Sarapan selesai, dan Gemi tidak memiliki kegiatan apa pun. Berdiri menatap kolam renang, gadis itu melamun. Bertanya kepada dirinya sendiri apa yang akan dilakukan sekarang. Dia tak mengatakan hidupnya hancur. Meskipun dia tak bekerja, Gemi masih tetap bisa membeli apa pun yang diinginkan. Akan tetapi, dia tak memiliki keinginan untuk melakukan hal tersebut. “Gem.” Binar menyentuh pundak putrinya sebelum mengelus punggung gadis itu. “Mama bawakan buah buat kamu. Udah Mama potongkan, kamu tinggal makan.” Gemi menoleh kepada perempuan paruh baya tersebut sambil tersenyum. “Terima kasih, Ma.” Gemi lantas meninggalkan tepian kolam menuju gazebo. Duduk di sana, lalu memakan potongan buah kiwi yang sudah disediakan oleh Binar. Binar yang duduk di depan putrinya itu menatap penuh sayang kepada Gemi. Sebagai seorang ibu, dia pastilah serba salah. Di satu sisi, dia ingin membuat Gemi bahagia dengan pilihannya. Akan tetapi, di sisi lain, dia tak bisa mencoreng nama keluarga dengan tindakan ge
Ancala hari-hari ini tidak bisa bekerja dengan baik setelah kejadian malam itu. Ramon dan ibunya sempat bertanya panjang lebar tentang hubungannya dengan Gemi yang langsung dijawab lunas dengan penjelasannya. Ramon tidak menunjukkan kemarahan yang berarti. Bahkan setelah lelaki itu tahu apa yang sebenarnya terjadi, Ramon tidak menghakiminya seperti yang dilakukan oleh Kala. Menghisap rokoknya kuat-kuat, Ancala berharap asapnya bisa bergelung di dalam jantungnya dan menghentikan detakannya. Dia berharap bisa menyudahi hidup ini dengan hal konyol seperti itu. Terlalu lemah? Dia hanya tidak bisa berpikir jernih untuk menghadapi semuanya. “Ehem.” Deheman itu terdengar di sampingnya. Mendongak, Ancala mendapati Denta ada si sana. Lelaki itu duduk tanpa diminta, lalu mengambil rokok Ancala di atas meja sebelum dinyalakan. Beberapa waktu, mereka hanya diam. Hanya menikmati nikotin yang disesapnya. Mereka duduk berdampingan, tetapi seperti asing. Mereka berteman, tetapi seperti musuh. Tamp
“Apa kamu bilang?” Kala melotot marah mendengar ucapan Ramon. “Kamu sudah gila!” “Terserah kamu mau bilang aku gila atau apa. Aku hanya ingin membuat anakku bahagia. Apa pun akan aku lakukan.” “Termasuk mengobrak-abrik tatanan keluarga?” “Aku tidak mengobrak-abriknya. Kita paham betul siapa Ancala dan apa hubungannya dengan keluarga ini!” Ramon sungguh santai ketika menanggapi sikap berapi-api yang ditunjukkan oleh Kala. Ramon bukan orang yang akan meledakkan amarahnya dengan mudah, tetapi ketika dia sudah merasa perlu mengeluarkannya, maka sudah bisa dipastikan kalau Kala pun mungkin akan kalah. “Ingat! Orang yang tidak memiliki ikatan darah kepada orang lain itu berhak menikah. Hukum agama dan hukum negara tidak melarang.” Kala mungkin tidak pernah menyangka kalau Ramon akan dengan gamblang membenarkan perbuatan anak-anak mereka. Ramon adalah orang yang taat terhadap aturan. Termasuk aturan dalam keluarga, tetapi sekarang justru melakukan hal yang sebaliknya. Kala tentu saja me
“Mas ini jangan aneh-aneh, ah!” Anyelir melotot pada Ramon yang asyik menyetir. “Mas Kala itu nggak akan membiarkan putrinya begitu saja.” “Sebenarnya yang menjadi masalah itu bukan hanya Kala, Bunda, tapi juga Gemi. Meskipun kita bisa menyelamatkan dia dari rumah Kala, belum tentu dia bersedia untuk pergi. Karakter putri kita itu nggak bisa ditebak. Meskipun dingin begitu, dia anak penurut. Apalagi kalau sama bapaknya.” “Lama-lama aku pusing mikiran Ancala, Mas. Kenapa juga dia harus jatuh cinta sama Gemi.” “Perasaan itu nggak mudah ditebak, Bun. Tapi aku salut sama mereka. Mereka bisa bertahan sampai sejauh ini, lho, dan harus nyerah karena memang nggak bisa melupakan perasaan mereka. Putraku sudah besar sekarang.” Ramon tersenyum bangga. “Dulu aku ketemu dia bahkan masih setinggi kakiku. Manggil aku ayah untuk pertama kalinya. Dari sanalah aku mulai jatuh hati sama dia.” “Dan bagiku itu sangat menjengkelkan.” Sambar Anyelir. “Nggak ikut punya akan kok malah mau diambil. Mas itu
“Lho, Oma kapan datang?” Gemi baru saja turun dari lantai dua rumahnya ketika mendapati sang nenek duduk di ruang keluarga bersama Opa dan ibunya. Menjabat dua tangan orang tua tersebut, sebelum bergabung dengan mereka. “Barusan.” Oma tersenyum kepada Gemi sembari mengamati perubahan cucunya yang begitu drastis. “Oma datang ingin lihat kamu, kumpul keluarga nggak pernah datang. Kenapa? Kamu sakit?” Oma kali ini benar-benar menatap Gemi dengan tatapan yang serius. Mengamati setiap inci tubuh Gemi yang benar-benar berubah pesat. Gadis itu juga tidak seceria biasanya. Senyum yang ditunjukkan adalah senyum terpaksa. Tampak tidak ada kebahagiaan dalam tatapan matanya. Itu adalah hal yang sangat menyedihkan untuk keluarganya yang melihat. “Aku sehat, Oma. Aku cuma lagi nggak enak badan kemarin.” Oma lantas menoleh kepada Binar. Seolah berbicara lewat tatapan mata. Opa mengelus pundak cucunya dengan sayang. “Kalau begitu, sana istirahat dulu. Ada yang ingin kami bicarakan.” Gemi mengang
“Tapi, aku juga tidak akan menikah dengan orang yang tidak aku cintai. Papa bisa mengenalkan sepuluh lelaki kepadaku, tapi aku tidak akan menerima mereka menjadi sosok yang akan mendampingiku.” Lanjutan ucapan Gemi direspon ketegangan yang sama oleh keluarganya. Gemi tidak pernah kehilangan kesombongan di dalam dirinya, bahkan dalam keadaan terdesak sekalipun. “Aku akan menuruti semua ucapan Papa, tapi aku memiliki prinsip hidupku sendiri. Kesalahan dalam mencari pasangan, hanya akan akan membuatku semakin tenggelam lebih dalam pada kesedihan. Penyesalan hanya akan datang belakangan, dan aku tidak ingin menyesal. Kalau aku membutuhkan waktu untuk menghilangkan perasaan cintaku kepada Abang, itu pasti. Berapa lama? Aku juga nggak tahu. Tapi selama aku masih mencintai Abang, bahkan Papa sekalipun tidak bisa mendesakku untuk menikah.” Setelah diam berminggu-minggu tidak membahas tentang perasaannya, Gemi sekarang mengeluarkan segala ganjalan yang dirasakan di dalam hatinya. Jika ayahny
“Kenapa sekarang jadi aku yang menjadi pihak bersalah, Ma?” Kala tidak ingin disudutkan terus-menerus oleh sang istri. Padahal, bukan hanya dia yang tidak memberikan restu atas hubungan Gemi dan Ancala. Oma dan Opa juga. Mereka memang tidak mengatakan dengan gamblang, tetapi mereka juga tidak menyatakan persetujuannya. “Jadi siapa lagi yang harus disalahkan?” Binar kini berbicara sungguh-sungguh. “Pa, tolong pikirkan lagi baik-baik tentang mereka. Lihatlah Gemi sekarang, dia tertekan sampai kurus begitu. Kalau sampai terjadi apa-apa, maka semua gara-gara Papa.” Setelah mengatakan itu, Binar pergi dari ruang keluarga meninggalkan Kala seorang diri. Kala ini benar-benar keras kepala. Tidak ada dari perkataan istrinya yang benar-benar dipedulikan. Dia masih berpegang teguh dengan tidak memberikan restu untuk Gemi dan juga Ancala. Terlebih lagi setelah pertemuan keluarga di kediaman Oma saat itu, Kala semakin yakin kalau Gemi memang kuat menghadapinya. Seiring berjalannya waktu, Gemi ak
Kala bungkam. Tidak ada sepatah kata pun yang bisa dia keluarkan. Tatapannya mengarah lurus pada wajah putrinya yang tampak pucat, seolah tidak ada aliran darah di sana. Gemi terlihat tenang sekali dalam tidurnya, sampai dia tak terpengaruh dengan suara-suara obrolan di sekitarnya. Mungkin itu adalah efek obat penenang yang sudah masuk ke dalam tubuhnya. “Mas … aku mau bicara.” Binar mendekat pada Kala yang berdiri mematung di samping ranjang. “Kita keluar dulu.” Binar mengelus kepala putrinya sebelum dia meninggalkan ruangan inap tersebut.Di kamar itu sudah ada Ramon dan Anyelir, Bening pun masih ada di sana. Karena itu, Binar tidak khawatir meninggalkan Gemi. Dia harus benar-benar serius berbicara dengan sang suami untuk menyelesaikan masalah putrinya. Binar duduk di kursi panjang tak jauh dari ruangan Gemi, menunggu Kala. Tak lama, lelaki itu menyusul Binar. Duduk di samping sang istri, masih dengan mulut tertutup rapat. Binar segera bersuara setelah itu. “Sekarang semuanya suda
“Istriku.” Ancala baru saja sampai rumah ketika melihat penampilan Gemi yang sudah cantik. Meskipun hanya mengenakan daster rumahan kebanggaannya, kecantikan perempuan itu selalu terpancar. Dan inilah yang selalu disukai oleh Ancala, Gemi akan selalu menunggu kepulangannya di teras rumah sambil membaca buku. Tidak di rumah Kala, atau bahkan di rumah mereka sendiri, Gemi memiliki perpustakaan sendiri dengan koleksi buku-bukunya. Gemi tersenyum melihat Ancala yang berjalan ke arahnya. Perempuan itu beranjak untuk menerima tas kerja lelaki itu. “Suamiku capek banget kayaknya.” Ancala memeluk Gemi sambil mencium pipi perempuan itu. Bagi Ancala, energinya akan kembali ketika sudah bertemu dengan sang istri setelah seharian bekerja. Rasa lelah itu seolah menguap begitu saja. Pelukan mereka terurai. Masih dengan memeluk pinggang sang istri, Ancala sedikit menjauhkan tubuhnya untuk menatap wajah Gemi yang halus. “Makan apa malam ini?” tanyanya, “lama nggak ke angkringan. Kangen nasi
“Kalian udah datang?” Ancala mendekati istri dan kedua adiknya dengan senyum kecil. Meskipun pagi tadi dia sempat kesal, tetapi setelah Gemi sekarang datang ke kantor, perasaannya menjadi sedikit membaik. Tatapannya mengarah pada ‘tiga tamunya’ yang tidak membawa apa pun. “Jadi belanjanya?” tanyanya. Perempuan yang dimaksud oleh Laksa tadi tidak mengikuti Ancala dan kembali lebih dulu. Gemi tidak bertanya siapa perempuan tersebut karena dia tahu kalau itu adalah sekretaris Ancala. Laksa pun sebenarnya juga tahu, tetapi dia hanya pura-pura untuk mengerjai Gemi. “Bang, aku laper banget, lho.” Laksa mengadu. “Aku laper, Bang.” Ulangnya lagi. “Kalian nggak makan dulu tadi?” Ancala mengernyit aneh menatap satu per satu saudaranya. “Istri Abang ngambek karena diajak desak-desakan. Jadi, nggak memedulikan aku yang kelaparan. Tapi, aku nggak mau makan di kantin ini. Abang tolong pesankan aku makanan yang enak, ya.” Laksa memang benar-benar membuat kakak-kakaknya kesal kalau sudah me
“Gem, bangun!” Ancala menepuk paha sang istri pelan ketika sudah sampai di rumah. Mereka baru saja sampai rumah ketika Gemi tidak sadarkan diri, tidur. Sepanjang jalan, Ancala memegangi tangan Gemi takut-takut kalau istrinya itu terjatuh. Bukannya apa-apa, Gemi tidur sepanjang jalan sedangkan mereka menggunakan motor. Kebanyakan makan kepala ayam membuat Gemi lemas sepertinya. “Bang, aku nggak sanggup jalan. Gendong.” Dengan suara lemas, perempuan itu masih memeluk pinggang Ancala dengan erat takut jatuh. Matanya masih tertutup erat enggan untuk terjaga. Napas panjang Ancala terbuang kasar. Menikahi Gemi adalah impiannya, tetapi kalau sifat manja perempuan keluar, maka habislah dia. “Iya, tapi tunggu dulu deh. Aku turun dulu.” Ancala melepaskan tangan Gemi dari pinggangnya sebelum dia turun dengan pelan dari motor. Baru setelahnya menarik tangan Gemi agar istrinya itu naik ke gendongannya. Diam-diam Ancala tersenyum kecil. Terkadang istrinya itu memang menyebalkan, tetapi juga me
Perdebatan yang terjadi malam itu dianggap bukan apa-apa. Pernikahan antara Gemi dan Ancala bahkan akan segera dilakukan dalam waktu dua hari lagi. Pernikahan mewah itu akan dilakukan di outdoor di pinggir pantai. Tidak banyak yang diundang karena Gemi dan Ancala benar-benar memilih orang-orang terdekat mereka saja yang datang. Kabar pernikahan yang sudah merebak itu membuat banyak orang terkejut. Tidak pernah menyangka kalau Gemi dan Ancala akan menikah. Semua orang tahu jika Abimanyu dan Sambara group adalah saudara. Tentu saja hal itu menjadi perbincangan banyak orang. “Gimana rasanya mau menikah?” Denta datang ke rumah Ancala untuk sekedar menemani sahabatnya itu mengobrol. “Dan menikah dengan perempuan yang lo cintai?” “Setelah semua yang terjadi, tentu saja gue bahagia, Den.” Ancala memainkan kakinya yang ada di kolam renang, menimbulkan bunyi kecipak air. “Gue kira akan sulit mendapatkan restu dari para tetua.” Denial mengatakan itu merujuk pada nenek dan kakek Ancala, lela
“Kamu sudah benar-benar yakin akan menikah dengan Gemi, Bang?” Ramon meyakinkan sekali lagi kepada sang putra atas keputusan untuk meminang sang pencuri hati. Para tetua, nenek kakeknya sudah memberikan izin untuk mempersatukan dua keluarga yang seharusnya tetap menjadi keluarga yang sesungguhnya. Namun, mereka memilih untuk memberikan restu dan menyingkirkan segala ego yang ada. Dua anak manusia itu sudah tidak bisa dipisahkan, untuk apa lagi mereka menahannya dan akan berakhir buruk. “Aku udah yakin, Yah. Aku sudah berbicara dengan Gemi dan dia menerima lamaranku.” Senyum lebar tersemat di bibir Ancala dan wajah sumringah itu tidak bisa berbohong jika dia sangat bahagia. “Kalau begitu, Ayah dan Bunda akan berbicara kepada Papa Kala kalau kami akan segera melamar Gemi. Pikirkan juga kamu ingin menikah di mana? Outdoor atau indoor, masalah biaya jangan khawatir, semua biaya Ayah yang urus.” Rasa sayang Ramon yang diberikan kepada Ancala tidak surut sedikitpun sejak dulu. Lelaki it
Setelah obrolan semalam, Gemi bangun tidur dengan perasaan yang terasa ringan. Hubungannya dengan sang ayah sudah membaik dan dia sudah memaafkan apa pun yang pernah sang ayah lakukan. Semua yang dilakukan oleh sang ayah semata untuk melindungi keluarganya. Suasana hati Gemi pun terlihat sangat baik seharian ini. Meskipun Ancala sejak tadi tak kunjung menghubunginya seperti yang sudah dijanjikan semalam, dia masih baik-baik saja. Seperti yang sudah Ancala bilang semalam, lelaki itu akan membicarakan masalah kerjaan dengan sang ayah. “Jadi, kamu mau balik kerja lagi?” Gemi yang baru saja duduk di sofa di samping sang bunda, segera mendapatkan pertanyaan tersebut. “Aku akan pikirkan lagi, Ma.” Sudah kebiasaan berada di rumah selama beberapa bulan, menjadikan Gemi enggan untuk kembali beraktivitas. “Tapi, Ma, Papa ngeluarin aku dari kantor dengan alasan apa, ya?” Benar, Binar pun tampaknya belum tahu tentang masalah tersebut karena dia tak pernah bertanya dengan Kala. “Mama juga
Binar dan Kala mendengar dengan jelas ucapan putri mereka meskipun kata-kata yang diucapkan terbata-bata. Mereka mendengarkan di balik dinding hanya untuk mengetahui reaksi Gemi ketika bertemu dengan Ancala. Nyatanya, Gemi mengatakan sesuatu yang membuat orang tuanya menahan kesedihannya. “Jangan bicara yang tidak-tidak. Sekarang fokuslah pada kesembuhanmu dulu. Papa bilang, kamu masih perlu bertemu dengan psikiater. Kapan jadwalnya? Aku temani ya?” “Aku nggak butuh psikiater lagi, Bang. Obatku udah ada di sini.” Kala mendesah pasrah mendengar jawaban Ancala atas ucapan sang putri. Sudah pasti perasaan Kala sekarang dipenuhi oleh rasa penyesalan yang amat besar. Di ruang tamu, Gemi dan Ancala melepaskan pelukan mereka. Ancala mengusap air mata Gemi yang mengalir menganak sungai di wajahnya. “Aku nggak akan ke mana-mana lagi, Gemi. Aku udah pulang sekarang. Jadi, kamu nggak perlu takut aku pergi lagi.” “Memangnya, Abang dari mana kemarin?” Ancala menyodorkan minuman yang disiapka
Kala pasti tidak pernah menyangka jika Ramon akan menurunkan egonya untuk meminta putranya pulang. Dia tahu betul bagaimana Ramon menolak permintaannya saat itu. Namun, sekarang tiba-tiba Ancala sudah ada di rumahnya dan menanyakan kabar Gemi. Hal itu tentu saja membuat Kala sedikit bingung. Apa pun itu, Kala tentulah merasa senang dengan kedatangan Ancala ke rumahnya. “Keadaan Gemi sudah lebih baik. Dia sekarang sedang istirahat.” Tepat setelah itu, Binar datang dan segera duduk di samping Ancala. Perempuan paruh baya itu mengelus punggung Ancala tanpa berbicara. Kelegaan terpancar dari matanya. “Kamu dari mana saja, Bang?” tanyanya setelah itu, “Mama cariin kamu.” “Aku jalan-jalan, Ma,” jawab Ancala dengan lembut, “Mama baik-baik aja ‘kan?” “Mama baik. Anca, kamu masih mau nemuin Gemi ‘kan? Setelah waktu itu, dia murung dan tidak ingin berurusan dengan siapa pun.” “Tentu saja aku mau, Ma. Gemi adalah adikku. Kalau memang perlu, aku akan menemaninya sampai dia sembuh.” “Apa mak
“Aku harus pulang, Den. Sorry, ya.” Gemi memilih menghindar daripada harus menjawab ucapan Denta. Gadis itu berdiri, lalu buru-buru pergi meninggalkan Denta yang tampak kebingungan. “Gem!” Denta berteriak memanggil gadis itu, tetapi seolah tuli, Gemi tetap berjalan dan sesekali berlari untuk menghindari sahabat Ancala tersebut. Setelah memasuki komplek perumahannya, barulah dia berjalan dengan tenang. Gemi berpikir, kalau Denta saja tidak tahu keberadaan Ancala, itu artinya, kepergian lelaki itu dirahasiakan. Sepertinya, masalah ini benar-benar serius. Gemi berhenti di pinggir jalan, terpaku di tempatnya, lalu berpikir sejenak. Apa dia harus menghubungi Ancala? Apa lelaki itu akan menerima panggilannya kalau dia melakukannya? Kebingungan itu melanda dirinya. Gara-gara kedatangan Denta, menjadikannya berpikir lebih keras tentang Ancala. Gadis berdaster coklat itu kembali melangkah untuk kembali ke rumah. Meskipun dia banyak memikirkan banyak hal, tapi beruntung kini halusinasinya ti