Suara hak sepatu Vivian menggema di unit apartemen miliknya. Unit itu dibiarkan kosong selama beberapa tahun.
Tetapi kini dia berencana untuk merenovasinya. Dia butuh ruang menyendiri. Villa orangtuanya terlalu jauh, rumah peristirahatan Keluarga Adijaya juga terlalu riskan untuk dia datangi sendirian.
Villa mewah di pinggir pantai miliknya dan Thomas? Oh, tidak. Sejak kedatangan Kirana, villa itu jadi mimpi buruk bagi Vivian.
“Renovasi interiornya akan selesai minggu depan, Nyonya Vivian,” terang Iwan, seorang interior desain yang disewa Vivian.
Vivian mengangguk paham. Lalu dia kembali mengenakan kacamata hitamnya dan bergegas pergi.
Di tengah kemacetan jalan, Vivian merogoh tasnya. Didapatinya kartu nama
Kedua bola mata Al nampak berbinar, penuh rasa ingin tahu. Satu tangannya yang gemuk menjulur, meraih mainan balok warna-warni yang berada di dekat Thomas.Setiap kali Thomas menggerakkan balok-balok itu di udara, Al tertawa, memperlihatkan gusinya.Sampai akhirnya Al tampak lelah bermain. Matanya pun mengerjap-ngerjap pelan. Sementara tubuh mungil itu bersandar pada tangan Thomas.Menyadari Al mulai mengantuk, Thomas menggendongnya perlahan, mengayun-ayunkan Al dengan lembut. Dan dalam hitungan menit, bayi itu terlelap. Wajahnya nampak tenang di pelukan ayahnya.“Kirana,” seru Thomas dengan nada setengah berbisik. “Ambilkan ponselku di atas nakas.”Kirana menuruti perintah Thomas. Lalu pria itu
Romi memegang pipinya yang panas. Sementara Kirana masih melayangkan tatapan tajam ke arah adiknya.“Kamu hampir saja membunuhku, Rom… juga bayi di kandunganku,” terang Kirana. “Lalu kamu pergi begitu saja. Mbak benar-benar kecewa dengan sikapmu.”“Sudah kubilang aku enggak sengaja. Aku takut terlibat masalah lagi. Mbak tahu kan aku baru bebas bersyarat? Lagian, sekarang Mbak baik-baik saja. Anak itu juga sudah lahir kan?” Romi melirik ke perut kakaknya.Kirana mendengus pelan. Lantas Romi menegakkan tulang punggungnya. “Waktu itu, aku benar-benar kepepet enggak punya uang. Enggak mungkin juga aku minta sama Ibu. Aku masih tahu diri. Jadi, aku datang ke Mbak. Sayang, Mbak enggak peduli padaku.”“Enggak peduli?” Kirana tersinggung mendengarnya. “Kalau aku enggak peduli, aku enggak akan melunasi utang ratusan jutamu itu, Rom! Aku enggak akan melakukan semua ini!”“Halah, Mbak menikmati peran Mbak sebagai istri kontrak kan? Sekarang pasti Mbak sudah hidup bergelimang harta. Oh, tapi ten
Jeritan dari seberang lorong, membuat Kirana terkejut.Dia baru saja keluar dari kamar mandi dan mendapati Sandra Winarta yang tiba-tiba pingsan.“Astaga, Nyonya Sandra!” Pekik Kirana.Ujung gaun tidurnya basah karena terkena air sehingga meninggalkan bercak di permukaan lantai kayu.Dengan susah payah, Kirana berusaha membopong tubuh Sandra. “Nyonya, sadarlah.”Namun karena Kirana masih sakit, sulit baginya untuk membawa Sandra sendirian. Kirana lalu berteriak minta tolong.“Ada apa?” Tak lama Thomas pun muncul. Matanya membelalak melihat ibu mertuanya yang tidak sadarkan diri.“Lho, Mama?!” Vivian panik melihat ibunya kini dipapah oleh Thomas. “Apa yang terjadi?!”“Entahlah. Saat aku keluar dari kamar mandi, tiba-tiba Nyonya Sandra teriak dan seketika pingsan,” terang Kirana.“Jadi, kamu yang pertama kali melihat Mama pingsan?” Tanya Vivian curiga.“Iya, Nyonya.”“Kamu enggak melakukan apa-apa pada Mama kan?” Mata Vivian memicing.Kirana terheran. Melakukan apa? Dia bahkan sama terk
26 Tahun Lalu…Setelah lima tahun pernikahan, akhirnya Sophia hamil. Perempuan itu menangis haru saat melihat test pack di tangannya muncul dua garis yang jelas.Sophia menghapus air mata bahagianya dan segera menghubungi suaminya, Robert, yang sedang berada di kantor.Namun, teleponnya tidak diangkat-angkat. Akhirnya Sophia berencana mengejutkan Robert sepulang kerja lagi.“Dia pasti senang,” Sophia menyunggingkan senyumnya sambil memasukkan test pack itu ke dalam kotak kecil.Di ruang kantornya, Robert nampak gelisah. Di hadapannya, Sandra duduk sambil tertunduk dalam. Tangannya gemetar saat menyerahkan surat keterangan dari dokter. Tapi itu bukan surat biasa. Surat ini akan mengubah hidupnya.Robert menghela napas berat. “Kamu hamil?”“I-iya, Pak. Sudah delapan minggu.”“Anakku?” Sandra mengangguk pelan.Tubuh Robert lunglai. Rasanya dia ingin tenggelam di lautan dalam. Bagaimana mungkin Sandra, sekretaris yang baru bekerja tiga bulan dengannya, bisa hamil? Mereka hanya melakuka
Sandra menatap nanar langit-langit rumah sakit.Berkali-kali dia mempertanyakan kenapa dirinya begitu nelangsa. Dia harus kehilangan bayi yang dikandungnya di usia lima bulan.Sapuan hangat menyentuh punggung tangannya. Robert menatap dirinya dengan iba.“Aku sudah mengurus semuanya, Sandra…” ucap pria itu. “Beristirahatlah. Dan jangan berpikiran macam-macam.”“Ini semua karena kebodohanku,” suara Sandra terdengar begitu serak. “Seharusnya aku lebih berhati-hati lagi.” Sandra kembali terisak pelan.“Jangan menyalahkan dirimu, San. Memang sudah jalannya seperti ini,” balas Robert. Lalu pria itu melirik pergelangan tangannya. Dia harus segera kembali ke rumah.“Di mana kamu menguburkan bayi itu?” Tanya Sandra lemah.“Di pemakaman dekat sini. Setelah kamu diperbolehkan pulang oleh dokter, aku akan mengantarmu, San. Sekarang aku harus pulang. Sampai jumpa.”Pintu kamar tempat Sandra berbaring menutup pelan. Dia tahu sedari awal menikah siri dengan pria itu, Robert tidak pernah mencintain
Lagi-lagi suara petir menggelegar dengan keras, menghentakkan jantung Sophia sedemikian rupa. Rahang wanita itu nampak menegang, mendengar pengakuan yang meluncur dari mulut sandra.“Apa katamu?” tanya Sophia dingin.“Maafkan aku, Nyonya…” Sandra kembali membenamkan wajahnya. Seketika bahunya berguncang keras.“Jangan menyebar fitnah, Sandra. Aku bisa saja menyeretmu ke ranah hukum atas pernyataanmu yang enggak berdasar itu,” ucap Sophia lagi.“Untuk apa aku berbohong, Nyonya Sophia? Aku terpaksa membuka rahasia ini sekarang, karena aku enggak kuat menyimpannya sendirian. Seharusnya, Kiara memiliki seorang kakak, kakak laki-laki. Tuan Robert memberinya nama Kenzo…” Sandra kembali tersedu mengingat hal itu, sementara tubuh Sophia membeku seperti es. Dia berharap apa yang terjadi sekarang hanyalah mimpi.Tapi tidak, semua terasa nyata. Bahkan rasa sakit menjalar begitu Sophia mencubit lengannya sendiri.‘Robert selingkuh?’ Sophia membatin. Wajah suaminya kini berkelebat di benak wanita
Tubuh Sandra terkulai lemah di ujung dermaga.Air matanya jatuh dan tubuhnya berguncang hebat. Dia tidak menyangka dirinya berakhir jadi seorang pembunuh.Tatapan terakhir Sophia akan terus menghantui sepanjang hidupnya.Selama beberapa saat, Sandra membiarkan hujan terus membasuh tubuhnya, berharap dosa-dosanya juga ikut luruh.Sampai akhirnya dia kembali ke dalam villa. Bukti-bukti perselingkuhannya dengan Robert masih berceceran di sana.Dengan tubuh yang kuyup, Sandra kembali melintasi ruang tengah.Tetapi dirinya langsung menjerit kaget ketika petir yang menggelegar itu menyinari sosok yang berdiri di sudut ruangan.Ratna Ambarsih melayangkan tatapan tajam pada Sandra.Tubuh Sandra mendadak gemetar, bukan karena kedinginan, tapi karena dia tertangkap basah. Foto-foto itu masih berserakan di atas meja.“Aku melihat semuanya,” suara Ratna terdengar datar. “Kenapa kamu tega membunuh Nyonya Sophia?”Sandra mengambil langkah mundur, begitu Ratna bergerak ke arahnya. Otaknya berputar c
Kepanikan melanda begitu Sophia dan bayinya menghilang tanpa jejak.Robert yang baru kembali dari Amerika begitu syok. Dia mengerahkan pihak berwajib untuk mencari istri dan anaknya.Anehnya, tidak ada satu pun barang-barang Sophia yang hilang.Sampai akhirnya, Robert menemukan surat wasiat itu. Dia kembali syok dan terkena serangan jantung mendadak.Robert terpaksa absen saat polisi menyisir danau. Mereka memastikan, melalui surat wasiat itu, kalau Sophia memang telah bunuh diri. Namun, tidak ada yang berani menyelam ke danau itu karena airnya begitu pekat, ditambah mitos-mitos angker oleh warga sekitar.Tetapi tiba-tiba, seolah ingin ditemukan lebih cepat, jasad Sophia muncul ke permukaan.Tubuhnya sudah tidak bisa dikenali, tapi semua yang melekat di tubuhnya memang milik Sophia. Ditemukan juga batu-batu kecil di saku gaun tidur wanita malang itu.Sayangnya, bayi itu tidak pernah muncul. Warga percaya bayi itu diambil oleh penunggu danau.Keluarga besar Sophia tidak menginginkan a
Kirana memandangi pantulan dirinya di depan cermin.Gaun putih berekor panjang itu nampak berkilau diterpa cahaya matahari yang menerobos melalui jendela.“Cantik sekali…” ucap Melinda, muncul dari balik punggung Kirana.Leher jenjang Kirana terlihat jelas karena rambutnya digelung ke atas. Lantas, Melinda mengaitkan liontin emas di leher Kirana.Setelah mengetahui semuanya, Melinda dan Sutono merasa begitu malu serta bersalah.Perempuan yang dulu mereka rendahkan itu ternyata anak seorang konglomerat. Saat Thomas mengutarakan untuk menikahi Kirana setelah resmi bercerai dengan Vivian, Melinda dan Sutono akhirnya meminta maaf dengan tulus pada Kirana.Dan sekarang rasa bangga menyelimuti hati Melinda. Kirana nampak begitu anggun dan menawan. Kecantikannya terpancar walau gaunnya tidak terlalu mewah seperti pernikahan Vivian.“Ma!” Seketika Al muncul dengan langkah mungilnya, bergerak ke arah Kirana.“Sayang!” Senyum Kirana langsung merekah.Kedua tangan Al menggapai ke atas, pertanda
Sinar matahari pagi menyorot masuk melalui jendela kaca kafe yang besar itu.Di meja yang berada di sudut kafe, Kirana dan Vivian duduk berhadapan.Selama beberapa saat kecanggungan menguar di udara. Vivian nampak tertunduk dalam. “Maafkan aku…” Akhirnya Vivian berani mengutarakan niatnya. Suaranya terdengar bergetar dan penuh penyesalan. “Maafkan aku, Kirana. Aku sudah memperlakukanmu begitu buruk.”Senyum tipis terukir di wajah Kirana. Helaian rambut wanita itu bergerak pelan. “Tidak, seharusnya aku yang minta maaf padamu. Aku paham kenapa kamu membenciku. Itu karena aku telah merebut Thomas darimu. Aku tahu, kamu begitu mencintai Thomas. Jadi, maafkan aku.”Vivian mendongak. Kedua bola matanya kini nampak sayu, tidak seperti dulu yang penuh ambisi dan terkadang berkilat penuh amarah juga kesombongan.“Kamu enggak perlu minta maaf padaku. Kalian saling mencintai dan Thomas memang berhak mendapatkan wanita seperti dirimu, Kirana. Aku enggak layak untuk Thomas…” Lantas, kedua tangan
Samar-samar Vivian menangkap suara alat detak jantung yang berirama.Kedua kelopak matanya terasa begitu berat untuk membuka. Saat akhirnya di berhasil, cahaya putih seakan menusuk pandangannya.Kepalanya lantas berdenyut nyeri.Vivian merasa tubuhnya kaku. Selang melintang di wajahnya. Dia mencoba untuk mengerang, namun suaranya seakan tertahan di tenggorokan.“Errgh…” erang Vivian pada akhirnya.Beribu pertanyaan menyerbu benaknya. Apa yang terjadi pada dirinya? Kenapa dia bisa terbaring lemah di atas ranjang rumah sakit yang begitu dingin.Seketika seorang perawat datang, mengecek keadaan Vivian. Wanita itu tidak bisa mendengar jelas apa yang dikatakan perawat itu pada rekannya.Sampai seorang dokter yang mengenakan jas putih datang mendekat.Dokter itu mencondongkan tubuhnya ke arah Vivian, membuka lebar kedua kelopak matanya sambil menyinarinya dengan senter yang terang.Lalu, dia berujar tepat di telinga Vivian. “Ini keajaiban. Kamu selamat, Vivian. Kamu telah sadar dari tidurmu
Seharusnya, Kirana tidak merasa gelisah seperti ini. Namun, entah kenapa, tangannya tetap gemetar saat membuka amplop yang berisi hasil tes DNA antara dirinya dengan Robert Winarta.Robert, yang duduk di seberang Kirana, nampak tersenyum lega saat melihat hasilnya.Kirana memang benar anak kandungnya. Dia sudah yakin soal itu.Pengacara Robert lantas menyerahkan beberapa lembar dokumen di hadapan Kirana.“Sekarang, kamu adalah Kirana Winarta,” tukas pengacara itu. “Walau masih butuh proses untuk mengganti namamu di setiap dokumen.”Kirana menatap lembaran kertas ini. Keningnya agak mengernyit.“Tanda tanganilah, Nak. Itu hakmu. Aku akan mewariskan setengah hartaku untuk dirimu,” ucap Robert.“Tapi…”“Aku akan sangat marah kalau kamu menolak untuk menandatanganinya,” ancam Robert dengan nada bercanda.Dengan sedikit keraguan, Kirana akhirnya membubuhkan tanda tangannya.“Kamu sah menjadi pemegang saham terbesar di Winarta Holdings. Selamat, Kirana.” Pengacara Robert menjabat tangan Kir
Sambil mendekap dokumen adopsinya, Vivian melangkah masuk ke dalam panti asuhan itu, tempat di mana ibu kandungnya yang tidak bertanggung jawab menyerahkan dirinya sewaktu bayi.Berkat donasi Robert setiap tahunnya, fasilitas di panti asuhan itu cukup mumpuni.Mata Vivian berkeliling, memandangi para penghuni panti.Sampai akhirnya, Vivian berhadapan dengan pengurus panti yang mungkin berusia lima puluh tahunan awal.Wajah wanita itu sangat ramah saat menyambut kedatangan Vivian.“Aku ingin mengetahui soal ibuku,” ucap Vivian tanpa basa-basi sambil menyerahkan dokumen adopsinya.Wanita itu mengeceknya dengan seksama. “Ah, kamu…” Wanita itu mendongak sambil tersenyum lebar. Sorot matanya begitu bahagia. “Aku ingat betul, ibu kandungmu datang berpuluh-puluh tahun lalu dan menyerahkanmu ke sini. Sekarang, kamu sudah tumbuh jadi wanita yang cantik…”“Di mana dia?” Tanya Vivian dingin.Pengurus panti itu lalu beranjak ke sebuah lemari besar, mencari-cari sesuatu.Setelah beberapa saat, dia
Napas Robert tertahan, begitu pula dengan Thomas.Mereka mengira Vivian sudah terlelap. Namun siapa sangka, perempuan itu kini bergerak mendekat ke arah mereka.Wajahnya diselimuti rasa penasaran yang mendalam.“Rahasia apa yang Papa dan Mama sembunyikan selama ini?” Desak Vivian lagi. “Dan hal penting apa yang ingin Papa sampaikan padaku?”Robert menelan ludahnya dalam-dalam. Dia menarik napas sejenak. Sepertinya dia memang harus memberi tahu apa yang terjadi secepatnya. “Duduklah,” pinta Robert pada akhirnya. “Aku akan menceritakan semuanya padamu.”Jantung Vivian jadi berdetak cepat. Dia merasa apa yang akan dikatakan Robert adalah sesuatu yang buruk. Apalagi dia sempat mendengar Robert memanggil Sandra dengan sebutan wanita sialan.Seumur hidupnya, Vivian selalu menyaksikan keharmonisan kedua orangtuanya. Apa mereka selama ini hanya berpura-pura? Pikiran Vivian pun terus berkecamuk.Sadar diri, Thomas beranjak, membiarkan Vivian dan Robert berdua saja.Tetapi, secara mengejutkan
Robert Winarta akhirnya kembali ke kediamannya.Dia menarik napas dalam-dalam sebelum akhirnya turun dan masuk ke dalam rumahnya.Dadanya berdebar kencang, sedikit gelisah bercampur dengan amarah. Sebentar lagi, dia akan melihat Sandra, istrinya, yang selama ini menyimpan rahasia yang begitu kelam.Bagaimana mungkin Sandra bisa sejahat ini terhadapnya? Apa jangan-jangan Sandra yang membuatnya mabuk malam itu sehingga mereka akhirnya berhubungan di kamar hotel?Semua itu sebentar lagi akan terjawab.“Al!” Vivian melambaikan tangannya pada Al yang baru keluar dari kamarnya bersama seorang pengasuh. “Kakek sudah pulang. Ayo, beri kakek pelukan.”Pengasuh itu menyerahkan Al pada Vivian.Dan saat memeluk Al, Robert merasa seharusnya anaknya Kirana-lah yang berhak ada di rumah ini.Setelah itu, Al bermain di taman belakang. Sementara Robert duduk di ruang tengah bersama Thomas yang baru saja tiba.“Panggil Mamamu, Vi,” titah Robert. “Aku harus bicara padanya. Dan ada hal penting juga yang i
Derap langkah Vivian menggema di sepanjang selasar rumah sakit.Rambut wanita itu nampak berkibar-kibar karena jalannya yang cukup tergesa. Wajahnya nampak masam dengan tatapan tajam.Sampai akhirnya langkah Vivian terhenti tepat di depan kursi roda Kirana.Kedua mata mereka pun beradu. Vivian melempar tatapan nyalang, sementara Kirana hanya menatap datar perempuan di hadapannya ini.Lalu Vivian menatap Thomas yang berdiri di belakang Kirana, juga Mirah yang ikut mendampingi Kirana. Wanita itu mengembuskan napas kasar.“Kuharap kamu enggak lupa, Thomas, kalau kamu masih jadi suamiku. Tapi dirimu malah sibuk mengurusi wanita culas itu. Kamu bahkan melupakan Al, anakmu sendiri,” sindir Vivian.“Di mana Papaku? Seharusnya dia datang untuk mengambil sampel kan?” Kemudian Vivian mengedarkan pandangannya ke sekitar.“Papamu ada di dalam ruangan itu,” dagu Thomas mengarah ke ruangan yang tidak jauh dari tempat mereka berdiri. “Sampelnya sedang diambil. Kirana sudah melakukannya dan setelah i
Mirah menatap Kirana dengan iba karena wajah perempuan itu terlihat sangat sendu.Rasa bersalah juga terus menghantui Mirah karena selama ini dia menutupi kebenarannya.“Maafkan Bude…” ujar Mirah untuk yang kesekian kalinya. Kirana mengalihkan tatapannya dari luar jendela, menatap budenya. Wajah Mirah nampak begitu lesu.Kirana pun mencoba untuk tersenyum. “Semua bukan salah, Bude. Aku… aku hanya butuh waktu untuk menerima semua ini.”Mirah lantas beranjak ke pinggir ranjang Kirana. “Bude enggak tahu kalau Ratna ternyata bersekongkol untuk menutupi kejahatan di malam itu. Bude enggak habis pikir Ratna bisa berbuat seperti itu. Mungkin dia sudah putus asa ingin punya anak…”Kirana menghela napas pelan.“Tapi, walau bagaimanapun juga, aku akan selalu menganggap ibu sebagai ibuku. Ibu yang membesarkanku dengan susah payah. Dan sepanjang hidupku, aku merasakan kasih sayang dari Ibu. Aku enggak menyalahkan Ibu, Bude…”Mirah jadi terharu. Dia mengusap rambut Kirana. “Kamu memang anak yang