Keheningan menyeruak di toko kue mungil itu.
Pertanyaan terakhir Riri membuat Kirana tidak berkutik. Perasaan gelisah yang luar biasa menyelimuti dirinya.
Kalau rahasia ini sampai terbongkar, maka reputasi Keluarga Adijaya dan Winarta adalah taruhannya. Dirinya mungkin juga tidak akan selamat dari amukan amarah Melinda dan Vivian. Dan dia pasti merasa bersalah pada Thomas.
Lalu bagaimana masa depan anak yang dikandungnya?
“Kirana?” Gian memecah keheningan. “Wajahmu terlihat pucat. Kamu baik-baik saja?”
Seketika Thomas bergerak ke depan Riri, yang membuat perempuan itu sedikit tersentak. Rahang Thomas nampak mengeras sambil menatapnya tajam.
“Apa maksu
Kirana ingat betul, ibunya mengusir bapaknya dari rumah saat pria itu tiba-tiba datang dan meminta uang padanya.Bahkan Ratna sampai berucap untuk menceraikan dirinya dan berharap Salim tidak pernah muncul lagi di hadapan mereka.Tapi…kenapa sekarang Kirana malah mendapati bapaknya ada di sini?“Kirana?” Kantuk Salim lenyap seketika. “Masuklah, Nak.”Namun Kirana bergeming. “Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa Bapak bisa ada di sini?”Sebelum menjawab pertanyaan putrinya, pandangan Salim keburu tertuju ke perut Kirana yang besar. Menyadarinya, cepat-cepat Kirana merapatkan kardigannya.“Sepertinya Bapak lebih butuh penjelasan
Lima hari lagi Kirana akan terbang ke Singapura. Dia sudah mempersiapkan semuanya. Kopernya sudah beres dan segala dokumen perjalanan pun sudah selesai diurus.Kirana mengelus perutnya. Dua bulan lagi dia melahirkan, namun rasa takut, gugup menyergap dirinya.“Kamu enggak perlu cemas,” tukas Melinda saat mereka berada di ruangan wanita itu, seolah ibu mertuanya bisa membaca pikirannya. “Fasilitasnya lengkap dan kamu akan ditangani oleh dokter yang terpercaya.”Kirana hanya bisa manggut-manggut sambil memegang dokumen perjalanannya.“Tapi ingat, di sana kamu enggak boleh keluyuran,” tukas Melinda lagi. “Kamu hanya boleh keluar di sekitaran apartemen saja. Paham?”“Ya, Nyony
“Kirana tidak jadi melahirkan di Singapura,” tandas Melinda.Vivian melepas kacamata hitam yang bertengger di wajahnya, memperlihatkan ekspresinya yang terkejut.“Ada masalah apa, Ma? Apa bayiku baik-baik saja?” Ekspresi Vivian nampak cemas.Beberapa jam sebelum mereka berangkat ke bandara, tiba-tiba Kirana merasa perutnya kram. Akhirnya, Melinda mengantar menantunya itu ke dokter.Dokter menyarankan agar Kirana sebaiknya tidak melakukan perjalanan jauh di usia kehamilan yang memasuki bulan ke-7. Melinda nampak jengkel karena seminggu sebelumnya kehamilan Kirana baik-baik saja dan berhasil mendapatkan rekomendasi surat bepergian dari dokter.Kemungkinan besar Kirana stres, dan dia coba untuk mengabaika
Ruang bersalin begitu dingin dan Kirana terbaring di ranjang.Satu jam yang lalu dokter bilang dia sudah ada di pembukaan tujuh, artinya sebentar lagi dia bisa melahirkan.Namun penantian itu seolah tidak berujung. Detik demi detik, dirinya dihantam oleh rasa nyeri yang luar biasa.Tangan kirinya menggenggam erat sprei, sementara tangan kanannya mengusap perutnya yang terasa seperti ditusuk dari dalam.Setiap kali kontraksi datang, tubuhnya meringkuk, berusaha menahan jeritan yang menggema di dalam dirinya.Dan semua rasa sakit ini harus dia tanggung sendirian. Tidak ada siapa pun yang menemaninya.Berkali-kali, Kirana memejamkan mata, menggigit lebih keras, berharap rasa sakit in
Wajah Kirana berkeringat. Matanya terpejam erat, napasnya berat penuh tekad.Sudah berjam-jam dia bertahan dalam rasa sakit yang luar biasa, dan kini kontraksinya semakin intens, mendekati puncak.Di balik masker yang menutupi sebagian wajahnya, Thomas berdiri di samping istri keduanya. Matanya tidak pernah lepas dari Kirana, mata yang memandangnya penuh perhatian sekaligus kecemasan.“Aku di sini bersamamu,” bisik Thomas, begitu Kirana meremas tangannya dengan erat.Kirana hanya mengangguk pelan. Kontraksi itu benar-benar membuat dirinya tidak berdaya. Dia bisa merasakan bayinya semakin turun, mendesak keluar.Semua yang diajarkan oleh suster–tentang cara bernapas dan mengejan yang benar–kini lenyap d
Suara monitor detak jantung yang pelan dan teratur terdengar.Kirana terbaring lemah di atas ranjang. Kini dirinya sudah sadar sepenuhnya.Kepalanya berdenyut-denyut. Beberapa jam lalu dia mengalami pendarahan hebat. Meski keadaannya perlahan stabil, kejadian traumatis itu masih menggantung di pikirannya.Pikiran Kirana pun langsung tertuju pada bayinya. Apa bayinya sehat? Bagaimana rupanya?Dia hanya mengingat samar tangisan kencang bayi itu.Kirana mencoba bergerak, tetapi beberapa jahitan di bagian bawah tubuhnya membuatnya meringis pelan dan berhenti.Kekosongan menyeruak. Ini begitu menyedihkan. Dia sendirian tanpa ada yang peduli.
Malam terasa begitu dingin. Dari atas sini, Kirana bisa melihat hiruk pikuk yang terjadi di bawah sana.Hujan lebat yang baru saja berhenti, membuat kendaraan-kendaraan itu mengular, terjebak dalam kemacetan.Jendela apartemennya sedikit berembun. Tiba-tiba Kirana melihat sosok yang menghampirinya dari pantulan jendela.Kedua tangan pria itu melingkar di pinggulnya, meremasnya erat.“Thomas…” desis Kirana.Dagu Thomas bertengger di bahu Kirana. Napasnya mengembus pelan. “Aku merindukanmu, Sayang…Kenapa kamu pergi begitu saja, menghilang tanpa memberitahuku?”“Aku memang harus pergi. Kontrak kita sudah berakhir.”
“Ya ampun, Kirana!” Gian terperangah melihat Kirana yang muncul di toko rotinya. “Apa kabar? Kamu sudah melahirkan?”Kirana tersenyum tipis. “Begitulah.”Dan saat Gian mengorek lebih dalam soal kelahiran anak Kirana, perempuan itu nampak tidak nyaman–Gian tahu itu. Binar di mata Kirana mendadak meredup dan senyumnya lenyap.Kirana langsung menuju ke rak kaca, di mana tart-tart yang menggiurkan terpajang, seolah berusaha menghindari topik itu.“Jadi, kamu mau beli tart apa?” Gian mengikuti Kirana. “Biar kutebak, mungkin tart stroberi, seperti pesananmu waktu itu?”“Betul, tiba-tiba aku ingin tart buatanmu, Gian.”