"Kau yakin akan tinggal di sini?" tanya Hanna.
Dua wanita cantik itu kini sedang berada di apartemen yang letaknya hanya berjarak lima belas meter dari area perkatoran dan salah satunya adalah AJESIO Group. Apartemen berlantai dua puluh itu juga letaknya tak jauh dari apartemen Hanna. Jika dihitung-hitung, jarak dari apartemen Hanna ke AJESIO Group adalah dua puluh lima meter, sementara apartemen yang akan ditempati Sophia ini jaraknya lebih dekat dengan AJESIO Group.
Sebenarnya Sophia ingin tinggal di apartemen yang sama dengan Hanna, namun fasilitas dan kamar yang tidak sesuai keinginan membuat Sophia memilih alternatif lain. Dan jika seandainya ia tak menemukan apartemen yang lebih dekat jaraknya dari kantor, mau tidak mau Sophia harus menempati apartemen yang baginya sempit itu.
"Tidak masalah, Han. Lagi pula di sini kan jaraknya lebih dekat." Sophia sedang mengatur semua barang-barangnya. Setelah menyetujui harga dengan sang pemilik, Sophia langsung bergegas mengambil barang bawaannya di apartemen Hanna. Dan kini, mereka berdua pun sedang bersenda gurau sambil merapikan pakaian-pakaian yang akan ditempatkan di lemari.
"Aku harus membereskan semuanya hari ini biar besok aku bisa masuk kantor, karena kalau tidak, aku pasti akan dipecat," kata Sophia sambil mengatur pakaian di dalam lemari yang sudah dilipatkan Hanna.
Gadis itu tertawa. "Kejam sekali sih atasanmu yang rela memecat karyawannya hanya karena tidak masuk sehari. Tapi memang aku pernah mendengar, kalau peraturan di AJESIO Group itu sangatlah ketat."
Sophia membulatkan mata. "Berita itu benar. Tapi aku pikir mungkin karena pemiliknya yang kejam dan brengsek, sampai-sampai dia membuat aturan seperti itu. Tahu, tidak? Bahkan semua orang di kantor itu dilarang jatuh cinta. Dan kalau sampai itu terjadi, siap-siap menerima surat cinta dari sang atasan."
Hanna terkikik. "Benarkah? Tapi sepertinya kau benci sekali atasanmu itu, Sophia."
"Entalah, yang pasti sebelum dia mengotori bajuku dengan cipratan air jalan, aku memang sudah membencinya. Padahal aku belum bertemu dengannya. Tapi setelah bertemu, yang ada aku semakin membencinya. Sikap angkuh yang dia miliki membuatku tidak suka."
"Benarkah?" kata Hanna. "Tapi kau termasuk orang yang beruntung lho," kata Hanna sambil menghentikan gerakan tangannya. "Coba kau pikir, saat kau memasuka permohonan pekerjaan di beberapa instansi, respon yang paling cepat dan pertama adalah AJESIO Group. Padahal kalau dipikir-pikir, usia kita pasti sedikit kemungkinan akan langsung diterima, tapi kamu... Jarang lho ada yang terjadi seperti itu."
"Mungkin mereka menerimaku, karena mereka pikir otakku masih fresh setelah kuliah." Mereka terbahak. "Ya, aku yakin pasti karena itu," kata Sophia. "Karena, masa baru sebulan aku di bagian admin, Mr. Han langsung menarikku menjadi asistennya. Kan gila?"
Hanna tersenyum. "Itu bukan gila, Sophia, tapi karena kau beruntung."
"Mungkin," kata Sophia sambil mengangkat bahu. "Tapi itu juga salah satu alasan kenapa aku tidak mau mengotori absen dan selalu bekerja keras di perusahan itu. Entah kenapa aku merasakan bahwa masa depanku ada di sana. Sehari saja tidak masuk kantor rasanya aku seperti melalaikan tanggung jawabku. Seandainya saja daddy tidak mengusirku semalam, aku pasti tidak akan bolos hari ini. Aku memang berencana akan pindah ke apartemen baru saat weekend agar tidak mengganggu jam kerjaku, tapi apa daya, dad bilang lebih cepat pindah lebih bagus."
"Sudahlah. Ayahmu ada benarnya. Lebih cepat kau keluar dari rumah itu lebih baik, Sophia. Aku khawatir ibu dan saudara tirimu akan mencelakkanmu. Meski mereka tidak pernah menyakitimu, tapi kau kan tidak tahu apa rencana mereka, apalagi kau bilang ibu tirimu meminta sertifikat rumah itu. Aku rasa itu hanya alasannya saja agar bisa mereburnya darimu. Jika pertama saja dia bisa merayu ayahmu menjual toko ibunya, mungkin kedua dia akan membujum ayahmu untuk menjual rumah itu."
"Entalah, Han. Yang jelas aku tidak peduli lagi dengan perusahan itu. Biarkan saja mereka menikmati uang itu. Tapi suatu saat nanti, aku harus mengeluarkan mereka dari rumah itu. Rumah itu milim mom, bukan dad atau pun Betty dan Angelica."
"Itu harus, Sophia. Rumah itu milikmu dan kau harus memperjuangkannya."
"Itu pasti." Sophia tesenyum lembut lalu meraih tangan Hanna dan membawanya ke dalam genggaman. "Sekali lagi terima kasih, Han. Aku harap kita tak akan terpisahkan untuk selamanya."
"Itu tidak mungkin, Sophia. Toh suatu saat kau harus menikah, begitu juga aku. Jadi kita pasti akan terpisah."
"Makanya jangan cari jodoh yang jauh!" Sophia tertawa. "Tapi meskipun sudah menikah, kita jangan sampai terpisahkan oleh jarak, ya?"
"Itu pasti." Mereka berpelukan sesaat. "Ya sudah, sekarang ayo kita bereskan semuanya. Aku sudah lapar."
Di sisi lain.
Di sebuah ruangan kantor dengan meja kerja yang di atasnya ada beberapa berkas dengan pemandangan Kota New York yang dipenuhi gedung-gedung pencakar langit musim panas yang cerah, sosok Aaron sedang berkutat dengan pekerjaannya. Ia terlihat luar biasa tampan dengan wajah datar, rahang kokoh dan tegas. Meski terlihat angkuh, tapi hal itu justru membuat wajah Aaron semakin berkharisma.
Drtt... Drtt...
Dering ponsel membuat Aaron mengalihkan pikirannya ke benda pipih yang letaknya tepat di sebelah kanan. Tak melihat siapa yang memanggil, Aaron langsung meraih ponsel itu lalu menatap layar. Dilihatnya nama Betty Davis sebagai penelepon. Alis Aaron langsung berkerut.
"Ada apa?" tanya Aaron dengan wajah dan suara yang sama-sama datar.
"Selamat pagi, Mr. Jerr. Maaf aku menganggumu. Tapi ini penting. Aku ingin meminta bantuanmu."
"Hmmm, katakan saja." Mata Aaron kembali menatap berkas-berkas di atas mejanya.
"Semalam Sophia bertengkar dengan ayahnya dan dia kabur dari rumah. Sebenarnya yang aku khawatirkan bukan tentang Sophia. Aku bahkan tak peduli padanya. Dan bersyukur bahwa bukan aku yang mengusirnya. Kepergiannya dari rumah itu berarti akan lebih mudah bagiku untuk melenyapkan ayahnya. Tapi masalahnya dia kabur sambil membawa sertifikat rumah ini, jadi aku ingin meminta bantuan Anda untuk mencari tahu di mana dia tinggal agar aku bisa mengambil kembali sertifikat itu."
Kegiatan Aaron yang tadi begitu mengasyikkan kini terhenti saat mendengar perjelasan yang dilontarkan Betty dari seberang telepon. "Bisakah kau jelaskan padaku apa alasan kau ingin merebut sertifikat itu, Mrs. Davis?"
"Aku ingin merebutnya dan menjualnya pada Anda, Mr jerr. Setelah aku pikir-pikir, kalau seandainya aku menggelapkan penjualan perusahan itu, diriku dan Angelica pasti akan terancam. Jadi aku mengubah strategi agar diriku dan Angelica tidak terlibat dalam masalah ini. Aku akan memberikan alasan pada Sophia nanti bahwa ayahnya terlilit hutang dan mau tidak mau perusahan dan rumah itu akan dijual kepada Anda. Dengan begitu, aku rasa mau tidak mau Sophia pun harus menyetujuinya.""Bagus. Itu ide yang sangat brilian, Mrs. Davis. Tapi hal yang paling utama bagimu adalah melenyapkan dulu ayahnya Sophia. Soal wanita itu Anda tidak perlu khawatir. Aku sendiri yang akan menanganinya. Toh dia sekarang sedang bekerja di perusahanku. Dan itu akan semakin gampang bagiku untuk memantaunya.""Baik, Mr. Jerr. Terima kasih banyak."
"Ngomong-ngomong, bagaimana perkembangan pria brengsek itu? Apa kau selalu memberikan obatnya sesuai dengan dosis yang kuperintahkan?""Iya, Mr. Jerr, aku selalu memberikan dosis yang sesuai dengan apa yang Anda perintahkan.""Bagus. Kita tinggal menunggu saja berapa hari lagi sampai obatnya benar-benar bereaksi."
Tut... Tut...
Aaron memutuskan panggilannya. Ia berdecak dengan seringaian sinis. Tatapannya tajam ke depan. "John Davis, rasanya aku tak sabar lagi ingin melihatmu menderita."Tok... Tok...
Bunyi ketukan pintu mengalihkan pandangan Aaron. "Masuk."
Sosok wanita cantik dan seksi muncul dari balik pintu. "Permisi, Pak. Ini data tentang Bu Sophia Davis yang Anda minta," kata wanita yang ternyata adalah sekertaris Aaron.
Aaron pun dengan cepat berdiri dan meraih beberapa lembar kertas putih dari tangan sekertarisnya. "Terima kasih. Sekarang kau boleh keluar.""Baik, Pak."Aaron pun duduk kembali setelah mengotak-atik ponselnya. Sambil membaca lembar per lembar kertas yang menunjukan data dan foto tentang Sophia Davis, Aaron menempelkan ponsel itu di telinganya."Halo, Bos?" sapa seorang pria dari balik telepon."Matt, aku ingin kau melacak di mana Sophia tinggal. Katanya dia kabur dari rumah semalam. Aku tunggu 20 menit dari sekarang.""Baik, Bos!"
Tut... Tut...
Aaron memutuskan panggilannya. Diletakkan ponsel itu di atas meja lalu menyandarkan punggungnya di kursi hitam yang empuk. Sambil menatap foto Sophia. "Sophia Davis," gumamnya seraya memborong wajah gadis itu di dalam foto. Matanya menatap lembut. Ekspresi datar yang selalu muncul di wajahnya kini berubah. Ia tersenyum lembut untuk pertama kalinya. "Aku tak meyangka, ternyata pertemuan pertama kita sangat tidak menyenangkan."
Sebenarnya Aaron sudah sejak lama mengenali Sophia. Ia sudah mengincar gadis itu sejak belasan tahun lalu, saat tahu dia adalah anak John Davis. Aaron juga tahu semua tentang Sophia, baik siapa ibunya, maupun berapa tanggal lahirnya. Bahkan di mana dan kapan gadis itu melamarkan diri untuk bergabung di AJESIO Group. Aaronlah yang mengirim e***l langsung kepada Sophia bahwa dirinya diterima di AJESIO Group. Hal itu bukan keberuntungan, tapi Aaron memang sengaja menerima Sophia di perusahannya agar lelaki itu bisa lebih muda untuk melenyapkan John Davis yang merupakan target kriminalnya dan memanfaatkan Sophia untuk menjalankan misinya.
Dan saat Mr. Han menyebutkan nama gadis waktu di G2 tadi, kembalinya dari sana Aaron langsung menyuruh sekertarisnya untuk mencari semua data-data tentang Sophia.
"Maafkan aku, Sophia, tapi ini adalah langkah yang tepat untuk melaksanakan misiku. Kau harus terlibat. Kau harus menyaksikan bagaimana menderitanya ibu dan kakaku saat ayahmu menelantarkan mereka. Kau harus melihatnya, kau harus melihatnya, Sophia." Tatapannya berubah tajam. Tangannya mengepal erat. "Kau harus bisa menyaksikan dan melihat penderitaan mereka sebagaimana aku akan membuat ayahmu menderita."
Drttt... DrttDering ponsel membuyarkan pikiran dan emosi Aaron. Diraihnya ponsel dari atas meja dan menghubungkan panggilannya."Bos! Nona Sophia tinggal di Menk'S Apartemen. Jaraknya hanya 15 meter dari AJESIO Group. Dan sekarang Nona Sophia sedang makan siang di cafe dekat apartemen bersama temannya."
"Bagus. Pantau terus dia. Beritahu aku jika ada sesuatu yang mencurigakan."
"Baik, Bos!"Tut... Tut...
Aaron memutuskan panggilan. Ia kembali manatap wajah Sophia yang kini sedang tersenyum lembut padanya. Sambil menyeringai ia berkata, "Ayo kita lihat sama-sama bagaimana ayahmu menderita, Sophia."
Continued___Sophia berjalan kaki di pagi hari di kota New York yang cerah menuju kantornya. Wajah cantiknya berseri dan rambut pirangnya yang dikuncir kuda berkibar karena terkena angin.Ketika ia sedang berjalan sambil menatap ponsel, tiba-tiba saja sebuah mobil sedan hitam melaju dan melindas air yang tergenang di jalan.Byur!!"Wei!" Cipratan air membasahi kemeja putih dan rok hitam ketat yang menempel di tubuh seksinya. "Dasar brengsek!"Tiba-tiba saja mobil itu berhenti. Tapi hal itu tidak membuat Sophia terintimidasi. Sikap berani dan galaknya membuat ia tak mundur untuk menghadapi si pemilik mobil dan menunggunya untuk keluar.Sejurus kemudian pintu bagian kemudi terbuka dan seseorang keluar untuk membuka pintu bagian penumpang. Dilihatnya seorang pria tinggi dan bertubuh kekar dalam balutan jas hitam yang mewa
Dengan wajah pucat dan tubuh gemetar Sophia berjalan menuju lift. Pikiran yang diselimuti bayang-bayang sang atasan akan mengamuk membuatnya lupa bahwa liftnya rusak. "Sial! Kenapa sih hari ini apes sekali," gerutunya. Mau tidak mau Sophia pun harus melewati tangga darurat untuk ke dua kali. Tapi naik-turun tangga berkali-kali dari lantai lima ke lantai satu lebih terasa menyenangkan dari pada membayangkan wajah Aaron yang brengsek itu.Begitu tiba di lantai dasar, Sophia berhenti di meja cuztomer service untuk menstabilkan napasnya."Ibu Sophia kenapa? Ibu habis olahraga, ya? tanya gadis yang merupakan cuztomer service di G2 itu.Sophia melotot. "Memangnya kau tidak tahu kalau liftnya rusak?""Rusak? Masa sih, Bu? Barusan ada karyawan marketing yang turun pake lift lho, Bu."Satpam yang kebetulan berdiri
Tak terasa hari sudah sore. Alarm yang menunjukkan pukul 16.00 di ponsel Sophia pun sudah berbunyi. Ia sengaja memasang alarm, karena kalau sudah berkutat dengan pekerjaan, Sophia suka lupa waktu dan ujung-ujung keluar kantor langit sudah gelap.Gadis yang usianya 22 tahun itu baru 5 bulan bergabung di AJESIO Group. Saat pengumumam kelulusan sudah diberitakan oleh pihak kampus, iseng-iseng Sophia mengajukan permohonan pekerjaan di beberapa perusahan dan ternyata tak menunggu berapa lama, ia dihubungi oleh pihak AJESIO Group dan memberitahukan bahwa ia di terima.Meski masih sangat muda dan yang paling muda di antara para karyawan yang lain, tapi disiplin dan integritas Sophia tidak main-main. Sifat yang baik namun tegas itu turun dari almarhum sang ibu. Cathy selalu menegaskan padanya, "Jika kau ingin sukses dan kaya seperti Mami, kau harus disiplin dalam segala hal. Kau juga harus tegas dan keras untuk menjadi
Di dalam kamar Sophia melepaskan tasnya lalu menghamburkan diri ke atas kasur. Bayangan akan kehidupan saat ibunya masih hidup membuat Sophia meneteskan air mata. "Mom, seandainya kau masih ada."Sophia bangkit dari kasur dan menghapus air matanya. Ia membuka lemari pakaian dan mengambil sebuah kotak berukuran sedang berwarna merah. Kotak itu adalah hadiah ulang tahun dari Cathy saat ia berumur 7 tahun.Flashback On."Apa itu untukku?" Dengan girang Sophia berlari mendekati Cathy.Wanita berambut pirang yang sama seperti Sophia itu sedang duduk di sofa dengan kotak berwarna merah di atas pangkuannya. Senyumnya melebar. "Iya, Sayang. Ini untukmu."Sophia sangat antusias. "Isinya apa, Mommy?""Isinya rahasia, Sayangku." Ia membawa Sophia ke dalam pangkuannya.
"Mami yakin Mr. Jerr akan menyetujui permintaan itu?"Mata Betty mengarah ke belakang bahu Angelica. Tatapannya kosong. "Mami punya perjanjian dengannya. Mami yakin, Mr. Jerr pasti akan menuruti kemauan mami, seperti mami yang sudah menuruti permintaannya." Perkataan yang terlontar dari mulutnya sendiri seakan menyentakkan Betty. Ia sadar lalu menengadahkan pandangannya ke wajah Angelica. "Sudah! Kau tidak usah banyak tanya. Sekarang kau panggil si gadis malas itu dan ayahnya. Lalu ingat," katanya pelan. "jangan hardik."Dengan kesal Angelica meninggalkan ruang makan, sedangkan Betty melanjutkan menata piring dan menu yang masih harus disediakan.Di sisi lain.Tok... Tok..."Sophia? Waktunya makan malam," kata Angelica dengan suara keras.Tok... Tok..."Soph...."Clek!"Aku sudah dengar, jadi kau tak perlu mengetuk pintuku berulang-ulang," ketusnya."Maaf, aku pikir kau tidak dengar.
Di dalam kamar sambil memasukan semua pakaiannya ke dalam koper, air mata Sophia mengalir terus tanpa henti. Kata-kata John yang membentaknya di hadapan ibu dan saudara tirinya membuat Sophia malu, apalagi sampai menamparnya. Tega benar John melakukan itu padanya.Mata Shopia menangkap kotak merah yang masih dililit pita berwarna kuning keemasan. Dengan hati sedih ia mendudukan dirinya di atas ranjang lalu mengambil dan memeluk kotak itu begitu erat. "Mom... hikss.... aku merindukanmu, Mom.... aku ingin ikut bersamamu, Mom....hikss." Air mata Sophia semakin merebak. "Kenapa Mom pergi tidak mengajakku, Mom? Aku tidak mau tinggal di sini. Daddy sama kejamnya dengan Betty. Kenapa dia begitu padaku, Mom? Apa aku ini... hiks... apa aku bukan anak kandungnya?"Tok... Tok...Bunyi ketukan pintu mengagetkan Sophia. Dengan cepat ia menyembunyikan kotak itu ke dalam koper. "Siapa?""Ini aku."
"Sudah.""Kalau begitu, berikan pada mami. Biar mami yang akan memberikannya pada ayahmu."Sophia membalikan tubuhnya menghadapi Betty. "Dokumen ini tidak akan kuberikan padamu atau pada siapa pun. Dokumen ini milik Mommy bukan Daddy.""Tapi, Sophia...." Belum sempat menyelesaikan perkataannya Sophia justru sudah berjalan meninggalkannya. Betty kesal. "Lihat saja nanti, apa yang akan kulakukan padamu!"Angelica mendekatinya. "Memangnya dokumen apa itu, Mi?"Tatapan Betty beralih ke wajah putrinya. "Itu sertifikat rumah ini. Kita harus merebutnya dari Sophia.""Kenapa Mami tidak menyuruh papi saja untuk membujuknya? Siapa tahu kalau papi yang memintanya dia akan....""Kau tidak dengar apa yang dia katakan tadi? Itu milik Cathy," sergah Betty. Ia mengalihkan pandangan lalu bergerak ke pagar tangga sambil memandang ke arah pintu kamar di lantai bawah. "Lagipula kalau kita beritahu papi soal itu, rencana kita akan gag
Keesokan paginya saat matahari sudah tinggi dan membias jendela-jendela apartemen, Sophia dan Hanna masih terlelap. Setelah adu mulut semalaman yang panjang, di mana si pemilik apartemen tetap keras kepala mau tidur di lantai dan menyuruh tamunya tidur di kasur. Perdebatan itulah yang membuat Hanna menang dan membawa mereka ke dalam tidur yang sampai sekarang pun belum terjaga.Sophialah yang lebih dulu siuman. Ia menggeliatkan tubuh saat matahari memancarkan kilau cerah tepat di matanya. Perlahan-lahan dibukanya mata indah itu. Terasa asing dengan suasana kamar, Sophia menyapu semua ruangan. Setelah matanya benar-benar terbuka, ia mencoba mengenali ruangan itu dan kembali mengingat apa yang terjadi. "Hanna?" Ia terlonjak. Dengan cepat Sophia menepiskan selimut tebalnya dan menunduk ke arah lantai. "Hanna, bangun!" Ia melirik jam weker di atas nakas. "Mampus! Aku terlambat." Dilihatnya Hanna menggeliat.Setelah semua mata benar-benar terbuka, Hanna pun menatap So
"Kau yakin akan tinggal di sini?" tanya Hanna.Dua wanita cantik itu kini sedang berada di apartemen yang letaknya hanya berjarak lima belas meter dari area perkatoran dan salah satunya adalah AJESIO Group. Apartemen berlantai dua puluh itu juga letaknya tak jauh dari apartemen Hanna. Jika dihitung-hitung, jarak dari apartemen Hanna ke AJESIO Group adalah dua puluh lima meter, sementara apartemen yang akan ditempati Sophia ini jaraknya lebih dekat dengan AJESIO Group.Sebenarnya Sophia ingin tinggal di apartemen yang sama dengan Hanna, namun fasilitas dan kamar yang tidak sesuai keinginan membuat Sophia memilih alternatif lain. Dan jika seandainya ia tak menemukan apartemen yang lebih dekat jaraknya dari kantor, mau tidak mau Sophia harus menempati apartemen yang baginya sempit itu."Tidak masalah, Han. Lagi pula di sini kan jaraknya lebih dekat." Sophia sedang mengatur semua barang-barangnya. Setelah menyetujui harga de
Keesokan paginya saat matahari sudah tinggi dan membias jendela-jendela apartemen, Sophia dan Hanna masih terlelap. Setelah adu mulut semalaman yang panjang, di mana si pemilik apartemen tetap keras kepala mau tidur di lantai dan menyuruh tamunya tidur di kasur. Perdebatan itulah yang membuat Hanna menang dan membawa mereka ke dalam tidur yang sampai sekarang pun belum terjaga.Sophialah yang lebih dulu siuman. Ia menggeliatkan tubuh saat matahari memancarkan kilau cerah tepat di matanya. Perlahan-lahan dibukanya mata indah itu. Terasa asing dengan suasana kamar, Sophia menyapu semua ruangan. Setelah matanya benar-benar terbuka, ia mencoba mengenali ruangan itu dan kembali mengingat apa yang terjadi. "Hanna?" Ia terlonjak. Dengan cepat Sophia menepiskan selimut tebalnya dan menunduk ke arah lantai. "Hanna, bangun!" Ia melirik jam weker di atas nakas. "Mampus! Aku terlambat." Dilihatnya Hanna menggeliat.Setelah semua mata benar-benar terbuka, Hanna pun menatap So
"Sudah.""Kalau begitu, berikan pada mami. Biar mami yang akan memberikannya pada ayahmu."Sophia membalikan tubuhnya menghadapi Betty. "Dokumen ini tidak akan kuberikan padamu atau pada siapa pun. Dokumen ini milik Mommy bukan Daddy.""Tapi, Sophia...." Belum sempat menyelesaikan perkataannya Sophia justru sudah berjalan meninggalkannya. Betty kesal. "Lihat saja nanti, apa yang akan kulakukan padamu!"Angelica mendekatinya. "Memangnya dokumen apa itu, Mi?"Tatapan Betty beralih ke wajah putrinya. "Itu sertifikat rumah ini. Kita harus merebutnya dari Sophia.""Kenapa Mami tidak menyuruh papi saja untuk membujuknya? Siapa tahu kalau papi yang memintanya dia akan....""Kau tidak dengar apa yang dia katakan tadi? Itu milik Cathy," sergah Betty. Ia mengalihkan pandangan lalu bergerak ke pagar tangga sambil memandang ke arah pintu kamar di lantai bawah. "Lagipula kalau kita beritahu papi soal itu, rencana kita akan gag
Di dalam kamar sambil memasukan semua pakaiannya ke dalam koper, air mata Sophia mengalir terus tanpa henti. Kata-kata John yang membentaknya di hadapan ibu dan saudara tirinya membuat Sophia malu, apalagi sampai menamparnya. Tega benar John melakukan itu padanya.Mata Shopia menangkap kotak merah yang masih dililit pita berwarna kuning keemasan. Dengan hati sedih ia mendudukan dirinya di atas ranjang lalu mengambil dan memeluk kotak itu begitu erat. "Mom... hikss.... aku merindukanmu, Mom.... aku ingin ikut bersamamu, Mom....hikss." Air mata Sophia semakin merebak. "Kenapa Mom pergi tidak mengajakku, Mom? Aku tidak mau tinggal di sini. Daddy sama kejamnya dengan Betty. Kenapa dia begitu padaku, Mom? Apa aku ini... hiks... apa aku bukan anak kandungnya?"Tok... Tok...Bunyi ketukan pintu mengagetkan Sophia. Dengan cepat ia menyembunyikan kotak itu ke dalam koper. "Siapa?""Ini aku."
"Mami yakin Mr. Jerr akan menyetujui permintaan itu?"Mata Betty mengarah ke belakang bahu Angelica. Tatapannya kosong. "Mami punya perjanjian dengannya. Mami yakin, Mr. Jerr pasti akan menuruti kemauan mami, seperti mami yang sudah menuruti permintaannya." Perkataan yang terlontar dari mulutnya sendiri seakan menyentakkan Betty. Ia sadar lalu menengadahkan pandangannya ke wajah Angelica. "Sudah! Kau tidak usah banyak tanya. Sekarang kau panggil si gadis malas itu dan ayahnya. Lalu ingat," katanya pelan. "jangan hardik."Dengan kesal Angelica meninggalkan ruang makan, sedangkan Betty melanjutkan menata piring dan menu yang masih harus disediakan.Di sisi lain.Tok... Tok..."Sophia? Waktunya makan malam," kata Angelica dengan suara keras.Tok... Tok..."Soph...."Clek!"Aku sudah dengar, jadi kau tak perlu mengetuk pintuku berulang-ulang," ketusnya."Maaf, aku pikir kau tidak dengar.
Di dalam kamar Sophia melepaskan tasnya lalu menghamburkan diri ke atas kasur. Bayangan akan kehidupan saat ibunya masih hidup membuat Sophia meneteskan air mata. "Mom, seandainya kau masih ada."Sophia bangkit dari kasur dan menghapus air matanya. Ia membuka lemari pakaian dan mengambil sebuah kotak berukuran sedang berwarna merah. Kotak itu adalah hadiah ulang tahun dari Cathy saat ia berumur 7 tahun.Flashback On."Apa itu untukku?" Dengan girang Sophia berlari mendekati Cathy.Wanita berambut pirang yang sama seperti Sophia itu sedang duduk di sofa dengan kotak berwarna merah di atas pangkuannya. Senyumnya melebar. "Iya, Sayang. Ini untukmu."Sophia sangat antusias. "Isinya apa, Mommy?""Isinya rahasia, Sayangku." Ia membawa Sophia ke dalam pangkuannya.
Tak terasa hari sudah sore. Alarm yang menunjukkan pukul 16.00 di ponsel Sophia pun sudah berbunyi. Ia sengaja memasang alarm, karena kalau sudah berkutat dengan pekerjaan, Sophia suka lupa waktu dan ujung-ujung keluar kantor langit sudah gelap.Gadis yang usianya 22 tahun itu baru 5 bulan bergabung di AJESIO Group. Saat pengumumam kelulusan sudah diberitakan oleh pihak kampus, iseng-iseng Sophia mengajukan permohonan pekerjaan di beberapa perusahan dan ternyata tak menunggu berapa lama, ia dihubungi oleh pihak AJESIO Group dan memberitahukan bahwa ia di terima.Meski masih sangat muda dan yang paling muda di antara para karyawan yang lain, tapi disiplin dan integritas Sophia tidak main-main. Sifat yang baik namun tegas itu turun dari almarhum sang ibu. Cathy selalu menegaskan padanya, "Jika kau ingin sukses dan kaya seperti Mami, kau harus disiplin dalam segala hal. Kau juga harus tegas dan keras untuk menjadi
Dengan wajah pucat dan tubuh gemetar Sophia berjalan menuju lift. Pikiran yang diselimuti bayang-bayang sang atasan akan mengamuk membuatnya lupa bahwa liftnya rusak. "Sial! Kenapa sih hari ini apes sekali," gerutunya. Mau tidak mau Sophia pun harus melewati tangga darurat untuk ke dua kali. Tapi naik-turun tangga berkali-kali dari lantai lima ke lantai satu lebih terasa menyenangkan dari pada membayangkan wajah Aaron yang brengsek itu.Begitu tiba di lantai dasar, Sophia berhenti di meja cuztomer service untuk menstabilkan napasnya."Ibu Sophia kenapa? Ibu habis olahraga, ya? tanya gadis yang merupakan cuztomer service di G2 itu.Sophia melotot. "Memangnya kau tidak tahu kalau liftnya rusak?""Rusak? Masa sih, Bu? Barusan ada karyawan marketing yang turun pake lift lho, Bu."Satpam yang kebetulan berdiri
Sophia berjalan kaki di pagi hari di kota New York yang cerah menuju kantornya. Wajah cantiknya berseri dan rambut pirangnya yang dikuncir kuda berkibar karena terkena angin.Ketika ia sedang berjalan sambil menatap ponsel, tiba-tiba saja sebuah mobil sedan hitam melaju dan melindas air yang tergenang di jalan.Byur!!"Wei!" Cipratan air membasahi kemeja putih dan rok hitam ketat yang menempel di tubuh seksinya. "Dasar brengsek!"Tiba-tiba saja mobil itu berhenti. Tapi hal itu tidak membuat Sophia terintimidasi. Sikap berani dan galaknya membuat ia tak mundur untuk menghadapi si pemilik mobil dan menunggunya untuk keluar.Sejurus kemudian pintu bagian kemudi terbuka dan seseorang keluar untuk membuka pintu bagian penumpang. Dilihatnya seorang pria tinggi dan bertubuh kekar dalam balutan jas hitam yang mewa