“Ya ampun, Kirana!” Gian terperangah melihat Kirana yang muncul di toko rotinya. “Apa kabar? Kamu sudah melahirkan?”
Kirana tersenyum tipis. “Begitulah.”
Dan saat Gian mengorek lebih dalam soal kelahiran anak Kirana, perempuan itu nampak tidak nyaman–Gian tahu itu. Binar di mata Kirana mendadak meredup dan senyumnya lenyap.
Kirana langsung menuju ke rak kaca, di mana tart-tart yang menggiurkan terpajang, seolah berusaha menghindari topik itu.
“Jadi, kamu mau beli tart apa?” Gian mengikuti Kirana. “Biar kutebak, mungkin tart stroberi, seperti pesananmu waktu itu?”
“Betul, tiba-tiba aku ingin tart buatanmu, Gian.”
Mobil Thomas melaju kencang. Bukan karena dia ingin mereka cepat sampai ke rumah, namun karena hatinya masih dibakar cemburu.Mereka berpelukan dengan mesra! Pekik Thomas dalam hati.“Bagaimana bisa Al sakit? Kenapa kalian enggak menjaganya dengan baik?” Tanya Kirana cemas.“Tutup mulutmu,” tandas Thomas.“Kenapa aku harus diam? Anakku sakit, Thomas!”“Dia bukan anakmu. Tapi anak kami! Kamu lupa kalau kamu hanyalah alat untuk melahirkan keturunan bagi keluarga kami, hah?”“Kalau begitu, kamu enggak usah mencariku,” tukas Kirana sinis. “Urus saja anak kalian sendiri!”“Kamu enggak bisa pergi begitu saja!” Cit! Thomas menghentikan mobilnya tiba-tiba di pinggir jalan.Kirana menjerit seiring dengan tubuhnya yang terantuk ke depan.“Jangan pernah temui pria itu lagi,” tekan Thomas dingin. Napasnya masih memburu.Kirana mendengus. “Apa urusanmu? Kontrak pernikahan kita sudah selesai, dan aku sudah menandatangani surat perceraian.”Kirana terkesiap begitu Thomas mencengkram dagunya. Tubuh
Kirana menggeliat, coba melepas kuncian Thomas pada tubuhnya.“Berjanjilah, kamu enggak akan teriak,” desis Thomas.Kirana mengangguk.“Kenapa kamu bisa masuk ke sini?!” cerocos Kirana begitu Thomas melepaskan dirinya.“Kamu enggak perlu tahu,” jawab Thomas santai.“Ini kejahatan, Thomas! Aku bisa melaporkanmu ke polisi!” ancam Kirana. “Aku yakin selama ini kamu menguntitku kan? Aku enggak pernah memberi tahu kamu di mana aku tinggal.”Thomas mengedikkan bahunya. “Pertama, aku enggak pernah menguntitmu. Mencarimu gampang. Tinggal tanya saja kurir ASI yang setiap hari datang ke rumahku. Dan kedua, kamu enggak bisa melaporkanku ke polisi, karena aku suamimu. Aku berhak mengunjungi istriku, istri keduaku.”Kirana mendesah keras. “Jadi, kamu belum menandatangani surat itu?”“Sepertinya aku enggak akan menandatangani surat cerai itu.”Kirana menatap Thomas heran. “Kenapa? Kamu mau menggantungkan statusku? Di kontrak pernikahan kita–aaa!”Thomas menghambur, mencengkram dagu Kirana. “Karena
Kirana terpaku. Dia berdiri gamang sambil memikirkan alasannya.“Ponselmu yang lain?” Gian memiringkan kepalanya.“Iya,” sergah Kirana cepat. “Itu ponselku yang satu lagi. Tunggu ya.”Bergegas, Kirana melesat ke kamarnya dan menutup pintu rapat-rapat.“Thomas!” Kirana berbisik sambil melotot ke arah suaminya.“Aku harus pergi sekarang,” ujar Thomas dengan nada rendah. Dia memakai pakaiannya satu per satu.“Sekarang? Ada Gian di luar.” “Aku harus menghadiri meeting penting, Kirana,” Thomas mengancingkan kemejanya. “Dalam tiga puluh menit.”“Ta-tapi–”“Alihkan perhatian pria itu,” titah Thomas. “Bagaimana pun caranya.”“Bagaimana?” Balas Kirana pasrah. “Pintu keluarnya hanya ada satu, Thomas. Dan Gian pasti melihatmu.”“Tapi aku harus pergi. Enggak mungkin kan aku loncat dari lantai dua puluh? Atau kamu usir saja pria itu,” ucap Thomas seenaknya.Kirana menghela napas pasrah sambil keluar kamar.“Mukamu pucat,” Gian menelisik Kirana. “Apa ada berita buruk? Kamu bilang Ibumu lagi sakit
Thomas dan Vivian saling bertukar pandang penuh amarah.“Apa katamu?” Napas Vivian menderu.“Dia masih jadi istriku,” balas Thomas tajam.“Tidak… seharusnya kalian sudah bercerai,” geram Vivian. “Kontrak pernikahan sialan itu sudah selesai!”“Aku belum menandatangani surat cerai itu,” aku Thomas.Hati Vivian mencelos mendengarnya. “Kamu sengaja? Kamu masih ingin mempertahankan wanita itu? Kenapa?” Vivian menghambur ke arah Thomas, menarik kemejanya dengan kasar. “Kamu mencintainya, mencintai wanita rendahan itu? Atau dia memang sungguh luar biasa di atas ranjang, hah?!”Bibir Thomas hanya terkatup rapat, tidak memberi jawaban.Plak!Satu tamparan keras mendarat di pipi Thomas.“Brengsek kamu, Thomas!” Vivian terisak, meninggalkan barang belanjaannya begitu saja dan pergi ke kamarnya.Brak!Suara pintu yang membanting terdengar begitu keras hingga menggema ke lantai bawah.Thomas hanya mematung, merasa bersalah. Mungkin dia memang pria pengecut, yang tidak bisa melepas keduanya. Semen
Kebingungan tidak hanya menyergap Kirana, tapi juga Sandra dan Sutono.“Untuk siapa?” Tanya Robert lagi. Tidak ada nada mendesak di sana. Namun bagi Kirana, pertanyaan Robert itu sulit untuk dijawab. “Untuk anakmu? Apa dia ikut bersamamu?”Kirana mereguk ludahnya. Dia tersenyum kaku. Dan saat Kirana hampir menganggukkan kepalanya, dewi penyelamat itu datang.Wangi parfum manis yang tajam menyeruak. Melinda muncul, memamerkan senyum keterkejutannya atas kedatangan besannya.“Me-Melinda…” desis Sandra pelan, mengirim sinyal bahaya.Melinda mengangguk pelan. Dia akan mengendalikan situasi.“Tentu saja, untuk Baby Al, Robert. Cucu kesay
“Apa niatmu, Thomas?” Tanya Melinda tanpa basa-basi di ujung telepon.Thomas terpaksa menyingkirkan tumpukan dokumen yang sedang dia baca. Keningnya pun nampak bergelombang. “Aku enggak mengerti maksud Mama.”Melinda menghela napas berat. “Jangan pikir Mama enggak tahu. Kamu belum menandatangani surat perceraian itu kan?”Thomas terdiam.“Kenapa? Apa kamu… menyukai wanita itu?” desak Melinda lagi.“Aku lupa. Banyak hal yang harus kulakukan,” balas Thomas.“Kalau begitu, jangan tanda tangani surat itu.”“Apa?” Thomas nampak terkejut.
Jantung Kirana berdentum cepat mendengar ucapan Salim.Dia lalu menatap bapaknya tajam. “Aku enggak mengerti maksud Bapak.”Salim mendengus pelan. “Nak, dari raut wajahmu saja Bapak bisa menebak kalau kamu tegang. Kenapa? Apa karena rahasiamu ketahuan sama Bapak?”Salim mendekati Kirana dan berbicara dengan nada berbisik. “Kita bocorkan kontrak pernikahanmu dengan pria itu ke media.”Bibir Kirana bergemeletuk pelan. Dadanya kini dipenuhi amarah. Siapa yang berani membocorkan rahasianya? Hanya ada tiga orang yang tahu.“Jangan main-main, Pak. Itu semua fitnah!”“Fitnah? Kirana, Bapak bahkan yakin kalau bayi itu adalah cucu Bapak
“Makasih ya, Ganteng.” kecupan itu kembali mendarat di pipi Romi. Wanita berumur empat puluhan akhir itu lalu bergegas turun dari ranjang dan berpakaian.“Kamu bisa menginap di sini sampai besok,” ucap wanita itu lagi. “Sayangnya, aku harus kembali ke keluargaku. Karena kalau tidak, suamiku pasti curiga.”“Makasih, Tante,” balas Romi masih dari balik selimutnya.“Nanti kalau Tante butuh kamu lagi, selalu stand by ya, Sayang…” wanita itu meraih tasnya.Romi mengangguk sambil mengedipkan sebelah matanya. “Tentu saja, Tante. Aku siap 24 jam demi kepuasan, Tante.”“Itu yang pengin Tante dengar. Bye, Sayangku!”