Vivian berdiri membelakangi jendela kamar resort yang lebar. Kedua tangannya melipat di atas dada. Cahaya yang menyorot dari luar membuat wajah perempuan itu nampak lebih gelap dari biasanya.
“Jadi, kamu benar-benar mau memerasku. Dasar brengsek. Berapa yang kamu minta?”
Alex menghela napas pelan. “Tidak. Kamu tahu aku selalu mencintaimu, Vivian. Aku enggak mungkin menghancurkan hidup orang yang paling kucintai.”
Vivian memutar kedua bola matanya. “Lantas, untuk apa kamu menguntitku, mengambil foto itu diam-diam, hah?”
“Semua ini membuatku bingung. Kamu bilang kamu mandul, tapi aku tahu kamu enggak mungkin mandul. Lalu kamu tampil di depan media, mengatakan bahwa kamu hamil. Tapi…foto itu mengatakan sebaliknya.”
Matahari sore bersinar hangat di halaman belakang kediaman Adijaya.Meja-meja dihiasi dengan bunga segar, serta dipenuhi dengan tawa riang para tamu yang datang.Semua mata tertuju pada Vivian yang nampak berseri, mengenakan gaun putih panjang yang menonjolkan perutnya.Thomas setia berdiri di sampingnya, tersenyum lebar sambil merangkul bahu istrinya.Sebuah potret pasangan sempurna yang tengah menanti buah hati mereka dengan penuh kebahagiaan.“Perutmu sudah besar banget sekarang. Sebentar lagi, kamu bakalan jadi ibu!” Ucap salah satu kerabatnya.Vivian terkekeh senang sambil mengusap perut palsunya. “Kami enggak sabar. Tinggal dua bulan lagi, kami akan menyamb
“Aku yakin kamu salah lihat, Robert,” ucap Sandra sambil mengusap kening suaminya yang berkeringat. Wanita itu lantas melirik sekilas ke arah Vivian yang berdiri di ujung ranjang.“Benar kata Mama, Pa. Enggak ada wanita hamil di rumah ini selain aku,” Vivian tersenyum tipis, berusaha menyembunyikan ketegangan di wajahnya.Kini pria itu terbaring di kamar tamu. Wajahnya masih pucat namun sakit di dadanya berangsur hilang dan napasnya sudah lebih teratur setelah menenggak obatnya.Robert menggeleng lemah.“Tapi, aku yakin…Wanita hamil itu yang menemukanku pertama kali di ruang makan,” suara Robert terdengar parau tapi lugas.“Kurasa kamu hanya berhalusinasi, Sayang. Kamu se
“Kamu mau beli kue di sini?” Thomas memperhatikan toko kue mungil yang ada di deretan ruko. “Kenapa enggak di toko kue langgananku saja? Sudah pasti enak.”Kirana menggeleng. Dia tidak mau menyusahkan Thomas dengan memutar mobilnya lebih jauh ke toko kue langganan Keluarga Adijaya yang mahal itu.Lagi pula toko kue ini searah dengan rumah ibunya.Sweet Heaven. Nama toko kue itu terpampang di depan.Begitu Kirana masuk, dia langsung disambut dengan aroma butter dan vanilla. Wangi roti-roti yang baru dipanggang di oven menggugah seleranya.Mata Kirana tertuju pada berbagai jenis kue yang ada di rak-rak kaca di depannya. Namun toko itu masih sepi, hanya dia satu-satunya pengunjung.
Keheningan menyeruak di toko kue mungil itu.Pertanyaan terakhir Riri membuat Kirana tidak berkutik. Perasaan gelisah yang luar biasa menyelimuti dirinya.Kalau rahasia ini sampai terbongkar, maka reputasi Keluarga Adijaya dan Winarta adalah taruhannya. Dirinya mungkin juga tidak akan selamat dari amukan amarah Melinda dan Vivian. Dan dia pasti merasa bersalah pada Thomas.Lalu bagaimana masa depan anak yang dikandungnya?“Kirana?” Gian memecah keheningan. “Wajahmu terlihat pucat. Kamu baik-baik saja?”Seketika Thomas bergerak ke depan Riri, yang membuat perempuan itu sedikit tersentak. Rahang Thomas nampak mengeras sambil menatapnya tajam.“Apa maksu
Kirana ingat betul, ibunya mengusir bapaknya dari rumah saat pria itu tiba-tiba datang dan meminta uang padanya.Bahkan Ratna sampai berucap untuk menceraikan dirinya dan berharap Salim tidak pernah muncul lagi di hadapan mereka.Tapi…kenapa sekarang Kirana malah mendapati bapaknya ada di sini?“Kirana?” Kantuk Salim lenyap seketika. “Masuklah, Nak.”Namun Kirana bergeming. “Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa Bapak bisa ada di sini?”Sebelum menjawab pertanyaan putrinya, pandangan Salim keburu tertuju ke perut Kirana yang besar. Menyadarinya, cepat-cepat Kirana merapatkan kardigannya.“Sepertinya Bapak lebih butuh penjelasan
Lima hari lagi Kirana akan terbang ke Singapura. Dia sudah mempersiapkan semuanya. Kopernya sudah beres dan segala dokumen perjalanan pun sudah selesai diurus.Kirana mengelus perutnya. Dua bulan lagi dia melahirkan, namun rasa takut, gugup menyergap dirinya.“Kamu enggak perlu cemas,” tukas Melinda saat mereka berada di ruangan wanita itu, seolah ibu mertuanya bisa membaca pikirannya. “Fasilitasnya lengkap dan kamu akan ditangani oleh dokter yang terpercaya.”Kirana hanya bisa manggut-manggut sambil memegang dokumen perjalanannya.“Tapi ingat, di sana kamu enggak boleh keluyuran,” tukas Melinda lagi. “Kamu hanya boleh keluar di sekitaran apartemen saja. Paham?”“Ya, Nyony
“Kirana tidak jadi melahirkan di Singapura,” tandas Melinda.Vivian melepas kacamata hitam yang bertengger di wajahnya, memperlihatkan ekspresinya yang terkejut.“Ada masalah apa, Ma? Apa bayiku baik-baik saja?” Ekspresi Vivian nampak cemas.Beberapa jam sebelum mereka berangkat ke bandara, tiba-tiba Kirana merasa perutnya kram. Akhirnya, Melinda mengantar menantunya itu ke dokter.Dokter menyarankan agar Kirana sebaiknya tidak melakukan perjalanan jauh di usia kehamilan yang memasuki bulan ke-7. Melinda nampak jengkel karena seminggu sebelumnya kehamilan Kirana baik-baik saja dan berhasil mendapatkan rekomendasi surat bepergian dari dokter.Kemungkinan besar Kirana stres, dan dia coba untuk mengabaika
Ruang bersalin begitu dingin dan Kirana terbaring di ranjang.Satu jam yang lalu dokter bilang dia sudah ada di pembukaan tujuh, artinya sebentar lagi dia bisa melahirkan.Namun penantian itu seolah tidak berujung. Detik demi detik, dirinya dihantam oleh rasa nyeri yang luar biasa.Tangan kirinya menggenggam erat sprei, sementara tangan kanannya mengusap perutnya yang terasa seperti ditusuk dari dalam.Setiap kali kontraksi datang, tubuhnya meringkuk, berusaha menahan jeritan yang menggema di dalam dirinya.Dan semua rasa sakit ini harus dia tanggung sendirian. Tidak ada siapa pun yang menemaninya.Berkali-kali, Kirana memejamkan mata, menggigit lebih keras, berharap rasa sakit in