"Eh tumben jam segini udah bangun," komentar Kanaya sedang duduk melantai di atas karpet pada ruang tengah.
Aku memutar bola mataku malas, berjalan terus menuju dapur untuk mengambil secangkir teh yang ada dalam poci yang sudah mulai dingin. Memang benar bahwa bangun pagi pada akhir pekan adalah sesuatu yang langkah bagiku.
"Kau juga tumben," balasku duduk di sofa yang terdapat di belakang Kanaya. Bahkan kakak perempuanku itu memakai sofa untuk bersandar.
Kanaya menghela napas sejenak. "Kau akan mengerti jika sudah tamat SMA nanti," ujarnya kemudian menggerakkan tangan di atas keyboard laptop miliknya.
Aku bisa melihat Kanaya sedang sibuk mengerjakan tugas kuliahnya dalam bentuk powerpoint. Wajahnya yang serius dengan cokelat di atas meja untuk memperbaiki suasana hati perempuan itu.
"Selamat pagi Ayah," sapaku melihat ayah keluar dari kamar dengan memakai baju kaus dan celana olahraga pendek.
"Oh pagi Kiran. Kenapa sudah bangun?" tanya ayah sambil menyungging senyum.
Aku mendengus pelan. "Ayah mau ke mana?"
"Oh ini mau main tenis sama Evan."
Aku langsung bangkit dari sofa dan berjalan mendekati ayah. "Benarkah? Kiran boleh ikut?"
Tanaka--ayahku memandangku dengan heran. "Kau tahu cara mainnya?"
Aku menggeleng pelan. "Enggak, cuma daripada Kiran balik lagi ke kamar dan tidur."
"Mending kau menyelesaikan tugas sekolahmu daripada kelayapan di lapangan tenis," sahut Kanaya membuatku menatapnya tajam seketika.
Suara khas Tanaka tertawa mulai terdengar. "Baiklah, Ayah akan menunggumu di mobil jadi bersiaplah.
"Oh yeah!"
Aku dengan sigap berlari masuk kembali ke dalam kamar untuk mengganti celana pendek yang kupakai dengan celana olahraga dan juga memakai jaket. Tidak ada yang tahu bahwa keinginan pergi ke lapangan tenis pagi ini sebenarnya adalah rencana yang telah kususun sejak tadi malam.
Hal itu bermula ketika Evan datang ke rumah membelikan kami pizza dan berbincang dengan Tanaka perihal olahraga tenis yang ternyata menjadi hobi keduanya. Mulai setelah itu, aku mulai menyetel alarm untuk bisa bangun pukul enam pagi, lalu setelahnya meyakinkan diriku untuk pergi ke kamar mandi.
Yah, aku telah mandi dan hanya berkamuflase seolah baru bangun tidur. Itu semua agar Kanaya tidak mencurigaiku. Sentuhan terakhir yang kuberikan sebelum keluar kamar adalah menyemprotkan pewangi pakaian yang biasa digunakan untuk menyetrika. Sebenarnya aku bisa saja memakai parfum langsung, tetapi sepertinya akan tercium seolah tidak alamiah.
"Di sana juga ada jogging track jadi kau bisa sekalian olahraga," ujar ayahku begitu aku masuk ke dalam mobil.
Aku hanya tersenyum kikuk membalasnya. Ayolah, aku tidak akan berkeringat dan hanya fokus berlari untuk ke sana. Itu bukan tujuan utamaku.
Lokasi di mana lapangan tenis berada mulai terlihat. Tanaka mulai memarkir mobilnya dengan hati-hati. Setelah mematikan mesin mobil, kami berdua segera keluar.
"Wah ternyata ramai," gumamku menyadari bahwa tempat yang biasa didatangi ayahku bukan sekadar untuk bermain tenis saja. Ada beberapa permainan olahraga, termasuk basket dan voli.
"Om Tanaka."
Suara seruan Evan membuat badanku segera berbalik dan menemukan lelaki itu dengan pakaian serba hitam sambil memegang raket.
"Kak Evan," panggilku begitu lelaki itu berdiri di hadapanku dengan dahi mengernyit.
"Kiran, kau juga bermain tenis?" tanyanya terlihat penasaran.
Aku tersenyum, lalu menggeleng pelan. "Belum, sebenarnya mau, cuma belum bisa."
Kulihat ayah yang juga telah memegang raket mengarahkan Evan segera menuju lapangan tenis sebelum dipakai orang lain. Aku pun hanya menghela napas, berpikir bahwa kesempatan untuk bicara lebih lanjut dengan Evan bisa kulakukan nanti setelah mereka berdua selesai.
"Kiran?"
Mataku melebar mendengar suara familier yang berasal dari bagian belakang. Perlahan aku berbalik badan dan terkejut dengan kehadiran Fahmi di tempat ini juga.
"Apa yang sedang kau lakukan di sini?" tanyanya berjalan mendekatiku.
Aku berusaha tidak melibatkan emosiku waktu itu ke masa sekarang. "Yah olahraga," jawabku sekenanya.
Fahmi tertawa pelan. "Dulu sewaktu kita masih bersama, kau tidak pernah mau kuajak ke tempat seperti ini."
Aku melongo tidak percaya bahwa Fahmi.masih membahas tentang masa lalu kami. "Kalau begitu kau bisa mengajak Soraya, atau ya mungkin kekasihmu."
"Apa kau cemburu dengan Soraya?"
Mataku membulat mendengar ucapan Fahmi dengan teorinya yang sangat salah besar itu. "Apa? Cemburu?" Kaki bahkan sedikit melangkah ke depan agar tidak didengar oleh orang lain. "Ayolah Fahmi, kurasa kita mengakhirinya cukup baik bukan? Kurasa konsep cemburu tidak akan berlaku."
Baiklah aku tidak bisa mengatakan bahwa hubunganku dengan Fahmi berakhir dengan baik-baik saja. Karena jika memang baik, kenapa harus berakhir? Tetapi meskipun dapat kukatakan Fahmi bermain di belakangku bersama Soraya ketika kami masih berstatus pacaran, aku masih sudi untuk bicara dengannya.
Fahmi terdiam untuk sesaat. Dia kemudian menarik napas. "Baiklah, lalu kau datang dengan siapa?"
Aku reflek berbalik badan untuk menunjuk ayahku. Namun ketika tanganku sudah terangkat, pandanganku malah bertemu dengan Evan. Lelaki itu bahkan memgulas senyum kepadaku sambil melambaikan tangannya.
"Kau datang dengan pria itu?"
Sadar bahwa masih ada Fahmi membuatku kembali menghadap ke lelaki tersebut. "Ya, kami datang bersama," balasku berbohong.
"Kau tidak punya saudara laki-laki dan kulihat dia sudah cukup tua," balas Fahmi terlihat melirik ke arah Evan.
Apa tua?
Jika saja aku tidak sadar bahwa Evan bisa saja melirik ke arahku, maka sudah kujitak dahi Fahmi berani berkata bahwa Evan itu tua.
"Ya, dia memang bekerja. Sudahlah, kau lanjutkan olahragamu. Aku mau ke sana," ujarku berusaha menahan diri dan mulai beranjak pergi.
"Kiran," seru Fahmi menghentikan langkahku dan berbalik.
"Ya?"
"Terima kasih untuk segalanya dan maaf."
Mendapat ucapan tiba-tiba seperti itu membuatku hanya menganggukkan kepala dengan pelan. Kulihat Fahmi mulai berjalan pergi menuju lapangan basket.
Aku pun mulai berjalan dengan semangat menuju lapangan tenis dan duduk di sebuah bangku panjang yang terdapat di pinggir lapangan. Jika tadi Evan dan Tanaka hanya bermain solo, maka kulihat sekarang mereka mulai bermain duo melawan dua orang lainnya.
Radar mataku seolah telah tertanam dalam setiap pergerakan Evan yang begitu lincah ketika memukul balik bola tenis dengan raketnya. Meskipun begitu lelaki itu tetap memberi kesempatan kepada ayahku untuk beraksi.
Aku yang teringat sesuatu kemudian bangkit menuju ke tempat penjual minuman. Membeli dua botol air mineral dingin dan ketika telah kembali, Evan dan ayah sedang jeda istirahat. Pas sekali waktunya.
"Ini untuk kalian," ujarku memberi air mineral tersebut.
Ayah tertawa pelan. "Wah benar-benar putri ayah ini pengertian."
Mendengar pujian itu membuatku melirik Evan yang mana lelaki itu hanya tersenyum simpul, lalu mulai membuka penutup botol air mineral. Ketika mulut lelaki itu mulai menegak air dengan posisi kepala sedikit ditegakkan ke atas, aku seolah tersihir oleh bagaimana air itu bergerak turun seiring dengan gerakan otot leher Evan. Belum lagi keringat yang masih menetes dari wajah lelaki itu.
Ya ampun Kiran sadarlah!!
"Raka!"
"Kenapa itu?"
"Kayaknya ada yang pingsan."
"Jantungnya berhenti ini!"
Seruan orang-orang mulai terdengar. Aku yang berusaha menghilangkan pikiran anehku kepada Evan mulai mencari sumber suara tersebut. Dan terlihat kerumunan orang-orang.
"Sepertinya ada yang tidak sadarkan diri. Evan, tolong antar Kiran pulang. Aku akan berusaha membawa pria itu ke rumah sakit terdekat. Kurasa berisiko menunggu ambulance," ujar ayahku dengan terburu-buru kemudian berjalan cepat untuk membela kerumunan.
Samar-samar aku bisa melihat ayah mulai berusaha melakukan resusitasi jantung paru atau biasa juga disebut CPR. Namun pandanganku teralihkan begitu sebuah tangan menepuk bahuku.
"Ayo kita pulang," ajak Evan menatapku dalam.
Aku yang tersihir oleh tatapannya, hanya bisa mengangguk pelan dan mulai mengikuti langkah kaki lelaki itu menuju parkiran. Sebelum meninggalkan tempat itu, bisa kulihat orang-orang mulai mengangkat pria yang tak sadarkan diri itu ke mobil ayahku. Aku hanya berharap bahwa pria itu akan selamat.
Glurr
Glurr
Mataku membulat begitu suara perutku terdengar. Aku menoleh perlahan ke samping dan bisa melihat Evan kini menatapku serius yang kemudian lelaki itu tertawa.
"Kau pasti lapar bukan? Sepertinya kita butuh mengisi perutmu," ujarnya menyungging senyum.
Aku hanya tersenyum masam. Sialan, kenapa perutku harus meminta makan sekarang? Ouh, betapa malunya aku sekarang ini.
Aku tidak terlalu banyak bicara, masih berusaha menutupi rasa maluku di hadapan Evan. Namun kulihat mobil berhenti di sebuah resto & kafe, tunggu … berarti ini makan perdana kami berdua? Ternyata tidak terlalu buruk juga akibat dari suara perutku.
Aku dan Evan masing-masing memesan bakmie dibandingkan harus makan nasi. Lagipula jam masih menunjukkan pukul sepuluh lewat. Masih bisa makan siang nantilah. Duduk saling berhadapan, membuatku merasa sedang berkencan dengannya. Indahnya, jika bisa sering seperti ini.
Kulirik mangkuk Evan yang hampir habis, namun sebelum benar-benar menghabiskannya, ponselnya berbunyi. Sebelum mengangkat telepon tersebut, lelaki itu menyeruput es lemon tehnya terlebih dahulu.
"Ya Haikal?"
Aku yang sambil berusaha menghabiskan bakmie di depanku, juga melirik diam-diam melihat Evan yang sedang menempelkan ponsel pada telinganya.
Evan menghela napas, seraya memejamkan mata singkat. "Apa maksudnya kau menghilangkan file berisi konsep gambar pada konstruksi proyek pembangunan kondominium?" Raut wajah santai yang selalu kulihat kini berubah menjadi dingin. Bahkan aku bisa melihat kilatan amarah pada kedua mata lelaki tersebut yang kini menatap vas bunga kecil di meja.
Aku menegak salivaku begitu melihat Evan meremas sumpit ditangannya yang sepertinya masih mendengar penjelasan dari pria bernama Haikal tersebut.
"Segera temukan filenya kembali dan selesaikan masalah ini atau," ujar Evan berhenti sejenak. Mata lelaki itu menatapku dengan kalimat terputusnya. "Berikan aku surat pengunduran dirimu hari senin."
Tut.
Evan memutus panggilan secara sepihak, lalu kembali menatapku. "Aku ini orangnya perfeksionis Kiran," ujarnya seolah menjelaskan kepadaku. Pandangannya masih belum beranjak ke mataku.
Kenapa peringai Evan bisa begitu berubah dari yang selama ini kukenal ramah menjadi lelaki yang galak dan menakutkan seperti tadi?
Anehnya lagi, jantungku malah berdetak lebih cepat, apalagi ketika ditatap seperti sekarang.
***
Sudah hampir dua minggu sejak Evan pindah rumah. Namun kedekatanku dengannya masih sebatas melempar senyum dan salam jika tidak sengaja berpapasan di luar pagar.Aku mengakui bagaimana sibuknya lelaki itu bekerja. Setidaknya itulah yang kutangkap setelah memperhatikan Evan selama beberapa hari belakangan ini. Dia akan berangkat bekerja kurang lebih sama seperti diriku yang berangkat ke sekolah, hanya saja lelaki itu pulang sebelum petang.Melihat rutinitasnya berangkat dan pulang kerja secara teratur mengingatkanku akan ucapan Evan tempo hari yang berkata bahwa lelaki itu perfeksionis."Haafhh.""Kenapa Ki?" tanya Ruri memandangku bingung.Kami sedang berada di kafe pada salah satu pusat perbelanjaan. Rasa haus yang mendera setelah mengunjungi beberapa tempat les untuk masuk ke perguruan tinggi membuatku berakhir dengan segelas milk brown sugar."Enggak, bingung aja nanti mau ambil jurusan apa," ujarku mengatakan hal yan
Perkataanku yang ceroboh membuat situasiku untuk dekat dengan Evan malah menjadi penuh kecanggungan. Aku merutuki diriku yang terlalu terbawa suasana ketika lelaki itu menepuk kepalaku."Argghhh!""Apa otakmu sedang error sehingga mengeluarkan suara sumbang seperti itu?"Ucapan sarkastik Kanaya memaksa kepalaku menoleh menatapnya yang sedang asyik menikmati siaran Netflix dengan camilan tortilla chips andalannya.Jika Kanaya sedang duduk di sofa depan televisi di ruang tengah, maka aku berada di sofa dekat dinding dengan posisi berbaring.Aku tentu saja berusaha mengabaikan ucapan Kanaya dan memilih fokus menatap ponselku. Mendekati Evan dalam dunia nyata, tampaknya akan sedikit sulit. Mengingat kesan terakhirku yang kurang menampakkan sisi anggun dan polosnya diriku. Oleh karena itu, aku berencana untuk mengulik sisi Evan melalui dunia maya.Pertama aku mencari media sosialnya dan seperti generasi modern saat ini,
Berstatus murid kelas tiga SMA membuat tubuh dan pikiranku benar-benar lelah. Banyaknya tugas, materi kelas tambahan dan mengikuti simulasi ujian membuatku ingin segera merebahkan tubuhku di atas tempat tidur.Namun apa daya kini aku malah menatap jengah kepada kumpulan murid laki-laki yang ributnya minta ampun. Aku yang selesai makan siang di kantin berniat menghabiskan waktu istirahat dengan meletakkan kepalaku di atas meja sambil memejamkan mata harus gagal.Aku melirik Ruri mulai bergabung dengan murid laki-laki tersebut. Helaan napas langsung keluar dari hidung dan mulutku. Aku tetap meletakkan kepalaku di atas meja, dengan memakai sebelah tanganku sebagai bantalan.Aku memiringkan kepalaku seraya merogoh saku rok abu-abu yang kupakai untuk mengeluarkan ponselku. Tentu saja tidak ada hiburan lain saat ini selain berselancar di dunia maya.Namun mataku melebar begitu melihat pertama kali instastory Evan yang sejak beberapa hari lalu kuikut
"Jadi kau akan menyerah kepada Kak Evan?" tanya Deril dengan suara penasaran. Ini bermula dari cuitan twitter yang kulakukan pagi ini. Sejak kapan juga Deril mengikutiku di twitter? Aku memang tidak memperhatikan orang yang mengikutiku, karena jumlahnya bisa puluhan dengan username yang aneh dan unik."Apa ya, aku belum berjuang, tetapi sudah dipatahkan beberapa kali oleh ucapan dan tindakan Kak Evan yang memang sepertinya tidak memberi ruang di hatinya dengan kehadiranku," balasku berkaca pada realitas yang ada.Saat ini kami berdua sedang berada di pinggir lapangan basket ketika jam istirahat sedang berlangsung, di mana murid lainnya sedang berlalu-lalang. Pasalnya untuk bisa ke kantin harus melewati lapangan basket yang juga berdekatan dengan lapangan futsal.Kudengar suara kekehan Deril. "Yakin nih? Padahal aku ada rencana bertemu dengan Kak Evan untuk berdiskusi tentang pelajaran fisika."Aku menoleh menatapnya. "Bahkan jika kau mengajakku b
Aku kembali menulis usaha perjuanganku pada notebook yang kubeli dulu ketika mengunjungi toko buku bersama Ruri.Senyum seolah tidak mau beranjak dari bibirku kala melirik dua buah tiket yang terletak di atas meja belajarku. Namun hal itu terganggu begitu ponselku berbunyi, tanda notifikasi bahwa sebuah pesan masuk.Aku meletakkan pulpen yang kupegang, lalu menggantinya dengan ponsel. Kulihat pesan itu dari Ruri.Ruri : Kiraaaan!Kiran : Apaan sih?Ruri : Hehe, PR Kimia tentang Logam Alkali sudah selesai?Aku mengernyitkan dahi, bisa menebak apa niat Ruri berkata seperti itu.Kiran : Sudah dong, tapi gak bisa diintip.Ruri : Eh kok gitu, aku beri imbalan deh.Kiran : Gak tertarik.Ruri : Yakin?Tidak lama kemudian setelah pesan terakhir Ruri, dia mengirimiku sebuah gambar foto. Sebuah tiket untuk masuk ke rumah hantu.Ah Ruri, tahu saja kalau aku sedang penasaran sama wahana ru
08538908*** : Ini aku Evan. Besok kita berangkat jam sepuluh.Aku yang baru saja akan tidur, ketika membaca pesan dari nomor yang tidak tersimpan, tetapi begitu membaca nama Evan, hatiku menolak untuk tidak bersorak kegirangan."Assa!" Aku mengangkat kepalan tangan dengan wajah semringah.Aku mencoba membalasnya akan terdengar semanis dan selembut mungkin. Namun sebelumnya aku menyimpan nomor lelaki itu dengan nama Kak Evan♡.Aku cekikikan sendiri membaca tanda love pada nama kontak yang kubuat. Lalu beralih memikirkan balasan yang bisa membuat obrolan kami tidak terputus.Kiran : Kalau boleh tahu, Kak Evan lagi apa sekarang?Aku menggigit kuku jempolku setelah mengirim pesan tersebut. Kurang dari semenit balasan dari lelaki itu sudah datang.Kak Evan♡ : Kerja laporan.Aku berdecak lidah, karena balasan singkat tersebut. Namun Evan malah tidak balik bertanya tentang kegiatanku. Bangkit dari tempat tidur, aku meli
Jika kemarin pujian kata manis Evan membuatku seolah melayang, kini kepalaku malah pusing mengartikannya. Pasalnya aku mengingat hari di mana Evan memberiku kue, karena lelaki itu mengatakan bahwa dia tidak suka makanan manis."Ini sedikit ambigu," gumamku setelah merapikan rambutku, lalu segera keluar dari kamar.Aku menuju meja makan di mana sudah ada Kanaya yang makan dengan terburu-buru. "Pelan-pelan saja."Kanaya langsung mendongak dan menatapku tajam. Ia kemudian segera menghabiskan susunya. "Kuliah nanti, baru tahu rasa," balasnya ketus lalu bangkit dari kursi makan menuju pintu depan dengan menyampirkan ransel yang dipakainya."Oh ya Bu, Ayah mana? Kok tidak sarapan," tanyaku mulai memakan sarapanku."Ayahmu sudah tadi. Kelamaan tunggu kau selesai pakaian. Sekarang lagi ngobrol sama Evan di teras sambil minum kopi," balas ibu membuat mataku seketika terbelalak.Tanpa berbicara lagi, aku segera menghabiskan sarapanku dengan terburu-bu
Kegiatan sekolah semakin menumpuk. Tugas tanpa henti meski sudah mendekati ujian sekolah, les yang semakin rajin serta beberapa praktikum yang harus selesai sebelum ujian. Semua masalah akademik tersebut membuat usaha dan rencanaku untuk dekat dengan Evan menjadi terhambat.Disaat Evan mulai sedikit terbuka, dengan mengajakku sekadar makan bersama meski Kanaya terkadang ikut untuk menghilangkan rasa jenuhnya itu. Namun semuanya kembali renggang, karena jadwal sekolah serta bagaimana Evan terlihat sibuk dengan pekerjaannya."Jadi kau masih saling mengirim pesan dengan Kak Kanaya?" tanyaku pada Deril yang kini duduk denganku di bangku dekat lapangan basket.Deril tertawa pelan. "Kau masih menganggapku mendekati kakakmu? Aku hanya pernah beberapa kali bertanya tentang kampus.""Lalu setelahnya saling komen lewat direct message instagram?" timpalku mengingat dengan jelas bagaimana Kanaya yang selalu meng
"Kalian berangkat saja. Evan sudah mempersiapkan segalanya seperti ini," ujar ibuku setelah aku memberitahu tentang rencana bulan madu yang telah dipersiapkan oleh Evan.Namun aku masih khawatir akan satu hal, yaitu Karin. "Tapi ini bukan libur sekolah.""Karin biar aku dan ayahmu yang jaga. Antar dia ke sekolah dan juga menjemputnya. Lagipula Kanaya dan Kenzo akan datang akhir pekan ini, jadi Karin tidak akan begitu kesepian," balas ibu telah menebak bahwa aku berniat mengikutsertakan Karin ke rencana bulan madu yang Evan susun sebelumnya."Benarkah?" Aku sebenarnya tidak ragu bahwa Karin akan melarang kami, karena anak perempuan itu sudah terbiasa
Setiap orang memiliki harapan.Awalnya aku meragukan kalimat tersebut, hingga sampai aku bisa kembali duduk, berjalan dan bahkan berlari. Bentuk fisikku juga mulai kembali seperti layaknya wanita berusia dua puluhan tanpa kekurangan apapun. Bukan usaha yang mudah dan waktu yang singkat. Setidaknya satu tahun membuatku mencoba menggenggam harapan itu agar semakin nyata."Kau menyukai tempat ini?" Suara Evan membuat lamunanku buyar."Ya?"Evan terkekeh kecil. "Aku mengajakmu melihat calon hunian baru kita dan kau mengkhayal?"
Author POV-------------------------------------------------------------------Pada sebuah toko buku di pusat perbelanjaan, tampak adanya antrean panjang di dalamnya. Pengunjung yang baru datang lalu membaca spanduk yang terdapat pada pintu depanFan Meeting With RiruNovel terbaru : Linggar (Impian, Harapan dan Cinta)Ruri telah sukses menjadi seorang penulis novel, setelah mengundurkan diri sebagai editor. Ia juga memakai nama Riru sebagai nama penanya. Hanya membalik huruf pada
Sudah tiga hari sejak Ruri membawa surat yang kutulis untuk Evan tersebut. Namun belum ada tanda-tanda kedatangannya. Aku tidak pernah meragukan bahwa Ruri akan terlambat menyerahkan surat itu. Mungkin … Evan sedang sibuk.Aku tidak membohongi diriku sendiri bahwa rasa sakit ini mulai menyiksaku. Berharap bahwa ini akan segera berakhir. Bukan hanya soal rasa sakit secara fisik, tetapi batinku tersayat melihat ayah, ibu dan Kanaya yang menangis di sampingku kala aku memejamkan mata seolah tengah tertidur, padahal mendengar bagaimana rintihan mereka.Hari ini gerimis hujan turun membasahi tanah. Aroma petrichor menyusup ke dalam kamar rawatku, sengaja aku meminta Kanaya tidak menutup jendela. Suara rinai hujan membuat ingatanku tertaut pada
Aku berpikir bahwa menyingkir dari hiruk pikuk Jakarta akan membuat kesehatanku mulai membaik. Namun ternyata aku salah, baru sehari tiba di Bandung, aku langsung tumbang.Ayah dan ibu pun langsung mengetahui penyakitku setelah aku dirawat di rumah sakit. Mendapat perawatan bukan berarti membuat kerisauanku menghilang. Nyatanya aku malah bertambah akan satu hal. Evan, lelaki itu telah mengetahui surat pengunduran diriku.Evan♡ : Bagaimana bisa kau melakukan ini padaku? Apakah aku membuat kesalahan? Maafkan aku tidak terlalu memperhatikanmu disaat sedang bersama Karin.Evan♡ : Berikan aku alasan pengunduran dirimu, di mana kau sekarang?
Masalah kebohonganku kepada layanan darurat telah di atasi oleh Evan. Pria itu bahkan menemaniku ke kantor polisi terlebih dahulu, kemudian akan menyusul Karin yang telah dibawa ke rumah sakit.Menurut keterangan polisi, pria yang menculik Karin dari tempat les adalah pemain lama yang memiliki komplotan tersendiri. Salah satu dari penculik yang telah ditangkap tersebut bahkan merupakan residivis untuk kasus yang sama."Kiran," panggil Evan melangkah mendekat, lalu memelukku erat. "Terima kasih, terima kasih."Aku tersenyum lalu membalas pelukan lelaki itu. Kemudian terdengar isak tangis, perasaanku tersayup, apakah Evan sedang menangis dalam p
Sesuai dengan instruksi dokter, aku menuju salah satu rumah sakit besar yang ada di Indonesia untuk melakukan pemeriksaan lanjutan dan pemeriksaan kali ini jauh lebih banyak serta kompleks, sehingga aku harus meminta izin agar tidak masuk kantor selama satu hari.Aku tidak mungkin memberitahu Evan tentang penyakitku ini, karena lelaki itu pasti akan khawatir dan mulai tidak fokus dalam bekerja. Tanggung jawab Evan begitu besar dan melibatkan banyak orang. Namun Evan mencoba mencari tahu alasanku untuk cuti satu hari tersebut.Maka dari itu kami kini tersambung melalui panggilan suara. Aku berada di depan ruang pemeriksaan setelah mengganti baju. Sebelah tanganku memegang nomor antrean dan satunya lagi memegang ponsel."Kau sungguh mengajukan cuti, karena Kanaya meminta
Sesuai dengan janji kami, aku mendatangi salah satu restoran untuk bertemu dengan Kanaya pada jam istirahat kerja. Ketika aku sampai, ternyata Kanaya telah duduk pada sudut restoran terlebih dahulu."Kak Kanaya," sapaku membuat Kanaya mendongak menatapku. Dia tersenyum tipis sekilas lalu mempersilakanku."Kau benar-benar sibuk sampai terlambat hampir setengah jam?"Aku tertawa sumbang. "Jam makan siang selalu membuat jalan di depan kantor menjadi padat.""Bukan karena menemani Kak Evan makan siang dulu?" Balasan Kanaya menjadikanku terdiam. Dia langsung membahas tentang hubunganku dengan lelaki itu."Apakah … Ibu dan Ayah telah tahu tentang hal
Aku memandangi penampilanku di depan cermin saat ini. Memakai gaun mungkin adalah pertama kalinya dalam beberapa bulan terakhir. Jika bukan karena ajakan kencan dari Evan, mana mungkin aku mau repot-repot memakainya."Aku ingin mengajakmu menonton bersama, namun malah ada agenda kencan," keluh Ruri yang telah sengaja mengosongkan jadwalnya dan berangkat menuju indekos tempatku tinggal.Aku melirik Ruri sekilas. "Salah sendiri tidak kabarin dulu. Waktu akhir pekan untuk perempuan yang telah memiliki kekasih bukanlah di rumah," ujarku terdengar sombong sampai Ruri berdecak lidah."Ketemu tiap hari juga."Aku mengeluarkan liptint dari tasku. Mengoleskannya sebagai sentuhan terakhir untuk acara kencanku hari ini. Semoga