Tak terasa hari sudah sore. Alarm yang menunjukkan pukul 16.00 di ponsel Sophia pun sudah berbunyi. Ia sengaja memasang alarm, karena kalau sudah berkutat dengan pekerjaan, Sophia suka lupa waktu dan ujung-ujung keluar kantor langit sudah gelap.
Gadis yang usianya 22 tahun itu baru 5 bulan bergabung di AJESIO Group. Saat pengumumam kelulusan sudah diberitakan oleh pihak kampus, iseng-iseng Sophia mengajukan permohonan pekerjaan di beberapa perusahan dan ternyata tak menunggu berapa lama, ia dihubungi oleh pihak AJESIO Group dan memberitahukan bahwa ia di terima.
Meski masih sangat muda dan yang paling muda di antara para karyawan yang lain, tapi disiplin dan integritas Sophia tidak main-main. Sifat yang baik namun tegas itu turun dari almarhum sang ibu. Cathy selalu menegaskan padanya, "Jika kau ingin sukses dan kaya seperti Mami, kau harus disiplin dalam segala hal. Kau juga harus tegas dan keras untuk menjadi pemimpin yang baik." Begitu kata ibunya sebelum meninggal.
Namum sayang setelah ibunya meninggal 15 tahun yang lalu, jiwa kepimpinan Sophia buyar ketika ayahnya menikah lagi dengan wanita yang menurutnya sangat kejam. Dan yang disesalkan, ayahnya lebih membela ibu sambung dan anak tirinya daripada Sophia yang adalah darah dagingnya.
Hal itu membuat Sophia putus asa dan tidak jadi masuk ke Akademi Kedokteran. Saat lulus SMA, ayahnya dihasut oleh sang ibu tiri dan melarang Sophia untuk masuk ke Akademi Kedokteran. Ia menyuruh Sophia untuk kuliah di Universitas biasa saja.
"Untuk apa sekolah tinggi-tinggi, tapi ujung-ujungnya turun dapur dan mengurus suami?"
Begitulah kata ibu sambungnya pada John Davis. Perkataan wanita itu pun langsung diterima mentah-mentah oleh ayahnya dan akhirnya memberikan pilihan pada Sophia. "Ambil Universitas bisasa atau tidak sama sekali?"
Pilihan itu sangat sulit bagi Sophia. Tapi demi hidupnya, ia terpaksa mengubur cita-citanya dan masuk ke Universitas Swasta dan mengambil jurusan bisnis untuk meneruskan bisnis orangtuanya. "Tidak masalah. Toh mami pengusaha kaya," katanya waktu itu.
4 tahun kuliah dengan nilai-nilai yang sangat memuaskan membuat Sophia yakin jika dirinya tidak akan sulit untuk menemukan pekerjaan. Menjadi pribadi yang mandiri dan bertanggung jawab akhirnya membuat Sophia kini berdiri di G2 milik AJESIO Group.
"Akhirnya selesai," katanya setelah berhasil menyusun file-file-nya di dalam lemari. "Oke, Guys, sampai ketemu besok." Ia mengucapkan hal itu pada lembaran-lembaran putih di dalam map itu kemudian menutup lemari lalu menguncinya.
Di Gedung Dua lantai 5 itu Sophia mendapat fasilitas ruangan yang bagus. Meski tidak tidak terlalu besar, tapi cukup nyaman bagi Sophia sendiri.
Dengan hati senang ia menutup ruangannya dan mengunci pintu. Gadis bermata biru itu ternyata tidak sendirian. Ada beberapa karyawan yang masih berkutat dengan pekerjaan mereka. Ia pun berpamitan pada mereka lalu berjalan menuju lift.
Ting!
Lift terbuka dan Sophia pun langsung masuk ke dalam. Di dalam sana ia sendirian. Sambil memainkan ponselnya ia berdiri di pojok lift dan menyandarkan punggungnya. Bayangan saat dia pertama kali bergabung di perusahan milik Aaron Jerr Glassio itu membuatnya tersenyum.
Ting!
Lift berdenting. Itu tandanya ia sudah sampai di lantai satu. Dengan cepat Sophia meraih ponsel dari dalam tas. Sambil berjalan keluar lift, tangan Sophia sibuk mengotak-atik ponsel untuk memantau berita-berita dunia dan fashion lewat salah satu akun sosmednya.
Sambil berjalan menuju pintu lobi, matanya terus memandang handphone tanpa menoleh ke kiri dan ke kanan.
"Selamat sore, Sophia." Suara lelaki terdengar ramah.
"Sela..." Sophia menoleh. Matanya terbelakak begitu melihat sosok pria tinggi berjas hitam yang kini berdiri di hadapannya. "Se-selamat sore, Pak! Maaf, Pak, aku..."
"Tidak apa-apa," sapanya lembut. Ia tersenyum. "Mau pulang, ya?"
Sophia menyimpan ponselnya ke dalam tas. "I-iya, Pak."
"Mau kuantar?"
Sophia terkejut. Pria yang ada di hadapannya itu adalah wakil pimpinan AJESIO Group. "Ti-tidak usah, Pak. A-aku... aku harus mampir ke rumah temanku untuk mengambil pakaianku."
"Tidak masalah, aku akan menemanimu."
Ya Tuhan, kenapa sih laki-laki ini tampan sekali? Sudah baik, lembut, ramah lagi, katanya dalam hati. "Te-terima kasih, Pak. Tapi aku akan lama di rumah Hanna. Mungkin nanti malam aku baru akan pulang ke rumah. Aku... eh, ada hal yang harus kami bicarakan," bohongnya. Sophia berbicara dengan tangan yang bergerak. "Aku minta maaf, Pak." Ia menunduk. "Aku permisi dulu. Selamat Sore."
Pria bermata abu-abu itu tersenyum manis. Tangannya di dalam saku celana dan tatapannya terus terarah ke wajah Sophia. "Baiklah, kali ini aku mengerti. Tapi kapan-kapan aku tidak mau kau menolak ajakkanku, Sophia."
Sophia menelan ludahnya. "I-iya, Pak. A-aku janji." Ia menunduk. "Aku permisi, Pak. Selamat Sore." Dengan tangan berkeringat dan jantung yang berdetak cepat Sophia melajukan langkahnya menuju pintu keluar.
Lelaki yang masih berdiri memandangi Sophia pun kini tersenyum melihat kekikukkan gadis itu. Ia yakin, Sophia pasti sangat malu padanya. Dan sikap Sophia seperti itu justru membuatnya semakin terpesona.
"Apa yang kau lakukan di sini, Mark?" Suara berat dari arah belakang mengagetkan wakil pimpinan itu.
Mark menoleh. "Aaron!" Ia tersenyum. "Aku baru saja bertemu gadis cantik."
Aaron menyipitkan mata. "Gadis cantik? Siapa?"
"Dia karyawan di staf Accounting. Dia masih sangat muda dan dia sangat cantik."
"Lalu ke mana dia? Kenapa tidak bersamamu?"
"Dia sudah pulang." Mark mengalihkan pandangan ke pintu ke luar. "Dia sangat lucu dan terlihat gugup. Dia..."
"Jangan bilang kalau kau menyukainya, Mark." Suara Aaron datar dan bergetat.
Mark yang menyadari akan ketidaksukaan kakak sepupunya itu langsung menatap Aaron. "Kalau iya, kenapa?"
Aaron menarik napas. Dengan sikap arogansinya ia berkata, "Aku harap kau tidak lupa dengan aturan yang barlaku di perusahan ini." Ia menyeringai. "Kau tidak akan melanggar janjimu sendiri, kan?"
Tanpa menunggu jawaban adik sepupunya itu, Aaron berjalan menuju pintu keluar. Langkah yang dominan begitu jelas saat tubuh Aaron akhirnya berakhir di balik lift khusus untuk pimpinan. Mark yang masih berdiri di posisi yang sama pun hanya bisa diam dan memikirkan kata-kata Aaron.
Ia ingat janjinya pada Aaron sebelum menjabat sebagai wakil pimpinan di AJESIO Group, bahwa dirinya tidak akan pernah mengencani gadis-gadis cantik yang satu perusahan dengannya. Perjanjian itulah yang membuat pria yang bernama lengkap Mark Varel itu mendapatkan jabatannya. Namun sekarang janjinya itu nyaris dilanggar. Apakah Mark Varel akan melepaskan jabatannya demi Sophia Davis?
***
Sambil berjalan menyusuri trotoar, Sophia masih saja memikirkan wajah Mark yang tampan. Pria yang merupakan idolanya itu telah mengajaknya pulang. Dalam hati ia menyesal karena sudah menolak ajakan Mark. Tapi rasa gugup dan malu mengalahkan rasa simpatinya.
Sophia memang menyukai Mark. 5 bulan yang lalu saat ia dipanggil oleh pihak AJESIO Group untuk diwawancarai, orang pertama yang ia lihat di kantor itu adalah Mark Varel. Saat itu ia berada di G1 untuk di wawancari. Sialnya, saat namanya hendak dipanggil oleh pihak HRD, Sophia mendadak ingin buang air. Ia pun keluar ruangan untuk mencari toilet. Dan brengseknya lagi ia tidak menemukan toiletnya. Gedung itu terlalu besar sehingga sulit bagi Sophia untuk menemukannya. Mark Varel-lah orang yang membantunya menemukan toilet itu.
Dan sejak melihat pria itu Sophia jatuh cinta padanya. Mengira bahwa Mark adalah staf eksekutif biasa, Sophia ingin sekali bertemu lagi dan mengajaknya makan siang. Tapi setelah tahu dari beberapa kolega bahwa Mark adalah pimpinan perusahan, Sophia pun sadar diri. Ia mengubur perasaannya pada Mark. Terlebih aturan keras dari pimpinan perusahaan bahwa tidak boleh ada yang menjalin hubungan dengan sesama kolega, Sophia pun lama-kelamaan berhasil melupakan Mark.
Tapi hari ini__ setelah 5 bulan yang lalu ia bertemu Mark dan belajar untuk melupakan pria itu_ ia dipertemukan lagi dengannya. "Ya Tuhan, sungguh godaan yang menggiurkan," katanya pelan. "Andai saja Pak Aaron..." Mengucapkan nama Aaron membuat pikiran Sophia teralihkan. Bayangan tentang kejadian tadi pagi mengubah mimik wajahnya yang tadi ceria saat memikirkan Mark, kini kusut saat memikirkan bagaimana Aaron membuat pakaiannya basah dan melemparkan sepatunya. Tak ingin menguras pikirannya tentang Aaron, Sophia pun melajukan langkahnya menuju rumah.
"Aku pulang!" seru Sophia saat memasuki rumah yang ukurannya besar dan berlantai dua. Desain klasik yang dipadu dengan warna cerah membuat rumah itu tampak indah. Suasana di rumah itu begitu tenang dan nyaman, tapi ketenangan dan kenyamanan itu lenyap begitu ayahnya menikah lagi dan membawa dua wanita kejam tinggal di rumah itu.
Dilihatnya Betty berjalan menuruni tangga dengan pelan. "Tuan putri sudah pulang," ledeknya." Tumben cepat. Biasanya juga kemalaman," katanya dengan nada sinis sambil menatap gadis yang berdiri di sampingnya.
"Mungkin dia sedang tidak ada job, Mami," kata Angelica. "Mami mengertikan maksudku?" Ia menatap Betty dan mereka tertawa.
Sophia melemparkan tatapan tajam pada mereka. "Akan kupastikan kalian akan menyesal seumur hidup kalian." Ia berjalan menuju kamarnya dan membiarkan mereka terus mengejeknya sampai terdengar suara Angelica berseru, "Aku takut." Lalu ibu dan anak itu tertawa.
Dulu saat Cathy masih hidup, Sophia menempati kamar yang paling besar di lantai dua. Tapi karena sekarang rumah ini sudah dikuasai oleh ibu sambungnya, Betty mengeluarkan Sophia dari kamar itu dan menempatkan Angelica di sana lalu menyuruh Sophia untuk pindah di kamar pembantu. Dan yang membuatnya kecewa, ayahnya menyetujui pengaturan ibu sambungnya itu.
Awalnya Sophia menolak. Ia bahkan sering membatah dan melawan mereka. Saat itu ayahnya membawa mereka di rumah itu waktu usia Sophia 12 tahun. Ia bahkan selalu bertengkar dengan Angelica dan tidak pernah aman dengan Betty.
Namun, lama-kelamaan ia sadar bahwa pertahanannya itu sia-sia. Jadi, demi melindungi dirinya agar bertahan hidup di rumah itu, Sophia terpaksa harus mematuhi aturan mereka sampai uang tabungannya cukup untuk membeli apartemen. Dan ia sangat bersyukur pada AJESIO Group karena mau menerimanya sebagai karyawan termuda dan belum berpengalaman.
Continued___
Sobat, jangan lupa untuk beri komentarnya di kolom review dan masukin ke rak buku jika kalian suka ceritanya. Terima kasih. :)
Di dalam kamar Sophia melepaskan tasnya lalu menghamburkan diri ke atas kasur. Bayangan akan kehidupan saat ibunya masih hidup membuat Sophia meneteskan air mata. "Mom, seandainya kau masih ada."Sophia bangkit dari kasur dan menghapus air matanya. Ia membuka lemari pakaian dan mengambil sebuah kotak berukuran sedang berwarna merah. Kotak itu adalah hadiah ulang tahun dari Cathy saat ia berumur 7 tahun.Flashback On."Apa itu untukku?" Dengan girang Sophia berlari mendekati Cathy.Wanita berambut pirang yang sama seperti Sophia itu sedang duduk di sofa dengan kotak berwarna merah di atas pangkuannya. Senyumnya melebar. "Iya, Sayang. Ini untukmu."Sophia sangat antusias. "Isinya apa, Mommy?""Isinya rahasia, Sayangku." Ia membawa Sophia ke dalam pangkuannya.
"Mami yakin Mr. Jerr akan menyetujui permintaan itu?"Mata Betty mengarah ke belakang bahu Angelica. Tatapannya kosong. "Mami punya perjanjian dengannya. Mami yakin, Mr. Jerr pasti akan menuruti kemauan mami, seperti mami yang sudah menuruti permintaannya." Perkataan yang terlontar dari mulutnya sendiri seakan menyentakkan Betty. Ia sadar lalu menengadahkan pandangannya ke wajah Angelica. "Sudah! Kau tidak usah banyak tanya. Sekarang kau panggil si gadis malas itu dan ayahnya. Lalu ingat," katanya pelan. "jangan hardik."Dengan kesal Angelica meninggalkan ruang makan, sedangkan Betty melanjutkan menata piring dan menu yang masih harus disediakan.Di sisi lain.Tok... Tok..."Sophia? Waktunya makan malam," kata Angelica dengan suara keras.Tok... Tok..."Soph...."Clek!"Aku sudah dengar, jadi kau tak perlu mengetuk pintuku berulang-ulang," ketusnya."Maaf, aku pikir kau tidak dengar.
Di dalam kamar sambil memasukan semua pakaiannya ke dalam koper, air mata Sophia mengalir terus tanpa henti. Kata-kata John yang membentaknya di hadapan ibu dan saudara tirinya membuat Sophia malu, apalagi sampai menamparnya. Tega benar John melakukan itu padanya.Mata Shopia menangkap kotak merah yang masih dililit pita berwarna kuning keemasan. Dengan hati sedih ia mendudukan dirinya di atas ranjang lalu mengambil dan memeluk kotak itu begitu erat. "Mom... hikss.... aku merindukanmu, Mom.... aku ingin ikut bersamamu, Mom....hikss." Air mata Sophia semakin merebak. "Kenapa Mom pergi tidak mengajakku, Mom? Aku tidak mau tinggal di sini. Daddy sama kejamnya dengan Betty. Kenapa dia begitu padaku, Mom? Apa aku ini... hiks... apa aku bukan anak kandungnya?"Tok... Tok...Bunyi ketukan pintu mengagetkan Sophia. Dengan cepat ia menyembunyikan kotak itu ke dalam koper. "Siapa?""Ini aku."
"Sudah.""Kalau begitu, berikan pada mami. Biar mami yang akan memberikannya pada ayahmu."Sophia membalikan tubuhnya menghadapi Betty. "Dokumen ini tidak akan kuberikan padamu atau pada siapa pun. Dokumen ini milik Mommy bukan Daddy.""Tapi, Sophia...." Belum sempat menyelesaikan perkataannya Sophia justru sudah berjalan meninggalkannya. Betty kesal. "Lihat saja nanti, apa yang akan kulakukan padamu!"Angelica mendekatinya. "Memangnya dokumen apa itu, Mi?"Tatapan Betty beralih ke wajah putrinya. "Itu sertifikat rumah ini. Kita harus merebutnya dari Sophia.""Kenapa Mami tidak menyuruh papi saja untuk membujuknya? Siapa tahu kalau papi yang memintanya dia akan....""Kau tidak dengar apa yang dia katakan tadi? Itu milik Cathy," sergah Betty. Ia mengalihkan pandangan lalu bergerak ke pagar tangga sambil memandang ke arah pintu kamar di lantai bawah. "Lagipula kalau kita beritahu papi soal itu, rencana kita akan gag
Keesokan paginya saat matahari sudah tinggi dan membias jendela-jendela apartemen, Sophia dan Hanna masih terlelap. Setelah adu mulut semalaman yang panjang, di mana si pemilik apartemen tetap keras kepala mau tidur di lantai dan menyuruh tamunya tidur di kasur. Perdebatan itulah yang membuat Hanna menang dan membawa mereka ke dalam tidur yang sampai sekarang pun belum terjaga.Sophialah yang lebih dulu siuman. Ia menggeliatkan tubuh saat matahari memancarkan kilau cerah tepat di matanya. Perlahan-lahan dibukanya mata indah itu. Terasa asing dengan suasana kamar, Sophia menyapu semua ruangan. Setelah matanya benar-benar terbuka, ia mencoba mengenali ruangan itu dan kembali mengingat apa yang terjadi. "Hanna?" Ia terlonjak. Dengan cepat Sophia menepiskan selimut tebalnya dan menunduk ke arah lantai. "Hanna, bangun!" Ia melirik jam weker di atas nakas. "Mampus! Aku terlambat." Dilihatnya Hanna menggeliat.Setelah semua mata benar-benar terbuka, Hanna pun menatap So
"Kau yakin akan tinggal di sini?" tanya Hanna.Dua wanita cantik itu kini sedang berada di apartemen yang letaknya hanya berjarak lima belas meter dari area perkatoran dan salah satunya adalah AJESIO Group. Apartemen berlantai dua puluh itu juga letaknya tak jauh dari apartemen Hanna. Jika dihitung-hitung, jarak dari apartemen Hanna ke AJESIO Group adalah dua puluh lima meter, sementara apartemen yang akan ditempati Sophia ini jaraknya lebih dekat dengan AJESIO Group.Sebenarnya Sophia ingin tinggal di apartemen yang sama dengan Hanna, namun fasilitas dan kamar yang tidak sesuai keinginan membuat Sophia memilih alternatif lain. Dan jika seandainya ia tak menemukan apartemen yang lebih dekat jaraknya dari kantor, mau tidak mau Sophia harus menempati apartemen yang baginya sempit itu."Tidak masalah, Han. Lagi pula di sini kan jaraknya lebih dekat." Sophia sedang mengatur semua barang-barangnya. Setelah menyetujui harga de
Sophia berjalan kaki di pagi hari di kota New York yang cerah menuju kantornya. Wajah cantiknya berseri dan rambut pirangnya yang dikuncir kuda berkibar karena terkena angin.Ketika ia sedang berjalan sambil menatap ponsel, tiba-tiba saja sebuah mobil sedan hitam melaju dan melindas air yang tergenang di jalan.Byur!!"Wei!" Cipratan air membasahi kemeja putih dan rok hitam ketat yang menempel di tubuh seksinya. "Dasar brengsek!"Tiba-tiba saja mobil itu berhenti. Tapi hal itu tidak membuat Sophia terintimidasi. Sikap berani dan galaknya membuat ia tak mundur untuk menghadapi si pemilik mobil dan menunggunya untuk keluar.Sejurus kemudian pintu bagian kemudi terbuka dan seseorang keluar untuk membuka pintu bagian penumpang. Dilihatnya seorang pria tinggi dan bertubuh kekar dalam balutan jas hitam yang mewa
Dengan wajah pucat dan tubuh gemetar Sophia berjalan menuju lift. Pikiran yang diselimuti bayang-bayang sang atasan akan mengamuk membuatnya lupa bahwa liftnya rusak. "Sial! Kenapa sih hari ini apes sekali," gerutunya. Mau tidak mau Sophia pun harus melewati tangga darurat untuk ke dua kali. Tapi naik-turun tangga berkali-kali dari lantai lima ke lantai satu lebih terasa menyenangkan dari pada membayangkan wajah Aaron yang brengsek itu.Begitu tiba di lantai dasar, Sophia berhenti di meja cuztomer service untuk menstabilkan napasnya."Ibu Sophia kenapa? Ibu habis olahraga, ya? tanya gadis yang merupakan cuztomer service di G2 itu.Sophia melotot. "Memangnya kau tidak tahu kalau liftnya rusak?""Rusak? Masa sih, Bu? Barusan ada karyawan marketing yang turun pake lift lho, Bu."Satpam yang kebetulan berdiri
"Kau yakin akan tinggal di sini?" tanya Hanna.Dua wanita cantik itu kini sedang berada di apartemen yang letaknya hanya berjarak lima belas meter dari area perkatoran dan salah satunya adalah AJESIO Group. Apartemen berlantai dua puluh itu juga letaknya tak jauh dari apartemen Hanna. Jika dihitung-hitung, jarak dari apartemen Hanna ke AJESIO Group adalah dua puluh lima meter, sementara apartemen yang akan ditempati Sophia ini jaraknya lebih dekat dengan AJESIO Group.Sebenarnya Sophia ingin tinggal di apartemen yang sama dengan Hanna, namun fasilitas dan kamar yang tidak sesuai keinginan membuat Sophia memilih alternatif lain. Dan jika seandainya ia tak menemukan apartemen yang lebih dekat jaraknya dari kantor, mau tidak mau Sophia harus menempati apartemen yang baginya sempit itu."Tidak masalah, Han. Lagi pula di sini kan jaraknya lebih dekat." Sophia sedang mengatur semua barang-barangnya. Setelah menyetujui harga de
Keesokan paginya saat matahari sudah tinggi dan membias jendela-jendela apartemen, Sophia dan Hanna masih terlelap. Setelah adu mulut semalaman yang panjang, di mana si pemilik apartemen tetap keras kepala mau tidur di lantai dan menyuruh tamunya tidur di kasur. Perdebatan itulah yang membuat Hanna menang dan membawa mereka ke dalam tidur yang sampai sekarang pun belum terjaga.Sophialah yang lebih dulu siuman. Ia menggeliatkan tubuh saat matahari memancarkan kilau cerah tepat di matanya. Perlahan-lahan dibukanya mata indah itu. Terasa asing dengan suasana kamar, Sophia menyapu semua ruangan. Setelah matanya benar-benar terbuka, ia mencoba mengenali ruangan itu dan kembali mengingat apa yang terjadi. "Hanna?" Ia terlonjak. Dengan cepat Sophia menepiskan selimut tebalnya dan menunduk ke arah lantai. "Hanna, bangun!" Ia melirik jam weker di atas nakas. "Mampus! Aku terlambat." Dilihatnya Hanna menggeliat.Setelah semua mata benar-benar terbuka, Hanna pun menatap So
"Sudah.""Kalau begitu, berikan pada mami. Biar mami yang akan memberikannya pada ayahmu."Sophia membalikan tubuhnya menghadapi Betty. "Dokumen ini tidak akan kuberikan padamu atau pada siapa pun. Dokumen ini milik Mommy bukan Daddy.""Tapi, Sophia...." Belum sempat menyelesaikan perkataannya Sophia justru sudah berjalan meninggalkannya. Betty kesal. "Lihat saja nanti, apa yang akan kulakukan padamu!"Angelica mendekatinya. "Memangnya dokumen apa itu, Mi?"Tatapan Betty beralih ke wajah putrinya. "Itu sertifikat rumah ini. Kita harus merebutnya dari Sophia.""Kenapa Mami tidak menyuruh papi saja untuk membujuknya? Siapa tahu kalau papi yang memintanya dia akan....""Kau tidak dengar apa yang dia katakan tadi? Itu milik Cathy," sergah Betty. Ia mengalihkan pandangan lalu bergerak ke pagar tangga sambil memandang ke arah pintu kamar di lantai bawah. "Lagipula kalau kita beritahu papi soal itu, rencana kita akan gag
Di dalam kamar sambil memasukan semua pakaiannya ke dalam koper, air mata Sophia mengalir terus tanpa henti. Kata-kata John yang membentaknya di hadapan ibu dan saudara tirinya membuat Sophia malu, apalagi sampai menamparnya. Tega benar John melakukan itu padanya.Mata Shopia menangkap kotak merah yang masih dililit pita berwarna kuning keemasan. Dengan hati sedih ia mendudukan dirinya di atas ranjang lalu mengambil dan memeluk kotak itu begitu erat. "Mom... hikss.... aku merindukanmu, Mom.... aku ingin ikut bersamamu, Mom....hikss." Air mata Sophia semakin merebak. "Kenapa Mom pergi tidak mengajakku, Mom? Aku tidak mau tinggal di sini. Daddy sama kejamnya dengan Betty. Kenapa dia begitu padaku, Mom? Apa aku ini... hiks... apa aku bukan anak kandungnya?"Tok... Tok...Bunyi ketukan pintu mengagetkan Sophia. Dengan cepat ia menyembunyikan kotak itu ke dalam koper. "Siapa?""Ini aku."
"Mami yakin Mr. Jerr akan menyetujui permintaan itu?"Mata Betty mengarah ke belakang bahu Angelica. Tatapannya kosong. "Mami punya perjanjian dengannya. Mami yakin, Mr. Jerr pasti akan menuruti kemauan mami, seperti mami yang sudah menuruti permintaannya." Perkataan yang terlontar dari mulutnya sendiri seakan menyentakkan Betty. Ia sadar lalu menengadahkan pandangannya ke wajah Angelica. "Sudah! Kau tidak usah banyak tanya. Sekarang kau panggil si gadis malas itu dan ayahnya. Lalu ingat," katanya pelan. "jangan hardik."Dengan kesal Angelica meninggalkan ruang makan, sedangkan Betty melanjutkan menata piring dan menu yang masih harus disediakan.Di sisi lain.Tok... Tok..."Sophia? Waktunya makan malam," kata Angelica dengan suara keras.Tok... Tok..."Soph...."Clek!"Aku sudah dengar, jadi kau tak perlu mengetuk pintuku berulang-ulang," ketusnya."Maaf, aku pikir kau tidak dengar.
Di dalam kamar Sophia melepaskan tasnya lalu menghamburkan diri ke atas kasur. Bayangan akan kehidupan saat ibunya masih hidup membuat Sophia meneteskan air mata. "Mom, seandainya kau masih ada."Sophia bangkit dari kasur dan menghapus air matanya. Ia membuka lemari pakaian dan mengambil sebuah kotak berukuran sedang berwarna merah. Kotak itu adalah hadiah ulang tahun dari Cathy saat ia berumur 7 tahun.Flashback On."Apa itu untukku?" Dengan girang Sophia berlari mendekati Cathy.Wanita berambut pirang yang sama seperti Sophia itu sedang duduk di sofa dengan kotak berwarna merah di atas pangkuannya. Senyumnya melebar. "Iya, Sayang. Ini untukmu."Sophia sangat antusias. "Isinya apa, Mommy?""Isinya rahasia, Sayangku." Ia membawa Sophia ke dalam pangkuannya.
Tak terasa hari sudah sore. Alarm yang menunjukkan pukul 16.00 di ponsel Sophia pun sudah berbunyi. Ia sengaja memasang alarm, karena kalau sudah berkutat dengan pekerjaan, Sophia suka lupa waktu dan ujung-ujung keluar kantor langit sudah gelap.Gadis yang usianya 22 tahun itu baru 5 bulan bergabung di AJESIO Group. Saat pengumumam kelulusan sudah diberitakan oleh pihak kampus, iseng-iseng Sophia mengajukan permohonan pekerjaan di beberapa perusahan dan ternyata tak menunggu berapa lama, ia dihubungi oleh pihak AJESIO Group dan memberitahukan bahwa ia di terima.Meski masih sangat muda dan yang paling muda di antara para karyawan yang lain, tapi disiplin dan integritas Sophia tidak main-main. Sifat yang baik namun tegas itu turun dari almarhum sang ibu. Cathy selalu menegaskan padanya, "Jika kau ingin sukses dan kaya seperti Mami, kau harus disiplin dalam segala hal. Kau juga harus tegas dan keras untuk menjadi
Dengan wajah pucat dan tubuh gemetar Sophia berjalan menuju lift. Pikiran yang diselimuti bayang-bayang sang atasan akan mengamuk membuatnya lupa bahwa liftnya rusak. "Sial! Kenapa sih hari ini apes sekali," gerutunya. Mau tidak mau Sophia pun harus melewati tangga darurat untuk ke dua kali. Tapi naik-turun tangga berkali-kali dari lantai lima ke lantai satu lebih terasa menyenangkan dari pada membayangkan wajah Aaron yang brengsek itu.Begitu tiba di lantai dasar, Sophia berhenti di meja cuztomer service untuk menstabilkan napasnya."Ibu Sophia kenapa? Ibu habis olahraga, ya? tanya gadis yang merupakan cuztomer service di G2 itu.Sophia melotot. "Memangnya kau tidak tahu kalau liftnya rusak?""Rusak? Masa sih, Bu? Barusan ada karyawan marketing yang turun pake lift lho, Bu."Satpam yang kebetulan berdiri
Sophia berjalan kaki di pagi hari di kota New York yang cerah menuju kantornya. Wajah cantiknya berseri dan rambut pirangnya yang dikuncir kuda berkibar karena terkena angin.Ketika ia sedang berjalan sambil menatap ponsel, tiba-tiba saja sebuah mobil sedan hitam melaju dan melindas air yang tergenang di jalan.Byur!!"Wei!" Cipratan air membasahi kemeja putih dan rok hitam ketat yang menempel di tubuh seksinya. "Dasar brengsek!"Tiba-tiba saja mobil itu berhenti. Tapi hal itu tidak membuat Sophia terintimidasi. Sikap berani dan galaknya membuat ia tak mundur untuk menghadapi si pemilik mobil dan menunggunya untuk keluar.Sejurus kemudian pintu bagian kemudi terbuka dan seseorang keluar untuk membuka pintu bagian penumpang. Dilihatnya seorang pria tinggi dan bertubuh kekar dalam balutan jas hitam yang mewa