Kirana menggeliat, coba melepas kuncian Thomas pada tubuhnya.“Berjanjilah, kamu enggak akan teriak,” desis Thomas.Kirana mengangguk.“Kenapa kamu bisa masuk ke sini?!” cerocos Kirana begitu Thomas melepaskan dirinya.“Kamu enggak perlu tahu,” jawab Thomas santai.“Ini kejahatan, Thomas! Aku bisa melaporkanmu ke polisi!” ancam Kirana. “Aku yakin selama ini kamu menguntitku kan? Aku enggak pernah memberi tahu kamu di mana aku tinggal.”Thomas mengedikkan bahunya. “Pertama, aku enggak pernah menguntitmu. Mencarimu gampang. Tinggal tanya saja kurir ASI yang setiap hari datang ke rumahku. Dan kedua, kamu enggak bisa melaporkanku ke polisi, karena aku suamimu. Aku berhak mengunjungi istriku, istri keduaku.”Kirana mendesah keras. “Jadi, kamu belum menandatangani surat itu?”“Sepertinya aku enggak akan menandatangani surat cerai itu.”Kirana menatap Thomas heran. “Kenapa? Kamu mau menggantungkan statusku? Di kontrak pernikahan kita–aaa!”Thomas menghambur, mencengkram dagu Kirana. “Karena
Kirana terpaku. Dia berdiri gamang sambil memikirkan alasannya.“Ponselmu yang lain?” Gian memiringkan kepalanya.“Iya,” sergah Kirana cepat. “Itu ponselku yang satu lagi. Tunggu ya.”Bergegas, Kirana melesat ke kamarnya dan menutup pintu rapat-rapat.“Thomas!” Kirana berbisik sambil melotot ke arah suaminya.“Aku harus pergi sekarang,” ujar Thomas dengan nada rendah. Dia memakai pakaiannya satu per satu.“Sekarang? Ada Gian di luar.” “Aku harus menghadiri meeting penting, Kirana,” Thomas mengancingkan kemejanya. “Dalam tiga puluh menit.”“Ta-tapi–”“Alihkan perhatian pria itu,” titah Thomas. “Bagaimana pun caranya.”“Bagaimana?” Balas Kirana pasrah. “Pintu keluarnya hanya ada satu, Thomas. Dan Gian pasti melihatmu.”“Tapi aku harus pergi. Enggak mungkin kan aku loncat dari lantai dua puluh? Atau kamu usir saja pria itu,” ucap Thomas seenaknya.Kirana menghela napas pasrah sambil keluar kamar.“Mukamu pucat,” Gian menelisik Kirana. “Apa ada berita buruk? Kamu bilang Ibumu lagi sakit
Thomas dan Vivian saling bertukar pandang penuh amarah.“Apa katamu?” Napas Vivian menderu.“Dia masih jadi istriku,” balas Thomas tajam.“Tidak… seharusnya kalian sudah bercerai,” geram Vivian. “Kontrak pernikahan sialan itu sudah selesai!”“Aku belum menandatangani surat cerai itu,” aku Thomas.Hati Vivian mencelos mendengarnya. “Kamu sengaja? Kamu masih ingin mempertahankan wanita itu? Kenapa?” Vivian menghambur ke arah Thomas, menarik kemejanya dengan kasar. “Kamu mencintainya, mencintai wanita rendahan itu? Atau dia memang sungguh luar biasa di atas ranjang, hah?!”Bibir Thomas hanya terkatup rapat, tidak memberi jawaban.Plak!Satu tamparan keras mendarat di pipi Thomas.“Brengsek kamu, Thomas!” Vivian terisak, meninggalkan barang belanjaannya begitu saja dan pergi ke kamarnya.Brak!Suara pintu yang membanting terdengar begitu keras hingga menggema ke lantai bawah.Thomas hanya mematung, merasa bersalah. Mungkin dia memang pria pengecut, yang tidak bisa melepas keduanya. Semen
Kebingungan tidak hanya menyergap Kirana, tapi juga Sandra dan Sutono.“Untuk siapa?” Tanya Robert lagi. Tidak ada nada mendesak di sana. Namun bagi Kirana, pertanyaan Robert itu sulit untuk dijawab. “Untuk anakmu? Apa dia ikut bersamamu?”Kirana mereguk ludahnya. Dia tersenyum kaku. Dan saat Kirana hampir menganggukkan kepalanya, dewi penyelamat itu datang.Wangi parfum manis yang tajam menyeruak. Melinda muncul, memamerkan senyum keterkejutannya atas kedatangan besannya.“Me-Melinda…” desis Sandra pelan, mengirim sinyal bahaya.Melinda mengangguk pelan. Dia akan mengendalikan situasi.“Tentu saja, untuk Baby Al, Robert. Cucu kesay
“Apa niatmu, Thomas?” Tanya Melinda tanpa basa-basi di ujung telepon.Thomas terpaksa menyingkirkan tumpukan dokumen yang sedang dia baca. Keningnya pun nampak bergelombang. “Aku enggak mengerti maksud Mama.”Melinda menghela napas berat. “Jangan pikir Mama enggak tahu. Kamu belum menandatangani surat perceraian itu kan?”Thomas terdiam.“Kenapa? Apa kamu… menyukai wanita itu?” desak Melinda lagi.“Aku lupa. Banyak hal yang harus kulakukan,” balas Thomas.“Kalau begitu, jangan tanda tangani surat itu.”“Apa?” Thomas nampak terkejut.
Jantung Kirana berdentum cepat mendengar ucapan Salim.Dia lalu menatap bapaknya tajam. “Aku enggak mengerti maksud Bapak.”Salim mendengus pelan. “Nak, dari raut wajahmu saja Bapak bisa menebak kalau kamu tegang. Kenapa? Apa karena rahasiamu ketahuan sama Bapak?”Salim mendekati Kirana dan berbicara dengan nada berbisik. “Kita bocorkan kontrak pernikahanmu dengan pria itu ke media.”Bibir Kirana bergemeletuk pelan. Dadanya kini dipenuhi amarah. Siapa yang berani membocorkan rahasianya? Hanya ada tiga orang yang tahu.“Jangan main-main, Pak. Itu semua fitnah!”“Fitnah? Kirana, Bapak bahkan yakin kalau bayi itu adalah cucu Bapak
“Makasih ya, Ganteng.” kecupan itu kembali mendarat di pipi Romi. Wanita berumur empat puluhan akhir itu lalu bergegas turun dari ranjang dan berpakaian.“Kamu bisa menginap di sini sampai besok,” ucap wanita itu lagi. “Sayangnya, aku harus kembali ke keluargaku. Karena kalau tidak, suamiku pasti curiga.”“Makasih, Tante,” balas Romi masih dari balik selimutnya.“Nanti kalau Tante butuh kamu lagi, selalu stand by ya, Sayang…” wanita itu meraih tasnya.Romi mengangguk sambil mengedipkan sebelah matanya. “Tentu saja, Tante. Aku siap 24 jam demi kepuasan, Tante.”“Itu yang pengin Tante dengar. Bye, Sayangku!”
“Dari mana saja?”Suara itu sontak menghentikan langkah Vivian. Seketika lampu kamar tidurnya menyala. Thomas duduk di sofa yang ada di sudut ruangan itu.Pria itu bersedekap sambil menatap istrinya tajam.“Dua hari kamu menghilang, meninggalkan Baby Al begitu saja,” lanjut Thomas.Vivian mendengus, membalas tatapan Thomas. “Apa pedulimu? Bukannya wanita murahan itu bisa mengurus Al dengan baik, hah?”“Aku minta maaf,” tandas Thomas.“Bahkan nada suaramu terdengar seperti robot,” sindir Vivian.Thomas bangkit dan bergerak mendekat. “Sungguh, aku sudah membuatmu kecewa… Tapi, satu hal yang perlu kamu tahu, Vi. Aku menyayangimu. Sedari awal, aku enggak berniat untuk menyakitimu.”Vivian menyibakkan rambutnya, menatap lurus ke bola mata Thomas yang nampak sayu. “Kalau begitu, jujur padaku. Apa kamu menyukai Kirana?”Keheningan menggantung sesaat.“Apa kamu mencintai wanita itu, Thomas? Jawab pertanyaanku,” desak Vivian.Namun, bibir Thomas malah terkatup rapat.“Ha, kamu bahkan enggak bi
Kirana memandangi pantulan dirinya di depan cermin.Gaun putih berekor panjang itu nampak berkilau diterpa cahaya matahari yang menerobos melalui jendela.“Cantik sekali…” ucap Melinda, muncul dari balik punggung Kirana.Leher jenjang Kirana terlihat jelas karena rambutnya digelung ke atas. Lantas, Melinda mengaitkan liontin emas di leher Kirana.Setelah mengetahui semuanya, Melinda dan Sutono merasa begitu malu serta bersalah.Perempuan yang dulu mereka rendahkan itu ternyata anak seorang konglomerat. Saat Thomas mengutarakan untuk menikahi Kirana setelah resmi bercerai dengan Vivian, Melinda dan Sutono akhirnya meminta maaf dengan tulus pada Kirana.Dan sekarang rasa bangga menyelimuti hati Melinda. Kirana nampak begitu anggun dan menawan. Kecantikannya terpancar walau gaunnya tidak terlalu mewah seperti pernikahan Vivian.“Ma!” Seketika Al muncul dengan langkah mungilnya, bergerak ke arah Kirana.“Sayang!” Senyum Kirana langsung merekah.Kedua tangan Al menggapai ke atas, pertanda
Sinar matahari pagi menyorot masuk melalui jendela kaca kafe yang besar itu.Di meja yang berada di sudut kafe, Kirana dan Vivian duduk berhadapan.Selama beberapa saat kecanggungan menguar di udara. Vivian nampak tertunduk dalam. “Maafkan aku…” Akhirnya Vivian berani mengutarakan niatnya. Suaranya terdengar bergetar dan penuh penyesalan. “Maafkan aku, Kirana. Aku sudah memperlakukanmu begitu buruk.”Senyum tipis terukir di wajah Kirana. Helaian rambut wanita itu bergerak pelan. “Tidak, seharusnya aku yang minta maaf padamu. Aku paham kenapa kamu membenciku. Itu karena aku telah merebut Thomas darimu. Aku tahu, kamu begitu mencintai Thomas. Jadi, maafkan aku.”Vivian mendongak. Kedua bola matanya kini nampak sayu, tidak seperti dulu yang penuh ambisi dan terkadang berkilat penuh amarah juga kesombongan.“Kamu enggak perlu minta maaf padaku. Kalian saling mencintai dan Thomas memang berhak mendapatkan wanita seperti dirimu, Kirana. Aku enggak layak untuk Thomas…” Lantas, kedua tangan
Samar-samar Vivian menangkap suara alat detak jantung yang berirama.Kedua kelopak matanya terasa begitu berat untuk membuka. Saat akhirnya di berhasil, cahaya putih seakan menusuk pandangannya.Kepalanya lantas berdenyut nyeri.Vivian merasa tubuhnya kaku. Selang melintang di wajahnya. Dia mencoba untuk mengerang, namun suaranya seakan tertahan di tenggorokan.“Errgh…” erang Vivian pada akhirnya.Beribu pertanyaan menyerbu benaknya. Apa yang terjadi pada dirinya? Kenapa dia bisa terbaring lemah di atas ranjang rumah sakit yang begitu dingin.Seketika seorang perawat datang, mengecek keadaan Vivian. Wanita itu tidak bisa mendengar jelas apa yang dikatakan perawat itu pada rekannya.Sampai seorang dokter yang mengenakan jas putih datang mendekat.Dokter itu mencondongkan tubuhnya ke arah Vivian, membuka lebar kedua kelopak matanya sambil menyinarinya dengan senter yang terang.Lalu, dia berujar tepat di telinga Vivian. “Ini keajaiban. Kamu selamat, Vivian. Kamu telah sadar dari tidurmu
Seharusnya, Kirana tidak merasa gelisah seperti ini. Namun, entah kenapa, tangannya tetap gemetar saat membuka amplop yang berisi hasil tes DNA antara dirinya dengan Robert Winarta.Robert, yang duduk di seberang Kirana, nampak tersenyum lega saat melihat hasilnya.Kirana memang benar anak kandungnya. Dia sudah yakin soal itu.Pengacara Robert lantas menyerahkan beberapa lembar dokumen di hadapan Kirana.“Sekarang, kamu adalah Kirana Winarta,” tukas pengacara itu. “Walau masih butuh proses untuk mengganti namamu di setiap dokumen.”Kirana menatap lembaran kertas ini. Keningnya agak mengernyit.“Tanda tanganilah, Nak. Itu hakmu. Aku akan mewariskan setengah hartaku untuk dirimu,” ucap Robert.“Tapi…”“Aku akan sangat marah kalau kamu menolak untuk menandatanganinya,” ancam Robert dengan nada bercanda.Dengan sedikit keraguan, Kirana akhirnya membubuhkan tanda tangannya.“Kamu sah menjadi pemegang saham terbesar di Winarta Holdings. Selamat, Kirana.” Pengacara Robert menjabat tangan Kir
Sambil mendekap dokumen adopsinya, Vivian melangkah masuk ke dalam panti asuhan itu, tempat di mana ibu kandungnya yang tidak bertanggung jawab menyerahkan dirinya sewaktu bayi.Berkat donasi Robert setiap tahunnya, fasilitas di panti asuhan itu cukup mumpuni.Mata Vivian berkeliling, memandangi para penghuni panti.Sampai akhirnya, Vivian berhadapan dengan pengurus panti yang mungkin berusia lima puluh tahunan awal.Wajah wanita itu sangat ramah saat menyambut kedatangan Vivian.“Aku ingin mengetahui soal ibuku,” ucap Vivian tanpa basa-basi sambil menyerahkan dokumen adopsinya.Wanita itu mengeceknya dengan seksama. “Ah, kamu…” Wanita itu mendongak sambil tersenyum lebar. Sorot matanya begitu bahagia. “Aku ingat betul, ibu kandungmu datang berpuluh-puluh tahun lalu dan menyerahkanmu ke sini. Sekarang, kamu sudah tumbuh jadi wanita yang cantik…”“Di mana dia?” Tanya Vivian dingin.Pengurus panti itu lalu beranjak ke sebuah lemari besar, mencari-cari sesuatu.Setelah beberapa saat, dia
Napas Robert tertahan, begitu pula dengan Thomas.Mereka mengira Vivian sudah terlelap. Namun siapa sangka, perempuan itu kini bergerak mendekat ke arah mereka.Wajahnya diselimuti rasa penasaran yang mendalam.“Rahasia apa yang Papa dan Mama sembunyikan selama ini?” Desak Vivian lagi. “Dan hal penting apa yang ingin Papa sampaikan padaku?”Robert menelan ludahnya dalam-dalam. Dia menarik napas sejenak. Sepertinya dia memang harus memberi tahu apa yang terjadi secepatnya. “Duduklah,” pinta Robert pada akhirnya. “Aku akan menceritakan semuanya padamu.”Jantung Vivian jadi berdetak cepat. Dia merasa apa yang akan dikatakan Robert adalah sesuatu yang buruk. Apalagi dia sempat mendengar Robert memanggil Sandra dengan sebutan wanita sialan.Seumur hidupnya, Vivian selalu menyaksikan keharmonisan kedua orangtuanya. Apa mereka selama ini hanya berpura-pura? Pikiran Vivian pun terus berkecamuk.Sadar diri, Thomas beranjak, membiarkan Vivian dan Robert berdua saja.Tetapi, secara mengejutkan
Robert Winarta akhirnya kembali ke kediamannya.Dia menarik napas dalam-dalam sebelum akhirnya turun dan masuk ke dalam rumahnya.Dadanya berdebar kencang, sedikit gelisah bercampur dengan amarah. Sebentar lagi, dia akan melihat Sandra, istrinya, yang selama ini menyimpan rahasia yang begitu kelam.Bagaimana mungkin Sandra bisa sejahat ini terhadapnya? Apa jangan-jangan Sandra yang membuatnya mabuk malam itu sehingga mereka akhirnya berhubungan di kamar hotel?Semua itu sebentar lagi akan terjawab.“Al!” Vivian melambaikan tangannya pada Al yang baru keluar dari kamarnya bersama seorang pengasuh. “Kakek sudah pulang. Ayo, beri kakek pelukan.”Pengasuh itu menyerahkan Al pada Vivian.Dan saat memeluk Al, Robert merasa seharusnya anaknya Kirana-lah yang berhak ada di rumah ini.Setelah itu, Al bermain di taman belakang. Sementara Robert duduk di ruang tengah bersama Thomas yang baru saja tiba.“Panggil Mamamu, Vi,” titah Robert. “Aku harus bicara padanya. Dan ada hal penting juga yang i
Derap langkah Vivian menggema di sepanjang selasar rumah sakit.Rambut wanita itu nampak berkibar-kibar karena jalannya yang cukup tergesa. Wajahnya nampak masam dengan tatapan tajam.Sampai akhirnya langkah Vivian terhenti tepat di depan kursi roda Kirana.Kedua mata mereka pun beradu. Vivian melempar tatapan nyalang, sementara Kirana hanya menatap datar perempuan di hadapannya ini.Lalu Vivian menatap Thomas yang berdiri di belakang Kirana, juga Mirah yang ikut mendampingi Kirana. Wanita itu mengembuskan napas kasar.“Kuharap kamu enggak lupa, Thomas, kalau kamu masih jadi suamiku. Tapi dirimu malah sibuk mengurusi wanita culas itu. Kamu bahkan melupakan Al, anakmu sendiri,” sindir Vivian.“Di mana Papaku? Seharusnya dia datang untuk mengambil sampel kan?” Kemudian Vivian mengedarkan pandangannya ke sekitar.“Papamu ada di dalam ruangan itu,” dagu Thomas mengarah ke ruangan yang tidak jauh dari tempat mereka berdiri. “Sampelnya sedang diambil. Kirana sudah melakukannya dan setelah i
Mirah menatap Kirana dengan iba karena wajah perempuan itu terlihat sangat sendu.Rasa bersalah juga terus menghantui Mirah karena selama ini dia menutupi kebenarannya.“Maafkan Bude…” ujar Mirah untuk yang kesekian kalinya. Kirana mengalihkan tatapannya dari luar jendela, menatap budenya. Wajah Mirah nampak begitu lesu.Kirana pun mencoba untuk tersenyum. “Semua bukan salah, Bude. Aku… aku hanya butuh waktu untuk menerima semua ini.”Mirah lantas beranjak ke pinggir ranjang Kirana. “Bude enggak tahu kalau Ratna ternyata bersekongkol untuk menutupi kejahatan di malam itu. Bude enggak habis pikir Ratna bisa berbuat seperti itu. Mungkin dia sudah putus asa ingin punya anak…”Kirana menghela napas pelan.“Tapi, walau bagaimanapun juga, aku akan selalu menganggap ibu sebagai ibuku. Ibu yang membesarkanku dengan susah payah. Dan sepanjang hidupku, aku merasakan kasih sayang dari Ibu. Aku enggak menyalahkan Ibu, Bude…”Mirah jadi terharu. Dia mengusap rambut Kirana. “Kamu memang anak yang