Di dalam kamar sambil memasukan semua pakaiannya ke dalam koper, air mata Sophia mengalir terus tanpa henti. Kata-kata John yang membentaknya di hadapan ibu dan saudara tirinya membuat Sophia malu, apalagi sampai menamparnya. Tega benar John melakukan itu padanya.
Mata Shopia menangkap kotak merah yang masih dililit pita berwarna kuning keemasan. Dengan hati sedih ia mendudukan dirinya di atas ranjang lalu mengambil dan memeluk kotak itu begitu erat. "Mom... hikss.... aku merindukanmu, Mom.... aku ingin ikut bersamamu, Mom....hikss." Air mata Sophia semakin merebak. "Kenapa Mom pergi tidak mengajakku, Mom? Aku tidak mau tinggal di sini. Daddy sama kejamnya dengan Betty. Kenapa dia begitu padaku, Mom? Apa aku ini... hiks... apa aku bukan anak kandungnya?"
Tok... Tok...
Bunyi ketukan pintu mengagetkan Sophia. Dengan cepat ia menyembunyikan kotak itu ke dalam koper. "Siapa?"
"Ini aku."
Betty. Dialah orang di balik pintu itu. "Mau apa kau ke sini?" ketusnya.
"Buka dulu pintunya, Sophia. Mami ingin bicara."
"Mami!" ulangnya. "Dasar manusia bermuka dua!" katanya pelan. Aku tidak mau. Pergi kau dari sini!"
"Sayang, kumohon buka dulu pintunya."
Mendengar Betty menyebutkan "Sayang" membuat hati Sophia terkejut. Dalam hati ia bertanya-tanya, kenapa hari ini baik Angelica maupun Betty bisa bersikap baik padanya. Apa jangan-jangan mereka seperti itu karena kasihan dia akan diusir?Selama lima belas tahun belakang mereka tinggal bersama, Betty dan Angelica memang tidak pernah melukainya, mereka hanya selalu memberikan hujatan atau penghinaan sebagai bukti bahwa sebenarnya mereka iri padanya. Tapi sekarang keduanya secara bersamaan tiba-tiba bersikap baik. Kenapa?Tak ingin dikatakan anak kurangajar lagi, Sophia bangkit dari kasur sambil menghapus air mata. Ia berjalan mendekati pintu lalu membukanya pelan-pelan.Clek!"Ada apa? Apa yang ingin kau bicarakan?""Apa kau tidak ingin mengijinkan aku duduk?""Tidak. Katakan saja apa yang ingin kau sampaikan."Sialan! Masih untung aku berbaik hati padamu. Kalau bukan karena perusahan brengsek ayahmu itu, aku tak akan pernah mau bersikap ramah pada gadis kurangajar sepertimu. "Eh, begini, Sophia. Ada dua hal yang ingin kusampaikan padamu. Pe...""Katakan saja secepatnya," sergahnya.Betty menarik napas panjang. Ia menahan kesal karena sikap Sophia yang tak ramah. "Seharusnya kau tidak usah menggubris sikap ayahmu tadi. Mungkin dia sedang banyak masalah di kantor sampai-sampai emosinya tadi meluap." Dilihatnya barang-barang Sophia berhamburan di atas kasur. "Kau sungguh-sungguh akan pergi?"Sophia menegakkan kepala menatap Betty. "Kepergianku dari sini bukan karena benar atau tidaknya aku diusir Daddy. Aku memang ingin keluar dari rumah ini. Dan perkataan Daddy tadi itu benar, semakin cepat aku keluar dari rumah ini semakin baik, walaupun sebenarnya ini rumah Mommy."Perkataan Sophia yang membawa topik rumah membuat Betty bersorak dalam hati. Alasan dan tujuan yang sebenarnya ia mengunjungi Sophia adalah itu. Selama ini dia selalu mencari tahu tentang informasi rumah yang tempati mereka saat ini, tapi John tidak pernah memberitahukannya. Dia juga tahu kalau suaminya itu adalah pria serakah yang hanya mau menikah dengan wanita kaya untuk menghidupi dirinya. Betty tahu sebenarnya perusahaan itu milik Chathy, bukan John. Dan jika John saja berhasil merebut kekayaan Cathy, kenapa dia tidak? Toh laki-laki itu sebentar lagi akan mati.Hanya saja sebelum itu terjadi, Betty harus mengorek semua informasi mengenai keberadaan sertifikat rumah itu yang selama ini disembunyikan John. Rumah itu besar. Dan jika dilihat dari desain dan modelnya, rumah itu pasti memakan biaya jutaan dolar. Betty yakin kalau rumah itu dijual, ia bisa kaya raya.Namun, setiap kali ia menanyakan soal itu, John selalu mengatakan bahwa, "Aku sendiri tidak tahu itu di mana. Mungkin Cathy yang menyimpannya. Tapi aku sendiri tidak tahu."Apakah dokumen-dokumen itu ada pada wanita ini? "Itulah alasan kedua kenapa aku menemuimu, Sophia." Betty memasang wajah sedih. Ia menunduk sesaat sebelum akhirnya kembali menatap Sophia. "Sebenarnya ini bukan urusanku, tapi aku disuruh ayahmu untuk meminta dokumen-dokumen penting yang ada padamu. Eh, aku tidak mengerti apa yang dikatakan ayahmu. Hanya saja setelah makan tadi, dia bilang kalau kau ingin pergi dari rumah ini, kau harus meninggalkan dokumen-dokumen itu."Sophia terkejut. Ingatannya kembali ke lima belas tahun lalu saat dirinya dipergoki Betty karena hendak membuka kotak yang diberikan ibunya sebagai hadiah. Saat itu Cathy menghambur ke kamar Sophia. Ia memeluk bocah itu lalu menggendongnya ke atas kasur. Setelah mendudukan Sophia di atas ranjang yang empuk dan besar itu, Cathy mengulurkan sebelah tangannya yang terdapat map berwarna biru. "Sayangku, ini ada beberapa lembar kertas di dalam. Ini adalah dokumen penting yang harus kau simpan."
Sophia menatap bingung. Hari ini ibunya itu sudah banyak menguras otaknya. "Dokumen? Apa itu, Mom?"Cathy tersenyum. "Di dalam map ini ada surat-surat dan sertifikat rumah yang mengatasnamakan nama mami. Mami ingin kau menyimpannya baik-baik dan jangan tunjukkan map ini pada siapapun kecuali pada suamimu nanti."Alis Sophia berkerut. "Kalau Daddy?""Jangan, Sayang! Mami mohon jangan pernah kau tunjukan dokumen ini padanya. Pokoknya kau harus menuruti perkataan mami. Jangan pernah menunjukan map ini pada siapa pun kecuali pada suamimu nanti kalau kau sudah menikah. Dan ingat, Sophia, jangan pernah berpacaran sebelum kau berusia 24 tahun.""Dokumen apa itu, Sophia?" Suara Betty menyadarkan Sophia dari lamunannya.
Matanya terbelalak. "Dokumen? Dokumen itu!" Sophia bergerak secepat kilat. Ia menghambur keluar tanpa memperdulikan keberadaan Betty.Wanita itu terpekik saat tubuh Sophia menyambarnya. Dilihatnya Sophia berlari kecil menaiki tangga. Penasaran akan hal itu, Betty mengikutinya.Tok... Tok..."Angelica? Buka pintunya!"
Tok... Tok...
"Angelica! Ini aku Sophia. Buka pintunya."Clek!
Tanpa berkata apa-apa Sophia langsung menghambur ke kamar besar itu dan mendorong Angelica. "Hei! Mau apa kau..." Angelica menghentikan perkataannya begitu tangan seseorang menahannya. Ia menoleh. "Mami?"
"Biarkan dia," bisik Betty. Dilihatnya Sophia sedang mengotak-atik isi laci yang letaknya di samping ranjang.Laci itu adalah tempat untuk Sophia menyimpan semua benda-bendanya saat masih menghuni kamar itu. Namun saat pindah ke kamar bawah, tindakan Betty waktu itu sedikit memaksa sehingga Sophia lupa bahwa ia masih menyimpan barang penting di dalam laci itu. Andai saja Betty tidak menyebutkan dokumen itu, ia pasti sudah pergi dari rumah ini tanpa membawa map itu."Apa yang kau cari, Sophia?" tanya Angelica. Laci itu sudah kosong waktu aku menempati kamar ini.""Kunci? Apa kau menemukan kunci di dalam laci ini?""Kunci?" ulang Angelica. Ia mencoba mengingat-ngingat. "Oh, iya!" Ia menghambur ke nakas yang berada di samping lemari. Dibukanya laci dan mengambil sebuah kunci berwarna putih. "Kunci ini, ya?" Ia berjalan mendekati Sophia lalu memberikan kuncinya.Mata Sophia cemerlang dan nanar. Ia mengambil kunci itu lalu bergerak menuju lemari pakaian. Angelica menatap bingung. Ia mendekati Betty yang sedang berdiri di ambang pintu. "Apa yang dia cari, Mam? Kenapa Mami mencegahku?""Dia sedang mencari sesuatu yang penting di kamar ini," bisiknya pelan. Matanya terus menatap Sophia."Sesuatu yang penting? Apa?""Kau akan tahu nanti." Betty menyilangkan kedua tangannya di depan dada.Ibu dan anak itu kini memusatkan tatapannya ke arah Sophia. Mereka melihat gadis itu sedang mengeluarkan beberapa buah map dengan warna yang sama. Sambil beringsut ke lantai, Sophia tampak serius membuka semua map-map itu satu persatu untuk memeriksanya. Merasa semuanya lengkap dan benar, Sophia akhirnya mengunci lagi laci itu kemudian berdiri sambil memeluk semua map yang dikeluarkannya tadi.
"Apa kau menemukannya, Sophia?" Wajah Betty ceria. Dilihatnya Sophia sedang berjalan mendekati mereka.Namun bukannya menjawab, Sophia malah melewati mereka dan keluar dari kamar.
"Sophia!" panggil Betty. Gadis itu menghentikan langkahnya sambil mengeratkan map itu di dadanya. "Mana dokumennya? Kau sudah menemukan dokumen itu, bukan?"
Continued____Jangan Sophia. Jangan kau berikan map itu padanya. Dia pembohong.
"Sudah.""Kalau begitu, berikan pada mami. Biar mami yang akan memberikannya pada ayahmu."Sophia membalikan tubuhnya menghadapi Betty. "Dokumen ini tidak akan kuberikan padamu atau pada siapa pun. Dokumen ini milik Mommy bukan Daddy.""Tapi, Sophia...." Belum sempat menyelesaikan perkataannya Sophia justru sudah berjalan meninggalkannya. Betty kesal. "Lihat saja nanti, apa yang akan kulakukan padamu!"Angelica mendekatinya. "Memangnya dokumen apa itu, Mi?"Tatapan Betty beralih ke wajah putrinya. "Itu sertifikat rumah ini. Kita harus merebutnya dari Sophia.""Kenapa Mami tidak menyuruh papi saja untuk membujuknya? Siapa tahu kalau papi yang memintanya dia akan....""Kau tidak dengar apa yang dia katakan tadi? Itu milik Cathy," sergah Betty. Ia mengalihkan pandangan lalu bergerak ke pagar tangga sambil memandang ke arah pintu kamar di lantai bawah. "Lagipula kalau kita beritahu papi soal itu, rencana kita akan gag
Keesokan paginya saat matahari sudah tinggi dan membias jendela-jendela apartemen, Sophia dan Hanna masih terlelap. Setelah adu mulut semalaman yang panjang, di mana si pemilik apartemen tetap keras kepala mau tidur di lantai dan menyuruh tamunya tidur di kasur. Perdebatan itulah yang membuat Hanna menang dan membawa mereka ke dalam tidur yang sampai sekarang pun belum terjaga.Sophialah yang lebih dulu siuman. Ia menggeliatkan tubuh saat matahari memancarkan kilau cerah tepat di matanya. Perlahan-lahan dibukanya mata indah itu. Terasa asing dengan suasana kamar, Sophia menyapu semua ruangan. Setelah matanya benar-benar terbuka, ia mencoba mengenali ruangan itu dan kembali mengingat apa yang terjadi. "Hanna?" Ia terlonjak. Dengan cepat Sophia menepiskan selimut tebalnya dan menunduk ke arah lantai. "Hanna, bangun!" Ia melirik jam weker di atas nakas. "Mampus! Aku terlambat." Dilihatnya Hanna menggeliat.Setelah semua mata benar-benar terbuka, Hanna pun menatap So
"Kau yakin akan tinggal di sini?" tanya Hanna.Dua wanita cantik itu kini sedang berada di apartemen yang letaknya hanya berjarak lima belas meter dari area perkatoran dan salah satunya adalah AJESIO Group. Apartemen berlantai dua puluh itu juga letaknya tak jauh dari apartemen Hanna. Jika dihitung-hitung, jarak dari apartemen Hanna ke AJESIO Group adalah dua puluh lima meter, sementara apartemen yang akan ditempati Sophia ini jaraknya lebih dekat dengan AJESIO Group.Sebenarnya Sophia ingin tinggal di apartemen yang sama dengan Hanna, namun fasilitas dan kamar yang tidak sesuai keinginan membuat Sophia memilih alternatif lain. Dan jika seandainya ia tak menemukan apartemen yang lebih dekat jaraknya dari kantor, mau tidak mau Sophia harus menempati apartemen yang baginya sempit itu."Tidak masalah, Han. Lagi pula di sini kan jaraknya lebih dekat." Sophia sedang mengatur semua barang-barangnya. Setelah menyetujui harga de
Sophia berjalan kaki di pagi hari di kota New York yang cerah menuju kantornya. Wajah cantiknya berseri dan rambut pirangnya yang dikuncir kuda berkibar karena terkena angin.Ketika ia sedang berjalan sambil menatap ponsel, tiba-tiba saja sebuah mobil sedan hitam melaju dan melindas air yang tergenang di jalan.Byur!!"Wei!" Cipratan air membasahi kemeja putih dan rok hitam ketat yang menempel di tubuh seksinya. "Dasar brengsek!"Tiba-tiba saja mobil itu berhenti. Tapi hal itu tidak membuat Sophia terintimidasi. Sikap berani dan galaknya membuat ia tak mundur untuk menghadapi si pemilik mobil dan menunggunya untuk keluar.Sejurus kemudian pintu bagian kemudi terbuka dan seseorang keluar untuk membuka pintu bagian penumpang. Dilihatnya seorang pria tinggi dan bertubuh kekar dalam balutan jas hitam yang mewa
Dengan wajah pucat dan tubuh gemetar Sophia berjalan menuju lift. Pikiran yang diselimuti bayang-bayang sang atasan akan mengamuk membuatnya lupa bahwa liftnya rusak. "Sial! Kenapa sih hari ini apes sekali," gerutunya. Mau tidak mau Sophia pun harus melewati tangga darurat untuk ke dua kali. Tapi naik-turun tangga berkali-kali dari lantai lima ke lantai satu lebih terasa menyenangkan dari pada membayangkan wajah Aaron yang brengsek itu.Begitu tiba di lantai dasar, Sophia berhenti di meja cuztomer service untuk menstabilkan napasnya."Ibu Sophia kenapa? Ibu habis olahraga, ya? tanya gadis yang merupakan cuztomer service di G2 itu.Sophia melotot. "Memangnya kau tidak tahu kalau liftnya rusak?""Rusak? Masa sih, Bu? Barusan ada karyawan marketing yang turun pake lift lho, Bu."Satpam yang kebetulan berdiri
Tak terasa hari sudah sore. Alarm yang menunjukkan pukul 16.00 di ponsel Sophia pun sudah berbunyi. Ia sengaja memasang alarm, karena kalau sudah berkutat dengan pekerjaan, Sophia suka lupa waktu dan ujung-ujung keluar kantor langit sudah gelap.Gadis yang usianya 22 tahun itu baru 5 bulan bergabung di AJESIO Group. Saat pengumumam kelulusan sudah diberitakan oleh pihak kampus, iseng-iseng Sophia mengajukan permohonan pekerjaan di beberapa perusahan dan ternyata tak menunggu berapa lama, ia dihubungi oleh pihak AJESIO Group dan memberitahukan bahwa ia di terima.Meski masih sangat muda dan yang paling muda di antara para karyawan yang lain, tapi disiplin dan integritas Sophia tidak main-main. Sifat yang baik namun tegas itu turun dari almarhum sang ibu. Cathy selalu menegaskan padanya, "Jika kau ingin sukses dan kaya seperti Mami, kau harus disiplin dalam segala hal. Kau juga harus tegas dan keras untuk menjadi
Di dalam kamar Sophia melepaskan tasnya lalu menghamburkan diri ke atas kasur. Bayangan akan kehidupan saat ibunya masih hidup membuat Sophia meneteskan air mata. "Mom, seandainya kau masih ada."Sophia bangkit dari kasur dan menghapus air matanya. Ia membuka lemari pakaian dan mengambil sebuah kotak berukuran sedang berwarna merah. Kotak itu adalah hadiah ulang tahun dari Cathy saat ia berumur 7 tahun.Flashback On."Apa itu untukku?" Dengan girang Sophia berlari mendekati Cathy.Wanita berambut pirang yang sama seperti Sophia itu sedang duduk di sofa dengan kotak berwarna merah di atas pangkuannya. Senyumnya melebar. "Iya, Sayang. Ini untukmu."Sophia sangat antusias. "Isinya apa, Mommy?""Isinya rahasia, Sayangku." Ia membawa Sophia ke dalam pangkuannya.
"Mami yakin Mr. Jerr akan menyetujui permintaan itu?"Mata Betty mengarah ke belakang bahu Angelica. Tatapannya kosong. "Mami punya perjanjian dengannya. Mami yakin, Mr. Jerr pasti akan menuruti kemauan mami, seperti mami yang sudah menuruti permintaannya." Perkataan yang terlontar dari mulutnya sendiri seakan menyentakkan Betty. Ia sadar lalu menengadahkan pandangannya ke wajah Angelica. "Sudah! Kau tidak usah banyak tanya. Sekarang kau panggil si gadis malas itu dan ayahnya. Lalu ingat," katanya pelan. "jangan hardik."Dengan kesal Angelica meninggalkan ruang makan, sedangkan Betty melanjutkan menata piring dan menu yang masih harus disediakan.Di sisi lain.Tok... Tok..."Sophia? Waktunya makan malam," kata Angelica dengan suara keras.Tok... Tok..."Soph...."Clek!"Aku sudah dengar, jadi kau tak perlu mengetuk pintuku berulang-ulang," ketusnya."Maaf, aku pikir kau tidak dengar.
"Kau yakin akan tinggal di sini?" tanya Hanna.Dua wanita cantik itu kini sedang berada di apartemen yang letaknya hanya berjarak lima belas meter dari area perkatoran dan salah satunya adalah AJESIO Group. Apartemen berlantai dua puluh itu juga letaknya tak jauh dari apartemen Hanna. Jika dihitung-hitung, jarak dari apartemen Hanna ke AJESIO Group adalah dua puluh lima meter, sementara apartemen yang akan ditempati Sophia ini jaraknya lebih dekat dengan AJESIO Group.Sebenarnya Sophia ingin tinggal di apartemen yang sama dengan Hanna, namun fasilitas dan kamar yang tidak sesuai keinginan membuat Sophia memilih alternatif lain. Dan jika seandainya ia tak menemukan apartemen yang lebih dekat jaraknya dari kantor, mau tidak mau Sophia harus menempati apartemen yang baginya sempit itu."Tidak masalah, Han. Lagi pula di sini kan jaraknya lebih dekat." Sophia sedang mengatur semua barang-barangnya. Setelah menyetujui harga de
Keesokan paginya saat matahari sudah tinggi dan membias jendela-jendela apartemen, Sophia dan Hanna masih terlelap. Setelah adu mulut semalaman yang panjang, di mana si pemilik apartemen tetap keras kepala mau tidur di lantai dan menyuruh tamunya tidur di kasur. Perdebatan itulah yang membuat Hanna menang dan membawa mereka ke dalam tidur yang sampai sekarang pun belum terjaga.Sophialah yang lebih dulu siuman. Ia menggeliatkan tubuh saat matahari memancarkan kilau cerah tepat di matanya. Perlahan-lahan dibukanya mata indah itu. Terasa asing dengan suasana kamar, Sophia menyapu semua ruangan. Setelah matanya benar-benar terbuka, ia mencoba mengenali ruangan itu dan kembali mengingat apa yang terjadi. "Hanna?" Ia terlonjak. Dengan cepat Sophia menepiskan selimut tebalnya dan menunduk ke arah lantai. "Hanna, bangun!" Ia melirik jam weker di atas nakas. "Mampus! Aku terlambat." Dilihatnya Hanna menggeliat.Setelah semua mata benar-benar terbuka, Hanna pun menatap So
"Sudah.""Kalau begitu, berikan pada mami. Biar mami yang akan memberikannya pada ayahmu."Sophia membalikan tubuhnya menghadapi Betty. "Dokumen ini tidak akan kuberikan padamu atau pada siapa pun. Dokumen ini milik Mommy bukan Daddy.""Tapi, Sophia...." Belum sempat menyelesaikan perkataannya Sophia justru sudah berjalan meninggalkannya. Betty kesal. "Lihat saja nanti, apa yang akan kulakukan padamu!"Angelica mendekatinya. "Memangnya dokumen apa itu, Mi?"Tatapan Betty beralih ke wajah putrinya. "Itu sertifikat rumah ini. Kita harus merebutnya dari Sophia.""Kenapa Mami tidak menyuruh papi saja untuk membujuknya? Siapa tahu kalau papi yang memintanya dia akan....""Kau tidak dengar apa yang dia katakan tadi? Itu milik Cathy," sergah Betty. Ia mengalihkan pandangan lalu bergerak ke pagar tangga sambil memandang ke arah pintu kamar di lantai bawah. "Lagipula kalau kita beritahu papi soal itu, rencana kita akan gag
Di dalam kamar sambil memasukan semua pakaiannya ke dalam koper, air mata Sophia mengalir terus tanpa henti. Kata-kata John yang membentaknya di hadapan ibu dan saudara tirinya membuat Sophia malu, apalagi sampai menamparnya. Tega benar John melakukan itu padanya.Mata Shopia menangkap kotak merah yang masih dililit pita berwarna kuning keemasan. Dengan hati sedih ia mendudukan dirinya di atas ranjang lalu mengambil dan memeluk kotak itu begitu erat. "Mom... hikss.... aku merindukanmu, Mom.... aku ingin ikut bersamamu, Mom....hikss." Air mata Sophia semakin merebak. "Kenapa Mom pergi tidak mengajakku, Mom? Aku tidak mau tinggal di sini. Daddy sama kejamnya dengan Betty. Kenapa dia begitu padaku, Mom? Apa aku ini... hiks... apa aku bukan anak kandungnya?"Tok... Tok...Bunyi ketukan pintu mengagetkan Sophia. Dengan cepat ia menyembunyikan kotak itu ke dalam koper. "Siapa?""Ini aku."
"Mami yakin Mr. Jerr akan menyetujui permintaan itu?"Mata Betty mengarah ke belakang bahu Angelica. Tatapannya kosong. "Mami punya perjanjian dengannya. Mami yakin, Mr. Jerr pasti akan menuruti kemauan mami, seperti mami yang sudah menuruti permintaannya." Perkataan yang terlontar dari mulutnya sendiri seakan menyentakkan Betty. Ia sadar lalu menengadahkan pandangannya ke wajah Angelica. "Sudah! Kau tidak usah banyak tanya. Sekarang kau panggil si gadis malas itu dan ayahnya. Lalu ingat," katanya pelan. "jangan hardik."Dengan kesal Angelica meninggalkan ruang makan, sedangkan Betty melanjutkan menata piring dan menu yang masih harus disediakan.Di sisi lain.Tok... Tok..."Sophia? Waktunya makan malam," kata Angelica dengan suara keras.Tok... Tok..."Soph...."Clek!"Aku sudah dengar, jadi kau tak perlu mengetuk pintuku berulang-ulang," ketusnya."Maaf, aku pikir kau tidak dengar.
Di dalam kamar Sophia melepaskan tasnya lalu menghamburkan diri ke atas kasur. Bayangan akan kehidupan saat ibunya masih hidup membuat Sophia meneteskan air mata. "Mom, seandainya kau masih ada."Sophia bangkit dari kasur dan menghapus air matanya. Ia membuka lemari pakaian dan mengambil sebuah kotak berukuran sedang berwarna merah. Kotak itu adalah hadiah ulang tahun dari Cathy saat ia berumur 7 tahun.Flashback On."Apa itu untukku?" Dengan girang Sophia berlari mendekati Cathy.Wanita berambut pirang yang sama seperti Sophia itu sedang duduk di sofa dengan kotak berwarna merah di atas pangkuannya. Senyumnya melebar. "Iya, Sayang. Ini untukmu."Sophia sangat antusias. "Isinya apa, Mommy?""Isinya rahasia, Sayangku." Ia membawa Sophia ke dalam pangkuannya.
Tak terasa hari sudah sore. Alarm yang menunjukkan pukul 16.00 di ponsel Sophia pun sudah berbunyi. Ia sengaja memasang alarm, karena kalau sudah berkutat dengan pekerjaan, Sophia suka lupa waktu dan ujung-ujung keluar kantor langit sudah gelap.Gadis yang usianya 22 tahun itu baru 5 bulan bergabung di AJESIO Group. Saat pengumumam kelulusan sudah diberitakan oleh pihak kampus, iseng-iseng Sophia mengajukan permohonan pekerjaan di beberapa perusahan dan ternyata tak menunggu berapa lama, ia dihubungi oleh pihak AJESIO Group dan memberitahukan bahwa ia di terima.Meski masih sangat muda dan yang paling muda di antara para karyawan yang lain, tapi disiplin dan integritas Sophia tidak main-main. Sifat yang baik namun tegas itu turun dari almarhum sang ibu. Cathy selalu menegaskan padanya, "Jika kau ingin sukses dan kaya seperti Mami, kau harus disiplin dalam segala hal. Kau juga harus tegas dan keras untuk menjadi
Dengan wajah pucat dan tubuh gemetar Sophia berjalan menuju lift. Pikiran yang diselimuti bayang-bayang sang atasan akan mengamuk membuatnya lupa bahwa liftnya rusak. "Sial! Kenapa sih hari ini apes sekali," gerutunya. Mau tidak mau Sophia pun harus melewati tangga darurat untuk ke dua kali. Tapi naik-turun tangga berkali-kali dari lantai lima ke lantai satu lebih terasa menyenangkan dari pada membayangkan wajah Aaron yang brengsek itu.Begitu tiba di lantai dasar, Sophia berhenti di meja cuztomer service untuk menstabilkan napasnya."Ibu Sophia kenapa? Ibu habis olahraga, ya? tanya gadis yang merupakan cuztomer service di G2 itu.Sophia melotot. "Memangnya kau tidak tahu kalau liftnya rusak?""Rusak? Masa sih, Bu? Barusan ada karyawan marketing yang turun pake lift lho, Bu."Satpam yang kebetulan berdiri
Sophia berjalan kaki di pagi hari di kota New York yang cerah menuju kantornya. Wajah cantiknya berseri dan rambut pirangnya yang dikuncir kuda berkibar karena terkena angin.Ketika ia sedang berjalan sambil menatap ponsel, tiba-tiba saja sebuah mobil sedan hitam melaju dan melindas air yang tergenang di jalan.Byur!!"Wei!" Cipratan air membasahi kemeja putih dan rok hitam ketat yang menempel di tubuh seksinya. "Dasar brengsek!"Tiba-tiba saja mobil itu berhenti. Tapi hal itu tidak membuat Sophia terintimidasi. Sikap berani dan galaknya membuat ia tak mundur untuk menghadapi si pemilik mobil dan menunggunya untuk keluar.Sejurus kemudian pintu bagian kemudi terbuka dan seseorang keluar untuk membuka pintu bagian penumpang. Dilihatnya seorang pria tinggi dan bertubuh kekar dalam balutan jas hitam yang mewa