Semilir angin sore menyapu wajah Vivian dan Sandra. Dua gelas teh hangat terhidang di antara mereka.Sejak pengakuan mengejutkan putrinya, Sandra belum mengatakan apa-apa.“Mama,” Vivian meremas tangan Sandra yang dingin. “Aku tahu pasti Mama kecewa karena aku enggak bisa memberikan keturunan bagi keluarga kita.”Sandra menghela napas berat. Dirinya masih syok mendengar putrinya yang mandul, pernikahan kontrak yang dilakukan Thomas, serta kehamilan palsu Vivian yang sudah disiapkan demi menutupi kemandulannya dari publik.“Kamu yakin dirimu mandul?” Sandra akhirnya buka suara juga.“Iya, Ma. Thomas dan aku sudah mengeceknya ke dokter kandungan.”Sandra memejamkan matanya sejenak. Ini seperti deja vu baginya. “Lantas, kamu mau bercerai dari Thomas?”Vivian menggeleng. “Aku enggak akan melepasnya, Ma. Aku hanya sedikit kesal saja karena…jujur, ternyata berat bagiku menerima Thomas menikah dan menghamili wanita lain. Yah, walau itu atas persetujuanku juga. Jadi, aku butuh waktu untuk meny
“Maafkan aku,” ucap Thomas lirih. “Aku janji enggak akan menyembunyikan apapun lagi darimu.”Thomas menjulurkan sebuket bunga lily di hadapan istri pertamanya.Sedari tadi, Vivian memasang tampang datar. Namun pada akhirnya dia luluh juga dengan wajah Thomas yang nampak nelangsa.Tersirat rasa penyesalan yang dalam di raut Thomas, Vivian tahu itu.Lantas Vivian menghela napas pelan, menerima bunga itu dan tersenyum tipis. Thomas menggandeng tangan wanita itu, mengajaknya kembali pulang ke kediaman Adijaya.Malamnya, Vivian sudah berbaring di ranjang dengan lingerie merah menerawang, menunggu Thomas yang masih di kamar mandi.Jemari Vivian mengetikkan sesuatu di ponselnya. Lantas, dia tersenyum sinis.Wangi semerbak menyeruak saat Thomas keluar dari kamar mandi, hanya dengan berbalut handuk yang melingkar di pinggangnya.Dada bidang pria itu nampak masih sedikit basah. Dia langsung mendapati istri pertamanya melempar senyum menggoda sambil memilin-milin rambut.Perlahan Vivian bangkit,
“Kamu ingat tujuanmu berada di sini, kan?” Suara Vivian terdengar tajam, memecah keheningan kamar.Kirana, yang sedang duduk sambil memandangi foto USG di tangannya, mendongak dan mengangguk.Meskipun dia memahami perannya, tetap saja ada semacam perasaan yang tidak bisa diabaikan–perasaan antara ibu dan calon bayi yang sedang tumbuh di dalam rahimnya.“Dan foto USG ini,” Vivian menyambar foto itu dari genggaman Kirana, “adalah milikku. Dia anakku. Akulah yang akan membesarkannya, lebih tepatnya Thomas dan aku.”Vivian tersenyum dingin.Kirana tahu benar apa yang harus dia lakukan–diam, tunduk dan menerima semuanya.Hati Kirana semak
“Selamat, Vivian! Akhirnya kamu hamil juga!” Seorang wanita dari kalangan media menghampiri Vivian dengan senyum lebar dan penuh kekaguman.Di tengah peluncuran serial terbaru Starlight Production, Vivian berdiri anggun di samping suaminya, Thomas, sang presdir. Acara malam ini begitu mewah, dihiasi lampu-lampu kristal yang memantulkan kilauan di seluruh ruangan, dengan para tamu undangan yang terdiri dari selebriti, rekan industri, media serta tokoh-tokoh penting di dunia hiburan.Vivian memamerkan senyum manisnya, menganggukkan kepala sambil mengusap perutnya yang rata.“Ya, terima kasih banyak. Kami sangat bersyukur. Ini keajaiban yang kami nantikan,” ucap Vivian dengan nada terharu.Sementara itu, Thomas hanya tersenyum tipis di sampingnya.Sedari tadi, semua orang mendekati mereka, memberikan ucapan selamat atas kehamilan Vivian. Wanita itu nampak tidak bisa menyembunyikan ekspresi bahagia.Selama dunia percaya dia hamil, semua akan baik-baik saja. Rumor dirinya mandul terbantah
Vivian mereguk ludahnya.“Dia…dia memaksaku untuk wawancara, Thomas,” tukas Vivian dengan tersendat.Thomas memiringkan kepalanya dengan dahi mengernyit ke arah Alex.“Memaksa untuk wawancara?” ulang Alex dingin.Nadi Vivian berdenyut kencang sekarang. Jangan bilang Alex akan mengacaukan semuanya!“Ya,” Vivian berusaha tenang, mendongakkan dagunya. “Kamu memaksaku untuk melakukan wawancara eksklusif terkait kehamilanku. Maaf, tapi aku belum bisa membeberkannya secara rinci. Lagi pula, kita sedang di tengah pesta.”Alex berdecak pelan. ‘Pintar sekali dia mencari alasan.’
“Ibu…” Kirana memeluk Ratna dengan erat, menghirup dalam-dalam wangi khas ibunya yang sudah lama dia rindukan.Terakhir Kirana bertemu Ratna, wanita setengah baya itu terbaring tidak berdaya di IGD.“Sayangku…” Ratna mengusap punggung putri kesayangannya itu. Lantas, mereka saling bertatapan penuh haru.“Aku senang keadaan Ibu membaik. Lihat, Ibu bisa tersenyum sekarang,” Kirana merapikan beberapa helai rambut Ratna yang mencuat.“Semua berkat kamu, Nak. Tapi kenapa wajahmu pucat? Kamu sakit?” Kirana menggeleng. Sebenarnya dia masih lemas. Pagi tadi dia dilanda morning sickness, namun dia tidak bisa menunggu lama. Dia sangat merindukan ibunya. “Sebenarnya…aku sedang hamil muda, Bu…”“Be-benarkah? Astaga…”Kirana tersenyum tipis. “Satu per satu kesepakatan kontrak itu sudah kupenuhi, Bu. Jadi, sekarang Ibu tenang saja dan fokus pada penyembuhan kanker Ibu. Semua biaya biar aku yang tanggung.”Namun binar mata Ratna meredup. “Nak, Ibu merasa begitu bersalah. Tidak seharusnya kamu menj
“Ratna!” Mata Salim melotot. “Jaga ucapanmu!”Kirana nampak tertegun. “A-Apa maksud, Ibu?”Ratna mengurut dadanya. Tubuh wanita itu sedikit goyah. Dengan cepat, Kirana memapah ibunya agar tidak tersungkur.“Kamu boleh membenciku, Ratna. Tapi jangan mengatakan kebohongan seperti itu pada putriku. Walau bagaimanapun, dia darah dagingku sendiri!” Salim berujar marah. “Kirana dan Romi adalah anak-anakku, anak-anak kita.”Ratna menarik napasnya pelan-pelan. Kali ini, dia tidak membalas ucapan suaminya yang brengsek itu.Lantas, Salim memalingkan pandangannya ke arah Kirana. Dia pun memohon dengan iba. “Tolong Bapak, Kirana…sekali ini saja…”
“Thomas!!! Dasar brengsek!”Jeritan Vivian seakan mengguncang keheningan malam. Kedua kelopak mata Kirana membelalak dengan dada yang terus berdebar kencang.“Astaga…” dia beringsut, bersandar di kepala ranjang. Kamarnya dingin, tapi pelipisnya sedikit berkeringat.Tidak ada Thomas, maupun Vivian. Namun, sentuhan Thomas terasa begitu nyata, ciumannya, deru napasnya…Bahkan kata-kata Thomas yang bilang mencintainya itu masih terngiang di telinganya.Lantas, jeritan Vivian membuayarkan segalanya. Mimpi yang tadinya indah, berakhir buruk.Tok, tok, tok.Suara ketukan itu membuat Kirana terkesiap