Wajah Kirana berkeringat. Matanya terpejam erat, napasnya berat penuh tekad.
Sudah berjam-jam dia bertahan dalam rasa sakit yang luar biasa, dan kini kontraksinya semakin intens, mendekati puncak.
Di balik masker yang menutupi sebagian wajahnya, Thomas berdiri di samping istri keduanya. Matanya tidak pernah lepas dari Kirana, mata yang memandangnya penuh perhatian sekaligus kecemasan.
“Aku di sini bersamamu,” bisik Thomas, begitu Kirana meremas tangannya dengan erat.
Kirana hanya mengangguk pelan. Kontraksi itu benar-benar membuat dirinya tidak berdaya. Dia bisa merasakan bayinya semakin turun, mendesak keluar.
Semua yang diajarkan oleh suster–tentang cara bernapas dan mengejan yang benar–kini lenyap d
Suara monitor detak jantung yang pelan dan teratur terdengar.Kirana terbaring lemah di atas ranjang. Kini dirinya sudah sadar sepenuhnya.Kepalanya berdenyut-denyut. Beberapa jam lalu dia mengalami pendarahan hebat. Meski keadaannya perlahan stabil, kejadian traumatis itu masih menggantung di pikirannya.Pikiran Kirana pun langsung tertuju pada bayinya. Apa bayinya sehat? Bagaimana rupanya?Dia hanya mengingat samar tangisan kencang bayi itu.Kirana mencoba bergerak, tetapi beberapa jahitan di bagian bawah tubuhnya membuatnya meringis pelan dan berhenti.Kekosongan menyeruak. Ini begitu menyedihkan. Dia sendirian tanpa ada yang peduli.
Malam terasa begitu dingin. Dari atas sini, Kirana bisa melihat hiruk pikuk yang terjadi di bawah sana.Hujan lebat yang baru saja berhenti, membuat kendaraan-kendaraan itu mengular, terjebak dalam kemacetan.Jendela apartemennya sedikit berembun. Tiba-tiba Kirana melihat sosok yang menghampirinya dari pantulan jendela.Kedua tangan pria itu melingkar di pinggulnya, meremasnya erat.“Thomas…” desis Kirana.Dagu Thomas bertengger di bahu Kirana. Napasnya mengembus pelan. “Aku merindukanmu, Sayang…Kenapa kamu pergi begitu saja, menghilang tanpa memberitahuku?”“Aku memang harus pergi. Kontrak kita sudah berakhir.”
“Ya ampun, Kirana!” Gian terperangah melihat Kirana yang muncul di toko rotinya. “Apa kabar? Kamu sudah melahirkan?”Kirana tersenyum tipis. “Begitulah.”Dan saat Gian mengorek lebih dalam soal kelahiran anak Kirana, perempuan itu nampak tidak nyaman–Gian tahu itu. Binar di mata Kirana mendadak meredup dan senyumnya lenyap.Kirana langsung menuju ke rak kaca, di mana tart-tart yang menggiurkan terpajang, seolah berusaha menghindari topik itu.“Jadi, kamu mau beli tart apa?” Gian mengikuti Kirana. “Biar kutebak, mungkin tart stroberi, seperti pesananmu waktu itu?”“Betul, tiba-tiba aku ingin tart buatanmu, Gian.”
Mobil Thomas melaju kencang. Bukan karena dia ingin mereka cepat sampai ke rumah, namun karena hatinya masih dibakar cemburu.Mereka berpelukan dengan mesra! Pekik Thomas dalam hati.“Bagaimana bisa Al sakit? Kenapa kalian enggak menjaganya dengan baik?” Tanya Kirana cemas.“Tutup mulutmu,” tandas Thomas.“Kenapa aku harus diam? Anakku sakit, Thomas!”“Dia bukan anakmu. Tapi anak kami! Kamu lupa kalau kamu hanyalah alat untuk melahirkan keturunan bagi keluarga kami, hah?”“Kalau begitu, kamu enggak usah mencariku,” tukas Kirana sinis. “Urus saja anak kalian sendiri!”“Kamu enggak bisa pergi begitu saja!” Cit! Thomas menghentikan mobilnya tiba-tiba di pinggir jalan.Kirana menjerit seiring dengan tubuhnya yang terantuk ke depan.“Jangan pernah temui pria itu lagi,” tekan Thomas dingin. Napasnya masih memburu.Kirana mendengus. “Apa urusanmu? Kontrak pernikahan kita sudah selesai, dan aku sudah menandatangani surat perceraian.”Kirana terkesiap begitu Thomas mencengkram dagunya. Tubuh
Kirana menggeliat, coba melepas kuncian Thomas pada tubuhnya.“Berjanjilah, kamu enggak akan teriak,” desis Thomas.Kirana mengangguk.“Kenapa kamu bisa masuk ke sini?!” cerocos Kirana begitu Thomas melepaskan dirinya.“Kamu enggak perlu tahu,” jawab Thomas santai.“Ini kejahatan, Thomas! Aku bisa melaporkanmu ke polisi!” ancam Kirana. “Aku yakin selama ini kamu menguntitku kan? Aku enggak pernah memberi tahu kamu di mana aku tinggal.”Thomas mengedikkan bahunya. “Pertama, aku enggak pernah menguntitmu. Mencarimu gampang. Tinggal tanya saja kurir ASI yang setiap hari datang ke rumahku. Dan kedua, kamu enggak bisa melaporkanku ke polisi, karena aku suamimu. Aku berhak mengunjungi istriku, istri keduaku.”Kirana mendesah keras. “Jadi, kamu belum menandatangani surat itu?”“Sepertinya aku enggak akan menandatangani surat cerai itu.”Kirana menatap Thomas heran. “Kenapa? Kamu mau menggantungkan statusku? Di kontrak pernikahan kita–aaa!”Thomas menghambur, mencengkram dagu Kirana. “Karena
Kirana terpaku. Dia berdiri gamang sambil memikirkan alasannya.“Ponselmu yang lain?” Gian memiringkan kepalanya.“Iya,” sergah Kirana cepat. “Itu ponselku yang satu lagi. Tunggu ya.”Bergegas, Kirana melesat ke kamarnya dan menutup pintu rapat-rapat.“Thomas!” Kirana berbisik sambil melotot ke arah suaminya.“Aku harus pergi sekarang,” ujar Thomas dengan nada rendah. Dia memakai pakaiannya satu per satu.“Sekarang? Ada Gian di luar.” “Aku harus menghadiri meeting penting, Kirana,” Thomas mengancingkan kemejanya. “Dalam tiga puluh menit.”“Ta-tapi–”“Alihkan perhatian pria itu,” titah Thomas. “Bagaimana pun caranya.”“Bagaimana?” Balas Kirana pasrah. “Pintu keluarnya hanya ada satu, Thomas. Dan Gian pasti melihatmu.”“Tapi aku harus pergi. Enggak mungkin kan aku loncat dari lantai dua puluh? Atau kamu usir saja pria itu,” ucap Thomas seenaknya.Kirana menghela napas pasrah sambil keluar kamar.“Mukamu pucat,” Gian menelisik Kirana. “Apa ada berita buruk? Kamu bilang Ibumu lagi sakit
Thomas dan Vivian saling bertukar pandang penuh amarah.“Apa katamu?” Napas Vivian menderu.“Dia masih jadi istriku,” balas Thomas tajam.“Tidak… seharusnya kalian sudah bercerai,” geram Vivian. “Kontrak pernikahan sialan itu sudah selesai!”“Aku belum menandatangani surat cerai itu,” aku Thomas.Hati Vivian mencelos mendengarnya. “Kamu sengaja? Kamu masih ingin mempertahankan wanita itu? Kenapa?” Vivian menghambur ke arah Thomas, menarik kemejanya dengan kasar. “Kamu mencintainya, mencintai wanita rendahan itu? Atau dia memang sungguh luar biasa di atas ranjang, hah?!”Bibir Thomas hanya terkatup rapat, tidak memberi jawaban.Plak!Satu tamparan keras mendarat di pipi Thomas.“Brengsek kamu, Thomas!” Vivian terisak, meninggalkan barang belanjaannya begitu saja dan pergi ke kamarnya.Brak!Suara pintu yang membanting terdengar begitu keras hingga menggema ke lantai bawah.Thomas hanya mematung, merasa bersalah. Mungkin dia memang pria pengecut, yang tidak bisa melepas keduanya. Semen
Kebingungan tidak hanya menyergap Kirana, tapi juga Sandra dan Sutono.“Untuk siapa?” Tanya Robert lagi. Tidak ada nada mendesak di sana. Namun bagi Kirana, pertanyaan Robert itu sulit untuk dijawab. “Untuk anakmu? Apa dia ikut bersamamu?”Kirana mereguk ludahnya. Dia tersenyum kaku. Dan saat Kirana hampir menganggukkan kepalanya, dewi penyelamat itu datang.Wangi parfum manis yang tajam menyeruak. Melinda muncul, memamerkan senyum keterkejutannya atas kedatangan besannya.“Me-Melinda…” desis Sandra pelan, mengirim sinyal bahaya.Melinda mengangguk pelan. Dia akan mengendalikan situasi.“Tentu saja, untuk Baby Al, Robert. Cucu kesay