Kirana terpaku. Dia berdiri gamang sambil memikirkan alasannya.“Ponselmu yang lain?” Gian memiringkan kepalanya.“Iya,” sergah Kirana cepat. “Itu ponselku yang satu lagi. Tunggu ya.”Bergegas, Kirana melesat ke kamarnya dan menutup pintu rapat-rapat.“Thomas!” Kirana berbisik sambil melotot ke arah suaminya.“Aku harus pergi sekarang,” ujar Thomas dengan nada rendah. Dia memakai pakaiannya satu per satu.“Sekarang? Ada Gian di luar.” “Aku harus menghadiri meeting penting, Kirana,” Thomas mengancingkan kemejanya. “Dalam tiga puluh menit.”“Ta-tapi–”“Alihkan perhatian pria itu,” titah Thomas. “Bagaimana pun caranya.”“Bagaimana?” Balas Kirana pasrah. “Pintu keluarnya hanya ada satu, Thomas. Dan Gian pasti melihatmu.”“Tapi aku harus pergi. Enggak mungkin kan aku loncat dari lantai dua puluh? Atau kamu usir saja pria itu,” ucap Thomas seenaknya.Kirana menghela napas pasrah sambil keluar kamar.“Mukamu pucat,” Gian menelisik Kirana. “Apa ada berita buruk? Kamu bilang Ibumu lagi sakit
Thomas dan Vivian saling bertukar pandang penuh amarah.“Apa katamu?” Napas Vivian menderu.“Dia masih jadi istriku,” balas Thomas tajam.“Tidak… seharusnya kalian sudah bercerai,” geram Vivian. “Kontrak pernikahan sialan itu sudah selesai!”“Aku belum menandatangani surat cerai itu,” aku Thomas.Hati Vivian mencelos mendengarnya. “Kamu sengaja? Kamu masih ingin mempertahankan wanita itu? Kenapa?” Vivian menghambur ke arah Thomas, menarik kemejanya dengan kasar. “Kamu mencintainya, mencintai wanita rendahan itu? Atau dia memang sungguh luar biasa di atas ranjang, hah?!”Bibir Thomas hanya terkatup rapat, tidak memberi jawaban.Plak!Satu tamparan keras mendarat di pipi Thomas.“Brengsek kamu, Thomas!” Vivian terisak, meninggalkan barang belanjaannya begitu saja dan pergi ke kamarnya.Brak!Suara pintu yang membanting terdengar begitu keras hingga menggema ke lantai bawah.Thomas hanya mematung, merasa bersalah. Mungkin dia memang pria pengecut, yang tidak bisa melepas keduanya. Semen
Kebingungan tidak hanya menyergap Kirana, tapi juga Sandra dan Sutono.“Untuk siapa?” Tanya Robert lagi. Tidak ada nada mendesak di sana. Namun bagi Kirana, pertanyaan Robert itu sulit untuk dijawab. “Untuk anakmu? Apa dia ikut bersamamu?”Kirana mereguk ludahnya. Dia tersenyum kaku. Dan saat Kirana hampir menganggukkan kepalanya, dewi penyelamat itu datang.Wangi parfum manis yang tajam menyeruak. Melinda muncul, memamerkan senyum keterkejutannya atas kedatangan besannya.“Me-Melinda…” desis Sandra pelan, mengirim sinyal bahaya.Melinda mengangguk pelan. Dia akan mengendalikan situasi.“Tentu saja, untuk Baby Al, Robert. Cucu kesay
“Apa niatmu, Thomas?” Tanya Melinda tanpa basa-basi di ujung telepon.Thomas terpaksa menyingkirkan tumpukan dokumen yang sedang dia baca. Keningnya pun nampak bergelombang. “Aku enggak mengerti maksud Mama.”Melinda menghela napas berat. “Jangan pikir Mama enggak tahu. Kamu belum menandatangani surat perceraian itu kan?”Thomas terdiam.“Kenapa? Apa kamu… menyukai wanita itu?” desak Melinda lagi.“Aku lupa. Banyak hal yang harus kulakukan,” balas Thomas.“Kalau begitu, jangan tanda tangani surat itu.”“Apa?” Thomas nampak terkejut.
Jantung Kirana berdentum cepat mendengar ucapan Salim.Dia lalu menatap bapaknya tajam. “Aku enggak mengerti maksud Bapak.”Salim mendengus pelan. “Nak, dari raut wajahmu saja Bapak bisa menebak kalau kamu tegang. Kenapa? Apa karena rahasiamu ketahuan sama Bapak?”Salim mendekati Kirana dan berbicara dengan nada berbisik. “Kita bocorkan kontrak pernikahanmu dengan pria itu ke media.”Bibir Kirana bergemeletuk pelan. Dadanya kini dipenuhi amarah. Siapa yang berani membocorkan rahasianya? Hanya ada tiga orang yang tahu.“Jangan main-main, Pak. Itu semua fitnah!”“Fitnah? Kirana, Bapak bahkan yakin kalau bayi itu adalah cucu Bapak
“Makasih ya, Ganteng.” kecupan itu kembali mendarat di pipi Romi. Wanita berumur empat puluhan akhir itu lalu bergegas turun dari ranjang dan berpakaian.“Kamu bisa menginap di sini sampai besok,” ucap wanita itu lagi. “Sayangnya, aku harus kembali ke keluargaku. Karena kalau tidak, suamiku pasti curiga.”“Makasih, Tante,” balas Romi masih dari balik selimutnya.“Nanti kalau Tante butuh kamu lagi, selalu stand by ya, Sayang…” wanita itu meraih tasnya.Romi mengangguk sambil mengedipkan sebelah matanya. “Tentu saja, Tante. Aku siap 24 jam demi kepuasan, Tante.”“Itu yang pengin Tante dengar. Bye, Sayangku!”
“Dari mana saja?”Suara itu sontak menghentikan langkah Vivian. Seketika lampu kamar tidurnya menyala. Thomas duduk di sofa yang ada di sudut ruangan itu.Pria itu bersedekap sambil menatap istrinya tajam.“Dua hari kamu menghilang, meninggalkan Baby Al begitu saja,” lanjut Thomas.Vivian mendengus, membalas tatapan Thomas. “Apa pedulimu? Bukannya wanita murahan itu bisa mengurus Al dengan baik, hah?”“Aku minta maaf,” tandas Thomas.“Bahkan nada suaramu terdengar seperti robot,” sindir Vivian.Thomas bangkit dan bergerak mendekat. “Sungguh, aku sudah membuatmu kecewa… Tapi, satu hal yang perlu kamu tahu, Vi. Aku menyayangimu. Sedari awal, aku enggak berniat untuk menyakitimu.”Vivian menyibakkan rambutnya, menatap lurus ke bola mata Thomas yang nampak sayu. “Kalau begitu, jujur padaku. Apa kamu menyukai Kirana?”Keheningan menggantung sesaat.“Apa kamu mencintai wanita itu, Thomas? Jawab pertanyaanku,” desak Vivian.Namun, bibir Thomas malah terkatup rapat.“Ha, kamu bahkan enggak bi
Suara hak sepatu Vivian menggema di unit apartemen miliknya. Unit itu dibiarkan kosong selama beberapa tahun.Tetapi kini dia berencana untuk merenovasinya. Dia butuh ruang menyendiri. Villa orangtuanya terlalu jauh, rumah peristirahatan Keluarga Adijaya juga terlalu riskan untuk dia datangi sendirian.Villa mewah di pinggir pantai miliknya dan Thomas? Oh, tidak. Sejak kedatangan Kirana, villa itu jadi mimpi buruk bagi Vivian.“Renovasi interiornya akan selesai minggu depan, Nyonya Vivian,” terang Iwan, seorang interior desain yang disewa Vivian.Vivian mengangguk paham. Lalu dia kembali mengenakan kacamata hitamnya dan bergegas pergi.Di tengah kemacetan jalan, Vivian merogoh tasnya. Didapatinya kartu nama