"Sudah."
"Kalau begitu, berikan pada mami. Biar mami yang akan memberikannya pada ayahmu."Sophia membalikan tubuhnya menghadapi Betty. "Dokumen ini tidak akan kuberikan padamu atau pada siapa pun. Dokumen ini milik Mommy bukan Daddy.""Tapi, Sophia...." Belum sempat menyelesaikan perkataannya Sophia justru sudah berjalan meninggalkannya. Betty kesal. "Lihat saja nanti, apa yang akan kulakukan padamu!"Angelica mendekatinya. "Memangnya dokumen apa itu, Mi?"Tatapan Betty beralih ke wajah putrinya. "Itu sertifikat rumah ini. Kita harus merebutnya dari Sophia.""Kenapa Mami tidak menyuruh papi saja untuk membujuknya? Siapa tahu kalau papi yang memintanya dia akan....""Kau tidak dengar apa yang dia katakan tadi? Itu milik Cathy," sergah Betty. Ia mengalihkan pandangan lalu bergerak ke pagar tangga sambil memandang ke arah pintu kamar di lantai bawah. "Lagipula kalau kita beritahu papi soal itu, rencana kita akan gagal."Alis Angelica mengerut menghampiri ibunya. "Rencana? Rencana apalagi, Mi?"Kepala Betty tersentak menatap Angelica. "Kita harus merebut sertifikat itu. Kita harus mengambilnya dan menjual rumah ini." Pandangannya menyapu seluruh seantero rumah. "Kita akan kaya raya, Angelica. Kita akan menjual perusahan dan rumah ini.""Mami yakin itu akan berhasil?"Betty menatapnya. "Yakin sekali.""Bagaimana caranya?"Betty berdecak. "Kita bunuh mereka."Mata Angelica terbelalak. "Membunuh? Memangnya Mami yakin bisa membunuh mereka? Apalagi sekarang gadis sialan itu sudah kabur dari rumah. Jadi, bagaimana kita bisa membunuhnya?"Betty menghadapkan tubuhnya ke tubuh Angelica. Tangannya terulur dan menyentuh kepala gadis itu dengan telunjuknya. "Makanya pakai otakmu." Ia berbalik membelakangi Angelica. "Enak saja aku akan melakukanya sendirian. Dan kalau sampai semuanya ketahuan, usaha kita selama ini berarti akan sia-sia. Kita akan di penjara.""Kalau begitu Mami akan melakukannya dengan siapa?""Mr. Jerr." Ia menatap Angelica. "Mami akan meminta bantuannya untuk melenyapkan Sophia. Sama seperti Mr. Jerr meminta mami untuk melenyapkan John."***Ting... Tong...
Sophia berdiri di depan pintu apartemen sahabatnya dengan beberapa koper yang tergeletak di lantai. Ia memaksakan diri untuk ke luar dari rumah malam ini juga. Sebenarnya ia ingin menelepon Hanna sebelumnya, tapi karena tahu sahabatnya itu akan menuntut penjelasan, jadi lebih baik ia mendatangi langsung dan akan menjelaskan semuanya di apartemen nanti.
Ting... Tong...
Clek!
Senyum Sophia melebar. "Selamat malam."
Hanna yang tampak terbangun dari tidurnya sedang mencoba menerangkan kornea matanya. Dikucek-kucek mata cokelat itu dengan punggung tangan. "Sophia?" Ia memborong semua yang ada di sekelilingnya. "Kau kabur dari rumah, ya? Apa..."
"Kau mau tidak mengijinkanku menginap di sini satu malam saja sampai aku menemukan apartemen baru?"Hanna menatap bingung. "Tapi apa yang terjadi?"
Seperti dugaan Sophia sebelumnya, sahabatnya itu akan menuntut penjelasan dan tak perduli jika dirinya masih berada di luar. Bukannya menolak, tapi Hanna kadang lupa apa yang terjadi di sekelilingnya jika sedang penasaran. "Kau tidak akan mengijinkanku masuk dulu?""Ya Tuhan, aku minta maaf." Ia bergerak membantu Sophia membawa kopernya ke dalam. Setelah koper-koper itu diletakkan di ruang tamu, Hanna menuntut penjelasan yang sedari tadi sudah membuatnya penasaran. "Apa yang terjadi? Lalu..." Matanya melihat tiga koper besar dengan warna yang berbeda juga 2 tas punggung berwarna hitam. "Apa kau ke sini jalan kaki?" Tatapannya ngeri.Sophia tertawa. "Mana bisa aku membawa semua ini sekaligus."Hanna merasa bodoh. "Baiklah. Aku akan membuat minuman dulu. Sambil minum-minum kau harus menjelaskan semuanya padaku. Kopi atau apa?" tanyanya."Jangan kopi. Kau tidak lihat jam berapa sekarang? Bisa-bisa besok rencanaku gagal karena kopi itu," kata Sophia.
Hanna melirik jam dinding. Matanya terbelalak. "Jam 02.05? Kau ke sini...." Ia menatap Sophia seakan minta penjelasan.Sophia tertawa. "Katanya mau ambil minum. Pergilah, saat kau kembali aku akan menjelaskan semuanya."Sejurus kemudian Hanna kembali dengan dua kaleng soft drink. Ia memberikan 1 kaleng soft drink rasa lemon itu kepada Sophia. "Ayo ceritakan semuanya padaku."Sophia pun menceritakaan pada Hanna awal mula saat mereka makan malam. Ia juga menceritakan kepada sahabatnya itu bahwa John telah menamparnya. Juga perdebatan yang terjadi di meja makan."Dia itu gila atau apa? Maaf, tapi aku curiga dia itu bukan ayah kandungmu, Sophia. Karena tidak ada ayah kandung sejahat itu pada putrinya sendiri. Apalagi sampai mempermalukanmu di depan ibu dan saudara tirimu.""Aku juga berpikir begitu, Han. Tapi aku tidak punya keluarga lagi selain dia. Seandainya ada sepupu, tante atau ponakan yang bisa memberikanku informasi tentang keluargaku, aku pasti akan tahu siapa dia sebenarnya.""Apa ibumu tidak pernah menceritakan tentang keluarganya padamu?"Sophia menatapnya sambil menggeleng. "Mom tidak pernah menceritakan apa-apa soal keluarganya. Bahkan sejak kecil pun yang aku tahu kami hanya hidup bertiga: Mom, Dad dan aku. Tidak pernah ada kerabat atau keluarga, maupun sahabat mereka yang sering berkunjung ke rumah. Dan hal itu membuatku pesaran. Aku ingin sekali mencari tahu masa lalu mereka. Apa menurutmu mereka menyembunyikan sesuatu dariku?"
"Apa yang membuatmu berpikir begitu?"Sophia dan Hanna sudah bersahabat sejak mereka duduk di bangku TK. Saat SD, SMP bahkan SMA pun mereka mengambil sekolah yang sama. Namun saat masuk Universitas, rencana mereka berdua untik masuk ke Akademi Kedokteran terpaksa harus dibatalkan. Ibu tiri Sophia berhasil menghasut John agar tidak mengijinkannya, sedangkan Hanna sendiri tidak bisa karena biayanya terlalu mahal. Jadi, mereka pun memutuskan untuk masuk ke Universitas swasta yang sama, tapi dengan fakultas yang berbeda.Kedekatan mereka itulah yang membuat mereka saling terbuka satu sama lain. "Mom memberikanku kotak saat aku berusia 7 tahun. Kotak itu adalah hadiah ulang tahun mommy untukku.""Kotak? Isinya apa?" Nadanya penasaran.Sophia menggeleng. "Aku belum membukanya."Hanna terkejut. "Kenapa?""Itulah yang membuatku penasaran, Han. Mom menyuruhku membuka kotak itu ketika usiaku 23 tahun.""Apa?!" pekiknya. "23 tahun? Lalu kotak itu masih ada?" Sophia mengangguk. "Jadi kau menyimpan kotak itu selama 15 tahun?""Ya. Kotak itu mom berikan padaku beberapa hari sebelum dia meninggal.""Aku jadi berpikir kalau ibumu pasti menyimpan sesuatu, Sophia. Dan petunjuk itu mungkin ada di kotak itu. Tapi kenapa harus menunggu selama itu harus membukanya?""Entalah, Han. Saat memberikan kotak itu mom juga berpesan, bahwa aku tidak boleh berpacaran sebelum usiaku 23 tahun."Alis Hanna semakin berkerut. "Kenapa bisa begitu, ya? Tapi aku yakin, ini pasti ada hubungannya dengan kotak itu. Apa ayahmu tahu soal kotak itu?"Sophia menenggak minumannya sekali teguk. "Orang lain yang tahu soal kotak itu hanya kamu. Mom melarangku memberitahukan pada orang lain termasuk dad."Hanna terkejut. "Benarkah? Padahalkan dia ayahmu.""Ya, begitulah. Bahkan saat setelah memberikan kotak itu padaku, mom menyuruhku menyimpan setifikat rumah itu. Kata mom rumah itu miliknya dan jangan pernah memberikan sertifikat itu pada siapa pun termasuk daddy."Hanna berdiri. Ia tampak berpikir keras demi memecahkan misteri yang terjadi di dalam kehidupan Sophia. Sambil mondar-mandir di depan sahabatnya, ia berkata, "Aku rasa ayah dan ibumu sudah bermasalah sejak dulu. Dan ini semua pasti ada sangkut puatnya dengan kotak itu dan harta kalian." Ia berhenti menatap Sophia. "Apa dokumen kepemilikan perusahaan ada padamu juga?"
"Tidak ada. Mom tidak bilang apa-apa soal perusahan itu. Dan seingatku, dulu itu bukan perusahan, melainkan 5 toko perhiasan besar yang menjadi usaha mom. Tapi setelah mom meninggal, dad menjual 5 toko itu lalu uangnya dipakai untuk membangun perusahan properti. Dan detelah itu aku sudah tidak tahu."Hanna mendekati dan duduk di samping Sophia. Ia merengkuh lalu memeluk sahabatnya itu. "Kau benar, aku rasa ibu dan ayahmu punya masa lalu yang muram. Maaf, bukan maksudku mencampuri urusanmu, tapi aku akan selalu ada untuk membantumu, Sophia."Sophia membalas pelukan Hanna. "Hanya kau satu-satunya orang yang kumiliki di dunia ini sekarang, Han. Terima kasih banyak.""Sekarang tidurlah. Besok aku akan menemanimu mencari apartemen kosong."Continued____Keesokan paginya saat matahari sudah tinggi dan membias jendela-jendela apartemen, Sophia dan Hanna masih terlelap. Setelah adu mulut semalaman yang panjang, di mana si pemilik apartemen tetap keras kepala mau tidur di lantai dan menyuruh tamunya tidur di kasur. Perdebatan itulah yang membuat Hanna menang dan membawa mereka ke dalam tidur yang sampai sekarang pun belum terjaga.Sophialah yang lebih dulu siuman. Ia menggeliatkan tubuh saat matahari memancarkan kilau cerah tepat di matanya. Perlahan-lahan dibukanya mata indah itu. Terasa asing dengan suasana kamar, Sophia menyapu semua ruangan. Setelah matanya benar-benar terbuka, ia mencoba mengenali ruangan itu dan kembali mengingat apa yang terjadi. "Hanna?" Ia terlonjak. Dengan cepat Sophia menepiskan selimut tebalnya dan menunduk ke arah lantai. "Hanna, bangun!" Ia melirik jam weker di atas nakas. "Mampus! Aku terlambat." Dilihatnya Hanna menggeliat.Setelah semua mata benar-benar terbuka, Hanna pun menatap So
"Kau yakin akan tinggal di sini?" tanya Hanna.Dua wanita cantik itu kini sedang berada di apartemen yang letaknya hanya berjarak lima belas meter dari area perkatoran dan salah satunya adalah AJESIO Group. Apartemen berlantai dua puluh itu juga letaknya tak jauh dari apartemen Hanna. Jika dihitung-hitung, jarak dari apartemen Hanna ke AJESIO Group adalah dua puluh lima meter, sementara apartemen yang akan ditempati Sophia ini jaraknya lebih dekat dengan AJESIO Group.Sebenarnya Sophia ingin tinggal di apartemen yang sama dengan Hanna, namun fasilitas dan kamar yang tidak sesuai keinginan membuat Sophia memilih alternatif lain. Dan jika seandainya ia tak menemukan apartemen yang lebih dekat jaraknya dari kantor, mau tidak mau Sophia harus menempati apartemen yang baginya sempit itu."Tidak masalah, Han. Lagi pula di sini kan jaraknya lebih dekat." Sophia sedang mengatur semua barang-barangnya. Setelah menyetujui harga de
Sophia berjalan kaki di pagi hari di kota New York yang cerah menuju kantornya. Wajah cantiknya berseri dan rambut pirangnya yang dikuncir kuda berkibar karena terkena angin.Ketika ia sedang berjalan sambil menatap ponsel, tiba-tiba saja sebuah mobil sedan hitam melaju dan melindas air yang tergenang di jalan.Byur!!"Wei!" Cipratan air membasahi kemeja putih dan rok hitam ketat yang menempel di tubuh seksinya. "Dasar brengsek!"Tiba-tiba saja mobil itu berhenti. Tapi hal itu tidak membuat Sophia terintimidasi. Sikap berani dan galaknya membuat ia tak mundur untuk menghadapi si pemilik mobil dan menunggunya untuk keluar.Sejurus kemudian pintu bagian kemudi terbuka dan seseorang keluar untuk membuka pintu bagian penumpang. Dilihatnya seorang pria tinggi dan bertubuh kekar dalam balutan jas hitam yang mewa
Dengan wajah pucat dan tubuh gemetar Sophia berjalan menuju lift. Pikiran yang diselimuti bayang-bayang sang atasan akan mengamuk membuatnya lupa bahwa liftnya rusak. "Sial! Kenapa sih hari ini apes sekali," gerutunya. Mau tidak mau Sophia pun harus melewati tangga darurat untuk ke dua kali. Tapi naik-turun tangga berkali-kali dari lantai lima ke lantai satu lebih terasa menyenangkan dari pada membayangkan wajah Aaron yang brengsek itu.Begitu tiba di lantai dasar, Sophia berhenti di meja cuztomer service untuk menstabilkan napasnya."Ibu Sophia kenapa? Ibu habis olahraga, ya? tanya gadis yang merupakan cuztomer service di G2 itu.Sophia melotot. "Memangnya kau tidak tahu kalau liftnya rusak?""Rusak? Masa sih, Bu? Barusan ada karyawan marketing yang turun pake lift lho, Bu."Satpam yang kebetulan berdiri
Tak terasa hari sudah sore. Alarm yang menunjukkan pukul 16.00 di ponsel Sophia pun sudah berbunyi. Ia sengaja memasang alarm, karena kalau sudah berkutat dengan pekerjaan, Sophia suka lupa waktu dan ujung-ujung keluar kantor langit sudah gelap.Gadis yang usianya 22 tahun itu baru 5 bulan bergabung di AJESIO Group. Saat pengumumam kelulusan sudah diberitakan oleh pihak kampus, iseng-iseng Sophia mengajukan permohonan pekerjaan di beberapa perusahan dan ternyata tak menunggu berapa lama, ia dihubungi oleh pihak AJESIO Group dan memberitahukan bahwa ia di terima.Meski masih sangat muda dan yang paling muda di antara para karyawan yang lain, tapi disiplin dan integritas Sophia tidak main-main. Sifat yang baik namun tegas itu turun dari almarhum sang ibu. Cathy selalu menegaskan padanya, "Jika kau ingin sukses dan kaya seperti Mami, kau harus disiplin dalam segala hal. Kau juga harus tegas dan keras untuk menjadi
Di dalam kamar Sophia melepaskan tasnya lalu menghamburkan diri ke atas kasur. Bayangan akan kehidupan saat ibunya masih hidup membuat Sophia meneteskan air mata. "Mom, seandainya kau masih ada."Sophia bangkit dari kasur dan menghapus air matanya. Ia membuka lemari pakaian dan mengambil sebuah kotak berukuran sedang berwarna merah. Kotak itu adalah hadiah ulang tahun dari Cathy saat ia berumur 7 tahun.Flashback On."Apa itu untukku?" Dengan girang Sophia berlari mendekati Cathy.Wanita berambut pirang yang sama seperti Sophia itu sedang duduk di sofa dengan kotak berwarna merah di atas pangkuannya. Senyumnya melebar. "Iya, Sayang. Ini untukmu."Sophia sangat antusias. "Isinya apa, Mommy?""Isinya rahasia, Sayangku." Ia membawa Sophia ke dalam pangkuannya.
"Mami yakin Mr. Jerr akan menyetujui permintaan itu?"Mata Betty mengarah ke belakang bahu Angelica. Tatapannya kosong. "Mami punya perjanjian dengannya. Mami yakin, Mr. Jerr pasti akan menuruti kemauan mami, seperti mami yang sudah menuruti permintaannya." Perkataan yang terlontar dari mulutnya sendiri seakan menyentakkan Betty. Ia sadar lalu menengadahkan pandangannya ke wajah Angelica. "Sudah! Kau tidak usah banyak tanya. Sekarang kau panggil si gadis malas itu dan ayahnya. Lalu ingat," katanya pelan. "jangan hardik."Dengan kesal Angelica meninggalkan ruang makan, sedangkan Betty melanjutkan menata piring dan menu yang masih harus disediakan.Di sisi lain.Tok... Tok..."Sophia? Waktunya makan malam," kata Angelica dengan suara keras.Tok... Tok..."Soph...."Clek!"Aku sudah dengar, jadi kau tak perlu mengetuk pintuku berulang-ulang," ketusnya."Maaf, aku pikir kau tidak dengar.
Di dalam kamar sambil memasukan semua pakaiannya ke dalam koper, air mata Sophia mengalir terus tanpa henti. Kata-kata John yang membentaknya di hadapan ibu dan saudara tirinya membuat Sophia malu, apalagi sampai menamparnya. Tega benar John melakukan itu padanya.Mata Shopia menangkap kotak merah yang masih dililit pita berwarna kuning keemasan. Dengan hati sedih ia mendudukan dirinya di atas ranjang lalu mengambil dan memeluk kotak itu begitu erat. "Mom... hikss.... aku merindukanmu, Mom.... aku ingin ikut bersamamu, Mom....hikss." Air mata Sophia semakin merebak. "Kenapa Mom pergi tidak mengajakku, Mom? Aku tidak mau tinggal di sini. Daddy sama kejamnya dengan Betty. Kenapa dia begitu padaku, Mom? Apa aku ini... hiks... apa aku bukan anak kandungnya?"Tok... Tok...Bunyi ketukan pintu mengagetkan Sophia. Dengan cepat ia menyembunyikan kotak itu ke dalam koper. "Siapa?""Ini aku."
"Kau yakin akan tinggal di sini?" tanya Hanna.Dua wanita cantik itu kini sedang berada di apartemen yang letaknya hanya berjarak lima belas meter dari area perkatoran dan salah satunya adalah AJESIO Group. Apartemen berlantai dua puluh itu juga letaknya tak jauh dari apartemen Hanna. Jika dihitung-hitung, jarak dari apartemen Hanna ke AJESIO Group adalah dua puluh lima meter, sementara apartemen yang akan ditempati Sophia ini jaraknya lebih dekat dengan AJESIO Group.Sebenarnya Sophia ingin tinggal di apartemen yang sama dengan Hanna, namun fasilitas dan kamar yang tidak sesuai keinginan membuat Sophia memilih alternatif lain. Dan jika seandainya ia tak menemukan apartemen yang lebih dekat jaraknya dari kantor, mau tidak mau Sophia harus menempati apartemen yang baginya sempit itu."Tidak masalah, Han. Lagi pula di sini kan jaraknya lebih dekat." Sophia sedang mengatur semua barang-barangnya. Setelah menyetujui harga de
Keesokan paginya saat matahari sudah tinggi dan membias jendela-jendela apartemen, Sophia dan Hanna masih terlelap. Setelah adu mulut semalaman yang panjang, di mana si pemilik apartemen tetap keras kepala mau tidur di lantai dan menyuruh tamunya tidur di kasur. Perdebatan itulah yang membuat Hanna menang dan membawa mereka ke dalam tidur yang sampai sekarang pun belum terjaga.Sophialah yang lebih dulu siuman. Ia menggeliatkan tubuh saat matahari memancarkan kilau cerah tepat di matanya. Perlahan-lahan dibukanya mata indah itu. Terasa asing dengan suasana kamar, Sophia menyapu semua ruangan. Setelah matanya benar-benar terbuka, ia mencoba mengenali ruangan itu dan kembali mengingat apa yang terjadi. "Hanna?" Ia terlonjak. Dengan cepat Sophia menepiskan selimut tebalnya dan menunduk ke arah lantai. "Hanna, bangun!" Ia melirik jam weker di atas nakas. "Mampus! Aku terlambat." Dilihatnya Hanna menggeliat.Setelah semua mata benar-benar terbuka, Hanna pun menatap So
"Sudah.""Kalau begitu, berikan pada mami. Biar mami yang akan memberikannya pada ayahmu."Sophia membalikan tubuhnya menghadapi Betty. "Dokumen ini tidak akan kuberikan padamu atau pada siapa pun. Dokumen ini milik Mommy bukan Daddy.""Tapi, Sophia...." Belum sempat menyelesaikan perkataannya Sophia justru sudah berjalan meninggalkannya. Betty kesal. "Lihat saja nanti, apa yang akan kulakukan padamu!"Angelica mendekatinya. "Memangnya dokumen apa itu, Mi?"Tatapan Betty beralih ke wajah putrinya. "Itu sertifikat rumah ini. Kita harus merebutnya dari Sophia.""Kenapa Mami tidak menyuruh papi saja untuk membujuknya? Siapa tahu kalau papi yang memintanya dia akan....""Kau tidak dengar apa yang dia katakan tadi? Itu milik Cathy," sergah Betty. Ia mengalihkan pandangan lalu bergerak ke pagar tangga sambil memandang ke arah pintu kamar di lantai bawah. "Lagipula kalau kita beritahu papi soal itu, rencana kita akan gag
Di dalam kamar sambil memasukan semua pakaiannya ke dalam koper, air mata Sophia mengalir terus tanpa henti. Kata-kata John yang membentaknya di hadapan ibu dan saudara tirinya membuat Sophia malu, apalagi sampai menamparnya. Tega benar John melakukan itu padanya.Mata Shopia menangkap kotak merah yang masih dililit pita berwarna kuning keemasan. Dengan hati sedih ia mendudukan dirinya di atas ranjang lalu mengambil dan memeluk kotak itu begitu erat. "Mom... hikss.... aku merindukanmu, Mom.... aku ingin ikut bersamamu, Mom....hikss." Air mata Sophia semakin merebak. "Kenapa Mom pergi tidak mengajakku, Mom? Aku tidak mau tinggal di sini. Daddy sama kejamnya dengan Betty. Kenapa dia begitu padaku, Mom? Apa aku ini... hiks... apa aku bukan anak kandungnya?"Tok... Tok...Bunyi ketukan pintu mengagetkan Sophia. Dengan cepat ia menyembunyikan kotak itu ke dalam koper. "Siapa?""Ini aku."
"Mami yakin Mr. Jerr akan menyetujui permintaan itu?"Mata Betty mengarah ke belakang bahu Angelica. Tatapannya kosong. "Mami punya perjanjian dengannya. Mami yakin, Mr. Jerr pasti akan menuruti kemauan mami, seperti mami yang sudah menuruti permintaannya." Perkataan yang terlontar dari mulutnya sendiri seakan menyentakkan Betty. Ia sadar lalu menengadahkan pandangannya ke wajah Angelica. "Sudah! Kau tidak usah banyak tanya. Sekarang kau panggil si gadis malas itu dan ayahnya. Lalu ingat," katanya pelan. "jangan hardik."Dengan kesal Angelica meninggalkan ruang makan, sedangkan Betty melanjutkan menata piring dan menu yang masih harus disediakan.Di sisi lain.Tok... Tok..."Sophia? Waktunya makan malam," kata Angelica dengan suara keras.Tok... Tok..."Soph...."Clek!"Aku sudah dengar, jadi kau tak perlu mengetuk pintuku berulang-ulang," ketusnya."Maaf, aku pikir kau tidak dengar.
Di dalam kamar Sophia melepaskan tasnya lalu menghamburkan diri ke atas kasur. Bayangan akan kehidupan saat ibunya masih hidup membuat Sophia meneteskan air mata. "Mom, seandainya kau masih ada."Sophia bangkit dari kasur dan menghapus air matanya. Ia membuka lemari pakaian dan mengambil sebuah kotak berukuran sedang berwarna merah. Kotak itu adalah hadiah ulang tahun dari Cathy saat ia berumur 7 tahun.Flashback On."Apa itu untukku?" Dengan girang Sophia berlari mendekati Cathy.Wanita berambut pirang yang sama seperti Sophia itu sedang duduk di sofa dengan kotak berwarna merah di atas pangkuannya. Senyumnya melebar. "Iya, Sayang. Ini untukmu."Sophia sangat antusias. "Isinya apa, Mommy?""Isinya rahasia, Sayangku." Ia membawa Sophia ke dalam pangkuannya.
Tak terasa hari sudah sore. Alarm yang menunjukkan pukul 16.00 di ponsel Sophia pun sudah berbunyi. Ia sengaja memasang alarm, karena kalau sudah berkutat dengan pekerjaan, Sophia suka lupa waktu dan ujung-ujung keluar kantor langit sudah gelap.Gadis yang usianya 22 tahun itu baru 5 bulan bergabung di AJESIO Group. Saat pengumumam kelulusan sudah diberitakan oleh pihak kampus, iseng-iseng Sophia mengajukan permohonan pekerjaan di beberapa perusahan dan ternyata tak menunggu berapa lama, ia dihubungi oleh pihak AJESIO Group dan memberitahukan bahwa ia di terima.Meski masih sangat muda dan yang paling muda di antara para karyawan yang lain, tapi disiplin dan integritas Sophia tidak main-main. Sifat yang baik namun tegas itu turun dari almarhum sang ibu. Cathy selalu menegaskan padanya, "Jika kau ingin sukses dan kaya seperti Mami, kau harus disiplin dalam segala hal. Kau juga harus tegas dan keras untuk menjadi
Dengan wajah pucat dan tubuh gemetar Sophia berjalan menuju lift. Pikiran yang diselimuti bayang-bayang sang atasan akan mengamuk membuatnya lupa bahwa liftnya rusak. "Sial! Kenapa sih hari ini apes sekali," gerutunya. Mau tidak mau Sophia pun harus melewati tangga darurat untuk ke dua kali. Tapi naik-turun tangga berkali-kali dari lantai lima ke lantai satu lebih terasa menyenangkan dari pada membayangkan wajah Aaron yang brengsek itu.Begitu tiba di lantai dasar, Sophia berhenti di meja cuztomer service untuk menstabilkan napasnya."Ibu Sophia kenapa? Ibu habis olahraga, ya? tanya gadis yang merupakan cuztomer service di G2 itu.Sophia melotot. "Memangnya kau tidak tahu kalau liftnya rusak?""Rusak? Masa sih, Bu? Barusan ada karyawan marketing yang turun pake lift lho, Bu."Satpam yang kebetulan berdiri
Sophia berjalan kaki di pagi hari di kota New York yang cerah menuju kantornya. Wajah cantiknya berseri dan rambut pirangnya yang dikuncir kuda berkibar karena terkena angin.Ketika ia sedang berjalan sambil menatap ponsel, tiba-tiba saja sebuah mobil sedan hitam melaju dan melindas air yang tergenang di jalan.Byur!!"Wei!" Cipratan air membasahi kemeja putih dan rok hitam ketat yang menempel di tubuh seksinya. "Dasar brengsek!"Tiba-tiba saja mobil itu berhenti. Tapi hal itu tidak membuat Sophia terintimidasi. Sikap berani dan galaknya membuat ia tak mundur untuk menghadapi si pemilik mobil dan menunggunya untuk keluar.Sejurus kemudian pintu bagian kemudi terbuka dan seseorang keluar untuk membuka pintu bagian penumpang. Dilihatnya seorang pria tinggi dan bertubuh kekar dalam balutan jas hitam yang mewa