia maya.
Namun mataku melebar begitu melihat pertama kali instastory Evan yang sejak beberapa hari lalu kuikuti, namun tidak pernah lelaki itu mengunggahnya. Ketika kuintip, ternyata bukan rekaman atau unggahan langsung, melainkan semacam repost dari akun lain yang men-tag lelaki itu.
Yang membuat kepalaku tidak bertopang lagi di atas meja adalah ketika melihat video instastory tersebut. Itu adalah rekaman sebuah wanita yang menyebut nama akun Evan dan dua akun bernama pria lainnya.
"Jangan lupa datang ya, awas loh."
Aku bisa mendengar dengan jelas apa yang diucapkan oleh wanita itu dan yang membuat lebih kesal adalah wanita itu sangat cantik. Untung saja wanita itu menandai nama tempat di mana dirinya berada, yaitu Little Sun. Sedikit mirip nama ala kafe.
Aku menghela napas kemudian mematikan ponselku. Tidak butuh waktu lama, hingga bel tanda jam istirahat telah berbunyi. Mata pelajaran terakhir akan terasa memusingkan dengan materi radioaktif.
Sebagai bab perkenalan radioaktif, guru kimia sampai harus menayangkan ilustrasi dari proyektor bahkan menyarankan untuk menonton serial Chernobyl sebagai salah satu contoh penggunaan radioaktif serta akibat yang dapat ditimbulkan.
Pelajaran kimia hari ini tidak terlalu menguras pikiran, terlebih pemberitahuan bahwa kelas tambahan yang ditiadakan, karena akan diadakan rapat. Hal itu berarti aku bisa pulang dengan cepat.
Namun mengingat kembali instastory tadi membuat otakku memikirkan rencana lain. Aku yang sudah menekan alamat rumahku pada aplikasi taksi daring langsung mengubahnya ke tempat lain.
"Kiran kalau kau tidak ke sana, maka kau akan menyesal," gumamku bertekad.
Aku memang berangkat menuju lokasi di mana akun instagram Evan ditandai. Sebenarnya aku bukanlah tipikal yang sampai kepo banget, tetapi melihat reaksi Evan yang sampai melakukan repost, tentu wanita itu cukup dekat dengannya.
Aku yang semula hanya ingin memantau tempat tersebut dari luar. Lagipula mungkin saja Evan sudah datang dan pertemuannya dengan wnaita itu sudah selesai. Tetapi aku salah besar, baru dua menit taksi yang kutumpangi berhenti, tiba-tiba kulihat mobil Evan berhenti dan perparkir di depan bangunan yang papan namanya bernama Little Sun.
Sosok Evan keluar dari mobil dan melangkah masuk sambil memegang sebuket bunga. Bisa dibayangkan bagaimana perasaanku saat ini, seolah ada jarum yang menusuk hatiku. Perih sekali, katakan ini berlebihan. Namun itulah yang kini kurasakan. Bayangan Evan memberi wanita itu bunga sambil tersenyum lembut sangat melukai perasaanku.
Aku yang berusaha tetap berpikir positif kemudian memutuskan untuk mendekati bangunan tersebut. Mencoba mengintipnya lewat kaca pintu yang ada.
"Eh Adek mau apa?"
Sial! Sebuah suara langsung menghentikan gerakanku yang akan mengintip dan ketika aku berbalik, kulihat seorang wanita yang mungkin berusia sekitar lima puluhan dengan rambut terikat sedang tersenyum ke arahku.
"Oh tidak, tadi aku melihat kenalan yang masuk," balasku berkata jujur.
Wanita itu tersenyum. "Oh ya? Mungkin tamu spesial Mbak Tata."
"Mbak Tata?"
"Iya, kan hari ini peresmian panti asuhan yang Mbak Tata dirikan bersama teman-teman SMA-nya."
Mataku seketika membulat begitu mendengarnya. "Apa? Panti asuhan?"
Wanita itu tertawa pelan. "Loh, Adek tidak tahu? Katanya ada kenalan?"
"Jadi Kak Evan…."
"Oh Mas Evan, dia salah satu yang penyumbang terbesar. Teman SMA Mbak Tata juga."
Selaan dari wanita paruh baya tersebut langsung membuatku kicep. Tidak lama kemudian aku melihat mobil datang membawa karangan bunga ucapan selamat.
Aku bukan terperangah dengan kebodohan atau kesalahpahaman yang ada diotakku. Tetapi merasa terharu sekaligus takjub bahwa Evan memiliki niat yang begitu mulia.
Benar-benar calon iman idaman. Bagaimana aku bisa berhenti berjuang kalau begini?
♡♡♡
Jika beberapa hari ini aku hanya diam-diam memperhatikan Evan sejak mengetahuinya dalam kontribusi pembangunan panti asuhan, tetapi kali ini berbeda.
Hari ini adalah hari di mana kakak Deril ulang tahun dan acaranya akan berlangsung malam ini juga. Harapanku tentu saja bisa berangkat bersama dengan Evan bahkan kado untuk kakak Deril pun sudah kusiapkan. Namun bagaimana caranya aku secara alami bisa berangkat bersama dengan Evan?
Tidak mungkin kan aku tiba-tiba muncul di hadapan pria itu dan mengutarakan keinginanku. Bisa-bisa Evan malah menjauhiku, karena mengira aku penguntit dan terlalu lengket dengannya.
Ternyata Tuhan sangat bermurah hati. Aku melalui jendela sedang melihat Evan menghampiri ayahku yang sedang menyiram tanaman depan rumah.
"Kiran sedang apa?"
Suara ibu langsung membuatku menutup gorden jendela dan berbalik badan. Melihatnya memegang sebuah nampan.
"Apa itu Bu?"
"Apalagi kalau bukan kopi Ayahmu."
Seketika ide cemerlang langsung muncul di kepalaku. "Biar Kiran saja," ujarku segera mengambil nampan yang dipegang ibu dan membawa keluar.
"Ayah kopinya sudah siap," seruku meletakkan nampan tersebut di meja kecil pada teras rumah.
"Eh, ada Kak Evan," sapaku sambil tersenyum dan berjalan mendekati ayah juga Evan.
"Halo Kiran," sapa Evan balik sambil tersenyum tipis.
"Nak Evan ada acara malam ini? Mau nonton pertandingan Arsenal melawan Chelsea bareng?"
Pertanyaan ayah sangat mewakili pertanyaan yang akan kuutarakan kepada Evan. Sepertinya nasib sedang bekerja di pihakku kali ini.
"Ada Om, kebetulan acaranya malam."
"Oh gitu ya, Kiran juga ada acara. Mau ke ulang tahun kakak temanmu bukan?"
Aku langsung mengangguk. "Iya, nama temanku Deril," jawabku sambil menatap Evan.
Terlihat Evan mengernyitkan dahi. Meski begitu ia tidak mengatakan apapun lagi selain pamit kepada ayahku untuk mandi sore dan bersiap ke acara yang dirinya maksud. Apa memang Evan tidak ingin memberiku tumpangan?
Tidak mendapat ajakan membuatku tidak putus asa. Setelah mandi, aku segera berpakaian dan berdandan minimalis. Kulirik jam tanganku sudah menunjukkan pukul tujuh, segera aku keluar dari rumah untuk dapat bertemu dengan Evan.
Benar saja, tidak lama kemudian lelaki itu keluar dari rumah dengan pakaian rapi. Ketika Evan akan masuk ke mobilnya, aku berjalan cepat mendekatinya.
"Kak Evan mau ke mana?" tanyaku to the point.
Evan menoleh menatapku. "Oh itu, mau ke acara pernikahan rekan bisnis. Kau mau ke rumah Deril bukan? Semoga menikmati hidangan di sana," ujarnya tersenyum lalu masuk ke dalam mobil.
Lelaki itu bahkan membunyikan klaksonnya sekali ketika mulai meninggalkan halaman rumahnya sebagai tanda pamit untukku.
Aku tercengang untuk beberapa saat. Kado yang kupegang terjatuh sendiri, tidak percaya dengan situasi yang kini kualami. Meskipun perasaanku sangat kacau balau, tetapi aku tetap memutuskan ke rumah Deril.
"Kau datang sendiri?" tanya Deril menyambutku.
Aku mengangguk lemah. "Ini buat Kakakmu," ujarku memberi kado yang telah kubungkus.
"Baiklah, thank you. Kenapa tidak bareng Kak Evan? Dia belum datang," balas Deril membuatku menceritakan kronologi kejadian dimulai dari aku mengambil nampan, hingga ditinggalkan sendiri di halaman rumah Evan.
Namun bukan kalimat keprihatinan yang kudapatkan, tetapi sebuah suara tertawa keras dari Deril.
"Ih, kok malah tertawa sih," dengusku menatap Deril.
"Sorry Kiran, tapi itu lucu. Apa Kak Evan tidak peka ya?"
"Tahu deh, aku mau makan dulu," balasku beranjak menuju tempat hidangan tersaji, tetapi seleraku benar-benar tidak ada. Sekadar mengisi perut agar tidak kelaparan.
Aku berdiam diri di acara ulang tahun tersebut selama setengah jam sambil mendengarkan live music yang tersaji. Deril tidak bisa terus berada di dekatku, karena juga sibuk menyapa teman-temannya yang lain.
Mulai merasa bosan menjadikanku beranjak menuju pintu keluar, namun sebuah tangan mencegahku dan ketika aku berbalik, itu adalah Deril.
"Mau pulang? Biar aku antar," ujarnya masih memegang tanganku.
Aku mengerjap sekali menatapnya. "Tapikan masih ada teman-temanmu?"
"Tapikan tidak baik kalau perempuan sepertinya pulang malam-malam gini sendirian," tukasnya membuatku akhirnya setuju.
Aku berjalan mengikuti Deril dari belakang, namun langkah terhenti begitu melihat juga berhenti. Namun ketika aku menatap ke depan, aku tahu alasan kenapa lelaki itu berhenti. Evan berjalan dari arah berlawanan menuju kami.
"Kak Evan baru datang?" tanya Deril begitu Evan yang masih dengan pakaian yang sama ketika melihatnya tadi.
Evan tersenyum sekilas. "Iya, kalian sendiri mau ke mana?" tanyanya beralih menatapku.
Aku sendiri memilih membuang pandanganku. Entah mengapa emosi dalam dadaku seolah membuncah, padahal Evan tidak melakukan kesalahan apapun. Akunya saja yang berharap semua sesuai dengan harapan dan rencanaku.
"Mau antar Kiran pulang. Tidak baik perempuan sepertinya pulang sendirian," ujar Deril memecah keheningan sesaat tadi.
"Tidak perlu. Biar aku pulang bersamanya, lagipula kau pasti lelah."
Balasan Evan membuatku akhirnya menatap lelaki itu dan sialnya pandangan kami bertemu.
"Gimana Kiran?" tanya Deril ikut menatapku.
Aku mengangguk pelan. "Baiklah."
Aduh aku ini kok lemah sekali. Baru saja dua jam yang lalu mencak-mencak di atas taksi sambil berkata akan melupakan Evan, tetapi baru ajakan pulang membuatku goyah.
"Baguslah, ayo masuk lagi."
Evan tidak terlalu lama di acara ulang tahun kakak Deril. Setelah menyerahkan kado dan berbincang sebentar, dia langsung mengajakku pulang.
"Kenapa cepat sekali? Kata Deril Kakaknya itu pembimbing Kak Evan?" tanyaku ketika mobil mulai berjalan. Aku menatapnya tanpa sungkan. Memperhatikan fitur wajahnya yang semakin membuatku terpana.
Evan menoleh sekilas. "Kaukan masih sekolah, bukankah akan mengantuk kalau tidurnya kemalaman?"
Dadaku berdebar mendengar ucapan lelaki itu. "Jadi Kak Evan peduli sama jam tidurku?"
Suara tawa kecil Evan terdengar. "Bukan itu, maksudku mengantuk di sekolah keesokan harinya bisa mengganggu konsentrasimu dalam belajar."
"Kalau misalnya hari besok minggu, apakah Kak Evan tetap akan pulang cepat seperti sekarang?" tanyaku tepat ketika lampu merah menyala di persimpangan, sehingga Evan menginjak rem mobil.
Perlahan Evan menoleh menatapku. "Hm ya," balasnya membuat hatiku bersorak. Artinya dia peduli tentangku bukan? Tidak hanya soal konsentrasiku dalam belajar atau mengantuk ketika di sekolah sebagai pelajar?
"Karena aku juga perlu bangun pagi untuk ke kantor dan tidak ingin menguap sepanjang hari di sana," lanjut Evan membuat anganku kembali menguap bersama angin malam.
Sepertinya aku terlalu banyak berharap akan sesuatu yang manis akan terjadi dalam kehidupan asmaraku.
Aku hanya tersenyum miris, masih menatap Evan yang kini kembali menginjak gas untuk melanjutkan perjalanan kami menuju rumah. Aku sedikit berharap akan ada kemacetan dalam perjalanan, sehingga setidaknya aku menghabiskan banyak waktu untuk duduk di sebelah Evan bahkan jika hanya suara radio seperti sekarang yang memecah keheningan malam.
♡♡♡
"Jadi kau akan menyerah kepada Kak Evan?" tanya Deril dengan suara penasaran. Ini bermula dari cuitan twitter yang kulakukan pagi ini. Sejak kapan juga Deril mengikutiku di twitter? Aku memang tidak memperhatikan orang yang mengikutiku, karena jumlahnya bisa puluhan dengan username yang aneh dan unik."Apa ya, aku belum berjuang, tetapi sudah dipatahkan beberapa kali oleh ucapan dan tindakan Kak Evan yang memang sepertinya tidak memberi ruang di hatinya dengan kehadiranku," balasku berkaca pada realitas yang ada.Saat ini kami berdua sedang berada di pinggir lapangan basket ketika jam istirahat sedang berlangsung, di mana murid lainnya sedang berlalu-lalang. Pasalnya untuk bisa ke kantin harus melewati lapangan basket yang juga berdekatan dengan lapangan futsal.Kudengar suara kekehan Deril. "Yakin nih? Padahal aku ada rencana bertemu dengan Kak Evan untuk berdiskusi tentang pelajaran fisika."Aku menoleh menatapnya. "Bahkan jika kau mengajakku b
Aku kembali menulis usaha perjuanganku pada notebook yang kubeli dulu ketika mengunjungi toko buku bersama Ruri.Senyum seolah tidak mau beranjak dari bibirku kala melirik dua buah tiket yang terletak di atas meja belajarku. Namun hal itu terganggu begitu ponselku berbunyi, tanda notifikasi bahwa sebuah pesan masuk.Aku meletakkan pulpen yang kupegang, lalu menggantinya dengan ponsel. Kulihat pesan itu dari Ruri.Ruri : Kiraaaan!Kiran : Apaan sih?Ruri : Hehe, PR Kimia tentang Logam Alkali sudah selesai?Aku mengernyitkan dahi, bisa menebak apa niat Ruri berkata seperti itu.Kiran : Sudah dong, tapi gak bisa diintip.Ruri : Eh kok gitu, aku beri imbalan deh.Kiran : Gak tertarik.Ruri : Yakin?Tidak lama kemudian setelah pesan terakhir Ruri, dia mengirimiku sebuah gambar foto. Sebuah tiket untuk masuk ke rumah hantu.Ah Ruri, tahu saja kalau aku sedang penasaran sama wahana ru
08538908*** : Ini aku Evan. Besok kita berangkat jam sepuluh.Aku yang baru saja akan tidur, ketika membaca pesan dari nomor yang tidak tersimpan, tetapi begitu membaca nama Evan, hatiku menolak untuk tidak bersorak kegirangan."Assa!" Aku mengangkat kepalan tangan dengan wajah semringah.Aku mencoba membalasnya akan terdengar semanis dan selembut mungkin. Namun sebelumnya aku menyimpan nomor lelaki itu dengan nama Kak Evan♡.Aku cekikikan sendiri membaca tanda love pada nama kontak yang kubuat. Lalu beralih memikirkan balasan yang bisa membuat obrolan kami tidak terputus.Kiran : Kalau boleh tahu, Kak Evan lagi apa sekarang?Aku menggigit kuku jempolku setelah mengirim pesan tersebut. Kurang dari semenit balasan dari lelaki itu sudah datang.Kak Evan♡ : Kerja laporan.Aku berdecak lidah, karena balasan singkat tersebut. Namun Evan malah tidak balik bertanya tentang kegiatanku. Bangkit dari tempat tidur, aku meli
Jika kemarin pujian kata manis Evan membuatku seolah melayang, kini kepalaku malah pusing mengartikannya. Pasalnya aku mengingat hari di mana Evan memberiku kue, karena lelaki itu mengatakan bahwa dia tidak suka makanan manis."Ini sedikit ambigu," gumamku setelah merapikan rambutku, lalu segera keluar dari kamar.Aku menuju meja makan di mana sudah ada Kanaya yang makan dengan terburu-buru. "Pelan-pelan saja."Kanaya langsung mendongak dan menatapku tajam. Ia kemudian segera menghabiskan susunya. "Kuliah nanti, baru tahu rasa," balasnya ketus lalu bangkit dari kursi makan menuju pintu depan dengan menyampirkan ransel yang dipakainya."Oh ya Bu, Ayah mana? Kok tidak sarapan," tanyaku mulai memakan sarapanku."Ayahmu sudah tadi. Kelamaan tunggu kau selesai pakaian. Sekarang lagi ngobrol sama Evan di teras sambil minum kopi," balas ibu membuat mataku seketika terbelalak.Tanpa berbicara lagi, aku segera menghabiskan sarapanku dengan terburu-bu
Kegiatan sekolah semakin menumpuk. Tugas tanpa henti meski sudah mendekati ujian sekolah, les yang semakin rajin serta beberapa praktikum yang harus selesai sebelum ujian. Semua masalah akademik tersebut membuat usaha dan rencanaku untuk dekat dengan Evan menjadi terhambat.Disaat Evan mulai sedikit terbuka, dengan mengajakku sekadar makan bersama meski Kanaya terkadang ikut untuk menghilangkan rasa jenuhnya itu. Namun semuanya kembali renggang, karena jadwal sekolah serta bagaimana Evan terlihat sibuk dengan pekerjaannya."Jadi kau masih saling mengirim pesan dengan Kak Kanaya?" tanyaku pada Deril yang kini duduk denganku di bangku dekat lapangan basket.Deril tertawa pelan. "Kau masih menganggapku mendekati kakakmu? Aku hanya pernah beberapa kali bertanya tentang kampus.""Lalu setelahnya saling komen lewat direct message instagram?" timpalku mengingat dengan jelas bagaimana Kanaya yang selalu meng
Kesibukan akan praktikum menjadikan hariku hampir tidak bisa bersantai. Belum lagi ujian nasional yang sebentar lagi akan berlangsung. Semua tentang akademik membuat kepalaku berat dan terasa pening. Namun kurasa semua anak kelas dua belas mengalaminya. Tidak terkecuali Deril yang mengajakku makan di kantin, hanya berdua."Dan sekarang orang-orang mulai akan semakin yakin bahwa kita berpacaran," ujarku lalu menyesap jus jeruk di hadapanku.Derik terkekeh pelan. "Ayolah Kiran, sebentar lagi masa SMA akan berakhir. Lupakan ucapan murid lainnya."Aku mengendikkan bahu samar. "Baiklah. Jadi rencanamu setelah lulus bakal kuliah?""Tentu saja. Kau sendiri, mau nikah?" tanya Deril balik dengan sebuah candaan.
Ketika duniamu mulai dipusingkan oleh persoalan akademik, tambatan hati yang ingin pindah kota dan pernyataan cinta belum kesampaian, maka hal-hal tersebut bertambah rumit ketika kakak perempuanmu hamil diluar nikah.Aku tidak pernah memperkirakan bahwa Kanaya akan melakukan tindakan berisiko. Padahal setahuku Kanaya adalah perempuan yang penuh pertimbangan matang, logis dan bukan tipikal yang bisa dipaksa. Namun ketika tidak seng
Rasa lelah untuk ujian nasional. Perasaan resah memikirkan Kanaya, serta patah hati mengingat penolakan Evan. Semua seolah bercampur dan bersatu dalam relung jiwaku. Benar-benar berat rasanya memikul semua itu.
"Kalian berangkat saja. Evan sudah mempersiapkan segalanya seperti ini," ujar ibuku setelah aku memberitahu tentang rencana bulan madu yang telah dipersiapkan oleh Evan.Namun aku masih khawatir akan satu hal, yaitu Karin. "Tapi ini bukan libur sekolah.""Karin biar aku dan ayahmu yang jaga. Antar dia ke sekolah dan juga menjemputnya. Lagipula Kanaya dan Kenzo akan datang akhir pekan ini, jadi Karin tidak akan begitu kesepian," balas ibu telah menebak bahwa aku berniat mengikutsertakan Karin ke rencana bulan madu yang Evan susun sebelumnya."Benarkah?" Aku sebenarnya tidak ragu bahwa Karin akan melarang kami, karena anak perempuan itu sudah terbiasa
Setiap orang memiliki harapan.Awalnya aku meragukan kalimat tersebut, hingga sampai aku bisa kembali duduk, berjalan dan bahkan berlari. Bentuk fisikku juga mulai kembali seperti layaknya wanita berusia dua puluhan tanpa kekurangan apapun. Bukan usaha yang mudah dan waktu yang singkat. Setidaknya satu tahun membuatku mencoba menggenggam harapan itu agar semakin nyata."Kau menyukai tempat ini?" Suara Evan membuat lamunanku buyar."Ya?"Evan terkekeh kecil. "Aku mengajakmu melihat calon hunian baru kita dan kau mengkhayal?"
Author POV-------------------------------------------------------------------Pada sebuah toko buku di pusat perbelanjaan, tampak adanya antrean panjang di dalamnya. Pengunjung yang baru datang lalu membaca spanduk yang terdapat pada pintu depanFan Meeting With RiruNovel terbaru : Linggar (Impian, Harapan dan Cinta)Ruri telah sukses menjadi seorang penulis novel, setelah mengundurkan diri sebagai editor. Ia juga memakai nama Riru sebagai nama penanya. Hanya membalik huruf pada
Sudah tiga hari sejak Ruri membawa surat yang kutulis untuk Evan tersebut. Namun belum ada tanda-tanda kedatangannya. Aku tidak pernah meragukan bahwa Ruri akan terlambat menyerahkan surat itu. Mungkin … Evan sedang sibuk.Aku tidak membohongi diriku sendiri bahwa rasa sakit ini mulai menyiksaku. Berharap bahwa ini akan segera berakhir. Bukan hanya soal rasa sakit secara fisik, tetapi batinku tersayat melihat ayah, ibu dan Kanaya yang menangis di sampingku kala aku memejamkan mata seolah tengah tertidur, padahal mendengar bagaimana rintihan mereka.Hari ini gerimis hujan turun membasahi tanah. Aroma petrichor menyusup ke dalam kamar rawatku, sengaja aku meminta Kanaya tidak menutup jendela. Suara rinai hujan membuat ingatanku tertaut pada
Aku berpikir bahwa menyingkir dari hiruk pikuk Jakarta akan membuat kesehatanku mulai membaik. Namun ternyata aku salah, baru sehari tiba di Bandung, aku langsung tumbang.Ayah dan ibu pun langsung mengetahui penyakitku setelah aku dirawat di rumah sakit. Mendapat perawatan bukan berarti membuat kerisauanku menghilang. Nyatanya aku malah bertambah akan satu hal. Evan, lelaki itu telah mengetahui surat pengunduran diriku.Evan♡ : Bagaimana bisa kau melakukan ini padaku? Apakah aku membuat kesalahan? Maafkan aku tidak terlalu memperhatikanmu disaat sedang bersama Karin.Evan♡ : Berikan aku alasan pengunduran dirimu, di mana kau sekarang?
Masalah kebohonganku kepada layanan darurat telah di atasi oleh Evan. Pria itu bahkan menemaniku ke kantor polisi terlebih dahulu, kemudian akan menyusul Karin yang telah dibawa ke rumah sakit.Menurut keterangan polisi, pria yang menculik Karin dari tempat les adalah pemain lama yang memiliki komplotan tersendiri. Salah satu dari penculik yang telah ditangkap tersebut bahkan merupakan residivis untuk kasus yang sama."Kiran," panggil Evan melangkah mendekat, lalu memelukku erat. "Terima kasih, terima kasih."Aku tersenyum lalu membalas pelukan lelaki itu. Kemudian terdengar isak tangis, perasaanku tersayup, apakah Evan sedang menangis dalam p
Sesuai dengan instruksi dokter, aku menuju salah satu rumah sakit besar yang ada di Indonesia untuk melakukan pemeriksaan lanjutan dan pemeriksaan kali ini jauh lebih banyak serta kompleks, sehingga aku harus meminta izin agar tidak masuk kantor selama satu hari.Aku tidak mungkin memberitahu Evan tentang penyakitku ini, karena lelaki itu pasti akan khawatir dan mulai tidak fokus dalam bekerja. Tanggung jawab Evan begitu besar dan melibatkan banyak orang. Namun Evan mencoba mencari tahu alasanku untuk cuti satu hari tersebut.Maka dari itu kami kini tersambung melalui panggilan suara. Aku berada di depan ruang pemeriksaan setelah mengganti baju. Sebelah tanganku memegang nomor antrean dan satunya lagi memegang ponsel."Kau sungguh mengajukan cuti, karena Kanaya meminta
Sesuai dengan janji kami, aku mendatangi salah satu restoran untuk bertemu dengan Kanaya pada jam istirahat kerja. Ketika aku sampai, ternyata Kanaya telah duduk pada sudut restoran terlebih dahulu."Kak Kanaya," sapaku membuat Kanaya mendongak menatapku. Dia tersenyum tipis sekilas lalu mempersilakanku."Kau benar-benar sibuk sampai terlambat hampir setengah jam?"Aku tertawa sumbang. "Jam makan siang selalu membuat jalan di depan kantor menjadi padat.""Bukan karena menemani Kak Evan makan siang dulu?" Balasan Kanaya menjadikanku terdiam. Dia langsung membahas tentang hubunganku dengan lelaki itu."Apakah … Ibu dan Ayah telah tahu tentang hal
Aku memandangi penampilanku di depan cermin saat ini. Memakai gaun mungkin adalah pertama kalinya dalam beberapa bulan terakhir. Jika bukan karena ajakan kencan dari Evan, mana mungkin aku mau repot-repot memakainya."Aku ingin mengajakmu menonton bersama, namun malah ada agenda kencan," keluh Ruri yang telah sengaja mengosongkan jadwalnya dan berangkat menuju indekos tempatku tinggal.Aku melirik Ruri sekilas. "Salah sendiri tidak kabarin dulu. Waktu akhir pekan untuk perempuan yang telah memiliki kekasih bukanlah di rumah," ujarku terdengar sombong sampai Ruri berdecak lidah."Ketemu tiap hari juga."Aku mengeluarkan liptint dari tasku. Mengoleskannya sebagai sentuhan terakhir untuk acara kencanku hari ini. Semoga