Dengan wajah pucat dan tubuh gemetar Sophia berjalan menuju lift. Pikiran yang diselimuti bayang-bayang sang atasan akan mengamuk membuatnya lupa bahwa liftnya rusak. "Sial! Kenapa sih hari ini apes sekali," gerutunya. Mau tidak mau Sophia pun harus melewati tangga darurat untuk ke dua kali. Tapi naik-turun tangga berkali-kali dari lantai lima ke lantai satu lebih terasa menyenangkan dari pada membayangkan wajah Aaron yang brengsek itu.
Begitu tiba di lantai dasar, Sophia berhenti di meja cuztomer service untuk menstabilkan napasnya.
"Ibu Sophia kenapa? Ibu habis olahraga, ya? tanya gadis yang merupakan cuztomer service di G2 itu.
Sophia melotot. "Memangnya kau tidak tahu kalau liftnya rusak?"
"Rusak? Masa sih, Bu? Barusan ada karyawan marketing yang turun pake lift lho, Bu."
Satpam yang kebetulan berdiri tak jauh dari meja CS tanpa sengaja mendengar pembicaraan mereka. Ia menjawab, "Benar, Bu Sophia. Liftnya sudah selesai diperbaiki."
"Apa?! Tapi tadi dari aku cek dari lantai lima lift-nya mati," kesalnya.
"Mungkin saat ibu dalam perjalanan turun, liftnya sudah stabil kembali," kata si cuztomer service.
"Ya sudahlah, sudah terlanjur juga. Kalau begitu aku permisi dulu, ya. Aku harus ke G1 menemui Pak Aaron sebelum beliau sarapan."
Satpam dan CS itu menatap ngeri. "Ada apa? Kenapa wajah kalian seperti itu?" tanya Sophia.
"Ti-tidak apa-apa, Bu," sahut si satpam.
Dengan kesal dan sumpah serapah yang terlontar dari mulutnya, Sophia meninggalkan Ajesio G2 itu dengan sentakan kaki yang cukup keras. Untung saja ia memakai sepatu flat, jadi meski naik turun tangga tak masalah baginya.
"Selamat pagi, Pak," sapa Sophia ramah begitu melewati meja satpam di Ajesio G1. Meski kesal karena naik-turun tangga, ia segera merubah cara berjalannya dengan senyum yang melebar. Tahu di G1 satu adalah tempatnya orang-orang penting , Sophia pun tetap harus menjaga penampilannya agar tetap anggun dan berwibawa.
Beberapa pegawai dari tim HRD menatapnya saat mereka berpapasan. Sebagian kecil dari mereka sudah mengenalnya, tapi sebagian besar dari Ajesio G1 tidak mengenalnya sama sekali, apalagi sang pemilik perusahan yang menempati lantai 5 di gedung G1 itu.
Setelah masuk ke dalam lift, Sophia berharap Tuhan akan menolongnya agar Aaron tidak melihatnya. "Tapi bagaimana caranya? Toh aku sendiri yang harus mengantarkan berkas ini padanya."
Di dalam lift itu Sophia sendirian dan ia tak henti-hentinya untuk berdoa agar Tuhan berpihak padanya.
Ting!
Denting lift membuat lamunan Sophia buyar. Lift itu berhenti tepat di lantai lima. Jantungnya mulai berdetak. "Ya Tuhan, lindungi aku. Dia pasti akan mengamuk kalau tahu aku yang mengatai dia tadi pagi. Tidak! Dia pasti tidak ingat." Sophia berbesar hati meski hal itu tidak mungki. "Ya Tuhan, aku tidak mau dipecat. Aku masih membutuhkan pekerjaan ini."
Dengan gugup Sophia berjalan mendekati meja sekertaris. "Permisi. Selamat pagi," sapanya dengan suara yang super pelan. Ia sendiri terkejut dengan suaranya. Ketakutan dalam dirinya rasa-rasanya membuat Sophia tak bisa mengeluarkan suara.
"Selamat pagi," sahut si sekertaris. Ia berdiri dan memborong semua tubuh Sophia. "Ada perlu apa, Bu?"
Sophia balas memborong wajah si sekertaris dengan senyum lembutnya. Karena berbeda gedung, ini kali pertama ia bertemu dengan sekertaris Aaron yang entah sudah keberapa periode. "Pak Aaron ada?" Ia menunjukan map biru yang ada di tangannya. "Kediv bagian keuangan memerlukan tanda tangan Pak Aaron, jadi..."
"Oh, iya," sergah si sekertaris. "Tadi beliau sudah menghubungi saya. Tunggu sebentar ya, aku akan menghubungi Pak Aaron dulu."
Dilihatnya gadis yang lebih muda darinya meraih gagang interkom. "Tunggu!" Sekertaris itu menoleh. "Boleh aku minta tolong?" Gadis itu menatapnya dengan dua alis terangkat. "Aku kebelet. Boleh Anda saja yang mengantarkan file ini ke Pak Aaron. Aku akan mengambilnya nanti se kembalinya aku dari toilet."
"Oh, dengan senang hati, Bu."
Sophia tersenyum lebar. "Terima kasih. Oh iya, toiletnya di mana, ya?"
"Di lantai empat, Bu."
"Oke. Aku akan kembali lagi untuk mengambil file-nya." Sophia pun berlalu. Bukannya ke lantai empat, ia justru berdiri di balik tembok dan mengintip si sekertaris yang kini sudah masuk ke dalam ruangan yang bertuliskan Aaron Jerr Glassio sambil membawa map yang dibawanya tadi. "Tuhan, terima kasih banyak."
Saking leganya, Sophia pun turun ke lantai empat untuk ke toilet. Kali ini ia benar-benar kebelet.
Sejurus kemudian ia kembali. Jika tadi dandanannya sedikit kacau karena naik turun tangga di G2, sekarang penampilannya sudah sangat rapi dengan senyum yang cemerlang.
Dilihatnya si sekertaris itu sudah duduk di kursinya dengan senyum manis saat menatapnya. "Maaf sudah merepotkan, Anda," katanya.
"Tidak apa-apa, Bu." Ia mengulurkan map itu ke tangan Sophia. "Eh, maaf, bu. Tapi itu belum ditanda tangani Pak Aaron."
"Belum?!" pekik Sophia dengan suara meninggi. Tapi cepat-cepat ia menutup mulutnya. "Kenapa belum ditanda tangani?" bisiknya kesal.
"Maaf, Bu, tapi Pak Aaron bilang padaku bahwa yang harus mengantarkan file ini adalah orangnya langsung. Aku sudah mengatakan alasannya, tapi beliau tidak mau menerima bantahan dan menyuruh Anda sendiri yang masuk ke dalam."
"Mampus aku!" katanya pelan.
"Hah? Apa, Bu?"
"Eh, tidak." Sophia terkekeh paksa. "Tidak apa-apa. Baiklah, aku akan ke dalam." Dengan kesal ia menyentakkan kakinya lalu mengetuk pintu.
Tok... Tok...
"Masuk!" Suara berat Aaron mengagetkan Sophia.
Dengan gemetar ia memegang handle pintu dan memanjatkan doa dalam hati agar Dewi Fortuna mendampinginya. Ia menarik napas. "Selamat pagi, Pak." Dilihatnya Aaron yang mengenakan setelan jas yang sama saat berjumpa dengannya pagi tadi.
Jika di jalan tadi lelaki itu begitu menjengkelkan, sekarang, di dalam ruangan itu Aaron justru sangat menarik dan super tampan. Sophia ternganga. Ia terpesona pada Aaron yang sedang berkutat dengan kertas-kertas di atas meja. Ya Tuhan, dia ini manusia atau dewa? "Tidak!" pekiknya dalam hati. "Dia itu bukan dewa. Tapi Bos brengsek!"
"Pagi," sahut Aaron yang masih sibuk menanda tangani lembar-lembar yang ada di hadapannya. "Apa Anda Tim Accounting dari G2?" tanya Fazio yang masih menunduk.
"I-iya, Pak." Sophia maju beberapa langkah dan berdiri tepat di hadapan Aaron. Tangannya gemetar dan berkeringat. Dalam hati ia berdoa semoga kepala Aaron selamanya akan seperti itu.
"Lain kali kau ke toilet dulu baru datang ke sini. Sekertarisku banyak pekerjaan. Jadi jangan kau menambah beban dengan menyuruhnya menggantikan pekerjaanmu. Siapa namamu?"
Pertanyaan Aaron mengejutkan Sophia. "Maafkan aku, Pak. Tadi aku..."
"Sudahlah. Mana file yang harus ku tanda tangan." Meski tetap fokus pada lembar-lembar di hadapannya, Aaron mengulurkan sebelah tangan untuk meminta map yang dipegang Sophia.
Dalam hati Sophia terus berdoa agar situasi ini akan berlanjut sampai penandatanganan selesai. Kalau perlu sampai ia keluar Aaron tidak akan melihatnya.
Aaron pun membuka map yang diberikan Sophia. Sebelum menandatanganinya, lelaki itu membaca sekilas tulisan-tulisan yang tertera di atas kertas lalu mulai menggerakkan bolpoinnya untuk menanda tangani.
Sophia yang melihatnya pun tersepona. "Ya Tuhan, kenapa engkau menciptakan manusia setampan ini memiliki sikap yang brengsek dan super nyebelin?"
"Oke, Miss." Perkataan Aaron mengejutkan Sophia. "Aku banyak pekerjaan. Kau rapikan saja sendiri kertas-kertas ini."
Sophia kesal. Dilihatnya kertas-kertas itu berhamburan. "Dih, tampan-tampan kok sombong?!" katanya dalam hati. Setelah merapikannya kembali ke dalam map, Sophia pun berpamitan. "Baik, Pak, saya permisi dulu. Terima kasih."
"Hmm."
Sophia pun berbalik membelakangi Aaron. Ia membuang napas panjang. Dalam hati ia sangat bersyukur karena ternyata Dewi Fortuna bersamanya. Dipegangnya handle pintu lalu keluar.
"Tunggu!" teriak Aaron.
Tubuh Sophia mengejang. Pintunya sudah terbuka, kakinya bahkan sudah menginjak ke luar area. Pelan-pelan ia mengalihkan pandangan ke arah Aaron.
"Syukurlah," katanya saat melihat Aaron masih menunduk. Perlahan ia menutup kembali pintu itu lalu berkata, "Ya, ada apa, Pak?"
"Namamu siapa? Kau belum menyebutkan namamu."
Dasar laki-laki brengsek! Apa sepenting itukah nama wanita bagi dirinya? "Namaku..."
Drtt... Drttt...
Ponsel Aaron bergetar. Sophia yang ikut mendengarnya langsung bersorak dalam hati. Dilihatnya Aaron menghentikan aktivitasnya dan meraih benda portable itu.
Tak ingin ada seorang pun mendengar percakapannya, Aaron berkata, "Pergilah," lalu menyambungkan panggilannya kemudian berdiri mendekati jendela. Mendengar pintu tertutup dari luar, saat itulah Aaron menghadap ke arah pintu itu dengan tatapan kosong.
"Ya, halo?" sapanya dengan suara berat lalu menoleh memandangi pemandangan kota.
"Mr. Jerr, aku sudah berhasil melakukannya." Suara wanita terdengar dari seberang telepon.
"Bagus. Kau tinggal menunggu reaksi obatnya. Pokoknya setiap kali dia makan atau minum, kau harus memberikannya pil itu."
"Iya, Mr. Jerr. Omong-omong, sampai berapa lama kita akan menunggu? Aku takut anaknya akan menuntutku dan mengambil alih semuanya."
"Kau tidak usah khawatir, Nyonya. Begitu pil itu bereaksi, kau harus mendesaknya agar menjual sahamnya. Aku yang akan membeli semua saham itu dan mengalihkan semuanya atas namaku sehingga anaknya tidak punya hak untuk menuntut."
"Baiklah. Aku aku akan mengabarimu nanti."
"Ya, kabari aku jika ada perubahan. Semakin banyak dosis yang kau berikan akan semakin baik."
"Baik, Mr. Jerr."
Tut... Tut...
Aaron memutuskan panggilannya. Tatapannya tajam seolah-olah menusuk siapa saja yang akan dilihatnya. "Kau akan merasakan akibatnya, Mr. Davis. Kau harus merasakannya!"
Continued____
Mr. Davis? Itu kan nama belakang Sophia? Apa hubungannya dengan Aaron, ya? Penasaran? Simak terus ceritanya, ya. *) Jangan lupa untuk follow, vote dan review ya, Sobat.
Tak terasa hari sudah sore. Alarm yang menunjukkan pukul 16.00 di ponsel Sophia pun sudah berbunyi. Ia sengaja memasang alarm, karena kalau sudah berkutat dengan pekerjaan, Sophia suka lupa waktu dan ujung-ujung keluar kantor langit sudah gelap.Gadis yang usianya 22 tahun itu baru 5 bulan bergabung di AJESIO Group. Saat pengumumam kelulusan sudah diberitakan oleh pihak kampus, iseng-iseng Sophia mengajukan permohonan pekerjaan di beberapa perusahan dan ternyata tak menunggu berapa lama, ia dihubungi oleh pihak AJESIO Group dan memberitahukan bahwa ia di terima.Meski masih sangat muda dan yang paling muda di antara para karyawan yang lain, tapi disiplin dan integritas Sophia tidak main-main. Sifat yang baik namun tegas itu turun dari almarhum sang ibu. Cathy selalu menegaskan padanya, "Jika kau ingin sukses dan kaya seperti Mami, kau harus disiplin dalam segala hal. Kau juga harus tegas dan keras untuk menjadi
Di dalam kamar Sophia melepaskan tasnya lalu menghamburkan diri ke atas kasur. Bayangan akan kehidupan saat ibunya masih hidup membuat Sophia meneteskan air mata. "Mom, seandainya kau masih ada."Sophia bangkit dari kasur dan menghapus air matanya. Ia membuka lemari pakaian dan mengambil sebuah kotak berukuran sedang berwarna merah. Kotak itu adalah hadiah ulang tahun dari Cathy saat ia berumur 7 tahun.Flashback On."Apa itu untukku?" Dengan girang Sophia berlari mendekati Cathy.Wanita berambut pirang yang sama seperti Sophia itu sedang duduk di sofa dengan kotak berwarna merah di atas pangkuannya. Senyumnya melebar. "Iya, Sayang. Ini untukmu."Sophia sangat antusias. "Isinya apa, Mommy?""Isinya rahasia, Sayangku." Ia membawa Sophia ke dalam pangkuannya.
"Mami yakin Mr. Jerr akan menyetujui permintaan itu?"Mata Betty mengarah ke belakang bahu Angelica. Tatapannya kosong. "Mami punya perjanjian dengannya. Mami yakin, Mr. Jerr pasti akan menuruti kemauan mami, seperti mami yang sudah menuruti permintaannya." Perkataan yang terlontar dari mulutnya sendiri seakan menyentakkan Betty. Ia sadar lalu menengadahkan pandangannya ke wajah Angelica. "Sudah! Kau tidak usah banyak tanya. Sekarang kau panggil si gadis malas itu dan ayahnya. Lalu ingat," katanya pelan. "jangan hardik."Dengan kesal Angelica meninggalkan ruang makan, sedangkan Betty melanjutkan menata piring dan menu yang masih harus disediakan.Di sisi lain.Tok... Tok..."Sophia? Waktunya makan malam," kata Angelica dengan suara keras.Tok... Tok..."Soph...."Clek!"Aku sudah dengar, jadi kau tak perlu mengetuk pintuku berulang-ulang," ketusnya."Maaf, aku pikir kau tidak dengar.
Di dalam kamar sambil memasukan semua pakaiannya ke dalam koper, air mata Sophia mengalir terus tanpa henti. Kata-kata John yang membentaknya di hadapan ibu dan saudara tirinya membuat Sophia malu, apalagi sampai menamparnya. Tega benar John melakukan itu padanya.Mata Shopia menangkap kotak merah yang masih dililit pita berwarna kuning keemasan. Dengan hati sedih ia mendudukan dirinya di atas ranjang lalu mengambil dan memeluk kotak itu begitu erat. "Mom... hikss.... aku merindukanmu, Mom.... aku ingin ikut bersamamu, Mom....hikss." Air mata Sophia semakin merebak. "Kenapa Mom pergi tidak mengajakku, Mom? Aku tidak mau tinggal di sini. Daddy sama kejamnya dengan Betty. Kenapa dia begitu padaku, Mom? Apa aku ini... hiks... apa aku bukan anak kandungnya?"Tok... Tok...Bunyi ketukan pintu mengagetkan Sophia. Dengan cepat ia menyembunyikan kotak itu ke dalam koper. "Siapa?""Ini aku."
"Sudah.""Kalau begitu, berikan pada mami. Biar mami yang akan memberikannya pada ayahmu."Sophia membalikan tubuhnya menghadapi Betty. "Dokumen ini tidak akan kuberikan padamu atau pada siapa pun. Dokumen ini milik Mommy bukan Daddy.""Tapi, Sophia...." Belum sempat menyelesaikan perkataannya Sophia justru sudah berjalan meninggalkannya. Betty kesal. "Lihat saja nanti, apa yang akan kulakukan padamu!"Angelica mendekatinya. "Memangnya dokumen apa itu, Mi?"Tatapan Betty beralih ke wajah putrinya. "Itu sertifikat rumah ini. Kita harus merebutnya dari Sophia.""Kenapa Mami tidak menyuruh papi saja untuk membujuknya? Siapa tahu kalau papi yang memintanya dia akan....""Kau tidak dengar apa yang dia katakan tadi? Itu milik Cathy," sergah Betty. Ia mengalihkan pandangan lalu bergerak ke pagar tangga sambil memandang ke arah pintu kamar di lantai bawah. "Lagipula kalau kita beritahu papi soal itu, rencana kita akan gag
Keesokan paginya saat matahari sudah tinggi dan membias jendela-jendela apartemen, Sophia dan Hanna masih terlelap. Setelah adu mulut semalaman yang panjang, di mana si pemilik apartemen tetap keras kepala mau tidur di lantai dan menyuruh tamunya tidur di kasur. Perdebatan itulah yang membuat Hanna menang dan membawa mereka ke dalam tidur yang sampai sekarang pun belum terjaga.Sophialah yang lebih dulu siuman. Ia menggeliatkan tubuh saat matahari memancarkan kilau cerah tepat di matanya. Perlahan-lahan dibukanya mata indah itu. Terasa asing dengan suasana kamar, Sophia menyapu semua ruangan. Setelah matanya benar-benar terbuka, ia mencoba mengenali ruangan itu dan kembali mengingat apa yang terjadi. "Hanna?" Ia terlonjak. Dengan cepat Sophia menepiskan selimut tebalnya dan menunduk ke arah lantai. "Hanna, bangun!" Ia melirik jam weker di atas nakas. "Mampus! Aku terlambat." Dilihatnya Hanna menggeliat.Setelah semua mata benar-benar terbuka, Hanna pun menatap So
"Kau yakin akan tinggal di sini?" tanya Hanna.Dua wanita cantik itu kini sedang berada di apartemen yang letaknya hanya berjarak lima belas meter dari area perkatoran dan salah satunya adalah AJESIO Group. Apartemen berlantai dua puluh itu juga letaknya tak jauh dari apartemen Hanna. Jika dihitung-hitung, jarak dari apartemen Hanna ke AJESIO Group adalah dua puluh lima meter, sementara apartemen yang akan ditempati Sophia ini jaraknya lebih dekat dengan AJESIO Group.Sebenarnya Sophia ingin tinggal di apartemen yang sama dengan Hanna, namun fasilitas dan kamar yang tidak sesuai keinginan membuat Sophia memilih alternatif lain. Dan jika seandainya ia tak menemukan apartemen yang lebih dekat jaraknya dari kantor, mau tidak mau Sophia harus menempati apartemen yang baginya sempit itu."Tidak masalah, Han. Lagi pula di sini kan jaraknya lebih dekat." Sophia sedang mengatur semua barang-barangnya. Setelah menyetujui harga de
Sophia berjalan kaki di pagi hari di kota New York yang cerah menuju kantornya. Wajah cantiknya berseri dan rambut pirangnya yang dikuncir kuda berkibar karena terkena angin.Ketika ia sedang berjalan sambil menatap ponsel, tiba-tiba saja sebuah mobil sedan hitam melaju dan melindas air yang tergenang di jalan.Byur!!"Wei!" Cipratan air membasahi kemeja putih dan rok hitam ketat yang menempel di tubuh seksinya. "Dasar brengsek!"Tiba-tiba saja mobil itu berhenti. Tapi hal itu tidak membuat Sophia terintimidasi. Sikap berani dan galaknya membuat ia tak mundur untuk menghadapi si pemilik mobil dan menunggunya untuk keluar.Sejurus kemudian pintu bagian kemudi terbuka dan seseorang keluar untuk membuka pintu bagian penumpang. Dilihatnya seorang pria tinggi dan bertubuh kekar dalam balutan jas hitam yang mewa
"Kau yakin akan tinggal di sini?" tanya Hanna.Dua wanita cantik itu kini sedang berada di apartemen yang letaknya hanya berjarak lima belas meter dari area perkatoran dan salah satunya adalah AJESIO Group. Apartemen berlantai dua puluh itu juga letaknya tak jauh dari apartemen Hanna. Jika dihitung-hitung, jarak dari apartemen Hanna ke AJESIO Group adalah dua puluh lima meter, sementara apartemen yang akan ditempati Sophia ini jaraknya lebih dekat dengan AJESIO Group.Sebenarnya Sophia ingin tinggal di apartemen yang sama dengan Hanna, namun fasilitas dan kamar yang tidak sesuai keinginan membuat Sophia memilih alternatif lain. Dan jika seandainya ia tak menemukan apartemen yang lebih dekat jaraknya dari kantor, mau tidak mau Sophia harus menempati apartemen yang baginya sempit itu."Tidak masalah, Han. Lagi pula di sini kan jaraknya lebih dekat." Sophia sedang mengatur semua barang-barangnya. Setelah menyetujui harga de
Keesokan paginya saat matahari sudah tinggi dan membias jendela-jendela apartemen, Sophia dan Hanna masih terlelap. Setelah adu mulut semalaman yang panjang, di mana si pemilik apartemen tetap keras kepala mau tidur di lantai dan menyuruh tamunya tidur di kasur. Perdebatan itulah yang membuat Hanna menang dan membawa mereka ke dalam tidur yang sampai sekarang pun belum terjaga.Sophialah yang lebih dulu siuman. Ia menggeliatkan tubuh saat matahari memancarkan kilau cerah tepat di matanya. Perlahan-lahan dibukanya mata indah itu. Terasa asing dengan suasana kamar, Sophia menyapu semua ruangan. Setelah matanya benar-benar terbuka, ia mencoba mengenali ruangan itu dan kembali mengingat apa yang terjadi. "Hanna?" Ia terlonjak. Dengan cepat Sophia menepiskan selimut tebalnya dan menunduk ke arah lantai. "Hanna, bangun!" Ia melirik jam weker di atas nakas. "Mampus! Aku terlambat." Dilihatnya Hanna menggeliat.Setelah semua mata benar-benar terbuka, Hanna pun menatap So
"Sudah.""Kalau begitu, berikan pada mami. Biar mami yang akan memberikannya pada ayahmu."Sophia membalikan tubuhnya menghadapi Betty. "Dokumen ini tidak akan kuberikan padamu atau pada siapa pun. Dokumen ini milik Mommy bukan Daddy.""Tapi, Sophia...." Belum sempat menyelesaikan perkataannya Sophia justru sudah berjalan meninggalkannya. Betty kesal. "Lihat saja nanti, apa yang akan kulakukan padamu!"Angelica mendekatinya. "Memangnya dokumen apa itu, Mi?"Tatapan Betty beralih ke wajah putrinya. "Itu sertifikat rumah ini. Kita harus merebutnya dari Sophia.""Kenapa Mami tidak menyuruh papi saja untuk membujuknya? Siapa tahu kalau papi yang memintanya dia akan....""Kau tidak dengar apa yang dia katakan tadi? Itu milik Cathy," sergah Betty. Ia mengalihkan pandangan lalu bergerak ke pagar tangga sambil memandang ke arah pintu kamar di lantai bawah. "Lagipula kalau kita beritahu papi soal itu, rencana kita akan gag
Di dalam kamar sambil memasukan semua pakaiannya ke dalam koper, air mata Sophia mengalir terus tanpa henti. Kata-kata John yang membentaknya di hadapan ibu dan saudara tirinya membuat Sophia malu, apalagi sampai menamparnya. Tega benar John melakukan itu padanya.Mata Shopia menangkap kotak merah yang masih dililit pita berwarna kuning keemasan. Dengan hati sedih ia mendudukan dirinya di atas ranjang lalu mengambil dan memeluk kotak itu begitu erat. "Mom... hikss.... aku merindukanmu, Mom.... aku ingin ikut bersamamu, Mom....hikss." Air mata Sophia semakin merebak. "Kenapa Mom pergi tidak mengajakku, Mom? Aku tidak mau tinggal di sini. Daddy sama kejamnya dengan Betty. Kenapa dia begitu padaku, Mom? Apa aku ini... hiks... apa aku bukan anak kandungnya?"Tok... Tok...Bunyi ketukan pintu mengagetkan Sophia. Dengan cepat ia menyembunyikan kotak itu ke dalam koper. "Siapa?""Ini aku."
"Mami yakin Mr. Jerr akan menyetujui permintaan itu?"Mata Betty mengarah ke belakang bahu Angelica. Tatapannya kosong. "Mami punya perjanjian dengannya. Mami yakin, Mr. Jerr pasti akan menuruti kemauan mami, seperti mami yang sudah menuruti permintaannya." Perkataan yang terlontar dari mulutnya sendiri seakan menyentakkan Betty. Ia sadar lalu menengadahkan pandangannya ke wajah Angelica. "Sudah! Kau tidak usah banyak tanya. Sekarang kau panggil si gadis malas itu dan ayahnya. Lalu ingat," katanya pelan. "jangan hardik."Dengan kesal Angelica meninggalkan ruang makan, sedangkan Betty melanjutkan menata piring dan menu yang masih harus disediakan.Di sisi lain.Tok... Tok..."Sophia? Waktunya makan malam," kata Angelica dengan suara keras.Tok... Tok..."Soph...."Clek!"Aku sudah dengar, jadi kau tak perlu mengetuk pintuku berulang-ulang," ketusnya."Maaf, aku pikir kau tidak dengar.
Di dalam kamar Sophia melepaskan tasnya lalu menghamburkan diri ke atas kasur. Bayangan akan kehidupan saat ibunya masih hidup membuat Sophia meneteskan air mata. "Mom, seandainya kau masih ada."Sophia bangkit dari kasur dan menghapus air matanya. Ia membuka lemari pakaian dan mengambil sebuah kotak berukuran sedang berwarna merah. Kotak itu adalah hadiah ulang tahun dari Cathy saat ia berumur 7 tahun.Flashback On."Apa itu untukku?" Dengan girang Sophia berlari mendekati Cathy.Wanita berambut pirang yang sama seperti Sophia itu sedang duduk di sofa dengan kotak berwarna merah di atas pangkuannya. Senyumnya melebar. "Iya, Sayang. Ini untukmu."Sophia sangat antusias. "Isinya apa, Mommy?""Isinya rahasia, Sayangku." Ia membawa Sophia ke dalam pangkuannya.
Tak terasa hari sudah sore. Alarm yang menunjukkan pukul 16.00 di ponsel Sophia pun sudah berbunyi. Ia sengaja memasang alarm, karena kalau sudah berkutat dengan pekerjaan, Sophia suka lupa waktu dan ujung-ujung keluar kantor langit sudah gelap.Gadis yang usianya 22 tahun itu baru 5 bulan bergabung di AJESIO Group. Saat pengumumam kelulusan sudah diberitakan oleh pihak kampus, iseng-iseng Sophia mengajukan permohonan pekerjaan di beberapa perusahan dan ternyata tak menunggu berapa lama, ia dihubungi oleh pihak AJESIO Group dan memberitahukan bahwa ia di terima.Meski masih sangat muda dan yang paling muda di antara para karyawan yang lain, tapi disiplin dan integritas Sophia tidak main-main. Sifat yang baik namun tegas itu turun dari almarhum sang ibu. Cathy selalu menegaskan padanya, "Jika kau ingin sukses dan kaya seperti Mami, kau harus disiplin dalam segala hal. Kau juga harus tegas dan keras untuk menjadi
Dengan wajah pucat dan tubuh gemetar Sophia berjalan menuju lift. Pikiran yang diselimuti bayang-bayang sang atasan akan mengamuk membuatnya lupa bahwa liftnya rusak. "Sial! Kenapa sih hari ini apes sekali," gerutunya. Mau tidak mau Sophia pun harus melewati tangga darurat untuk ke dua kali. Tapi naik-turun tangga berkali-kali dari lantai lima ke lantai satu lebih terasa menyenangkan dari pada membayangkan wajah Aaron yang brengsek itu.Begitu tiba di lantai dasar, Sophia berhenti di meja cuztomer service untuk menstabilkan napasnya."Ibu Sophia kenapa? Ibu habis olahraga, ya? tanya gadis yang merupakan cuztomer service di G2 itu.Sophia melotot. "Memangnya kau tidak tahu kalau liftnya rusak?""Rusak? Masa sih, Bu? Barusan ada karyawan marketing yang turun pake lift lho, Bu."Satpam yang kebetulan berdiri
Sophia berjalan kaki di pagi hari di kota New York yang cerah menuju kantornya. Wajah cantiknya berseri dan rambut pirangnya yang dikuncir kuda berkibar karena terkena angin.Ketika ia sedang berjalan sambil menatap ponsel, tiba-tiba saja sebuah mobil sedan hitam melaju dan melindas air yang tergenang di jalan.Byur!!"Wei!" Cipratan air membasahi kemeja putih dan rok hitam ketat yang menempel di tubuh seksinya. "Dasar brengsek!"Tiba-tiba saja mobil itu berhenti. Tapi hal itu tidak membuat Sophia terintimidasi. Sikap berani dan galaknya membuat ia tak mundur untuk menghadapi si pemilik mobil dan menunggunya untuk keluar.Sejurus kemudian pintu bagian kemudi terbuka dan seseorang keluar untuk membuka pintu bagian penumpang. Dilihatnya seorang pria tinggi dan bertubuh kekar dalam balutan jas hitam yang mewa