“Thomas, gawat!” Suara panik Melinda dari ponsel, memecah fokus Thomas yang sedang menjamu klien penting di sebuah restoran mewah.
“Ada apa, Ma?” Bisik Thomas di sudut ruangan sambil sekali melirik kliennya yang sedang menelusuri kontrak kesepakatan bisnis mereka.
“Kirana…Dia menghilang, Thomas!” Pekik Melinda.
Thomas mendadak tegang. “Bagaimana bisa? Apa yang terjadi??”
“Dia pergi ke mall sejak siang. Tapi supirnya malah pulang sendirian sore ini karena Kirana enggak muncul-muncul. Dia mengira Kirana sudah pulang naik taksi sendirian. Dan Mama enggak bisa menghubungi nomor Kirana! Mama takut terjadi sesuatu pada Kirana!”
Thomas menghela napas berat. “Ba
Keheningan di ruangan ini semakin mencekam. Belum sempat dokter itu mengucapkan sesuatu, Kirana sudah keburu terisak.“Tenang, Bu Kirana…”“Bagaimana aku bisa tenang, Dok…” bahu Kirana berguncang pelan. “Aku harus kehilangan bayiku…”“Saya tidak bilang seperti itu,” sergah dokter itu. “Bayi Anda baik-baik saja.”“Benarkah, Dok??”Dokter itu mengangguk sambil tersenyum. “Ini suatu berkah, Bu Kirana. Biasanya kalau terjatuh di usia kehamilan 13 minggu bisa menyebabkan kontraksi, bahkan keguguran. Lain kali, Ibu harus hati-hati ya? Kurangi naik turun tangga. Namun, saya sarankan Bu Kirana untuk rawat inap di sini sementara waktu.&r
“Kamu sedang di mana, Sayang?” Kedua mata Vivian menyipit, memperhatikan keadaan di belakang Thomas.Kamera ponsel Thomas mengarah ke ruang tengah villa itu. “Kamu enggak ingat tempat ini? Aku sedang di villa kita yang ada di tepi pantai.”Kening Vivian mengernyit. “Ngapain? Kenapa kamu enggak bilang sama aku?”“Yah, aku juga mendadak pergi ke sini. Besok, aku mau menjamu para produser yang dari Hongkong. Mereka bilang mereka ingin meeting dengan suasana yang berbeda. Jadi, kuputuskan untuk meeting di sini.”“Oh begitu…menyenangkan dong,” ucap Vivian.“Kenapa tampangmu cemberut begitu? Bukannya di Bali lebih menyenangkan?”
Vivian berdiri membelakangi jendela kamar resort yang lebar. Kedua tangannya melipat di atas dada. Cahaya yang menyorot dari luar membuat wajah perempuan itu nampak lebih gelap dari biasanya.“Jadi, kamu benar-benar mau memerasku. Dasar brengsek. Berapa yang kamu minta?”Alex menghela napas pelan. “Tidak. Kamu tahu aku selalu mencintaimu, Vivian. Aku enggak mungkin menghancurkan hidup orang yang paling kucintai.”Vivian memutar kedua bola matanya. “Lantas, untuk apa kamu menguntitku, mengambil foto itu diam-diam, hah?”“Semua ini membuatku bingung. Kamu bilang kamu mandul, tapi aku tahu kamu enggak mungkin mandul. Lalu kamu tampil di depan media, mengatakan bahwa kamu hamil. Tapi…foto itu mengatakan sebaliknya.”
Matahari sore bersinar hangat di halaman belakang kediaman Adijaya.Meja-meja dihiasi dengan bunga segar, serta dipenuhi dengan tawa riang para tamu yang datang.Semua mata tertuju pada Vivian yang nampak berseri, mengenakan gaun putih panjang yang menonjolkan perutnya.Thomas setia berdiri di sampingnya, tersenyum lebar sambil merangkul bahu istrinya.Sebuah potret pasangan sempurna yang tengah menanti buah hati mereka dengan penuh kebahagiaan.“Perutmu sudah besar banget sekarang. Sebentar lagi, kamu bakalan jadi ibu!” Ucap salah satu kerabatnya.Vivian terkekeh senang sambil mengusap perut palsunya. “Kami enggak sabar. Tinggal dua bulan lagi, kami akan menyamb
“Aku yakin kamu salah lihat, Robert,” ucap Sandra sambil mengusap kening suaminya yang berkeringat. Wanita itu lantas melirik sekilas ke arah Vivian yang berdiri di ujung ranjang.“Benar kata Mama, Pa. Enggak ada wanita hamil di rumah ini selain aku,” Vivian tersenyum tipis, berusaha menyembunyikan ketegangan di wajahnya.Kini pria itu terbaring di kamar tamu. Wajahnya masih pucat namun sakit di dadanya berangsur hilang dan napasnya sudah lebih teratur setelah menenggak obatnya.Robert menggeleng lemah.“Tapi, aku yakin…Wanita hamil itu yang menemukanku pertama kali di ruang makan,” suara Robert terdengar parau tapi lugas.“Kurasa kamu hanya berhalusinasi, Sayang. Kamu se
“Kamu mau beli kue di sini?” Thomas memperhatikan toko kue mungil yang ada di deretan ruko. “Kenapa enggak di toko kue langgananku saja? Sudah pasti enak.”Kirana menggeleng. Dia tidak mau menyusahkan Thomas dengan memutar mobilnya lebih jauh ke toko kue langganan Keluarga Adijaya yang mahal itu.Lagi pula toko kue ini searah dengan rumah ibunya.Sweet Heaven. Nama toko kue itu terpampang di depan.Begitu Kirana masuk, dia langsung disambut dengan aroma butter dan vanilla. Wangi roti-roti yang baru dipanggang di oven menggugah seleranya.Mata Kirana tertuju pada berbagai jenis kue yang ada di rak-rak kaca di depannya. Namun toko itu masih sepi, hanya dia satu-satunya pengunjung.
Keheningan menyeruak di toko kue mungil itu.Pertanyaan terakhir Riri membuat Kirana tidak berkutik. Perasaan gelisah yang luar biasa menyelimuti dirinya.Kalau rahasia ini sampai terbongkar, maka reputasi Keluarga Adijaya dan Winarta adalah taruhannya. Dirinya mungkin juga tidak akan selamat dari amukan amarah Melinda dan Vivian. Dan dia pasti merasa bersalah pada Thomas.Lalu bagaimana masa depan anak yang dikandungnya?“Kirana?” Gian memecah keheningan. “Wajahmu terlihat pucat. Kamu baik-baik saja?”Seketika Thomas bergerak ke depan Riri, yang membuat perempuan itu sedikit tersentak. Rahang Thomas nampak mengeras sambil menatapnya tajam.“Apa maksu
Kirana ingat betul, ibunya mengusir bapaknya dari rumah saat pria itu tiba-tiba datang dan meminta uang padanya.Bahkan Ratna sampai berucap untuk menceraikan dirinya dan berharap Salim tidak pernah muncul lagi di hadapan mereka.Tapi…kenapa sekarang Kirana malah mendapati bapaknya ada di sini?“Kirana?” Kantuk Salim lenyap seketika. “Masuklah, Nak.”Namun Kirana bergeming. “Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa Bapak bisa ada di sini?”Sebelum menjawab pertanyaan putrinya, pandangan Salim keburu tertuju ke perut Kirana yang besar. Menyadarinya, cepat-cepat Kirana merapatkan kardigannya.“Sepertinya Bapak lebih butuh penjelasan