Share

Bab 8

Farel segera berlutut dan menyelipkan beberapa pil darurat untuk penyakit jantung ke mulut kakeknya. Namun, kondisi kakeknya tidak membaik sedikit pun. Malah, ekspresi wajahnya semakin menunjukkan rasa sakit yang mendalam. Dalam sekejap, wajahnya menjadi pucat pasi!

"Kakek! Kakek!" teriak Farel dengan panik.

Jika terjadi sesuatu pada kakeknya, bagaimana dia bisa menjelaskannya saat pulang nanti? Keluarga Subroto tidak akan mampu menanggung kabar buruk itu. Seisi Kota Nubes juga mungkin akan gempar!

Sementara itu, Barra buru-buru mengeluarkan ponselnya dan menelepon 118. Di sekitar mereka, para pejalan kaki dan pengunjung warung mulai berbisik-bisik membicarakan situasi tersebut.

"Ada apa ini?"

"Sepertinya ada yang kena serangan jantung!"

"Jangan-jangan, roti goreng di warung ini bermasalah?"

Dalam kepanikannya, Farel mencoba memijat titik di antara hidung dan bibir kakeknya. Namun saat tangannya menyentuh filtrum kakeknya, ekspresinya berubah drastis. Ternyata, pernapasan kakeknya sudah berhenti!

Sesaat kemudian, Farel memeriksa nadi kakeknya dan langsung terduduk di tanah dengan wajah panik. Nadi kakeknya juga sudah berhenti! Apakah ini berarti bahwa kakeknya sudah ... meninggal?

"Dasar bajingan! Apa yang kamu campurkan ke roti goreng ini? Kenapa kakekku tiba-tiba meninggal setelah memakannya? Jawab!"

"Kalau terjadi sesuatu pada kakekku, aku akan membuat seluruh keluargamu ikut menanggung akibatnya!" Dengan tatapan nanar, Farel langsung menerjang ke arah bos warung dan mencengkeram kerah bajunya sambil berteriak dengan penuh amarah.

"Nggak ... nggak ada! Yang kugunakan semuanya adalah minyak dan tepung berkualitas tinggi. Nggak ada campuran apa pun!" Bos warung itu merasa sangat menyesal. Jika dia tahu akan terjadi hal seperti ini, untuk apa dia membagikan roti goreng yang seharusnya dijual kepada Afkar untuk pria tua ini?

Padahal tadinya mereka sudah mau pergi! Namun karena sifatnya yang oportunis, bos warung ini malah berusaha untuk menyanjung pria tua itu dan malah tertimpa kesialan. Kali ini dia benar-benar cari masalah sendiri!

"Bukan salah roti gorengnya. Ini karena kakekmu punya masalah jantung dan seharusnya nggak boleh makan makanan berlemak!" Tiba-tiba terdengar sebuah suara.

Bos warung menoleh dan melihat bahwa yang berbicara adalah pemuda tadi. Wajahnya langsung menunjukkan rasa terima kasih dan rasa bersalah. Dia tadi sempat menghina pemuda itu, tetapi sekarang pemuda itu malah membelanya dan memberikan penjelasan yang adil.

"Terima kasih! Terima kasih! Roti gorengku benar-benar nggak bermasalah!" sergah bos warung itu sambil menangis.

"Kamu masih berani bicara omong kosong!" Farel menatap Afkar dengan penuh amarah dan berteriak dengan nada mengancam.

Afkar tidak peduli dengan reaksi Farel. Dia berjalan menuju pria tua yang tergeletak di tanah, lalu berjongkok dan memegang pergelangan tangannya.

"Apa yang kamu lakukan? Lepaskan kakekku!" seru Farel dengan suara cemas. Dia lalu memberi isyarat kepada pria berotot bernama Barra.

Barra mendengus dingin dan segera melayangkan tendangan ke arah Afkar. Tendangan itu terdengar jelas melalui desiran angin, menunjukkan bahwa Barra bukanlah orang sembarangan.

Bam!

Dalam sekejap, kepalan tangan Afkar bergerak lebih cepat menyambut serangan Barra. Meskipun Afkar berada dalam posisi berjongkok yang tidak nyaman, tubuhnya hanya sedikit terhuyung dan jatuh terduduk.

Namun, Barra malah terpukul mundur tiga langkah. Kaki kanannya berusaha memantapkan langkahnya dan seluruh kakinya tampak gemetaran. Tatapannya sarat akan ketakjuban!

"Kalau tunggu ambulans, kakekmu sudah keburu meninggal! Kalau nggak mau dia mati, jangan ganggu aku!" ucap Afkar memperingatkan Farel dengan ekspresi datar sambil berjongkok kembali.

Farel juga tertegun. Dia tidak menyangka bahwa Barra akan terpukul mundur hanya dengan satu serangan dari pihak lawan. Mendengar kata-kata Afkar, wajah Farel menunjukkan sedikit keraguan.

Namun, Afkar tidak lagi menggubris mereka. Dia mulai melakukan tindakan penyelamatan pada pria tua itu. Dengan terampil, dia menekan beberapa titik akupunktur dengan urutan dan tekanan tertentu.

Melihat gerakannya yang tampak mahir dan ekspresinya yang serius serta penuh percaya diri, Farel bertukar pandang dengan Barra sekilas. Secara tak sadar, mereka mulai berharap dan terus memperhatikan dengan saksama.

Gadis kecil yang tadinya menangis juga akhirnya menghentikan tangisannya. Dia diam-diam menyaksikan adegan itu sambil mengerjapkan matanya. Bos warung tampak berdoa dalam hati dengan ekspresi cemas dan ketakutan.

Beberapa saat kemudian, pria tua yang tadinya tak sadarkan diri tiba-tiba terbatuk-batuk. Suara batuk ini terdengar begitu indah di telinga Farel dan yang lainnya. Selanjutnya, Bayu Subroto membuka matanya dan berkata, "Aku ... belum mati?"

"Kakek, jantungmu kurang sehat. Sebaiknya kamu jaga makan. Pagi-pagi begini sudah makan roti goreng. Kamu sudah bosan hidup ya? Jangan serakah lagi lain kali. Sebaiknya segera muntahkan apa yang tadi kamu makan!" pesan Afkar.

"Ya, ya, benar katamu! Terima kasih sudah menolongku! Nak, siapa namamu?" Bayu mengangguk sambil mengucapkan terima kasih.

Perasaan di ambang kematian tadi sebenarnya terasa sangat jelas bagi Bayu. Dia merasa seolah-olah telah menginjakkan kaki di neraka, tetapi malah ditarik kembali oleh pemuda di hadapannya ini. Dalam hatinya merasa sangat bersyukur terhadap pemuda ini.

"Kakek, kamu nggak apa-apa?"

"Kakek Buyut! Gimana perasaanmu?"

Farel dan Lyra buru-buru menghampiri mereka untuk menanyakan kondisinya.

"Aku baik-baik saja. Cepat ucapkan terima kasih sama anak muda ini. Kalau bukan berkat dia, nyawaku mungkin sudah melayang!" ucap Bayu sambil menggeleng.

"Sobat, terima kasih! Ini kartu namaku, anggap aku berutang budi padamu. Apa pun kesulitan yang kamu temui di Kota Nubes ini nantinya, kamu bisa cari aku kapan saja!" kata Farel sambil menyerahkan kartu namanya pada Afkar.

Kata-kata ini terdengar agak sombong. Namun, dengan kekuasaan Farel dan Keluarga Subroto, ucapannya ini bukanlah omong kosong.

"Tong sampah! Kamu hebat sekali! Terima kasih sudah menolong kakek buyutku!" timpal gadis kecil di sampingnya.

"Nggak usah, yang penting kalian jangan cari masalah denganku saja." Afkar melambaikan tangannya, lalu mengangguk pelan pada pria tua itu. Kemudian, dia pergi sambil membawa belanjaannya.

Di antara keempat orang itu, Afkar hanya memiliki kesan baik terhadap pria tua itu. Dia tidak punya waktu untuk berbasa-basi dengan mereka karena Shafa sedang kelaparan menunggunya.

Farel bergumam sejenak. Tangannya yang terhenti di udara sambil memegang kartu nama tampak sangat canggung. "Sialan!" umpatnya.

Farel tidak menyangka akan ada orang yang menolak kartu namanya. Ternyata ada orang yang tidak menginginkan balas budi darinya? Sialan!

Setelah kembali ke rumah sakit, Afkar sarapan bersama Shafa dan kemudian menghabiskan sepanjang pagi bersama putrinya. Saat pukul 11 siang, dia meninggalkan rumah sakit dan naik taksi menuju Restoran Damai.

Tempat itu adalah sebuah restoran kelas atas. Konon, biaya untuk makan di sana setidaknya mencapai puluhan juta per orang. Orang biasa tidak akan berani menginjakkan kaki ke restoran tersebut.

Setelah tiba di depan pintu Restoran Damai, Felicia baru meneleponnya dan mengatakan bahwa dia sedang berada dalam perjalanan. Dia menyuruh Afkar untuk menunggunya sejenak.

Namun begitu menutup telepon, langsung terdengar sindiran dari seseorang di sampingnya.

"Afkar? Kenapa kamu bisa di sini? Kamu tahu aku akan makan siang dengan Kak Rafai di sini, makanya datang untuk menungguku ya? Aku nggak akan pinjamin kamu uang. Kamu menyerah saja!"

Seorang pria dan wanita keluar dari sebuah mobil BMW X6 dan berjalan mendekatinya. Pria itu berpakaian rapi, sedangkan wanita di sampingnya berdandan dengan seksi dan mencolok. Wanita itu adalah mantan istri Afkar yang bernama Freya dan kekasih barunya, Rafai, seorang anak orang kaya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status