Jantung Kirana berdentum cepat mendengar ucapan Salim.
Dia lalu menatap bapaknya tajam. “Aku enggak mengerti maksud Bapak.”
Salim mendengus pelan. “Nak, dari raut wajahmu saja Bapak bisa menebak kalau kamu tegang. Kenapa? Apa karena rahasiamu ketahuan sama Bapak?”
Salim mendekati Kirana dan berbicara dengan nada berbisik. “Kita bocorkan kontrak pernikahanmu dengan pria itu ke media.”
Bibir Kirana bergemeletuk pelan. Dadanya kini dipenuhi amarah. Siapa yang berani membocorkan rahasianya? Hanya ada tiga orang yang tahu.
“Jangan main-main, Pak. Itu semua fitnah!”
“Fitnah? Kirana, Bapak bahkan yakin kalau bayi itu adalah cucu Bapak
“Makasih ya, Ganteng.” kecupan itu kembali mendarat di pipi Romi. Wanita berumur empat puluhan akhir itu lalu bergegas turun dari ranjang dan berpakaian.“Kamu bisa menginap di sini sampai besok,” ucap wanita itu lagi. “Sayangnya, aku harus kembali ke keluargaku. Karena kalau tidak, suamiku pasti curiga.”“Makasih, Tante,” balas Romi masih dari balik selimutnya.“Nanti kalau Tante butuh kamu lagi, selalu stand by ya, Sayang…” wanita itu meraih tasnya.Romi mengangguk sambil mengedipkan sebelah matanya. “Tentu saja, Tante. Aku siap 24 jam demi kepuasan, Tante.”“Itu yang pengin Tante dengar. Bye, Sayangku!”
“Dari mana saja?”Suara itu sontak menghentikan langkah Vivian. Seketika lampu kamar tidurnya menyala. Thomas duduk di sofa yang ada di sudut ruangan itu.Pria itu bersedekap sambil menatap istrinya tajam.“Dua hari kamu menghilang, meninggalkan Baby Al begitu saja,” lanjut Thomas.Vivian mendengus, membalas tatapan Thomas. “Apa pedulimu? Bukannya wanita murahan itu bisa mengurus Al dengan baik, hah?”“Aku minta maaf,” tandas Thomas.“Bahkan nada suaramu terdengar seperti robot,” sindir Vivian.Thomas bangkit dan bergerak mendekat. “Sungguh, aku sudah membuatmu kecewa… Tapi, satu hal yang perlu kamu tahu, Vi. Aku menyayangimu. Sedari awal, aku enggak berniat untuk menyakitimu.”Vivian menyibakkan rambutnya, menatap lurus ke bola mata Thomas yang nampak sayu. “Kalau begitu, jujur padaku. Apa kamu menyukai Kirana?”Keheningan menggantung sesaat.“Apa kamu mencintai wanita itu, Thomas? Jawab pertanyaanku,” desak Vivian.Namun, bibir Thomas malah terkatup rapat.“Ha, kamu bahkan enggak bi
Suara hak sepatu Vivian menggema di unit apartemen miliknya. Unit itu dibiarkan kosong selama beberapa tahun.Tetapi kini dia berencana untuk merenovasinya. Dia butuh ruang menyendiri. Villa orangtuanya terlalu jauh, rumah peristirahatan Keluarga Adijaya juga terlalu riskan untuk dia datangi sendirian.Villa mewah di pinggir pantai miliknya dan Thomas? Oh, tidak. Sejak kedatangan Kirana, villa itu jadi mimpi buruk bagi Vivian.“Renovasi interiornya akan selesai minggu depan, Nyonya Vivian,” terang Iwan, seorang interior desain yang disewa Vivian.Vivian mengangguk paham. Lalu dia kembali mengenakan kacamata hitamnya dan bergegas pergi.Di tengah kemacetan jalan, Vivian merogoh tasnya. Didapatinya kartu nama
Kedua bola mata Al nampak berbinar, penuh rasa ingin tahu. Satu tangannya yang gemuk menjulur, meraih mainan balok warna-warni yang berada di dekat Thomas.Setiap kali Thomas menggerakkan balok-balok itu di udara, Al tertawa, memperlihatkan gusinya.Sampai akhirnya Al tampak lelah bermain. Matanya pun mengerjap-ngerjap pelan. Sementara tubuh mungil itu bersandar pada tangan Thomas.Menyadari Al mulai mengantuk, Thomas menggendongnya perlahan, mengayun-ayunkan Al dengan lembut. Dan dalam hitungan menit, bayi itu terlelap. Wajahnya nampak tenang di pelukan ayahnya.“Kirana,” seru Thomas dengan nada setengah berbisik. “Ambilkan ponselku di atas nakas.”Kirana menuruti perintah Thomas. Lalu pria itu
Romi memegang pipinya yang panas. Sementara Kirana masih melayangkan tatapan tajam ke arah adiknya.“Kamu hampir saja membunuhku, Rom… juga bayi di kandunganku,” terang Kirana. “Lalu kamu pergi begitu saja. Mbak benar-benar kecewa dengan sikapmu.”“Sudah kubilang aku enggak sengaja. Aku takut terlibat masalah lagi. Mbak tahu kan aku baru bebas bersyarat? Lagian, sekarang Mbak baik-baik saja. Anak itu juga sudah lahir kan?” Romi melirik ke perut kakaknya.Kirana mendengus pelan. Lantas Romi menegakkan tulang punggungnya. “Waktu itu, aku benar-benar kepepet enggak punya uang. Enggak mungkin juga aku minta sama Ibu. Aku masih tahu diri. Jadi, aku datang ke Mbak. Sayang, Mbak enggak peduli padaku.”“Enggak peduli?” Kirana tersinggung mendengarnya. “Kalau aku enggak peduli, aku enggak akan melunasi utang ratusan jutamu itu, Rom! Aku enggak akan melakukan semua ini!”“Halah, Mbak menikmati peran Mbak sebagai istri kontrak kan? Sekarang pasti Mbak sudah hidup bergelimang harta. Oh, tapi ten
Jeritan dari seberang lorong, membuat Kirana terkejut.Dia baru saja keluar dari kamar mandi dan mendapati Sandra Winarta yang tiba-tiba pingsan.“Astaga, Nyonya Sandra!” Pekik Kirana.Ujung gaun tidurnya basah karena terkena air sehingga meninggalkan bercak di permukaan lantai kayu.Dengan susah payah, Kirana berusaha membopong tubuh Sandra. “Nyonya, sadarlah.”Namun karena Kirana masih sakit, sulit baginya untuk membawa Sandra sendirian. Kirana lalu berteriak minta tolong.“Ada apa?” Tak lama Thomas pun muncul. Matanya membelalak melihat ibu mertuanya yang tidak sadarkan diri.“Lho, Mama?!” Vivian panik melihat ibunya kini dipapah oleh Thomas. “Apa yang terjadi?!”“Entahlah. Saat aku keluar dari kamar mandi, tiba-tiba Nyonya Sandra teriak dan seketika pingsan,” terang Kirana.“Jadi, kamu yang pertama kali melihat Mama pingsan?” Tanya Vivian curiga.“Iya, Nyonya.”“Kamu enggak melakukan apa-apa pada Mama kan?” Mata Vivian memicing.Kirana terheran. Melakukan apa? Dia bahkan sama terk
26 Tahun Lalu…Setelah lima tahun pernikahan, akhirnya Sophia hamil. Perempuan itu menangis haru saat melihat test pack di tangannya muncul dua garis yang jelas.Sophia menghapus air mata bahagianya dan segera menghubungi suaminya, Robert, yang sedang berada di kantor.Namun, teleponnya tidak diangkat-angkat. Akhirnya Sophia berencana mengejutkan Robert sepulang kerja lagi.“Dia pasti senang,” Sophia menyunggingkan senyumnya sambil memasukkan test pack itu ke dalam kotak kecil.Di ruang kantornya, Robert nampak gelisah. Di hadapannya, Sandra duduk sambil tertunduk dalam. Tangannya gemetar saat menyerahkan surat keterangan dari dokter. Tapi itu bukan surat biasa. Surat ini akan mengubah hidupnya.Robert menghela napas berat. “Kamu hamil?”“I-iya, Pak. Sudah delapan minggu.”“Anakku?” Sandra mengangguk pelan.Tubuh Robert lunglai. Rasanya dia ingin tenggelam di lautan dalam. Bagaimana mungkin Sandra, sekretaris yang baru bekerja tiga bulan dengannya, bisa hamil? Mereka hanya melakuka
Sandra menatap nanar langit-langit rumah sakit.Berkali-kali dia mempertanyakan kenapa dirinya begitu nelangsa. Dia harus kehilangan bayi yang dikandungnya di usia lima bulan.Sapuan hangat menyentuh punggung tangannya. Robert menatap dirinya dengan iba.“Aku sudah mengurus semuanya, Sandra…” ucap pria itu. “Beristirahatlah. Dan jangan berpikiran macam-macam.”“Ini semua karena kebodohanku,” suara Sandra terdengar begitu serak. “Seharusnya aku lebih berhati-hati lagi.” Sandra kembali terisak pelan.“Jangan menyalahkan dirimu, San. Memang sudah jalannya seperti ini,” balas Robert. Lalu pria itu melirik pergelangan tangannya. Dia harus segera kembali ke rumah.“Di mana kamu menguburkan bayi itu?” Tanya Sandra lemah.“Di pemakaman dekat sini. Setelah kamu diperbolehkan pulang oleh dokter, aku akan mengantarmu, San. Sekarang aku harus pulang. Sampai jumpa.”Pintu kamar tempat Sandra berbaring menutup pelan. Dia tahu sedari awal menikah siri dengan pria itu, Robert tidak pernah mencintain