Sophia berjalan kaki di pagi hari di kota New York yang cerah menuju kantornya. Wajah cantiknya berseri dan rambut pirangnya yang dikuncir kuda berkibar karena terkena angin.
Ketika ia sedang berjalan sambil menatap ponsel, tiba-tiba saja sebuah mobil sedan hitam melaju dan melindas air yang tergenang di jalan.
Byur!!
"Wei!" Cipratan air membasahi kemeja putih dan rok hitam ketat yang menempel di tubuh seksinya. "Dasar brengsek!"
Tiba-tiba saja mobil itu berhenti. Tapi hal itu tidak membuat Sophia terintimidasi. Sikap berani dan galaknya membuat ia tak mundur untuk menghadapi si pemilik mobil dan menunggunya untuk keluar.
Sejurus kemudian pintu bagian kemudi terbuka dan seseorang keluar untuk membuka pintu bagian penumpang. Dilihatnya seorang pria tinggi dan bertubuh kekar dalam balutan jas hitam yang mewah. Rambut cokelatnya terlihat tidak terlalu rapi.
Saat pria itu berbalik menghapnya, lutut Sophia langsung lemas. Pria itu sangat tampan dengan rahang tegas dan kokoh berjambang. Matanya sama persis dengan warna rambutnya. Tatapannya tajam.
Lelaki itu mendekati Shopia dan berdiri tepat di hadapannya dengan sebelah alis terangkat. "Kau bilang apa tadi? Kau bilang aku brengsek?!"
"Mampus," batin Shopia.
Sophia sangat mengenali pria yang ada di hadapannya itu sebagai seseorang yang wara-wari di kantornya karena sering gonta-ganti sekertaris ketika dia bosan. Tapi sepertinya pria itu tidak mengenalnya.
Karena merasa lelaki itu tidak mengenalinya, ia berkata, "Aku mengatai brengsek pada supirmu, bukan padamu! Dia sudah membuat diriku basah! Lihat, apa yang dia lakukan padaku?!" Sophia menunjuk tubuhnya yang basah.
Sang supir mendadak maju, tapi si pemilik mobil mencegahnya. Bukannya minta maaf, lelaki itu malah melangkah maju hingga berdiri beberapa jenggal dari tubuh Sophia. "Benarkah? Tapi itu mobilku. Dan kau mau apa?"
"Minta maaf dan ganti rugi," balas Sophia tak mau kalah. Dalam hati ia bersyukur karena pria di hadapannya itu tidak mengenalinya. Dan jika pria itu benar-benar ganti rugi, itu artinya ia bisa membeli baju baru untuk dipakainya setiap pergi ke kantor.
"Siapa namamu, Nona?" tanya pria itu.
"Sophia. Namaku Sophia."
"Dan namaku Aaron Jerr Glassio."
Sophia membulatkan matanya. "Aku tidak bertanya."
"Tapi aku ingin kau mengingatnya," Aaron menyeringai dan semakin mendekatkan tubuhnya pada Sophia.
"Ka-kau mau apa? Menjauhlah dariku!" bentak Sophia.
"Dengar, Nonna Sophia, aku mau minta maaf padamu dan ganti rugi, tapi...." Aaron tersenyum nakal. "Di kamar hotel."
Sophia memelototi Aaron dengan mata hijaunya. Ia meraih sepatu flat-nya kemudian memukuli tubuh Aaron. "Apa kau bilang? Dasar pria brengsek! Aku bukan pelacur. Dasar sialan!"
Teriakan Sophia ternyata mengundang orang-orang untuk menatap mereka. Aaron yang memanfaatkan kesempatan itu, dengan sigap merebut sepatu milik Sophia yang semakin membuat gadis itu berteriak kesal.
"Kembalikan sepatuku!"
"Kau ini ternyata bukan hanya berisik, tapi juga galak." Aaron menjauhkan sepatu itu. Dan tanpa diduga, ia melemparkan sepatu itu ke tengah jalan. "Ambil sana."
Dengan kesal Sophia berlari ke tengah jalan dan mengambil sepatunya. Ketika ia sudah berhasil mengambil sepatunya, ia berbalik dan melihat mobil pria itu sudah tidak ada.
"Agggrrh! Awas kau, Aaron brengsek! Aku akan menendang wajah tampanmu itu kalau kita bertemu." Sophia menatap kemeja putihnya yang kini berwarna cokelat akibat cipratan air. "Sial sekali aku bertemu dengannya. Tapi meski terkenal bos tampan yang kaya raya, tapi aku tidak suka padanya!"
Sophia terpaksa pulang kembali ke rumahnya untuk mengganti baju. Tapi karena waktu yang tersisa hanya satu jam lagi, Sophia terpaksa pergi ke apartemen sahabatnya yang tak jauh dari kantor.
Ia berlari menuju apartemen temannya. Dan tak berama lama Sophia pun tiba. Dipencetnya bel apartemen sampai sosok sang sahabat muncul.
Ting... Tong... Ting... Tong...
Clek! Pintu terbuka.
"Sophia!" seru Hanna. Matanya terbelalak melihat penampilan gadis cantik di hadapannya. "Apa yang terjadi padamu, hah? Kenapa..."
"Ceritanya panjang," sergah Sophia. "Sekarang pinjamkan aku kemeja dan rokmu. Cepat! Aku akan terlambat," kata Sophia sambil menghambur ke dalam apartemen. "Aku akan menceritakannya padamu. Nanti."
Hanna melirik jam dinding. "Baiklah, tapi asal kau berjanji untuk menceritakan semuanya padaku. Apa harus kemeja putih?"
"Tidak harus."
Hanna membuka lemari pakaiannya dan mencari-cari kemeja dan rok yang cocok untuk sahabatnya. Tubuh mereka sama tinggi, hanya saja Hanna lebih berisi. "Ini!" Ia menunjukan kemeja putih berlengan panjang. "Kau coba dulu. Mungkin ini pas di tubuhmu. Di tubuhku kemeja itu sudah tidak muat lagi. Dadaku terlalu besar."
Sophia terkikik. "Kau sih terlalu banyak makan." Ia melepaskan kemejanya dan barulah ia sadar bahwa bra-nya juga basah.
"Ada apa?" tanya Hanna ketika menatapnya.
"Bra-ku juga basah, Han."
"OMG!" Dengan cepat Hanna berlari ke ruangan sebelah.
"Kau mau ke mana, Han?"
"Mencari pakaian dalam untukmu!" teriaknya.
Sophia bernapas lemas. "Ini semua karenamu, Aaron brengsek! Awas saja sampai Hanna tak menemukan pakaian dalam yang pas untukku. Aku takkan segan-segan untuk membalas..."
"Sophia!" Teriakan Hanna membuat Sophia menghentikan niat jahatnya kepada sang atasan. Dilihatnya sahabatnya itu membawa pakaian dalam berwarna hitam yang masih baru dalam genggaman tangannya. "Pakailah. Ini hadiah dari salah satu penggemarku waktu badanku masih kurus."
Sophia ternganga. "Hadiah? Penggemarmu menghadiahimu pakaian dalam?" Ia menahan tawa.
"Cepatlah pakai. Kau akan terlambat."
Menyadari hal itu Sophia pun tak punya pilihan lain. Ia melepaskan semua pakaian dalamnya dan menggantinya dengan pakaian dalam yang diberikan Hanna.
"Ternyata sangat pas. Ambilah itu untukmu," kata Hanna lalu kembali bergerak menuju lemari. Ia mencari rok yang pas untuk Sophia. "Pakailah ini. Jika ini pas di tubuhmu, untukmu saja. Semua ini sudah tidak muat ladi di tubuhku."
Sophia menghentikan jemarinya yang sedang mengancingkan kemeja. Ditatapnya wajah Hanna. "Aku akan mengembalikannya, Hanna. Andai saja rumahku tidak jauh dan masih banyak waktu lagi, aku akan menyempatkan diri untuk pulang. Ini semua gara-gara bos brengsek itu!"
"Bos brengsek? Siapa?" tanya Hanna.
Sambil mengancingkan kemeja Sophia menceritakan kejadian yang menimpanya tadi sebelum ia ke sini. "Dia bosku. Tapi untung saja dia tidak mengenaliku. Jadi aku seenaknya meminta ganti rugi dan mengerjainya dengan menyuruh minta maaf. Tapi bukannya ganti rugi dan minta maaf, dia malah melempar sepatuku di tengah jalan lalu kabur. Benar-benar brengsek, kan dia?"
Hanna tertawa. "Kau yakin dia tidak mengenalimu? Atau dia hanya pura-pura?"
Sophia meraih rok yang diberikan Hanna. "Aku rasa tidak. Toh aku di gedung sebelah, sementara dia di gedung sebelah. Aku akan ke gedung sebelah jika ada hal-hal penting yang akan diperintahkan oleh kepala divisi-ku. Dan sudah beberapa bulan aku kerja di perusahannya, aku tidak pernah bertatap muka dengannya. Kecuali beberapa menit yang lalu."
Lagi-lagi Hanna tertawa. "Tapi kau berani membentaknya. Kalau sampai dia tahu, pasti kau akan dipecat."
"Itu harus. Lagipula kejadian ini kan di luar kantor. Itu berarti dia bukan atasanku dan aku bukan bawahannya."
Hanna menggeleng-gelengkan kepalanya. "Cepatlah, kau bisa terlambat, Sophia."
Setelah selesai mengenakan pakaian yang dipinjamkan Hanna, Sophia menatap dirinya di cermin. "Baiklah, aku pergi dulu, ya? Terima kasih atas bantuanmu. Aku janji akan mengembalikan baju ini secepatnya."
"Hanna tertawa. "Tidak usah. Pakaian itu sudah kekecilan di tubuhku. Itu untukmu saja. Dan besok jika ada waktu, datanglah ke sini untuk mengambil pakaianmu. Aku akan mencucinya nanti."
"Baiklah. Sekali lagi terima kasih. Bye."
"Bye. Hati-hati, Sophia. Semoga bos brengsekmu itu tidak mengenalimu!" Hanna terkikik.
***
Tak berapa lama Sophia pun akhirnya tiba di AJESIO Group. Gedung yang berlatai lima dan lebar itu di bagi menjadi dua.
Di G1 di huni oleh pemimpin perusahan yang tempatnya di lantai 5, wakil pimpinan di lantai 4, bagian direksi di lantai 3, dan lantai 2 di huni oleh HRD. Sementara untuk lantai 1 di G1 itu digunakan oleh Kasir untuk melayani para konsumen yang melakukan pembayan atau angsuran bulanan.
Sedangkan di G2 lantai 1, digunakan CS untuk melayani konsumen yang baru akan mendaftar. Di lantai 2 dan 3 dihuni oleh staf marketing dan di lantai 4 dan 5 di huni oleh para staf keuangan, termasuk Sophia. Ia adalah staf termuda yang masuk di tim Accounting.
Dan sekarang, dengan napas terengah-engah karena berlari dalam kurun waktu lima belas menit dari apartemen Hanna ke kantor, ia akhirnya tiba dan langsung menuju lift. Sialnya, liftnya mati. "Sial!" Dilihatnya pak satpam yang berjalan ke arahnya.
"Maaf, Bu Sophia. Lift sedang dalam perbaikan. Jadi Anda harus naik melalui tangga darurat."
"Apa?! Tangga darurat." Rasanya ia ingin pingsan saja agar ada seseorang yang mau membawanya naik ke lantai lima tanpa harus menaiki tangga. "Memangnya liftnya kenapa, Pak? Perasaan Sabtu kemarin liftnya baik-baik saja."
"Maaf, Bu. Tadi juga salah satu staf marketing mengeluh karena lift tidak bisa di buka. Tapi setelah dicek oleh tim teknisi, ternyata ada bagian lift yang rusak."
"Ya, ampun. Baiklah, terima kasih ya, Pak."
Sophia pun akhirnya menaiki tangga darurat. Setiap tangga yang dinaikinya dilontarkan sumpah serapah bagi sang pemilik perusahan. "Punya perusahan banyak, uang banyak, wanita banyak, tapi lift di kantor rusak. Dasar laki-laki brengsek!"
Akhirnya Sophia tiba di lantai lima. "Selamat pagi semua," sapanya ramah.
"Pagi, Sophia." seru mereka.
"Hari ini sial banget, ya? Pagi-pagi harus naik tangga ke lantai lima," kata gadis yang kebetulan adalah karyawan yang satu tim dengan Sophia.
"Iya," sahut Sophia. "Tapi semoga besok sudah tidak lagi."
"Amin."
"Sophia!" seru pria dari arah belakang. Sophia menoleh. "Pas kamu sudah datang. Bisa kau antarkan ini ke G1?" Ia memperlihatkan beberapa lembar kertas putih yang sudah disusun rapi di dalam map.
Dalam hati Sophia memaki-maki. Belum juga lelahnya hilang, lelaki itu sudah menyuruhnya. Kalau bukan kepala divisi, mungkin Sophia sudah membentaknya. "Bisa, Pak."
"Di dalam ini adalah berkas-berkas penting yang harus ditanda tangani oleh Pak Aaron. Jadi kau ke G1 sebelum beliau keluar sarapan. Aku sudah mengubungi sekertarisnya dan beliau masih stay di ruangannya."
"Apa?! Ke ruangan Pak Aaron?" pekiknya dalam hati. Wajah Sophia berubah pucat. "Ya, ampun, mampus aku. Dia pasti akan memecatku kalau tahu aku yang tadi mengatainya brengsek."
"Sophia?"
"Eh, ya! Maaf, Pak."
"Kau tahu ruangan Pak Aaron, kan?" Sophia mengangguk. "Baiklah. Sekarang pergilah dan dapatkan tanda tangannya sebelum beliau sarapan pagi."
Ya ampun, nasib apa sih yang menimpahku hari ini?
Hahahha.
Continued___
Sobat, jangan lupa untuk follow, vote dan review, ya. :)
Dengan wajah pucat dan tubuh gemetar Sophia berjalan menuju lift. Pikiran yang diselimuti bayang-bayang sang atasan akan mengamuk membuatnya lupa bahwa liftnya rusak. "Sial! Kenapa sih hari ini apes sekali," gerutunya. Mau tidak mau Sophia pun harus melewati tangga darurat untuk ke dua kali. Tapi naik-turun tangga berkali-kali dari lantai lima ke lantai satu lebih terasa menyenangkan dari pada membayangkan wajah Aaron yang brengsek itu.Begitu tiba di lantai dasar, Sophia berhenti di meja cuztomer service untuk menstabilkan napasnya."Ibu Sophia kenapa? Ibu habis olahraga, ya? tanya gadis yang merupakan cuztomer service di G2 itu.Sophia melotot. "Memangnya kau tidak tahu kalau liftnya rusak?""Rusak? Masa sih, Bu? Barusan ada karyawan marketing yang turun pake lift lho, Bu."Satpam yang kebetulan berdiri
Tak terasa hari sudah sore. Alarm yang menunjukkan pukul 16.00 di ponsel Sophia pun sudah berbunyi. Ia sengaja memasang alarm, karena kalau sudah berkutat dengan pekerjaan, Sophia suka lupa waktu dan ujung-ujung keluar kantor langit sudah gelap.Gadis yang usianya 22 tahun itu baru 5 bulan bergabung di AJESIO Group. Saat pengumumam kelulusan sudah diberitakan oleh pihak kampus, iseng-iseng Sophia mengajukan permohonan pekerjaan di beberapa perusahan dan ternyata tak menunggu berapa lama, ia dihubungi oleh pihak AJESIO Group dan memberitahukan bahwa ia di terima.Meski masih sangat muda dan yang paling muda di antara para karyawan yang lain, tapi disiplin dan integritas Sophia tidak main-main. Sifat yang baik namun tegas itu turun dari almarhum sang ibu. Cathy selalu menegaskan padanya, "Jika kau ingin sukses dan kaya seperti Mami, kau harus disiplin dalam segala hal. Kau juga harus tegas dan keras untuk menjadi
Di dalam kamar Sophia melepaskan tasnya lalu menghamburkan diri ke atas kasur. Bayangan akan kehidupan saat ibunya masih hidup membuat Sophia meneteskan air mata. "Mom, seandainya kau masih ada."Sophia bangkit dari kasur dan menghapus air matanya. Ia membuka lemari pakaian dan mengambil sebuah kotak berukuran sedang berwarna merah. Kotak itu adalah hadiah ulang tahun dari Cathy saat ia berumur 7 tahun.Flashback On."Apa itu untukku?" Dengan girang Sophia berlari mendekati Cathy.Wanita berambut pirang yang sama seperti Sophia itu sedang duduk di sofa dengan kotak berwarna merah di atas pangkuannya. Senyumnya melebar. "Iya, Sayang. Ini untukmu."Sophia sangat antusias. "Isinya apa, Mommy?""Isinya rahasia, Sayangku." Ia membawa Sophia ke dalam pangkuannya.
"Mami yakin Mr. Jerr akan menyetujui permintaan itu?"Mata Betty mengarah ke belakang bahu Angelica. Tatapannya kosong. "Mami punya perjanjian dengannya. Mami yakin, Mr. Jerr pasti akan menuruti kemauan mami, seperti mami yang sudah menuruti permintaannya." Perkataan yang terlontar dari mulutnya sendiri seakan menyentakkan Betty. Ia sadar lalu menengadahkan pandangannya ke wajah Angelica. "Sudah! Kau tidak usah banyak tanya. Sekarang kau panggil si gadis malas itu dan ayahnya. Lalu ingat," katanya pelan. "jangan hardik."Dengan kesal Angelica meninggalkan ruang makan, sedangkan Betty melanjutkan menata piring dan menu yang masih harus disediakan.Di sisi lain.Tok... Tok..."Sophia? Waktunya makan malam," kata Angelica dengan suara keras.Tok... Tok..."Soph...."Clek!"Aku sudah dengar, jadi kau tak perlu mengetuk pintuku berulang-ulang," ketusnya."Maaf, aku pikir kau tidak dengar.
Di dalam kamar sambil memasukan semua pakaiannya ke dalam koper, air mata Sophia mengalir terus tanpa henti. Kata-kata John yang membentaknya di hadapan ibu dan saudara tirinya membuat Sophia malu, apalagi sampai menamparnya. Tega benar John melakukan itu padanya.Mata Shopia menangkap kotak merah yang masih dililit pita berwarna kuning keemasan. Dengan hati sedih ia mendudukan dirinya di atas ranjang lalu mengambil dan memeluk kotak itu begitu erat. "Mom... hikss.... aku merindukanmu, Mom.... aku ingin ikut bersamamu, Mom....hikss." Air mata Sophia semakin merebak. "Kenapa Mom pergi tidak mengajakku, Mom? Aku tidak mau tinggal di sini. Daddy sama kejamnya dengan Betty. Kenapa dia begitu padaku, Mom? Apa aku ini... hiks... apa aku bukan anak kandungnya?"Tok... Tok...Bunyi ketukan pintu mengagetkan Sophia. Dengan cepat ia menyembunyikan kotak itu ke dalam koper. "Siapa?""Ini aku."
"Sudah.""Kalau begitu, berikan pada mami. Biar mami yang akan memberikannya pada ayahmu."Sophia membalikan tubuhnya menghadapi Betty. "Dokumen ini tidak akan kuberikan padamu atau pada siapa pun. Dokumen ini milik Mommy bukan Daddy.""Tapi, Sophia...." Belum sempat menyelesaikan perkataannya Sophia justru sudah berjalan meninggalkannya. Betty kesal. "Lihat saja nanti, apa yang akan kulakukan padamu!"Angelica mendekatinya. "Memangnya dokumen apa itu, Mi?"Tatapan Betty beralih ke wajah putrinya. "Itu sertifikat rumah ini. Kita harus merebutnya dari Sophia.""Kenapa Mami tidak menyuruh papi saja untuk membujuknya? Siapa tahu kalau papi yang memintanya dia akan....""Kau tidak dengar apa yang dia katakan tadi? Itu milik Cathy," sergah Betty. Ia mengalihkan pandangan lalu bergerak ke pagar tangga sambil memandang ke arah pintu kamar di lantai bawah. "Lagipula kalau kita beritahu papi soal itu, rencana kita akan gag
Keesokan paginya saat matahari sudah tinggi dan membias jendela-jendela apartemen, Sophia dan Hanna masih terlelap. Setelah adu mulut semalaman yang panjang, di mana si pemilik apartemen tetap keras kepala mau tidur di lantai dan menyuruh tamunya tidur di kasur. Perdebatan itulah yang membuat Hanna menang dan membawa mereka ke dalam tidur yang sampai sekarang pun belum terjaga.Sophialah yang lebih dulu siuman. Ia menggeliatkan tubuh saat matahari memancarkan kilau cerah tepat di matanya. Perlahan-lahan dibukanya mata indah itu. Terasa asing dengan suasana kamar, Sophia menyapu semua ruangan. Setelah matanya benar-benar terbuka, ia mencoba mengenali ruangan itu dan kembali mengingat apa yang terjadi. "Hanna?" Ia terlonjak. Dengan cepat Sophia menepiskan selimut tebalnya dan menunduk ke arah lantai. "Hanna, bangun!" Ia melirik jam weker di atas nakas. "Mampus! Aku terlambat." Dilihatnya Hanna menggeliat.Setelah semua mata benar-benar terbuka, Hanna pun menatap So
"Kau yakin akan tinggal di sini?" tanya Hanna.Dua wanita cantik itu kini sedang berada di apartemen yang letaknya hanya berjarak lima belas meter dari area perkatoran dan salah satunya adalah AJESIO Group. Apartemen berlantai dua puluh itu juga letaknya tak jauh dari apartemen Hanna. Jika dihitung-hitung, jarak dari apartemen Hanna ke AJESIO Group adalah dua puluh lima meter, sementara apartemen yang akan ditempati Sophia ini jaraknya lebih dekat dengan AJESIO Group.Sebenarnya Sophia ingin tinggal di apartemen yang sama dengan Hanna, namun fasilitas dan kamar yang tidak sesuai keinginan membuat Sophia memilih alternatif lain. Dan jika seandainya ia tak menemukan apartemen yang lebih dekat jaraknya dari kantor, mau tidak mau Sophia harus menempati apartemen yang baginya sempit itu."Tidak masalah, Han. Lagi pula di sini kan jaraknya lebih dekat." Sophia sedang mengatur semua barang-barangnya. Setelah menyetujui harga de
"Kau yakin akan tinggal di sini?" tanya Hanna.Dua wanita cantik itu kini sedang berada di apartemen yang letaknya hanya berjarak lima belas meter dari area perkatoran dan salah satunya adalah AJESIO Group. Apartemen berlantai dua puluh itu juga letaknya tak jauh dari apartemen Hanna. Jika dihitung-hitung, jarak dari apartemen Hanna ke AJESIO Group adalah dua puluh lima meter, sementara apartemen yang akan ditempati Sophia ini jaraknya lebih dekat dengan AJESIO Group.Sebenarnya Sophia ingin tinggal di apartemen yang sama dengan Hanna, namun fasilitas dan kamar yang tidak sesuai keinginan membuat Sophia memilih alternatif lain. Dan jika seandainya ia tak menemukan apartemen yang lebih dekat jaraknya dari kantor, mau tidak mau Sophia harus menempati apartemen yang baginya sempit itu."Tidak masalah, Han. Lagi pula di sini kan jaraknya lebih dekat." Sophia sedang mengatur semua barang-barangnya. Setelah menyetujui harga de
Keesokan paginya saat matahari sudah tinggi dan membias jendela-jendela apartemen, Sophia dan Hanna masih terlelap. Setelah adu mulut semalaman yang panjang, di mana si pemilik apartemen tetap keras kepala mau tidur di lantai dan menyuruh tamunya tidur di kasur. Perdebatan itulah yang membuat Hanna menang dan membawa mereka ke dalam tidur yang sampai sekarang pun belum terjaga.Sophialah yang lebih dulu siuman. Ia menggeliatkan tubuh saat matahari memancarkan kilau cerah tepat di matanya. Perlahan-lahan dibukanya mata indah itu. Terasa asing dengan suasana kamar, Sophia menyapu semua ruangan. Setelah matanya benar-benar terbuka, ia mencoba mengenali ruangan itu dan kembali mengingat apa yang terjadi. "Hanna?" Ia terlonjak. Dengan cepat Sophia menepiskan selimut tebalnya dan menunduk ke arah lantai. "Hanna, bangun!" Ia melirik jam weker di atas nakas. "Mampus! Aku terlambat." Dilihatnya Hanna menggeliat.Setelah semua mata benar-benar terbuka, Hanna pun menatap So
"Sudah.""Kalau begitu, berikan pada mami. Biar mami yang akan memberikannya pada ayahmu."Sophia membalikan tubuhnya menghadapi Betty. "Dokumen ini tidak akan kuberikan padamu atau pada siapa pun. Dokumen ini milik Mommy bukan Daddy.""Tapi, Sophia...." Belum sempat menyelesaikan perkataannya Sophia justru sudah berjalan meninggalkannya. Betty kesal. "Lihat saja nanti, apa yang akan kulakukan padamu!"Angelica mendekatinya. "Memangnya dokumen apa itu, Mi?"Tatapan Betty beralih ke wajah putrinya. "Itu sertifikat rumah ini. Kita harus merebutnya dari Sophia.""Kenapa Mami tidak menyuruh papi saja untuk membujuknya? Siapa tahu kalau papi yang memintanya dia akan....""Kau tidak dengar apa yang dia katakan tadi? Itu milik Cathy," sergah Betty. Ia mengalihkan pandangan lalu bergerak ke pagar tangga sambil memandang ke arah pintu kamar di lantai bawah. "Lagipula kalau kita beritahu papi soal itu, rencana kita akan gag
Di dalam kamar sambil memasukan semua pakaiannya ke dalam koper, air mata Sophia mengalir terus tanpa henti. Kata-kata John yang membentaknya di hadapan ibu dan saudara tirinya membuat Sophia malu, apalagi sampai menamparnya. Tega benar John melakukan itu padanya.Mata Shopia menangkap kotak merah yang masih dililit pita berwarna kuning keemasan. Dengan hati sedih ia mendudukan dirinya di atas ranjang lalu mengambil dan memeluk kotak itu begitu erat. "Mom... hikss.... aku merindukanmu, Mom.... aku ingin ikut bersamamu, Mom....hikss." Air mata Sophia semakin merebak. "Kenapa Mom pergi tidak mengajakku, Mom? Aku tidak mau tinggal di sini. Daddy sama kejamnya dengan Betty. Kenapa dia begitu padaku, Mom? Apa aku ini... hiks... apa aku bukan anak kandungnya?"Tok... Tok...Bunyi ketukan pintu mengagetkan Sophia. Dengan cepat ia menyembunyikan kotak itu ke dalam koper. "Siapa?""Ini aku."
"Mami yakin Mr. Jerr akan menyetujui permintaan itu?"Mata Betty mengarah ke belakang bahu Angelica. Tatapannya kosong. "Mami punya perjanjian dengannya. Mami yakin, Mr. Jerr pasti akan menuruti kemauan mami, seperti mami yang sudah menuruti permintaannya." Perkataan yang terlontar dari mulutnya sendiri seakan menyentakkan Betty. Ia sadar lalu menengadahkan pandangannya ke wajah Angelica. "Sudah! Kau tidak usah banyak tanya. Sekarang kau panggil si gadis malas itu dan ayahnya. Lalu ingat," katanya pelan. "jangan hardik."Dengan kesal Angelica meninggalkan ruang makan, sedangkan Betty melanjutkan menata piring dan menu yang masih harus disediakan.Di sisi lain.Tok... Tok..."Sophia? Waktunya makan malam," kata Angelica dengan suara keras.Tok... Tok..."Soph...."Clek!"Aku sudah dengar, jadi kau tak perlu mengetuk pintuku berulang-ulang," ketusnya."Maaf, aku pikir kau tidak dengar.
Di dalam kamar Sophia melepaskan tasnya lalu menghamburkan diri ke atas kasur. Bayangan akan kehidupan saat ibunya masih hidup membuat Sophia meneteskan air mata. "Mom, seandainya kau masih ada."Sophia bangkit dari kasur dan menghapus air matanya. Ia membuka lemari pakaian dan mengambil sebuah kotak berukuran sedang berwarna merah. Kotak itu adalah hadiah ulang tahun dari Cathy saat ia berumur 7 tahun.Flashback On."Apa itu untukku?" Dengan girang Sophia berlari mendekati Cathy.Wanita berambut pirang yang sama seperti Sophia itu sedang duduk di sofa dengan kotak berwarna merah di atas pangkuannya. Senyumnya melebar. "Iya, Sayang. Ini untukmu."Sophia sangat antusias. "Isinya apa, Mommy?""Isinya rahasia, Sayangku." Ia membawa Sophia ke dalam pangkuannya.
Tak terasa hari sudah sore. Alarm yang menunjukkan pukul 16.00 di ponsel Sophia pun sudah berbunyi. Ia sengaja memasang alarm, karena kalau sudah berkutat dengan pekerjaan, Sophia suka lupa waktu dan ujung-ujung keluar kantor langit sudah gelap.Gadis yang usianya 22 tahun itu baru 5 bulan bergabung di AJESIO Group. Saat pengumumam kelulusan sudah diberitakan oleh pihak kampus, iseng-iseng Sophia mengajukan permohonan pekerjaan di beberapa perusahan dan ternyata tak menunggu berapa lama, ia dihubungi oleh pihak AJESIO Group dan memberitahukan bahwa ia di terima.Meski masih sangat muda dan yang paling muda di antara para karyawan yang lain, tapi disiplin dan integritas Sophia tidak main-main. Sifat yang baik namun tegas itu turun dari almarhum sang ibu. Cathy selalu menegaskan padanya, "Jika kau ingin sukses dan kaya seperti Mami, kau harus disiplin dalam segala hal. Kau juga harus tegas dan keras untuk menjadi
Dengan wajah pucat dan tubuh gemetar Sophia berjalan menuju lift. Pikiran yang diselimuti bayang-bayang sang atasan akan mengamuk membuatnya lupa bahwa liftnya rusak. "Sial! Kenapa sih hari ini apes sekali," gerutunya. Mau tidak mau Sophia pun harus melewati tangga darurat untuk ke dua kali. Tapi naik-turun tangga berkali-kali dari lantai lima ke lantai satu lebih terasa menyenangkan dari pada membayangkan wajah Aaron yang brengsek itu.Begitu tiba di lantai dasar, Sophia berhenti di meja cuztomer service untuk menstabilkan napasnya."Ibu Sophia kenapa? Ibu habis olahraga, ya? tanya gadis yang merupakan cuztomer service di G2 itu.Sophia melotot. "Memangnya kau tidak tahu kalau liftnya rusak?""Rusak? Masa sih, Bu? Barusan ada karyawan marketing yang turun pake lift lho, Bu."Satpam yang kebetulan berdiri
Sophia berjalan kaki di pagi hari di kota New York yang cerah menuju kantornya. Wajah cantiknya berseri dan rambut pirangnya yang dikuncir kuda berkibar karena terkena angin.Ketika ia sedang berjalan sambil menatap ponsel, tiba-tiba saja sebuah mobil sedan hitam melaju dan melindas air yang tergenang di jalan.Byur!!"Wei!" Cipratan air membasahi kemeja putih dan rok hitam ketat yang menempel di tubuh seksinya. "Dasar brengsek!"Tiba-tiba saja mobil itu berhenti. Tapi hal itu tidak membuat Sophia terintimidasi. Sikap berani dan galaknya membuat ia tak mundur untuk menghadapi si pemilik mobil dan menunggunya untuk keluar.Sejurus kemudian pintu bagian kemudi terbuka dan seseorang keluar untuk membuka pintu bagian penumpang. Dilihatnya seorang pria tinggi dan bertubuh kekar dalam balutan jas hitam yang mewa