Kirana ingat betul, ibunya mengusir bapaknya dari rumah saat pria itu tiba-tiba datang dan meminta uang padanya.
Bahkan Ratna sampai berucap untuk menceraikan dirinya dan berharap Salim tidak pernah muncul lagi di hadapan mereka.
Tapi…kenapa sekarang Kirana malah mendapati bapaknya ada di sini?
“Kirana?” Kantuk Salim lenyap seketika. “Masuklah, Nak.”
Namun Kirana bergeming. “Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa Bapak bisa ada di sini?”
Sebelum menjawab pertanyaan putrinya, pandangan Salim keburu tertuju ke perut Kirana yang besar. Menyadarinya, cepat-cepat Kirana merapatkan kardigannya.
“Sepertinya Bapak lebih butuh penjelasan
Lima hari lagi Kirana akan terbang ke Singapura. Dia sudah mempersiapkan semuanya. Kopernya sudah beres dan segala dokumen perjalanan pun sudah selesai diurus.Kirana mengelus perutnya. Dua bulan lagi dia melahirkan, namun rasa takut, gugup menyergap dirinya.“Kamu enggak perlu cemas,” tukas Melinda saat mereka berada di ruangan wanita itu, seolah ibu mertuanya bisa membaca pikirannya. “Fasilitasnya lengkap dan kamu akan ditangani oleh dokter yang terpercaya.”Kirana hanya bisa manggut-manggut sambil memegang dokumen perjalanannya.“Tapi ingat, di sana kamu enggak boleh keluyuran,” tukas Melinda lagi. “Kamu hanya boleh keluar di sekitaran apartemen saja. Paham?”“Ya, Nyony
“Kirana tidak jadi melahirkan di Singapura,” tandas Melinda.Vivian melepas kacamata hitam yang bertengger di wajahnya, memperlihatkan ekspresinya yang terkejut.“Ada masalah apa, Ma? Apa bayiku baik-baik saja?” Ekspresi Vivian nampak cemas.Beberapa jam sebelum mereka berangkat ke bandara, tiba-tiba Kirana merasa perutnya kram. Akhirnya, Melinda mengantar menantunya itu ke dokter.Dokter menyarankan agar Kirana sebaiknya tidak melakukan perjalanan jauh di usia kehamilan yang memasuki bulan ke-7. Melinda nampak jengkel karena seminggu sebelumnya kehamilan Kirana baik-baik saja dan berhasil mendapatkan rekomendasi surat bepergian dari dokter.Kemungkinan besar Kirana stres, dan dia coba untuk mengabaika
Ruang bersalin begitu dingin dan Kirana terbaring di ranjang.Satu jam yang lalu dokter bilang dia sudah ada di pembukaan tujuh, artinya sebentar lagi dia bisa melahirkan.Namun penantian itu seolah tidak berujung. Detik demi detik, dirinya dihantam oleh rasa nyeri yang luar biasa.Tangan kirinya menggenggam erat sprei, sementara tangan kanannya mengusap perutnya yang terasa seperti ditusuk dari dalam.Setiap kali kontraksi datang, tubuhnya meringkuk, berusaha menahan jeritan yang menggema di dalam dirinya.Dan semua rasa sakit ini harus dia tanggung sendirian. Tidak ada siapa pun yang menemaninya.Berkali-kali, Kirana memejamkan mata, menggigit lebih keras, berharap rasa sakit in
Wajah Kirana berkeringat. Matanya terpejam erat, napasnya berat penuh tekad.Sudah berjam-jam dia bertahan dalam rasa sakit yang luar biasa, dan kini kontraksinya semakin intens, mendekati puncak.Di balik masker yang menutupi sebagian wajahnya, Thomas berdiri di samping istri keduanya. Matanya tidak pernah lepas dari Kirana, mata yang memandangnya penuh perhatian sekaligus kecemasan.“Aku di sini bersamamu,” bisik Thomas, begitu Kirana meremas tangannya dengan erat.Kirana hanya mengangguk pelan. Kontraksi itu benar-benar membuat dirinya tidak berdaya. Dia bisa merasakan bayinya semakin turun, mendesak keluar.Semua yang diajarkan oleh suster–tentang cara bernapas dan mengejan yang benar–kini lenyap d
Suara monitor detak jantung yang pelan dan teratur terdengar.Kirana terbaring lemah di atas ranjang. Kini dirinya sudah sadar sepenuhnya.Kepalanya berdenyut-denyut. Beberapa jam lalu dia mengalami pendarahan hebat. Meski keadaannya perlahan stabil, kejadian traumatis itu masih menggantung di pikirannya.Pikiran Kirana pun langsung tertuju pada bayinya. Apa bayinya sehat? Bagaimana rupanya?Dia hanya mengingat samar tangisan kencang bayi itu.Kirana mencoba bergerak, tetapi beberapa jahitan di bagian bawah tubuhnya membuatnya meringis pelan dan berhenti.Kekosongan menyeruak. Ini begitu menyedihkan. Dia sendirian tanpa ada yang peduli.
Malam terasa begitu dingin. Dari atas sini, Kirana bisa melihat hiruk pikuk yang terjadi di bawah sana.Hujan lebat yang baru saja berhenti, membuat kendaraan-kendaraan itu mengular, terjebak dalam kemacetan.Jendela apartemennya sedikit berembun. Tiba-tiba Kirana melihat sosok yang menghampirinya dari pantulan jendela.Kedua tangan pria itu melingkar di pinggulnya, meremasnya erat.“Thomas…” desis Kirana.Dagu Thomas bertengger di bahu Kirana. Napasnya mengembus pelan. “Aku merindukanmu, Sayang…Kenapa kamu pergi begitu saja, menghilang tanpa memberitahuku?”“Aku memang harus pergi. Kontrak kita sudah berakhir.”
“Ya ampun, Kirana!” Gian terperangah melihat Kirana yang muncul di toko rotinya. “Apa kabar? Kamu sudah melahirkan?”Kirana tersenyum tipis. “Begitulah.”Dan saat Gian mengorek lebih dalam soal kelahiran anak Kirana, perempuan itu nampak tidak nyaman–Gian tahu itu. Binar di mata Kirana mendadak meredup dan senyumnya lenyap.Kirana langsung menuju ke rak kaca, di mana tart-tart yang menggiurkan terpajang, seolah berusaha menghindari topik itu.“Jadi, kamu mau beli tart apa?” Gian mengikuti Kirana. “Biar kutebak, mungkin tart stroberi, seperti pesananmu waktu itu?”“Betul, tiba-tiba aku ingin tart buatanmu, Gian.”
Mobil Thomas melaju kencang. Bukan karena dia ingin mereka cepat sampai ke rumah, namun karena hatinya masih dibakar cemburu.Mereka berpelukan dengan mesra! Pekik Thomas dalam hati.“Bagaimana bisa Al sakit? Kenapa kalian enggak menjaganya dengan baik?” Tanya Kirana cemas.“Tutup mulutmu,” tandas Thomas.“Kenapa aku harus diam? Anakku sakit, Thomas!”“Dia bukan anakmu. Tapi anak kami! Kamu lupa kalau kamu hanyalah alat untuk melahirkan keturunan bagi keluarga kami, hah?”“Kalau begitu, kamu enggak usah mencariku,” tukas Kirana sinis. “Urus saja anak kalian sendiri!”“Kamu enggak bisa pergi begitu saja!” Cit! Thomas menghentikan mobilnya tiba-tiba di pinggir jalan.Kirana menjerit seiring dengan tubuhnya yang terantuk ke depan.“Jangan pernah temui pria itu lagi,” tekan Thomas dingin. Napasnya masih memburu.Kirana mendengus. “Apa urusanmu? Kontrak pernikahan kita sudah selesai, dan aku sudah menandatangani surat perceraian.”Kirana terkesiap begitu Thomas mencengkram dagunya. Tubuh
Kirana memandangi pantulan dirinya di depan cermin.Gaun putih berekor panjang itu nampak berkilau diterpa cahaya matahari yang menerobos melalui jendela.“Cantik sekali…” ucap Melinda, muncul dari balik punggung Kirana.Leher jenjang Kirana terlihat jelas karena rambutnya digelung ke atas. Lantas, Melinda mengaitkan liontin emas di leher Kirana.Setelah mengetahui semuanya, Melinda dan Sutono merasa begitu malu serta bersalah.Perempuan yang dulu mereka rendahkan itu ternyata anak seorang konglomerat. Saat Thomas mengutarakan untuk menikahi Kirana setelah resmi bercerai dengan Vivian, Melinda dan Sutono akhirnya meminta maaf dengan tulus pada Kirana.Dan sekarang rasa bangga menyelimuti hati Melinda. Kirana nampak begitu anggun dan menawan. Kecantikannya terpancar walau gaunnya tidak terlalu mewah seperti pernikahan Vivian.“Ma!” Seketika Al muncul dengan langkah mungilnya, bergerak ke arah Kirana.“Sayang!” Senyum Kirana langsung merekah.Kedua tangan Al menggapai ke atas, pertanda
Sinar matahari pagi menyorot masuk melalui jendela kaca kafe yang besar itu.Di meja yang berada di sudut kafe, Kirana dan Vivian duduk berhadapan.Selama beberapa saat kecanggungan menguar di udara. Vivian nampak tertunduk dalam. “Maafkan aku…” Akhirnya Vivian berani mengutarakan niatnya. Suaranya terdengar bergetar dan penuh penyesalan. “Maafkan aku, Kirana. Aku sudah memperlakukanmu begitu buruk.”Senyum tipis terukir di wajah Kirana. Helaian rambut wanita itu bergerak pelan. “Tidak, seharusnya aku yang minta maaf padamu. Aku paham kenapa kamu membenciku. Itu karena aku telah merebut Thomas darimu. Aku tahu, kamu begitu mencintai Thomas. Jadi, maafkan aku.”Vivian mendongak. Kedua bola matanya kini nampak sayu, tidak seperti dulu yang penuh ambisi dan terkadang berkilat penuh amarah juga kesombongan.“Kamu enggak perlu minta maaf padaku. Kalian saling mencintai dan Thomas memang berhak mendapatkan wanita seperti dirimu, Kirana. Aku enggak layak untuk Thomas…” Lantas, kedua tangan
Samar-samar Vivian menangkap suara alat detak jantung yang berirama.Kedua kelopak matanya terasa begitu berat untuk membuka. Saat akhirnya di berhasil, cahaya putih seakan menusuk pandangannya.Kepalanya lantas berdenyut nyeri.Vivian merasa tubuhnya kaku. Selang melintang di wajahnya. Dia mencoba untuk mengerang, namun suaranya seakan tertahan di tenggorokan.“Errgh…” erang Vivian pada akhirnya.Beribu pertanyaan menyerbu benaknya. Apa yang terjadi pada dirinya? Kenapa dia bisa terbaring lemah di atas ranjang rumah sakit yang begitu dingin.Seketika seorang perawat datang, mengecek keadaan Vivian. Wanita itu tidak bisa mendengar jelas apa yang dikatakan perawat itu pada rekannya.Sampai seorang dokter yang mengenakan jas putih datang mendekat.Dokter itu mencondongkan tubuhnya ke arah Vivian, membuka lebar kedua kelopak matanya sambil menyinarinya dengan senter yang terang.Lalu, dia berujar tepat di telinga Vivian. “Ini keajaiban. Kamu selamat, Vivian. Kamu telah sadar dari tidurmu
Seharusnya, Kirana tidak merasa gelisah seperti ini. Namun, entah kenapa, tangannya tetap gemetar saat membuka amplop yang berisi hasil tes DNA antara dirinya dengan Robert Winarta.Robert, yang duduk di seberang Kirana, nampak tersenyum lega saat melihat hasilnya.Kirana memang benar anak kandungnya. Dia sudah yakin soal itu.Pengacara Robert lantas menyerahkan beberapa lembar dokumen di hadapan Kirana.“Sekarang, kamu adalah Kirana Winarta,” tukas pengacara itu. “Walau masih butuh proses untuk mengganti namamu di setiap dokumen.”Kirana menatap lembaran kertas ini. Keningnya agak mengernyit.“Tanda tanganilah, Nak. Itu hakmu. Aku akan mewariskan setengah hartaku untuk dirimu,” ucap Robert.“Tapi…”“Aku akan sangat marah kalau kamu menolak untuk menandatanganinya,” ancam Robert dengan nada bercanda.Dengan sedikit keraguan, Kirana akhirnya membubuhkan tanda tangannya.“Kamu sah menjadi pemegang saham terbesar di Winarta Holdings. Selamat, Kirana.” Pengacara Robert menjabat tangan Kir
Sambil mendekap dokumen adopsinya, Vivian melangkah masuk ke dalam panti asuhan itu, tempat di mana ibu kandungnya yang tidak bertanggung jawab menyerahkan dirinya sewaktu bayi.Berkat donasi Robert setiap tahunnya, fasilitas di panti asuhan itu cukup mumpuni.Mata Vivian berkeliling, memandangi para penghuni panti.Sampai akhirnya, Vivian berhadapan dengan pengurus panti yang mungkin berusia lima puluh tahunan awal.Wajah wanita itu sangat ramah saat menyambut kedatangan Vivian.“Aku ingin mengetahui soal ibuku,” ucap Vivian tanpa basa-basi sambil menyerahkan dokumen adopsinya.Wanita itu mengeceknya dengan seksama. “Ah, kamu…” Wanita itu mendongak sambil tersenyum lebar. Sorot matanya begitu bahagia. “Aku ingat betul, ibu kandungmu datang berpuluh-puluh tahun lalu dan menyerahkanmu ke sini. Sekarang, kamu sudah tumbuh jadi wanita yang cantik…”“Di mana dia?” Tanya Vivian dingin.Pengurus panti itu lalu beranjak ke sebuah lemari besar, mencari-cari sesuatu.Setelah beberapa saat, dia
Napas Robert tertahan, begitu pula dengan Thomas.Mereka mengira Vivian sudah terlelap. Namun siapa sangka, perempuan itu kini bergerak mendekat ke arah mereka.Wajahnya diselimuti rasa penasaran yang mendalam.“Rahasia apa yang Papa dan Mama sembunyikan selama ini?” Desak Vivian lagi. “Dan hal penting apa yang ingin Papa sampaikan padaku?”Robert menelan ludahnya dalam-dalam. Dia menarik napas sejenak. Sepertinya dia memang harus memberi tahu apa yang terjadi secepatnya. “Duduklah,” pinta Robert pada akhirnya. “Aku akan menceritakan semuanya padamu.”Jantung Vivian jadi berdetak cepat. Dia merasa apa yang akan dikatakan Robert adalah sesuatu yang buruk. Apalagi dia sempat mendengar Robert memanggil Sandra dengan sebutan wanita sialan.Seumur hidupnya, Vivian selalu menyaksikan keharmonisan kedua orangtuanya. Apa mereka selama ini hanya berpura-pura? Pikiran Vivian pun terus berkecamuk.Sadar diri, Thomas beranjak, membiarkan Vivian dan Robert berdua saja.Tetapi, secara mengejutkan
Robert Winarta akhirnya kembali ke kediamannya.Dia menarik napas dalam-dalam sebelum akhirnya turun dan masuk ke dalam rumahnya.Dadanya berdebar kencang, sedikit gelisah bercampur dengan amarah. Sebentar lagi, dia akan melihat Sandra, istrinya, yang selama ini menyimpan rahasia yang begitu kelam.Bagaimana mungkin Sandra bisa sejahat ini terhadapnya? Apa jangan-jangan Sandra yang membuatnya mabuk malam itu sehingga mereka akhirnya berhubungan di kamar hotel?Semua itu sebentar lagi akan terjawab.“Al!” Vivian melambaikan tangannya pada Al yang baru keluar dari kamarnya bersama seorang pengasuh. “Kakek sudah pulang. Ayo, beri kakek pelukan.”Pengasuh itu menyerahkan Al pada Vivian.Dan saat memeluk Al, Robert merasa seharusnya anaknya Kirana-lah yang berhak ada di rumah ini.Setelah itu, Al bermain di taman belakang. Sementara Robert duduk di ruang tengah bersama Thomas yang baru saja tiba.“Panggil Mamamu, Vi,” titah Robert. “Aku harus bicara padanya. Dan ada hal penting juga yang i
Derap langkah Vivian menggema di sepanjang selasar rumah sakit.Rambut wanita itu nampak berkibar-kibar karena jalannya yang cukup tergesa. Wajahnya nampak masam dengan tatapan tajam.Sampai akhirnya langkah Vivian terhenti tepat di depan kursi roda Kirana.Kedua mata mereka pun beradu. Vivian melempar tatapan nyalang, sementara Kirana hanya menatap datar perempuan di hadapannya ini.Lalu Vivian menatap Thomas yang berdiri di belakang Kirana, juga Mirah yang ikut mendampingi Kirana. Wanita itu mengembuskan napas kasar.“Kuharap kamu enggak lupa, Thomas, kalau kamu masih jadi suamiku. Tapi dirimu malah sibuk mengurusi wanita culas itu. Kamu bahkan melupakan Al, anakmu sendiri,” sindir Vivian.“Di mana Papaku? Seharusnya dia datang untuk mengambil sampel kan?” Kemudian Vivian mengedarkan pandangannya ke sekitar.“Papamu ada di dalam ruangan itu,” dagu Thomas mengarah ke ruangan yang tidak jauh dari tempat mereka berdiri. “Sampelnya sedang diambil. Kirana sudah melakukannya dan setelah i
Mirah menatap Kirana dengan iba karena wajah perempuan itu terlihat sangat sendu.Rasa bersalah juga terus menghantui Mirah karena selama ini dia menutupi kebenarannya.“Maafkan Bude…” ujar Mirah untuk yang kesekian kalinya. Kirana mengalihkan tatapannya dari luar jendela, menatap budenya. Wajah Mirah nampak begitu lesu.Kirana pun mencoba untuk tersenyum. “Semua bukan salah, Bude. Aku… aku hanya butuh waktu untuk menerima semua ini.”Mirah lantas beranjak ke pinggir ranjang Kirana. “Bude enggak tahu kalau Ratna ternyata bersekongkol untuk menutupi kejahatan di malam itu. Bude enggak habis pikir Ratna bisa berbuat seperti itu. Mungkin dia sudah putus asa ingin punya anak…”Kirana menghela napas pelan.“Tapi, walau bagaimanapun juga, aku akan selalu menganggap ibu sebagai ibuku. Ibu yang membesarkanku dengan susah payah. Dan sepanjang hidupku, aku merasakan kasih sayang dari Ibu. Aku enggak menyalahkan Ibu, Bude…”Mirah jadi terharu. Dia mengusap rambut Kirana. “Kamu memang anak yang