“Apa kamu bilang?” Kala melotot marah mendengar ucapan Ramon. “Kamu sudah gila!” “Terserah kamu mau bilang aku gila atau apa. Aku hanya ingin membuat anakku bahagia. Apa pun akan aku lakukan.” “Termasuk mengobrak-abrik tatanan keluarga?” “Aku tidak mengobrak-abriknya. Kita paham betul siapa Ancala dan apa hubungannya dengan keluarga ini!” Ramon sungguh santai ketika menanggapi sikap berapi-api yang ditunjukkan oleh Kala. Ramon bukan orang yang akan meledakkan amarahnya dengan mudah, tetapi ketika dia sudah merasa perlu mengeluarkannya, maka sudah bisa dipastikan kalau Kala pun mungkin akan kalah. “Ingat! Orang yang tidak memiliki ikatan darah kepada orang lain itu berhak menikah. Hukum agama dan hukum negara tidak melarang.” Kala mungkin tidak pernah menyangka kalau Ramon akan dengan gamblang membenarkan perbuatan anak-anak mereka. Ramon adalah orang yang taat terhadap aturan. Termasuk aturan dalam keluarga, tetapi sekarang justru melakukan hal yang sebaliknya. Kala tentu saja me
“Mas ini jangan aneh-aneh, ah!” Anyelir melotot pada Ramon yang asyik menyetir. “Mas Kala itu nggak akan membiarkan putrinya begitu saja.” “Sebenarnya yang menjadi masalah itu bukan hanya Kala, Bunda, tapi juga Gemi. Meskipun kita bisa menyelamatkan dia dari rumah Kala, belum tentu dia bersedia untuk pergi. Karakter putri kita itu nggak bisa ditebak. Meskipun dingin begitu, dia anak penurut. Apalagi kalau sama bapaknya.” “Lama-lama aku pusing mikiran Ancala, Mas. Kenapa juga dia harus jatuh cinta sama Gemi.” “Perasaan itu nggak mudah ditebak, Bun. Tapi aku salut sama mereka. Mereka bisa bertahan sampai sejauh ini, lho, dan harus nyerah karena memang nggak bisa melupakan perasaan mereka. Putraku sudah besar sekarang.” Ramon tersenyum bangga. “Dulu aku ketemu dia bahkan masih setinggi kakiku. Manggil aku ayah untuk pertama kalinya. Dari sanalah aku mulai jatuh hati sama dia.” “Dan bagiku itu sangat menjengkelkan.” Sambar Anyelir. “Nggak ikut punya akan kok malah mau diambil. Mas itu
“Lho, Oma kapan datang?” Gemi baru saja turun dari lantai dua rumahnya ketika mendapati sang nenek duduk di ruang keluarga bersama Opa dan ibunya. Menjabat dua tangan orang tua tersebut, sebelum bergabung dengan mereka. “Barusan.” Oma tersenyum kepada Gemi sembari mengamati perubahan cucunya yang begitu drastis. “Oma datang ingin lihat kamu, kumpul keluarga nggak pernah datang. Kenapa? Kamu sakit?” Oma kali ini benar-benar menatap Gemi dengan tatapan yang serius. Mengamati setiap inci tubuh Gemi yang benar-benar berubah pesat. Gadis itu juga tidak seceria biasanya. Senyum yang ditunjukkan adalah senyum terpaksa. Tampak tidak ada kebahagiaan dalam tatapan matanya. Itu adalah hal yang sangat menyedihkan untuk keluarganya yang melihat. “Aku sehat, Oma. Aku cuma lagi nggak enak badan kemarin.” Oma lantas menoleh kepada Binar. Seolah berbicara lewat tatapan mata. Opa mengelus pundak cucunya dengan sayang. “Kalau begitu, sana istirahat dulu. Ada yang ingin kami bicarakan.” Gemi mengang
“Tapi, aku juga tidak akan menikah dengan orang yang tidak aku cintai. Papa bisa mengenalkan sepuluh lelaki kepadaku, tapi aku tidak akan menerima mereka menjadi sosok yang akan mendampingiku.” Lanjutan ucapan Gemi direspon ketegangan yang sama oleh keluarganya. Gemi tidak pernah kehilangan kesombongan di dalam dirinya, bahkan dalam keadaan terdesak sekalipun. “Aku akan menuruti semua ucapan Papa, tapi aku memiliki prinsip hidupku sendiri. Kesalahan dalam mencari pasangan, hanya akan akan membuatku semakin tenggelam lebih dalam pada kesedihan. Penyesalan hanya akan datang belakangan, dan aku tidak ingin menyesal. Kalau aku membutuhkan waktu untuk menghilangkan perasaan cintaku kepada Abang, itu pasti. Berapa lama? Aku juga nggak tahu. Tapi selama aku masih mencintai Abang, bahkan Papa sekalipun tidak bisa mendesakku untuk menikah.” Setelah diam berminggu-minggu tidak membahas tentang perasaannya, Gemi sekarang mengeluarkan segala ganjalan yang dirasakan di dalam hatinya. Jika ayahny
“Kenapa sekarang jadi aku yang menjadi pihak bersalah, Ma?” Kala tidak ingin disudutkan terus-menerus oleh sang istri. Padahal, bukan hanya dia yang tidak memberikan restu atas hubungan Gemi dan Ancala. Oma dan Opa juga. Mereka memang tidak mengatakan dengan gamblang, tetapi mereka juga tidak menyatakan persetujuannya. “Jadi siapa lagi yang harus disalahkan?” Binar kini berbicara sungguh-sungguh. “Pa, tolong pikirkan lagi baik-baik tentang mereka. Lihatlah Gemi sekarang, dia tertekan sampai kurus begitu. Kalau sampai terjadi apa-apa, maka semua gara-gara Papa.” Setelah mengatakan itu, Binar pergi dari ruang keluarga meninggalkan Kala seorang diri. Kala ini benar-benar keras kepala. Tidak ada dari perkataan istrinya yang benar-benar dipedulikan. Dia masih berpegang teguh dengan tidak memberikan restu untuk Gemi dan juga Ancala. Terlebih lagi setelah pertemuan keluarga di kediaman Oma saat itu, Kala semakin yakin kalau Gemi memang kuat menghadapinya. Seiring berjalannya waktu, Gemi ak
Kala bungkam. Tidak ada sepatah kata pun yang bisa dia keluarkan. Tatapannya mengarah lurus pada wajah putrinya yang tampak pucat, seolah tidak ada aliran darah di sana. Gemi terlihat tenang sekali dalam tidurnya, sampai dia tak terpengaruh dengan suara-suara obrolan di sekitarnya. Mungkin itu adalah efek obat penenang yang sudah masuk ke dalam tubuhnya. “Mas … aku mau bicara.” Binar mendekat pada Kala yang berdiri mematung di samping ranjang. “Kita keluar dulu.” Binar mengelus kepala putrinya sebelum dia meninggalkan ruangan inap tersebut.Di kamar itu sudah ada Ramon dan Anyelir, Bening pun masih ada di sana. Karena itu, Binar tidak khawatir meninggalkan Gemi. Dia harus benar-benar serius berbicara dengan sang suami untuk menyelesaikan masalah putrinya. Binar duduk di kursi panjang tak jauh dari ruangan Gemi, menunggu Kala. Tak lama, lelaki itu menyusul Binar. Duduk di samping sang istri, masih dengan mulut tertutup rapat. Binar segera bersuara setelah itu. “Sekarang semuanya suda
“Mama janji akan ada di sisi Gemi. Mama janji Gemi nggak akan merasakan halusinasi lagi, Mama janji. Gemi akan sehat lagi.” Binar tergugu. Hatinya hancur berantakan. Putrinya yang dulu sehat dan selalu tegas itu sekarang menjadi gadis yang mengalami hal buruk seperti ini. Semua ini terjadi karena keegoisan yang dilakukan oleh Kala. “Nak, ada Mama. Biasanya kamu selalu menceritakan apa pun kepada Mama. Kenapa setelah itu kamu nggak melakukannya dan memendam semua masalahmu sendiri? Kamu bisa mengatakan apa pun kepada Mama, Nak.” Gemi hanya bungkam. Dia tak pernah merasa dia sedang berhalusinasi. Apa yang dia lihat adalah hal yang nyata. Kala sejak tadi tidak bisa mengatakan apa pun. Ada sebuah penyesalan yang dirasakan di dalam hatinya. Keluarga harmonis yang selama ini dimilikinya, kini berubah menjadi berantakan. “Gem.” Kala akhirnya berbicara. “Apa yang kamu rasakan sekarang? Apa yang kamu inginkan sekarang, Nak? Papa janji Papa akan berikan kepada kamu.” Gemi kini menoleh, mena
“Ada apa?” Ramon menatap ke arah Kala dengan serius ketika ayah Gemi itu baru saja masuk ke dalam ruangannya. Tanpa menjawab, Kala mendaratkan bokongnya di sofa, membalas tatapan Ramon sebelum berbicara. “Aku ingin ketemu sama Ancala.” “Aku menolak!” Cepat, Ramon menjawab. “Jangan mengganggu putraku lagi,” tegasnya. “Kamu benar-benar akan melakukan ini, Ram?” Ekspresi yang ditunjukkan oleh Kala benar-benar penuh dengan ketegangan. Lelaki itu juga tampak lelah. Bagaimana tidak, putri satu-satunya sedang tidak baik-baik saja dan semua itu karena dirinya. “Ya, aku mengaku salah.” Akhirnya ucapan itu keluar juga dari mulut Kala. “Aku tahu aku salah. Biarkan aku memperbaikinya.” Bukannya terharu, Ramon justru menyeringai sinis. Sudah paham tabiat Kala, Ramon tidak kaget lagi. Selalu seperti itu. Tidak bisa diingatkan, tetapi setelah dia menyesal, merengek seperti anak kecil. Tidak dulu, tidak sekarang, lelaki itu tidak banyak berubah. Masih sangat menyebalkan. “Aku nggak akan terpenga