Vivian mereguk ludahnya.“Dia…dia memaksaku untuk wawancara, Thomas,” tukas Vivian dengan tersendat.Thomas memiringkan kepalanya dengan dahi mengernyit ke arah Alex.“Memaksa untuk wawancara?” ulang Alex dingin.Nadi Vivian berdenyut kencang sekarang. Jangan bilang Alex akan mengacaukan semuanya!“Ya,” Vivian berusaha tenang, mendongakkan dagunya. “Kamu memaksaku untuk melakukan wawancara eksklusif terkait kehamilanku. Maaf, tapi aku belum bisa membeberkannya secara rinci. Lagi pula, kita sedang di tengah pesta.”Alex berdecak pelan. ‘Pintar sekali dia mencari alasan.’
“Ibu…” Kirana memeluk Ratna dengan erat, menghirup dalam-dalam wangi khas ibunya yang sudah lama dia rindukan.Terakhir Kirana bertemu Ratna, wanita setengah baya itu terbaring tidak berdaya di IGD.“Sayangku…” Ratna mengusap punggung putri kesayangannya itu. Lantas, mereka saling bertatapan penuh haru.“Aku senang keadaan Ibu membaik. Lihat, Ibu bisa tersenyum sekarang,” Kirana merapikan beberapa helai rambut Ratna yang mencuat.“Semua berkat kamu, Nak. Tapi kenapa wajahmu pucat? Kamu sakit?” Kirana menggeleng. Sebenarnya dia masih lemas. Pagi tadi dia dilanda morning sickness, namun dia tidak bisa menunggu lama. Dia sangat merindukan ibunya. “Sebenarnya…aku sedang hamil muda, Bu…”“Be-benarkah? Astaga…”Kirana tersenyum tipis. “Satu per satu kesepakatan kontrak itu sudah kupenuhi, Bu. Jadi, sekarang Ibu tenang saja dan fokus pada penyembuhan kanker Ibu. Semua biaya biar aku yang tanggung.”Namun binar mata Ratna meredup. “Nak, Ibu merasa begitu bersalah. Tidak seharusnya kamu menj
“Ratna!” Mata Salim melotot. “Jaga ucapanmu!”Kirana nampak tertegun. “A-Apa maksud, Ibu?”Ratna mengurut dadanya. Tubuh wanita itu sedikit goyah. Dengan cepat, Kirana memapah ibunya agar tidak tersungkur.“Kamu boleh membenciku, Ratna. Tapi jangan mengatakan kebohongan seperti itu pada putriku. Walau bagaimanapun, dia darah dagingku sendiri!” Salim berujar marah. “Kirana dan Romi adalah anak-anakku, anak-anak kita.”Ratna menarik napasnya pelan-pelan. Kali ini, dia tidak membalas ucapan suaminya yang brengsek itu.Lantas, Salim memalingkan pandangannya ke arah Kirana. Dia pun memohon dengan iba. “Tolong Bapak, Kirana…sekali ini saja…”
“Thomas!!! Dasar brengsek!”Jeritan Vivian seakan mengguncang keheningan malam. Kedua kelopak mata Kirana membelalak dengan dada yang terus berdebar kencang.“Astaga…” dia beringsut, bersandar di kepala ranjang. Kamarnya dingin, tapi pelipisnya sedikit berkeringat.Tidak ada Thomas, maupun Vivian. Namun, sentuhan Thomas terasa begitu nyata, ciumannya, deru napasnya…Bahkan kata-kata Thomas yang bilang mencintainya itu masih terngiang di telinganya.Lantas, jeritan Vivian membuayarkan segalanya. Mimpi yang tadinya indah, berakhir buruk.Tok, tok, tok.Suara ketukan itu membuat Kirana terkesiap
“Kita harus melakukannya malam ini.”Seketika Kirana tercekat mendengar ucapan pria di hadapannya itu. Maksudnya, hubungan suami-istri? Dadanya terasa mau meledak."I--itu...""Kamu lupa tujuan pernikahan ini?” Thomas mendengus heran sambil menaikkan satu alis tebalnya. “Tidak, Tuan. Itu bagian dari kontrak. Jadi, saya harus siap melaksanakannya,” balas Kirana cepat.Ya, semua demi 5 miliar. Kirana bersedia menerima penawaran gila ini dari ibu Thomas karena terdesak utang yang dibuat oleh adik laki-lakinya.Juga, demi pengobatan kanker tulang untuk sang ibu.Kalau tidak, Kirana jelas tak mau jadi yang kedua dari pria ini.“Baguslah,” balas Thomas acuh, membuka kancing baju tidurnya satu per satu.Kedua bola mata Kirana membulat.Secepat inikah? Lantas, apa yang harus dia lakukan? Membuka bajunya sendiri atau bagaimana?!Astaga, dia merasa bodoh soal ini, hingga malah mematung begitu saja melihat Thomas mulai menanggalkan pakaiannya.Pria itu berdecak heran. “Kenapa kamu masih bengo
Setiap kata yang keluar dari Vivian, menusuk hati Kirana.Walau dia sudah mengira jika istri pertama Thomas itu tidak menerima dirinya sebagai istri kedua, rasanya Kirana tetap saja sakit hati.Dia bahkan ingin berteriak, mengapa hanya dia yang disalahkan?Apa karena dia menerima 5 miliar? Tapi apakah itu salah setelah dia menggadaikan hidup dan harga diri?Itu bahkan tak sepadan!Jika bukan demi keluarganya....“Paham?” sentak Vivian menyadarkan Kirana dari lamunan.Gadis itu sontak mengangguk. “Paham, Nyonya.”Tak ada lagi yang bisa dia lakukan, bukan? “Astaga, sekarang saja aku sudah mual melihatmu,” ucap Vivian lagi, "Ingat! Mama mertuaku mungkin menginginkanmu, tapi jangan pernah bermimpi lebih. Asal kamu tahu, keturunan tidaklah penting untukku kalau bukan karena reputasi keluarga ini.” Lagi, Kirana hanya bisa tertunduk. Dia tidak menyangka hari-hari pertamanya di kediaman Adijaya dimulai dengan ancaman langsung dari istri pertama Thomas.“Saya tahu posisi saya, Nyonya Vivian
“Ambilah. Aku tahu hidupmu sulit,” tukas Melinda ketika mereka ada di ruang baca kemarin, sesaat setelah Thomas pergi. “Pergunakan uang itu sebaik-baiknya. Tapi ingat, jangan pernah coba kabur dari rumah ini.”Kirana mengangguk. Perlahan tangannya meraih selembar cek yang dijulurkan Melinda.Ditatapnya selembar cek di tangannya, hatinya campur aduk antara lega dan juga kesal.Lima ratus juta rupiah. Mata Kirana mengerjap-ngerjap memandangi nominalnya. Jumlahnya bahkan lebih banyak dari yang dimintanya.Akhirnya, Melinda memberikan cek itu meskipun Kirana belum memenuhi salah satu syarat dari perjanjian kontrak pernikahan tersebut—yaitu hamil.“Terima kasih, Nyonya…” Kirana tidak kuasa untuk menangis. “Saya…saya benar-benar membutuhkan uang ini…”Melinda hanya tersenyum tipis menanggapinya.Sejenak, Kirana merasa ada sesuatu yang tulus dari tatapan ibu mertuanya itu. Namun, Kirana sebaiknya tidak terlalu banyak berasumsi. Hubungan mereka hanyalah bisnis yang disamarkan dengan ikatan pe
“Tuan Thomas! Hentikan! Dia adikku!” Kirana memekik panik.Mendengarnya, pewaris Adijaya itu langsung melepaskan genggamannya di kerah baju Romi.Namun, tatapan penuh amarah yang dia layangkan pada Romi tetap tidak berubah.“Astaga, suami Mbak benar-benar gila!” Romi merengut sambil mengelus pipinya yang membiru. Pukulan Thomas seperti batu yang menghantam rahangnya.“Benar dia adikmu?” tanya Thomas, masih tidak percaya pada Kirana.“Iya, Tuan. Namanya Romi. Dia…dia ke sini untuk menjengukku,” balas Kirana cepat.“Tuan? Kenapa Mbak manggil dia Tuan? Dia kan suami, Mbak?” Romi melirik Thomas dengan penuh kebencian.Meski miskin, bukankah suami kakaknya itu harus tetap menghormatinya? Pikir Romi.Di sisi lain, mata Kirana melotot. Diberikannya peringatan pada Romi untuk diam.“Ya sudah, aku pergi dulu, Mbak.” Romi masih menatap suami kakaknya dengan sinis.“Sampaikan salamku untuk ibu dan bude,” ujar Kirana, melepas kepergian Romi.“Kamu pikir aku percaya begitu saja kalau dia adikmu?”