Di dalam kamar Sophia melepaskan tasnya lalu menghamburkan diri ke atas kasur. Bayangan akan kehidupan saat ibunya masih hidup membuat Sophia meneteskan air mata. "Mom, seandainya kau masih ada."
Sophia bangkit dari kasur dan menghapus air matanya. Ia membuka lemari pakaian dan mengambil sebuah kotak berukuran sedang berwarna merah. Kotak itu adalah hadiah ulang tahun dari Cathy saat ia berumur 7 tahun.
Flashback On.
"Apa itu untukku?" Dengan girang Sophia berlari mendekati Cathy.
Wanita berambut pirang yang sama seperti Sophia itu sedang duduk di sofa dengan kotak berwarna merah di atas pangkuannya. Senyumnya melebar. "Iya, Sayang. Ini untukmu."
Sophia sangat antusias. "Isinya apa, Mommy?"
"Isinya rahasia, Sayangku." Ia membawa Sophia ke dalam pangkuannya.
"Bolehkah aku membukanya?"
"Boleh, cintaku, tapi kau harus janji dulu pada mommy."
Sophia menatapnya sambil mengangguk. "Aku janji, Mommy."
"Good." Ia mengecup dahi Sophia. "Kalau begitu peganglah kotak ini." Cathy meletakkan kotak itu di atas paha kecil Sophia. "Kotak ini adalah hadiah ulang tahun mommy untukmu, Sayang." Sophia mengangguk tegas dua kali dengan pandangan yang tidak lepas dari kotak itu. Ia memainkan pita gold yang melingkari kotak itu. "Tapi kau harus janji, bahwa kau akan membuka hadiah ini saat kamu berusia 23 tahun. Simpanlah ini di lemarimu. Jika nanti usiamu sudah 23 tahun, kau boleh membukanya. Simpan ini baik-baik dan jangan sampai kotak ini jatuh ke tangan orang lain."
Saat itulah Sophia akhirnya menatap sang ibu. Tatapannya bingung. Dan Cathy tahu anak itu tidak mengerti dengan pembicaraannya. "Oh, putriku." Ia memeluk Sophia. "Maafkan mommy. Bukannya mommy ingin membuatmu penasaran, tapi mommy yakin diusiamu yang ke-23, kau pasti akan mengerti kenapa mommy memberikan kotak ini padamu. Kau mau kan berjanji untuk mommy?"
Dengan polos ia mengangguk lagi. "Aku janji, Mommy."
"Oh, Sayangku. Mommy sangat mencintaimu."
Flashback Off.
"Aku juga sangat mencintaimu, Mom," katanya sambil memeluk kotak itu. Bayangan akan moment itu membuat air mata Sophia semakin deras.
Pikirannya kembali ke masa lalu saat Sophia membawa kotak merah itu ke dalam kamar, saking penasaran apa isi kotak itu, ia berniat akan mengingkari janjinya kepada Cathy. Rasa penasaran membuat Sophia__ satu kali saja__ ingin melanggar perintah sang ibu. Namun, di saat Sophia hendak melepaskan pita yang mengikat kotak itu, pintu kamarnya terbuka lebar.
Zet!
Cathy dengan senyum lebar langsung mendekati dan memeluk Sophia. Ternyata wanita itu sedang mengintip anak gadisnya di balik pintu.
Sophia yang waktu itu tertangkap basah hanya bisa tertawa, meminta maaf dan berjanji akan membuka kotak itu sesuai perjanjian mereka. Ia bahkan masih sangat ingat pesan terakhir ibunya sebelum beliau dikabarkan kecelakan dan meninggal dunia. "Kau harus kuat seperti mommy ya, Sayang."
Sophia meletakkan kotak itu ke atas kasur dan menatapnya. "Aku akan selalu kuat seperti Mommy. Aku janji, Mom. Aku janji padamu."
Di sisi lain.
Aaron kini berada di ruang kerjanya. Setiap hari lelaki itu tidak akan langsung pulang sebelum memastikan semua karyawannya baik di gedung satu maupun gedung dua sudah pulang lebih dulu. Namun hari ini meski semua karyawannya sudah pulang, Aaron tidak ingin beranjak dari ruangannya. Ia bahkan sudah menyuruh supirnya untuk pulang lebih dulu, tapi tanggung jawab sebagai supir membuat Matt masih setia menunggu Aaron sampai saat ini.
Jam dinding sudah menunjukkan pukul tujuh malam, tapi Aaron masih duduk di ruangannya. Ia tidak bekerja, melainkan sedang menatap buku kecil berwarna merah, beberapa lembar kertas putih yang dipenuhi tinta hitam, juga sebuah liontin berwarna perak bertali panjang.
Aaron meraih liontin berbentuk hati itu lalu menatapnya. Sambil menyandarkan punggung ke kursi ia membuka bentuk hati itu menjadi dua. Dilihatnya dua foto wanita yang sedang tersenyum bahagia. Foto yang satu menunjukan wanita dewasa berambut pirang yang sedang tertawa, sedangkan foto yang satu lagi wanita berambut hitam yang wajahnya sama persis dengan wanita yang berambut pirang.
Aaron menatap kedua foto itu secara bergantian. Awalnya mata cokelat itu begitu lembut, tapi lama-kelamaan tatapan itu berubah tajam. Seringai yang tadi terulas tipis di wajahnya kini menghilang dan tergantikan dengan ekpresi garang penuh emosi.
"Aku bersumpah pada kalian. Aku bersumpah." Diremasnya liontin itu hingga buku-buku jarinya memutih. "Aku akan membuat dirinya menderita. Aku janji."
Di sisi lain.
"Angelica! Ayo makan, Sayang." Suara Betty terdengar memenuhi seantero ruangan. Wanita itu kini sedang mengatur piring yang berisi makanan untuk santap malam.
"Wah!" seru Angelica begitu melihat banyak menu yang dihidangan. "Sepertinya malam ini aku akan makan banyak."
Bug!
"Aaauw," pekik Angelica. "Sakit Mami." Betty memukul tangan Angelica saat wanita itu mengulurkannya untuk mencuil sepotong udang tepung.
"Kau harus merubah sikapmu itu, Angelica. Aku tidak mau ada lelaki kaya membatalkan pernikahannya hanya karena sikapmu yang ceroboh itu."
Angelica tampak menyesal. "Aku minta maaf, Mami. Habisnya masakan Mami sangat menggoda."
"Jangan membujukku. Sudah sana, panggil ayahmu dan putri malas itu."
Angelica kesal. "Aku tidak mau. Mami saja yang panggil dia, biar aku yang akan memanggil Papi. Lagi pula kan dia harusnya tahu jadwal makan kita itu jam berapa. Jadi, tak harus merepotkan orang lain untuk me...."
"Cukup, Angelica!" bentak Betty. Ia menunduk dan berbisik pada anaknya. "Berapa hari ini kita harus bersikap ramah pada mereka. Kau harus berpura-pura baik padanya."
"Aku?!" pekiknya. "Aku tidak mau!" Ia menarik kursi dan duduk. Wajahnya cemberut dengan kedua tangan menyilang di dadanya.
Betty mengendus. "Jika kau ingin ada pria kaya seperti Mr. Jerr menikahimu, kau harus mematuhi perintah mami, Angelica."
Angelica menengadah menatap ibunya. "Mr. Jerr, Mr. Jerr, memangnya dia siapa? Kenapa ibu selalu menyebut nama itu dan mengait-ngaitkannya dengan pernikahanku? Aku kan belum ingin menikah. Pacar saja tidak punya."
"Dengar bocah, ibu sudah menyusun rencana ini sangat matang. Jadi, jangan sampai rencana ini gagal hanya karena kebodohanmu itu."
"Rencana?"
Betty semakin menunduk dan berkata, "Dengarkan baik-baik. Mami punya rencana untuk menjodohkanmu dengan pengusaha kaya raya. Namanya Aaron Jerr Glassio. Dia pemilik perusahan yang bergerak di bidang real estate terbesar di Amerika."
Angelica berdecak sambil membuang muka. "Mimpi Mami terlalu tinggi."
Betty menarik dagu anaknya hingga tersentak dan kembali menatapnya. "Apa kau mau pria tampan dan kaya raya itu jatuh ke dalam pelukan si wanita malas itu, hah?"
Gadis yang usianya baru 20 tahun itu tampak tidak mengerti. Ia mengalihkan pandangannya. "Aku tidak peduli. Aku tidak mau dijodohkan dengan pria tua. Aku ak peduli betapa pun kayanya. Berikan saja dia pada Sophia. Aku ingin menikahi pria muda, tampan dan kaya, bukan pria tua seperi...." Perkataan Angelica langsung berhenti ketika Betty mengulurkan tangan dan memperlihatkan sosok Aaron di layar ponselnya. Matanya terbelalak. Mulutnya menganga.
"Apa kau yakin akan memberikannya pada Sophia?"
Angelica menggeleng cepat. "Jangan, Mam! Aku... aku pikir Mr. Jerr itu pria yang sudah tua." Ia mengambil ponsel itu di tangan Betty lalu menatap wajah Aaron yang terlihat datar. "Oh, Mami, dia sangat tampan. Aku..."
"Kalau begitu turutilah perintahku."
Angelica mengangguk mantap. Ia melepaskan ponsel itu ke meja lalu menatap Betty. "Kalau begitu, apa yang harus kulakukan?"
"Kau tidak perlu melakukan apa-apa. Kau hanya cukup bersikap baik terhadap Sophia, begitu juga Mami. Pokoknya beberapa bulan ini kita harus berpura-pura baik padanya."
"Karena? Lalu apa hubungannya dengan Mr. Jerr?"
"Mr. Jerr menginginkan perusahan mereka. Dia ingin membeli perusahaan itu dengan harga yang cukup tinggi. Awalnya mami menolak, karena, meski itu tidak bisa menjadi milikmu selama Sophia masih ada, tapi toh perusahaan itu bisa menghasilkan uang untuk kehidupan kita sehari-hari. Tapi setelah dipikir-pikir lagi, tawaran Mr. Jerr itu sangat menggiurkan sehingga mami pun berubah pikiran dan berniat menjual perusahaan itu kepada Mr. Jerr."
Alis Angelica bertaut. "Mami yakin? Kan masih ada papi? Mana Papi mau menjual perusahannya itu."
"Dia pasti mau." Betty mengeluarkan botol kecil dari sakunya lalu memperlihatkannya pada Angelica.
"Ini apa, Mi?" Angelica mengambil botol kaca itu dari tangan Betty dan mengamatinya. "Ini obat apa, Mi?"
Betty tersenyum licik. "Ini obat perusak saraf."
"Apa?!" Angelica tersentak menatapnya.
"Sstt! Pelankan suaramu!"
Angelica segera menutup mulutnya. "Maaf."
Setelah memastikkan tidak orang selain mereka berdua di ruangan itu, Betty berkata, "Obat itulah yang nantinya akan merusak semua organ di tubuh papi. Semakin banyak dosis yang ia konsumsi, semakin cepat pula rencana kita akan tercapai."
Angelinca ternganga. "Maksudnya, Mami akan menggunakan obat ini untuk...."
"Ya," potong Betty. Meski gadis itu belum menyelesaikan ucapannya, tapi Betty tahu maksud dari putrinya itu. "Jadi, dengan obat ini lama-lama papi akan lumpuh dam tidak bisa melakukan apa-apa. Dia bahkan tidak akan bisa bergerak, sehingga pria tua itu tidak akan lagi memimpin perusahaan. Dan jika demikian, dia pasti akan mengalihkan perusahan itu kepada Sophia. Jadi, bersikaplah baik padanya agar suatu saat nanti setelah papi meninggal, dia tidak akan mencurigai kita."
"Tapi kalau papi meninggal, berarti Sophia dong yang akan menggantikan posisi papi?"
"Benar. Tapi mami tidak akan membiarkan hal itu terjadi. Mami akan memaksa papi untuk menandatangani dokumen yang isinya adalah semua jumlah saham perusahan mereka. Dengan begitu, Sophia tidak akan menuntut karena ayahnya sendiri yang menandatanganinya."
"Mami memang pintar." Mereka berpelukan. "Tapi ngomong-ngomong, kenapa Mr. Jerr begitu menginginkan perusahan mereka?"
"Entalah. Yang jelas saat bertemu mami, Mr. Jerr menawarkan tawaran yang menggiurkan. Setelah mami pikir-pikir memang ada benarnya. Perusahan itu milik kedua orangtua sophia. Walaupun papi sudah menjadi ayah sambungmu, tapi kau tidak punya hak atas perusahaan itu selama masih ada sophia. Jadi, mami menyetujui kesepakatan itu dengan Mr. Jerr. Dia sudah berjanji akan membayar perusahan itu dengan harga jutaan dolar. Dan uang dari hasil penjualan itu bisa kita gunakan untuk kesenangan kita semdiri. Di samping itu, Mr. Jerr juga menawarkan imbalan jika mami berhasil membuat perusahan itu jatuh ke tangannya."
"Imbalan apa?"
"Mami belum mengutarakannya. Tapi kalau itu berhasil, mami akan memintanya untuk menikahimu."
Continued___
"Mami yakin Mr. Jerr akan menyetujui permintaan itu?"Mata Betty mengarah ke belakang bahu Angelica. Tatapannya kosong. "Mami punya perjanjian dengannya. Mami yakin, Mr. Jerr pasti akan menuruti kemauan mami, seperti mami yang sudah menuruti permintaannya." Perkataan yang terlontar dari mulutnya sendiri seakan menyentakkan Betty. Ia sadar lalu menengadahkan pandangannya ke wajah Angelica. "Sudah! Kau tidak usah banyak tanya. Sekarang kau panggil si gadis malas itu dan ayahnya. Lalu ingat," katanya pelan. "jangan hardik."Dengan kesal Angelica meninggalkan ruang makan, sedangkan Betty melanjutkan menata piring dan menu yang masih harus disediakan.Di sisi lain.Tok... Tok..."Sophia? Waktunya makan malam," kata Angelica dengan suara keras.Tok... Tok..."Soph...."Clek!"Aku sudah dengar, jadi kau tak perlu mengetuk pintuku berulang-ulang," ketusnya."Maaf, aku pikir kau tidak dengar.
Di dalam kamar sambil memasukan semua pakaiannya ke dalam koper, air mata Sophia mengalir terus tanpa henti. Kata-kata John yang membentaknya di hadapan ibu dan saudara tirinya membuat Sophia malu, apalagi sampai menamparnya. Tega benar John melakukan itu padanya.Mata Shopia menangkap kotak merah yang masih dililit pita berwarna kuning keemasan. Dengan hati sedih ia mendudukan dirinya di atas ranjang lalu mengambil dan memeluk kotak itu begitu erat. "Mom... hikss.... aku merindukanmu, Mom.... aku ingin ikut bersamamu, Mom....hikss." Air mata Sophia semakin merebak. "Kenapa Mom pergi tidak mengajakku, Mom? Aku tidak mau tinggal di sini. Daddy sama kejamnya dengan Betty. Kenapa dia begitu padaku, Mom? Apa aku ini... hiks... apa aku bukan anak kandungnya?"Tok... Tok...Bunyi ketukan pintu mengagetkan Sophia. Dengan cepat ia menyembunyikan kotak itu ke dalam koper. "Siapa?""Ini aku."
"Sudah.""Kalau begitu, berikan pada mami. Biar mami yang akan memberikannya pada ayahmu."Sophia membalikan tubuhnya menghadapi Betty. "Dokumen ini tidak akan kuberikan padamu atau pada siapa pun. Dokumen ini milik Mommy bukan Daddy.""Tapi, Sophia...." Belum sempat menyelesaikan perkataannya Sophia justru sudah berjalan meninggalkannya. Betty kesal. "Lihat saja nanti, apa yang akan kulakukan padamu!"Angelica mendekatinya. "Memangnya dokumen apa itu, Mi?"Tatapan Betty beralih ke wajah putrinya. "Itu sertifikat rumah ini. Kita harus merebutnya dari Sophia.""Kenapa Mami tidak menyuruh papi saja untuk membujuknya? Siapa tahu kalau papi yang memintanya dia akan....""Kau tidak dengar apa yang dia katakan tadi? Itu milik Cathy," sergah Betty. Ia mengalihkan pandangan lalu bergerak ke pagar tangga sambil memandang ke arah pintu kamar di lantai bawah. "Lagipula kalau kita beritahu papi soal itu, rencana kita akan gag
Keesokan paginya saat matahari sudah tinggi dan membias jendela-jendela apartemen, Sophia dan Hanna masih terlelap. Setelah adu mulut semalaman yang panjang, di mana si pemilik apartemen tetap keras kepala mau tidur di lantai dan menyuruh tamunya tidur di kasur. Perdebatan itulah yang membuat Hanna menang dan membawa mereka ke dalam tidur yang sampai sekarang pun belum terjaga.Sophialah yang lebih dulu siuman. Ia menggeliatkan tubuh saat matahari memancarkan kilau cerah tepat di matanya. Perlahan-lahan dibukanya mata indah itu. Terasa asing dengan suasana kamar, Sophia menyapu semua ruangan. Setelah matanya benar-benar terbuka, ia mencoba mengenali ruangan itu dan kembali mengingat apa yang terjadi. "Hanna?" Ia terlonjak. Dengan cepat Sophia menepiskan selimut tebalnya dan menunduk ke arah lantai. "Hanna, bangun!" Ia melirik jam weker di atas nakas. "Mampus! Aku terlambat." Dilihatnya Hanna menggeliat.Setelah semua mata benar-benar terbuka, Hanna pun menatap So
"Kau yakin akan tinggal di sini?" tanya Hanna.Dua wanita cantik itu kini sedang berada di apartemen yang letaknya hanya berjarak lima belas meter dari area perkatoran dan salah satunya adalah AJESIO Group. Apartemen berlantai dua puluh itu juga letaknya tak jauh dari apartemen Hanna. Jika dihitung-hitung, jarak dari apartemen Hanna ke AJESIO Group adalah dua puluh lima meter, sementara apartemen yang akan ditempati Sophia ini jaraknya lebih dekat dengan AJESIO Group.Sebenarnya Sophia ingin tinggal di apartemen yang sama dengan Hanna, namun fasilitas dan kamar yang tidak sesuai keinginan membuat Sophia memilih alternatif lain. Dan jika seandainya ia tak menemukan apartemen yang lebih dekat jaraknya dari kantor, mau tidak mau Sophia harus menempati apartemen yang baginya sempit itu."Tidak masalah, Han. Lagi pula di sini kan jaraknya lebih dekat." Sophia sedang mengatur semua barang-barangnya. Setelah menyetujui harga de
Sophia berjalan kaki di pagi hari di kota New York yang cerah menuju kantornya. Wajah cantiknya berseri dan rambut pirangnya yang dikuncir kuda berkibar karena terkena angin.Ketika ia sedang berjalan sambil menatap ponsel, tiba-tiba saja sebuah mobil sedan hitam melaju dan melindas air yang tergenang di jalan.Byur!!"Wei!" Cipratan air membasahi kemeja putih dan rok hitam ketat yang menempel di tubuh seksinya. "Dasar brengsek!"Tiba-tiba saja mobil itu berhenti. Tapi hal itu tidak membuat Sophia terintimidasi. Sikap berani dan galaknya membuat ia tak mundur untuk menghadapi si pemilik mobil dan menunggunya untuk keluar.Sejurus kemudian pintu bagian kemudi terbuka dan seseorang keluar untuk membuka pintu bagian penumpang. Dilihatnya seorang pria tinggi dan bertubuh kekar dalam balutan jas hitam yang mewa
Dengan wajah pucat dan tubuh gemetar Sophia berjalan menuju lift. Pikiran yang diselimuti bayang-bayang sang atasan akan mengamuk membuatnya lupa bahwa liftnya rusak. "Sial! Kenapa sih hari ini apes sekali," gerutunya. Mau tidak mau Sophia pun harus melewati tangga darurat untuk ke dua kali. Tapi naik-turun tangga berkali-kali dari lantai lima ke lantai satu lebih terasa menyenangkan dari pada membayangkan wajah Aaron yang brengsek itu.Begitu tiba di lantai dasar, Sophia berhenti di meja cuztomer service untuk menstabilkan napasnya."Ibu Sophia kenapa? Ibu habis olahraga, ya? tanya gadis yang merupakan cuztomer service di G2 itu.Sophia melotot. "Memangnya kau tidak tahu kalau liftnya rusak?""Rusak? Masa sih, Bu? Barusan ada karyawan marketing yang turun pake lift lho, Bu."Satpam yang kebetulan berdiri
Tak terasa hari sudah sore. Alarm yang menunjukkan pukul 16.00 di ponsel Sophia pun sudah berbunyi. Ia sengaja memasang alarm, karena kalau sudah berkutat dengan pekerjaan, Sophia suka lupa waktu dan ujung-ujung keluar kantor langit sudah gelap.Gadis yang usianya 22 tahun itu baru 5 bulan bergabung di AJESIO Group. Saat pengumumam kelulusan sudah diberitakan oleh pihak kampus, iseng-iseng Sophia mengajukan permohonan pekerjaan di beberapa perusahan dan ternyata tak menunggu berapa lama, ia dihubungi oleh pihak AJESIO Group dan memberitahukan bahwa ia di terima.Meski masih sangat muda dan yang paling muda di antara para karyawan yang lain, tapi disiplin dan integritas Sophia tidak main-main. Sifat yang baik namun tegas itu turun dari almarhum sang ibu. Cathy selalu menegaskan padanya, "Jika kau ingin sukses dan kaya seperti Mami, kau harus disiplin dalam segala hal. Kau juga harus tegas dan keras untuk menjadi
"Kau yakin akan tinggal di sini?" tanya Hanna.Dua wanita cantik itu kini sedang berada di apartemen yang letaknya hanya berjarak lima belas meter dari area perkatoran dan salah satunya adalah AJESIO Group. Apartemen berlantai dua puluh itu juga letaknya tak jauh dari apartemen Hanna. Jika dihitung-hitung, jarak dari apartemen Hanna ke AJESIO Group adalah dua puluh lima meter, sementara apartemen yang akan ditempati Sophia ini jaraknya lebih dekat dengan AJESIO Group.Sebenarnya Sophia ingin tinggal di apartemen yang sama dengan Hanna, namun fasilitas dan kamar yang tidak sesuai keinginan membuat Sophia memilih alternatif lain. Dan jika seandainya ia tak menemukan apartemen yang lebih dekat jaraknya dari kantor, mau tidak mau Sophia harus menempati apartemen yang baginya sempit itu."Tidak masalah, Han. Lagi pula di sini kan jaraknya lebih dekat." Sophia sedang mengatur semua barang-barangnya. Setelah menyetujui harga de
Keesokan paginya saat matahari sudah tinggi dan membias jendela-jendela apartemen, Sophia dan Hanna masih terlelap. Setelah adu mulut semalaman yang panjang, di mana si pemilik apartemen tetap keras kepala mau tidur di lantai dan menyuruh tamunya tidur di kasur. Perdebatan itulah yang membuat Hanna menang dan membawa mereka ke dalam tidur yang sampai sekarang pun belum terjaga.Sophialah yang lebih dulu siuman. Ia menggeliatkan tubuh saat matahari memancarkan kilau cerah tepat di matanya. Perlahan-lahan dibukanya mata indah itu. Terasa asing dengan suasana kamar, Sophia menyapu semua ruangan. Setelah matanya benar-benar terbuka, ia mencoba mengenali ruangan itu dan kembali mengingat apa yang terjadi. "Hanna?" Ia terlonjak. Dengan cepat Sophia menepiskan selimut tebalnya dan menunduk ke arah lantai. "Hanna, bangun!" Ia melirik jam weker di atas nakas. "Mampus! Aku terlambat." Dilihatnya Hanna menggeliat.Setelah semua mata benar-benar terbuka, Hanna pun menatap So
"Sudah.""Kalau begitu, berikan pada mami. Biar mami yang akan memberikannya pada ayahmu."Sophia membalikan tubuhnya menghadapi Betty. "Dokumen ini tidak akan kuberikan padamu atau pada siapa pun. Dokumen ini milik Mommy bukan Daddy.""Tapi, Sophia...." Belum sempat menyelesaikan perkataannya Sophia justru sudah berjalan meninggalkannya. Betty kesal. "Lihat saja nanti, apa yang akan kulakukan padamu!"Angelica mendekatinya. "Memangnya dokumen apa itu, Mi?"Tatapan Betty beralih ke wajah putrinya. "Itu sertifikat rumah ini. Kita harus merebutnya dari Sophia.""Kenapa Mami tidak menyuruh papi saja untuk membujuknya? Siapa tahu kalau papi yang memintanya dia akan....""Kau tidak dengar apa yang dia katakan tadi? Itu milik Cathy," sergah Betty. Ia mengalihkan pandangan lalu bergerak ke pagar tangga sambil memandang ke arah pintu kamar di lantai bawah. "Lagipula kalau kita beritahu papi soal itu, rencana kita akan gag
Di dalam kamar sambil memasukan semua pakaiannya ke dalam koper, air mata Sophia mengalir terus tanpa henti. Kata-kata John yang membentaknya di hadapan ibu dan saudara tirinya membuat Sophia malu, apalagi sampai menamparnya. Tega benar John melakukan itu padanya.Mata Shopia menangkap kotak merah yang masih dililit pita berwarna kuning keemasan. Dengan hati sedih ia mendudukan dirinya di atas ranjang lalu mengambil dan memeluk kotak itu begitu erat. "Mom... hikss.... aku merindukanmu, Mom.... aku ingin ikut bersamamu, Mom....hikss." Air mata Sophia semakin merebak. "Kenapa Mom pergi tidak mengajakku, Mom? Aku tidak mau tinggal di sini. Daddy sama kejamnya dengan Betty. Kenapa dia begitu padaku, Mom? Apa aku ini... hiks... apa aku bukan anak kandungnya?"Tok... Tok...Bunyi ketukan pintu mengagetkan Sophia. Dengan cepat ia menyembunyikan kotak itu ke dalam koper. "Siapa?""Ini aku."
"Mami yakin Mr. Jerr akan menyetujui permintaan itu?"Mata Betty mengarah ke belakang bahu Angelica. Tatapannya kosong. "Mami punya perjanjian dengannya. Mami yakin, Mr. Jerr pasti akan menuruti kemauan mami, seperti mami yang sudah menuruti permintaannya." Perkataan yang terlontar dari mulutnya sendiri seakan menyentakkan Betty. Ia sadar lalu menengadahkan pandangannya ke wajah Angelica. "Sudah! Kau tidak usah banyak tanya. Sekarang kau panggil si gadis malas itu dan ayahnya. Lalu ingat," katanya pelan. "jangan hardik."Dengan kesal Angelica meninggalkan ruang makan, sedangkan Betty melanjutkan menata piring dan menu yang masih harus disediakan.Di sisi lain.Tok... Tok..."Sophia? Waktunya makan malam," kata Angelica dengan suara keras.Tok... Tok..."Soph...."Clek!"Aku sudah dengar, jadi kau tak perlu mengetuk pintuku berulang-ulang," ketusnya."Maaf, aku pikir kau tidak dengar.
Di dalam kamar Sophia melepaskan tasnya lalu menghamburkan diri ke atas kasur. Bayangan akan kehidupan saat ibunya masih hidup membuat Sophia meneteskan air mata. "Mom, seandainya kau masih ada."Sophia bangkit dari kasur dan menghapus air matanya. Ia membuka lemari pakaian dan mengambil sebuah kotak berukuran sedang berwarna merah. Kotak itu adalah hadiah ulang tahun dari Cathy saat ia berumur 7 tahun.Flashback On."Apa itu untukku?" Dengan girang Sophia berlari mendekati Cathy.Wanita berambut pirang yang sama seperti Sophia itu sedang duduk di sofa dengan kotak berwarna merah di atas pangkuannya. Senyumnya melebar. "Iya, Sayang. Ini untukmu."Sophia sangat antusias. "Isinya apa, Mommy?""Isinya rahasia, Sayangku." Ia membawa Sophia ke dalam pangkuannya.
Tak terasa hari sudah sore. Alarm yang menunjukkan pukul 16.00 di ponsel Sophia pun sudah berbunyi. Ia sengaja memasang alarm, karena kalau sudah berkutat dengan pekerjaan, Sophia suka lupa waktu dan ujung-ujung keluar kantor langit sudah gelap.Gadis yang usianya 22 tahun itu baru 5 bulan bergabung di AJESIO Group. Saat pengumumam kelulusan sudah diberitakan oleh pihak kampus, iseng-iseng Sophia mengajukan permohonan pekerjaan di beberapa perusahan dan ternyata tak menunggu berapa lama, ia dihubungi oleh pihak AJESIO Group dan memberitahukan bahwa ia di terima.Meski masih sangat muda dan yang paling muda di antara para karyawan yang lain, tapi disiplin dan integritas Sophia tidak main-main. Sifat yang baik namun tegas itu turun dari almarhum sang ibu. Cathy selalu menegaskan padanya, "Jika kau ingin sukses dan kaya seperti Mami, kau harus disiplin dalam segala hal. Kau juga harus tegas dan keras untuk menjadi
Dengan wajah pucat dan tubuh gemetar Sophia berjalan menuju lift. Pikiran yang diselimuti bayang-bayang sang atasan akan mengamuk membuatnya lupa bahwa liftnya rusak. "Sial! Kenapa sih hari ini apes sekali," gerutunya. Mau tidak mau Sophia pun harus melewati tangga darurat untuk ke dua kali. Tapi naik-turun tangga berkali-kali dari lantai lima ke lantai satu lebih terasa menyenangkan dari pada membayangkan wajah Aaron yang brengsek itu.Begitu tiba di lantai dasar, Sophia berhenti di meja cuztomer service untuk menstabilkan napasnya."Ibu Sophia kenapa? Ibu habis olahraga, ya? tanya gadis yang merupakan cuztomer service di G2 itu.Sophia melotot. "Memangnya kau tidak tahu kalau liftnya rusak?""Rusak? Masa sih, Bu? Barusan ada karyawan marketing yang turun pake lift lho, Bu."Satpam yang kebetulan berdiri
Sophia berjalan kaki di pagi hari di kota New York yang cerah menuju kantornya. Wajah cantiknya berseri dan rambut pirangnya yang dikuncir kuda berkibar karena terkena angin.Ketika ia sedang berjalan sambil menatap ponsel, tiba-tiba saja sebuah mobil sedan hitam melaju dan melindas air yang tergenang di jalan.Byur!!"Wei!" Cipratan air membasahi kemeja putih dan rok hitam ketat yang menempel di tubuh seksinya. "Dasar brengsek!"Tiba-tiba saja mobil itu berhenti. Tapi hal itu tidak membuat Sophia terintimidasi. Sikap berani dan galaknya membuat ia tak mundur untuk menghadapi si pemilik mobil dan menunggunya untuk keluar.Sejurus kemudian pintu bagian kemudi terbuka dan seseorang keluar untuk membuka pintu bagian penumpang. Dilihatnya seorang pria tinggi dan bertubuh kekar dalam balutan jas hitam yang mewa