Perkataanku yang ceroboh membuat situasiku untuk dekat dengan Evan malah menjadi penuh kecanggungan. Aku merutuki diriku yang terlalu terbawa suasana ketika lelaki itu menepuk kepalaku.
"Argghhh!"
"Apa otakmu sedang error sehingga mengeluarkan suara sumbang seperti itu?"
Ucapan sarkastik Kanaya memaksa kepalaku menoleh menatapnya yang sedang asyik menikmati siaran Netflix dengan camilan tortilla chips andalannya.
Jika Kanaya sedang duduk di sofa depan televisi di ruang tengah, maka aku berada di sofa dekat dinding dengan posisi berbaring.
Aku tentu saja berusaha mengabaikan ucapan Kanaya dan memilih fokus menatap ponselku. Mendekati Evan dalam dunia nyata, tampaknya akan sedikit sulit. Mengingat kesan terakhirku yang kurang menampakkan sisi anggun dan polosnya diriku. Oleh karena itu, aku berencana untuk mengulik sisi Evan melalui dunia maya.
Pertama aku mencari media sosialnya dan seperti generasi modern saat ini, Evan juga memiliki akun instagram yang tidak diprivat sama sekali. Namun isinya membuatku kecewa, tidak ada satu pun foto yang menampakkan wajah tampannya itu. Profil akunnya hanya berisi foto yang diambil dengan camera film, namun salah satu foto wanita yang menutupi wajah dengan buku menarik perhatianku. Satu-satunya foto manusia.
"Mentari, ayo sini dulu."
Seruan ibuku dari dapur membuatku menoleh reflek. "Ya?" Kulihat ibu sedang menyiapkan sebuah rantang. Ekor mataku kemudian menangkap gelak tawa menyebalkan Kanaya.
Ketika aku kembali menatap ponsel, mataku melebar seketika. Pasalnya keterangan follow pada akun Evan bernama @evansaga telah berubah menjadi following. Aduh, pasti jariku yang suka scrolling tanpa sengaja memencetnya. Namun baru aku akan membatalkannya, tiba-tiba muncul pemberitahuan @evansaga telah mengikuti anda.
Aku hampir terlonjak terkejut, sebelum ibuku mendekat dan menyodorkan sebuah rantang yang membuat alisku terangkat bingung.
"Ini bawa ke rumah Evan. Ibu buat rendang, bisa Evan panasin kalau mau makan," ujar ibu membuatku menegak saliva. Bukan karena tergiur akan bayangan daging yang telah dimasak dengan sempurna oleh berbagai bumbu ala rendang. Tetapi bayangan bertemu dengan Evan setelah ketahuan menguntit akun instagram miliknya.
"Enggak, biar Kanaya saja."
Suara Kanaya membuyarkan lamunanku. Tanganku yang baru akan terulur, namun kini digantikan oleh tangan Kanaya yang sudah memegang rantang tersebut.
Aku hanya terdiam tidak menanggapi. Seandainya aku tidak mengatakan hal ceroboh dan tanpa sengaja mengikuti akun instagramnya maka sudah pasti aku akan merebut rantang tersebut.
"Tumben mau bawa sendiri?" ujar ibuku sama seperti dalam pikiranku.
Kanaya tersenyum tipis. "Ada yang mau aku tanyakan."
Tanpa menunggu waktu lagi Kanaya segera berjalan menuju rumah Evan. Sedangkan aku sendiri tidak tinggal diam. Aku masuk ke dalam kamar dan mengintip lewat jendela. Menemukan pintu rumah depan baru saja dibuka dan menampilkan sosok Evan yang menyambut kedatangan Kanaya.
Aku menarik napas dalam, di mana seharusnya aku yang berada pada posisi Kanaya. Kulihat mereka berdua telah masuk ke dalam rumah. Awalnya aku ingin mundur dan berbaring di atas tempat tidurku, namun setelah menatap hampa pintu rumah Evan kurang dari tiga menit, tiba-tiba Kanaya sudah keluar.
Aku jelas terkejut. Bukankah Kanaya akan bertanya sesuatu kepada Evan? Kurasa pertanyaan Kanaya tidak pernah singkat bahkan jika dia bertanya pada ayah.
Segera kakiku keluar dari kamar, ketika Kanaya akan masuk ke dalam kamarnya, aku memperlambat langkah kakiku.
"Udah selesai tanya Kak Evan?" tanya berbasa-basi.
Kanaya melirikku sekilas. Dia menghela napas, tanda sebuah kekecewaan. "Enggak sempat tanya. Kak Evan sedang ada tamu."
Ujung bibirku tertarik ke atas. Entah mengapa aku merasa bahagia bahwa Kanaya tidak sempat menghabiskan waktu berdua dengan Evan. Padahal aku cukup yakin bahwa kakak perempuanku ini tidak tertarik dengan Evan, kenapa aku tahu? Karena Kanaya sudah punya pacar yang aku sebagai perempuan mengakui ketampanan Irvan, pacar Kanaya itu.
"Oh begitu, kirain bakal diskusi."
Kanaya hanya menatapku sekilas, tanpa membalas ucapanku. Dia memutuskan masuk ke dalam kamarnya dan meninggalkanku yang sudah berjingkrak kegirangan. Tetapi, siapa tamu Evan malam-malam begini? Apa jangan-jangan perempuan jadi wajah Kanaya jadi muram seperti itu?
♡♡♡
Hari senin yang identik dengan upacara selalu membuat tubuhku lelah duluan sebelum menahan tanganku agar tetap hormat ketika lagu Indonesia Raya dinyanyikan.
Semalam hujan turun dengan deras. Aku berpikir bahwa akan berlanjut sampai hari ini, sehingga sekolah tidak perlu melakukan upacara. Namun pikiran licikku ternyata tidak dibenarkan oleh Maha Pencipta, sehingga langit begitu cerah hari ini.
Pagi-pagi merasakan teriknya matahari, lalu dilanjutkan dengan mata pelajaran Matematika membuat otakku rasanya mau meledak seketika.
"Hari ini mau ke acara Yuyun gak?" bisik Ruri ketika Guru Matematika sedang menerangkan rumus sin cos tan di depan papan tulis.
Aku melirik Ruri. "Malas ah, Yuyunkan sepupunya Soraya. Dan … teman-teman Soraya matanya bakal gak lepas lihatin aku."
"Ish, geer aja."
Aku tersenyum tipis. Namun hal itu tidak berlangsung lama ketika Guru Matematika mulai memberi kami pekerjaan rumah yang melihat soalnya saja sudah membuat kepalaku pusing.
Jika Ruri memilih ke kantin untuk makan mie ayam, maka aku lebih memilih memesan rice box via delivery, lalu menjemputnya di gerbang sekolah. Kuputuskan untuk menikmati makan siang dan waktu istirahatku pada bangku belakang perpustakaan yang selalu sepi.
Kenapa sepi? Karena tidak ada murid yang akan bersedia nongkrong di sana atau mereka bakal kena omelan dari penjaga perpustakaan.
"Sendirian nih?"
Ketika aku hampir menghabiskan makan siangku, muncul sebuah suara yang terdengar familier. Aku menoleh dan mendapati bahwa itu adalah Deril yang datang dengan sebuah kaleng minuman bersoda di tangannya.
"Kau sendiri? Tidak ke kantin?"
Deril tersenyum tipis, lalu duduk di sebelahku. "Sudah tadi pas jam kedua kosong."
Aku cemberut merasa iri dengan kelas yang kosong kala guru berhalangan mengajar. Aduh Kiran bagaimana kau mau pintar dan sukses, jika pola pikirmu begitu.
Aku menyelesaikan makanku dan menegak sebotol air mineral yang tadi bersamaan kupesan dengan rice box.
"Nama akun instagram milikmu @kiranchan bukan?"
Mataku membulat kemudian menoleh menatap terkejut Deril. "Bagaimana kau tahu? Kau mencarinya?"
Deril tertawa pelan. "Tidak, aku mendengar Kak Evan berkata semalam bahwa kau mengikuti di instagram."
"Apa?"
Kini aku mengerjap mendengar sesuatu yang aneh. "Kak Evan, semalam?"
Kepala Deril mengangguk. "Aku datang ke rumah Kak Evan semalam atas ajakannya."
"Jadi tamu yang dilihat Kanaya semalam adalah kau?"
Raut wajah Deril ikut heran. "Jadi perempuan yang datang ke rumah Kak Evan sambil bawa rendang buatannya namanya Kanaya?"
Aku mengangguk dengan cepat, lalu menggeleng kemudian ketika sadar akan sesuatu. "Dia kakak perempuanku. Dan yang buat Ibuku, bukan Kanaya. Kenapa malah ngaku gitu ke Kak Evan kalau dia yang masak?"
Deril sekali lagi tertawa, namun kali ini cukup keras. Membuatku menepuk pahanya sekilas agar memelankan suaranya.
"Ish, nanti Ibu Dara dengar lagi," ujarku membicarakan penjaga perpustakaan yang terkenal lebih galak dari Guru BK sekolah kami.
"Jadi kapan kau akan kembali ke rumah Kak Evan?" tanyaku dengan tatapan menyelidik.
Deril terdiam sejenak. Dia mendesis sambil menatapku serius. "Apa kau menyukai Kak Evan?"
Aku mengangguk tanpa ragu. Untung apa menyembunyikannya dari Deril, lagipula lelaki di sebelahku ini bisa saja jadi penghubungku dengan Kak Evan. "Ya, jika kutahu bahwa tamu itu adalah kau, maka akulah…." Sebelah tanganku menunjuk diriku sendiri. "Akulah yang mengantar rendang itu, karena Ibuku memintaku lebih dulu sebelum Kak Kanaya sukarela menawarkan dirinya."
"Kau ingin memanfaatkanku dekat dengan Kak Evan?" tanya Deril dengan mata sedikit melebar.
Aku mengangguk dengan cepat. "Baguslah kau peka akan hal itu. Baiklah … supaya adil, maka kau boleh meminta sesuatu padaku."
"Jadi kau akan menjadi genie untuk mengabulkan permintaanku?" tanya Deril memberi perumpamaan.
Aku berpikir sejenak. "Ya, selama aku sanggup maka akan kukabulkan." Aku mengambil sendok dari rice box yang masih berada di dekat kaki bangku. "Zimzalabim!"
Aku seolah memperagakan tongkat sihir dengan sendok membuat Deril tertawa pelan.
"Baiklah, minggu depan Kak Mayang bakal ulang tahun dan dia mengundang Kak Evan ke rumah. Kau bisa datang juga," ujar Deril membuat gelombang semangat langsung menyeruak dari dalam sanubariku.
"Benarkah? Itu kesempatan yang bagus untuk bertemu dengan Kak Evan secara alami," balasku mulai memikirkan akan berdandan seperti apa nanti.
"Kiran, apa kau tidak masalah dengan perbedaan umurmu dengan Kak Evan yang mungkin hampir kepala tiga?" tanya Deril membahas tentang usiaku dan Evan yang mungkin terpaut sepuluh tahun.
Aku menggeleng pelan. "Umur Kak Evan adalah usia ideal untuk dijadikan suami Kiran," balasku sambil tersenyum lebar.
Kulihat Deril telah melongo seolah terkejut mendengar ucapanku. Dia pasti tidak menduga bahwa aku telah memiliki angan untuk menikah dengan Evan.
♡♡♡
Berstatus murid kelas tiga SMA membuat tubuh dan pikiranku benar-benar lelah. Banyaknya tugas, materi kelas tambahan dan mengikuti simulasi ujian membuatku ingin segera merebahkan tubuhku di atas tempat tidur.Namun apa daya kini aku malah menatap jengah kepada kumpulan murid laki-laki yang ributnya minta ampun. Aku yang selesai makan siang di kantin berniat menghabiskan waktu istirahat dengan meletakkan kepalaku di atas meja sambil memejamkan mata harus gagal.Aku melirik Ruri mulai bergabung dengan murid laki-laki tersebut. Helaan napas langsung keluar dari hidung dan mulutku. Aku tetap meletakkan kepalaku di atas meja, dengan memakai sebelah tanganku sebagai bantalan.Aku memiringkan kepalaku seraya merogoh saku rok abu-abu yang kupakai untuk mengeluarkan ponselku. Tentu saja tidak ada hiburan lain saat ini selain berselancar di dunia maya.Namun mataku melebar begitu melihat pertama kali instastory Evan yang sejak beberapa hari lalu kuikut
"Jadi kau akan menyerah kepada Kak Evan?" tanya Deril dengan suara penasaran. Ini bermula dari cuitan twitter yang kulakukan pagi ini. Sejak kapan juga Deril mengikutiku di twitter? Aku memang tidak memperhatikan orang yang mengikutiku, karena jumlahnya bisa puluhan dengan username yang aneh dan unik."Apa ya, aku belum berjuang, tetapi sudah dipatahkan beberapa kali oleh ucapan dan tindakan Kak Evan yang memang sepertinya tidak memberi ruang di hatinya dengan kehadiranku," balasku berkaca pada realitas yang ada.Saat ini kami berdua sedang berada di pinggir lapangan basket ketika jam istirahat sedang berlangsung, di mana murid lainnya sedang berlalu-lalang. Pasalnya untuk bisa ke kantin harus melewati lapangan basket yang juga berdekatan dengan lapangan futsal.Kudengar suara kekehan Deril. "Yakin nih? Padahal aku ada rencana bertemu dengan Kak Evan untuk berdiskusi tentang pelajaran fisika."Aku menoleh menatapnya. "Bahkan jika kau mengajakku b
Aku kembali menulis usaha perjuanganku pada notebook yang kubeli dulu ketika mengunjungi toko buku bersama Ruri.Senyum seolah tidak mau beranjak dari bibirku kala melirik dua buah tiket yang terletak di atas meja belajarku. Namun hal itu terganggu begitu ponselku berbunyi, tanda notifikasi bahwa sebuah pesan masuk.Aku meletakkan pulpen yang kupegang, lalu menggantinya dengan ponsel. Kulihat pesan itu dari Ruri.Ruri : Kiraaaan!Kiran : Apaan sih?Ruri : Hehe, PR Kimia tentang Logam Alkali sudah selesai?Aku mengernyitkan dahi, bisa menebak apa niat Ruri berkata seperti itu.Kiran : Sudah dong, tapi gak bisa diintip.Ruri : Eh kok gitu, aku beri imbalan deh.Kiran : Gak tertarik.Ruri : Yakin?Tidak lama kemudian setelah pesan terakhir Ruri, dia mengirimiku sebuah gambar foto. Sebuah tiket untuk masuk ke rumah hantu.Ah Ruri, tahu saja kalau aku sedang penasaran sama wahana ru
08538908*** : Ini aku Evan. Besok kita berangkat jam sepuluh.Aku yang baru saja akan tidur, ketika membaca pesan dari nomor yang tidak tersimpan, tetapi begitu membaca nama Evan, hatiku menolak untuk tidak bersorak kegirangan."Assa!" Aku mengangkat kepalan tangan dengan wajah semringah.Aku mencoba membalasnya akan terdengar semanis dan selembut mungkin. Namun sebelumnya aku menyimpan nomor lelaki itu dengan nama Kak Evan♡.Aku cekikikan sendiri membaca tanda love pada nama kontak yang kubuat. Lalu beralih memikirkan balasan yang bisa membuat obrolan kami tidak terputus.Kiran : Kalau boleh tahu, Kak Evan lagi apa sekarang?Aku menggigit kuku jempolku setelah mengirim pesan tersebut. Kurang dari semenit balasan dari lelaki itu sudah datang.Kak Evan♡ : Kerja laporan.Aku berdecak lidah, karena balasan singkat tersebut. Namun Evan malah tidak balik bertanya tentang kegiatanku. Bangkit dari tempat tidur, aku meli
Jika kemarin pujian kata manis Evan membuatku seolah melayang, kini kepalaku malah pusing mengartikannya. Pasalnya aku mengingat hari di mana Evan memberiku kue, karena lelaki itu mengatakan bahwa dia tidak suka makanan manis."Ini sedikit ambigu," gumamku setelah merapikan rambutku, lalu segera keluar dari kamar.Aku menuju meja makan di mana sudah ada Kanaya yang makan dengan terburu-buru. "Pelan-pelan saja."Kanaya langsung mendongak dan menatapku tajam. Ia kemudian segera menghabiskan susunya. "Kuliah nanti, baru tahu rasa," balasnya ketus lalu bangkit dari kursi makan menuju pintu depan dengan menyampirkan ransel yang dipakainya."Oh ya Bu, Ayah mana? Kok tidak sarapan," tanyaku mulai memakan sarapanku."Ayahmu sudah tadi. Kelamaan tunggu kau selesai pakaian. Sekarang lagi ngobrol sama Evan di teras sambil minum kopi," balas ibu membuat mataku seketika terbelalak.Tanpa berbicara lagi, aku segera menghabiskan sarapanku dengan terburu-bu
Kegiatan sekolah semakin menumpuk. Tugas tanpa henti meski sudah mendekati ujian sekolah, les yang semakin rajin serta beberapa praktikum yang harus selesai sebelum ujian. Semua masalah akademik tersebut membuat usaha dan rencanaku untuk dekat dengan Evan menjadi terhambat.Disaat Evan mulai sedikit terbuka, dengan mengajakku sekadar makan bersama meski Kanaya terkadang ikut untuk menghilangkan rasa jenuhnya itu. Namun semuanya kembali renggang, karena jadwal sekolah serta bagaimana Evan terlihat sibuk dengan pekerjaannya."Jadi kau masih saling mengirim pesan dengan Kak Kanaya?" tanyaku pada Deril yang kini duduk denganku di bangku dekat lapangan basket.Deril tertawa pelan. "Kau masih menganggapku mendekati kakakmu? Aku hanya pernah beberapa kali bertanya tentang kampus.""Lalu setelahnya saling komen lewat direct message instagram?" timpalku mengingat dengan jelas bagaimana Kanaya yang selalu meng
Kesibukan akan praktikum menjadikan hariku hampir tidak bisa bersantai. Belum lagi ujian nasional yang sebentar lagi akan berlangsung. Semua tentang akademik membuat kepalaku berat dan terasa pening. Namun kurasa semua anak kelas dua belas mengalaminya. Tidak terkecuali Deril yang mengajakku makan di kantin, hanya berdua."Dan sekarang orang-orang mulai akan semakin yakin bahwa kita berpacaran," ujarku lalu menyesap jus jeruk di hadapanku.Derik terkekeh pelan. "Ayolah Kiran, sebentar lagi masa SMA akan berakhir. Lupakan ucapan murid lainnya."Aku mengendikkan bahu samar. "Baiklah. Jadi rencanamu setelah lulus bakal kuliah?""Tentu saja. Kau sendiri, mau nikah?" tanya Deril balik dengan sebuah candaan.
Ketika duniamu mulai dipusingkan oleh persoalan akademik, tambatan hati yang ingin pindah kota dan pernyataan cinta belum kesampaian, maka hal-hal tersebut bertambah rumit ketika kakak perempuanmu hamil diluar nikah.Aku tidak pernah memperkirakan bahwa Kanaya akan melakukan tindakan berisiko. Padahal setahuku Kanaya adalah perempuan yang penuh pertimbangan matang, logis dan bukan tipikal yang bisa dipaksa. Namun ketika tidak seng
"Kalian berangkat saja. Evan sudah mempersiapkan segalanya seperti ini," ujar ibuku setelah aku memberitahu tentang rencana bulan madu yang telah dipersiapkan oleh Evan.Namun aku masih khawatir akan satu hal, yaitu Karin. "Tapi ini bukan libur sekolah.""Karin biar aku dan ayahmu yang jaga. Antar dia ke sekolah dan juga menjemputnya. Lagipula Kanaya dan Kenzo akan datang akhir pekan ini, jadi Karin tidak akan begitu kesepian," balas ibu telah menebak bahwa aku berniat mengikutsertakan Karin ke rencana bulan madu yang Evan susun sebelumnya."Benarkah?" Aku sebenarnya tidak ragu bahwa Karin akan melarang kami, karena anak perempuan itu sudah terbiasa
Setiap orang memiliki harapan.Awalnya aku meragukan kalimat tersebut, hingga sampai aku bisa kembali duduk, berjalan dan bahkan berlari. Bentuk fisikku juga mulai kembali seperti layaknya wanita berusia dua puluhan tanpa kekurangan apapun. Bukan usaha yang mudah dan waktu yang singkat. Setidaknya satu tahun membuatku mencoba menggenggam harapan itu agar semakin nyata."Kau menyukai tempat ini?" Suara Evan membuat lamunanku buyar."Ya?"Evan terkekeh kecil. "Aku mengajakmu melihat calon hunian baru kita dan kau mengkhayal?"
Author POV-------------------------------------------------------------------Pada sebuah toko buku di pusat perbelanjaan, tampak adanya antrean panjang di dalamnya. Pengunjung yang baru datang lalu membaca spanduk yang terdapat pada pintu depanFan Meeting With RiruNovel terbaru : Linggar (Impian, Harapan dan Cinta)Ruri telah sukses menjadi seorang penulis novel, setelah mengundurkan diri sebagai editor. Ia juga memakai nama Riru sebagai nama penanya. Hanya membalik huruf pada
Sudah tiga hari sejak Ruri membawa surat yang kutulis untuk Evan tersebut. Namun belum ada tanda-tanda kedatangannya. Aku tidak pernah meragukan bahwa Ruri akan terlambat menyerahkan surat itu. Mungkin … Evan sedang sibuk.Aku tidak membohongi diriku sendiri bahwa rasa sakit ini mulai menyiksaku. Berharap bahwa ini akan segera berakhir. Bukan hanya soal rasa sakit secara fisik, tetapi batinku tersayat melihat ayah, ibu dan Kanaya yang menangis di sampingku kala aku memejamkan mata seolah tengah tertidur, padahal mendengar bagaimana rintihan mereka.Hari ini gerimis hujan turun membasahi tanah. Aroma petrichor menyusup ke dalam kamar rawatku, sengaja aku meminta Kanaya tidak menutup jendela. Suara rinai hujan membuat ingatanku tertaut pada
Aku berpikir bahwa menyingkir dari hiruk pikuk Jakarta akan membuat kesehatanku mulai membaik. Namun ternyata aku salah, baru sehari tiba di Bandung, aku langsung tumbang.Ayah dan ibu pun langsung mengetahui penyakitku setelah aku dirawat di rumah sakit. Mendapat perawatan bukan berarti membuat kerisauanku menghilang. Nyatanya aku malah bertambah akan satu hal. Evan, lelaki itu telah mengetahui surat pengunduran diriku.Evan♡ : Bagaimana bisa kau melakukan ini padaku? Apakah aku membuat kesalahan? Maafkan aku tidak terlalu memperhatikanmu disaat sedang bersama Karin.Evan♡ : Berikan aku alasan pengunduran dirimu, di mana kau sekarang?
Masalah kebohonganku kepada layanan darurat telah di atasi oleh Evan. Pria itu bahkan menemaniku ke kantor polisi terlebih dahulu, kemudian akan menyusul Karin yang telah dibawa ke rumah sakit.Menurut keterangan polisi, pria yang menculik Karin dari tempat les adalah pemain lama yang memiliki komplotan tersendiri. Salah satu dari penculik yang telah ditangkap tersebut bahkan merupakan residivis untuk kasus yang sama."Kiran," panggil Evan melangkah mendekat, lalu memelukku erat. "Terima kasih, terima kasih."Aku tersenyum lalu membalas pelukan lelaki itu. Kemudian terdengar isak tangis, perasaanku tersayup, apakah Evan sedang menangis dalam p
Sesuai dengan instruksi dokter, aku menuju salah satu rumah sakit besar yang ada di Indonesia untuk melakukan pemeriksaan lanjutan dan pemeriksaan kali ini jauh lebih banyak serta kompleks, sehingga aku harus meminta izin agar tidak masuk kantor selama satu hari.Aku tidak mungkin memberitahu Evan tentang penyakitku ini, karena lelaki itu pasti akan khawatir dan mulai tidak fokus dalam bekerja. Tanggung jawab Evan begitu besar dan melibatkan banyak orang. Namun Evan mencoba mencari tahu alasanku untuk cuti satu hari tersebut.Maka dari itu kami kini tersambung melalui panggilan suara. Aku berada di depan ruang pemeriksaan setelah mengganti baju. Sebelah tanganku memegang nomor antrean dan satunya lagi memegang ponsel."Kau sungguh mengajukan cuti, karena Kanaya meminta
Sesuai dengan janji kami, aku mendatangi salah satu restoran untuk bertemu dengan Kanaya pada jam istirahat kerja. Ketika aku sampai, ternyata Kanaya telah duduk pada sudut restoran terlebih dahulu."Kak Kanaya," sapaku membuat Kanaya mendongak menatapku. Dia tersenyum tipis sekilas lalu mempersilakanku."Kau benar-benar sibuk sampai terlambat hampir setengah jam?"Aku tertawa sumbang. "Jam makan siang selalu membuat jalan di depan kantor menjadi padat.""Bukan karena menemani Kak Evan makan siang dulu?" Balasan Kanaya menjadikanku terdiam. Dia langsung membahas tentang hubunganku dengan lelaki itu."Apakah … Ibu dan Ayah telah tahu tentang hal
Aku memandangi penampilanku di depan cermin saat ini. Memakai gaun mungkin adalah pertama kalinya dalam beberapa bulan terakhir. Jika bukan karena ajakan kencan dari Evan, mana mungkin aku mau repot-repot memakainya."Aku ingin mengajakmu menonton bersama, namun malah ada agenda kencan," keluh Ruri yang telah sengaja mengosongkan jadwalnya dan berangkat menuju indekos tempatku tinggal.Aku melirik Ruri sekilas. "Salah sendiri tidak kabarin dulu. Waktu akhir pekan untuk perempuan yang telah memiliki kekasih bukanlah di rumah," ujarku terdengar sombong sampai Ruri berdecak lidah."Ketemu tiap hari juga."Aku mengeluarkan liptint dari tasku. Mengoleskannya sebagai sentuhan terakhir untuk acara kencanku hari ini. Semoga