Jia dengan perlahan menutup pintu kamarnya, matanya tertuju pada nakas di samping ranjangnya. Langkah kakinya terdengar sayup-sayup di karpet kamar yang tebal.Jia membuka laci, mengeluarkan kotak P3K yang telah lama ia simpan, kemudian duduk di tepi ranjang dan menaruhnya di atas pangkuannya.Dengan gerakan yang penuh kehati-hatian, Jia meraih obat antibiotik, mengolesinya sedikit demi sedikit untuk menghindari alergi. Hatinya masih berdebar-debar, masih merasakan sakit dari bekas cakaran itu. Tiba-tiba, telinganya yang masih sensitif itu menangkap suara pintu yang kembali terbuka.Suara telapak sepatu menghiasi indera pendengaran Jia yang terdengar semakin mendekat, kotak P3K di tutupnya kembali dan meletakkan di tempat semula. Tahu siapa yang datang untuk menemuinya, selalu siap dalam situasi apapun. “Jia … aku!” Liam memelankan langkahnya, dari suaranya tampak ragu ingin membagi sesuatu. Jia menyadari Liam yang gelisah duduk di ujung ranjang, menggenggam erat tangannya. Kerut di
Jia memberikan saran kepada Liam untuk mencari dokter dalam menangani Tamara, beruntung sarannya itu digunakan. Jia memegang pangkal lengan Liam, duduk di sebelah untuk ikut mendengarkan perkataan dokter mengenai mental sang pelayan pribadi. Menyimak setiap kata tanpa ada yang terlewatkan, akting yang sesuai dalam naskah. Merasa puas saat melirik sekilas ke arah Liam, terlihat jelas guratan kekhawatiran karena kondisi Tamara harus dipantau oleh dokter atau dimasukkan ke rumah sakit jiwa. “Aku tidak setuju Tamara di bawa ke rumah sakit jiwa!” Seketika Liam berdiri dan menunjukkan reaksi berlebihan, rasa cintanya pada pelayan seksi itu membuatnya tidak rela jauh. Jia terperanjat dengan ulah Liam, ikut berdiri memberikan dukungan atas perhatian yang terlihat memuakkan. “Sayang, biarkan dokter bekerja.” Jia berupaya membuat Liam untuk setuju, melempar Tamara ke rumah sakit jiwa. Liam menggelengkan kepala, sadar akan aksinya yang berlebihan tentu menarik perhatian. Kemudian dia kemba
Jia menghentikan langkahnya tepat di depan pintu hotel, ketegangan memenuhi dadanya, seolah-olah ribuan kupu-kupu menggeliat di perutnya gara-gara kata-kata Sean yang terkesan serius.Ia memandang pintu itu, kemudian kembali ke Sean.'Apakah benar kita harus masuk?' batinya bergetar. Ia berusaha keras meredam pikirannya yang mulai liar, menggeleng cepat sambil menarik napas dalam. Dari kejauhan, Sean menangkap pandangan ragu Jia, dia berbalik, memperhatikan sosok yang berdiri terpaku, terpisah dua meter dari dirinya, mata mereka bertemu sejenak dalam diam yang sarat akan pertanyaan.“Apa yang kamu ragukan?” Sean menghampiri Jia, melihat wajah perempuan itu dalam jarak dekat. Rasa takut bagai momok menakutkan, tidak bisa dibendung hingga melampiaskan demi harga diri yang tetap dipertahankan. Jia mundur selangkah, tangannya bersilang erat di depan dada sementara matanya tidak lepas memandang Sean dengan tatapan waspada dan penuh curiga. Napasnya terdengar berat, menyiratkan kekhawati
Air mata menetes dengan sendirinya, tidak ada yang bisa menahan cairan bening membasahi kedua pipi. Baik Jia maupun Sean ikut terharu dan hanyut dalam kesedihan Kevin yang begitu menginginkan keluarga lengkap. Jia tidak bisa bersedih dalam waktu yang lama, dia ingin menghibur dikala hati Kevin yang gundah menginginkan hak yang seharusnya sejak dulu ia berikan. Namun, keegoisan dari Liam membuatnya kekecewaanya semakin mendalam. “Ada sesuatu yang ingin aku tunjukkan!” kata Kevin kemudian berlari meninggalkan kedua orang dewasa itu, menuju sebuah tas untuk mencari sesuatu yang ingin di tunjukkan. Jia menumpahkan air matanya, walaupun dia ingin mengatakan kebenaran kepada Kevin, bahwa ialah ibu biologisnya, malah akan membuat anak kandungnya dijadikan target oleh kekejaman suaminya, Liam. Dia tidak berdaya, rasa sedih dan perih menjadi seorang ibu tidak tahan mendengar penderitaan sang buah hati begitu menginginkan keluarga utuh seperti keluarga pada umumnya. Hatinya tertusuk o
“Ah sial, daya ponselku habis.” Jia kesal kembali menyimpan ponselnya, cukup lama meninggalkan Leo di rumah membuatnya khawatir. “Pasti dia menangis mencariku. Ya Tuhan, kebersamaanku dengan Kevin membuatku melupakan keberadaan Leo, apa aku ibu yang kejam dan pilih kasih?” monolog Jia sembari mengalih pandang ke luar jendela mobil, memerintah pak supir untuk menambah kecepatan laju kendaraan yang ditumpangi. Mobil berhenti di depan halaman rumah, Jia keluar dan buru-buru masuk ke dalam rumah mencari keberadaan Leo. “Dari mana saja kamu?” Liam di lantai dua, menengok Jia yang tergesa-gesa masuk ke dalam rumah sampai membuatnya mulai keliru akan penglihatan sang istri. Suara bariton yang mendominasi ruangan membuat Jia berhenti dalam langkahnya. Liam, dengan tatapan tajam yang sedikit demi sedikit memakan jarak, perlahan menuruni tangga menghampirinya. Tak lama, wajah tak bersahabat Leo yang seharusnya masih di kantor karena belum waktunya pulang, muncul di depan pintu. Jia memper
Jia berdiri termenung di tengah ruang tamu yang sunyi. Tubuhnya tegang, ekspresi wajahnya bercampur antara marah dan cemas. Dia menggenggam ponselnya kuat-kuat, matanya terpaku pada layar ponsel yang memaparkan pesan dari Sean tentang kondisi Kevin. Keringat dingin mulai membasahi keningnya. "Tidak ada yang lebih membutuhkanmu daripada anakku," bisiknya pada diri sendiri, sambil hatinya berdebar keras, memikirkan Kevin yang sedang demam tinggi di rumah sakit. Seraya mengambil keputusan, Jia hendak mengambil tasnya dan berlari keluar rumah, hatinya diliputi kegelisahan seorang ibu.Jia khawatir tidak bisa menemani Kevin yang tengah membutuhkannya, perasaan yang meliputi isi pikiran bergelayut di dalam benaknya. Liam terus memaksanya untuk menjaga Leo yang tertidur pulas, tanpa memperdulikan ada anak kandungnya yang lain sedang membutuhkan pertolongan.“Kamu baru mengenal anak itu, dan sekarang beraninya menemui tanpa seizin dariku!” ucap Liam dengan tegas, dengan langkah cepat menari
Tangan kekar yang memegang kedua bahu Jia, segera di tepis dengan kasar. Tidak ada gunanya terus berdebat, karena di balik kekacauan yang memang dia sengaja memperkeruh suasana adalah sebagian dari rencana. “Jangan mencoba untuk menyentuhku, sebaiknya menjauhlah!” tegas Jia marah sambil menggertakkan giginya dalam mulut tertutup, mengayunkan tongkat penuntun jalan. Jia berlalu pergi dalam keadaan marah, rasa yang dulu tidak dipeduli oleh Liam, kini malah menyelimuti pikirannya. Ada perasaan tidak rela jika mereka sampai berpisah, kebahagiaan mendapatkan dua wanita mengisi hidupnya membuatnya telah terbiasa dengan semua itu. Liam sangat menyesal telah melakukan tindakan gegabah, meremas rambutnya dengan frustasi. Pandangannya tak terlepas dari sosok sang istri yang mulai menjauh dari pandangan mata, permasalahan kecil mereka malah merambat menjadi besar. Liam merasa terancam, terlepas jauh dari Tamara. Kesunyiannya mulai terasa saat Jia juga marah dan mengacuhkannya. Senyum Jia te
Langkah sepatu di lantai koridor bergema hingga ke ruangan kecil dimana Jia duduk menanti. Suara itu semakin mendekat, dan Jia menoleh ke arah pintu. Sekilas, ia mengulas senyum penuh arti saat sosok Sean muncul di ambang pintu. Jika bukan karena insiden yang membuat Sean harus bertindak cepat, mungkin sekarang Jia sudah kehilangan salah satu indranya. Sambil menunggu, Jia mulai mengetuk-ngetuk meja di hadapannya, menciptakan melodi yang hanya ia yang tahu. Ruangan itu dipenuhi dengan ketukan ritmis jari-jarinya, namun dokter yang duduk di sudut tampaknya tidak terganggu, fokus pada catatan-catatan medis di depannya.“Apa sudah selesai?” tanya Sean sembari menyimpan ponselnya, melirik ke samping menatap wajah cantik Jia. “Sudah. Tinggal menunggu resep dokter!” Jia memahat senyum kilat, Sean yang mendorongnya untuk segera memeriksa mata. “Mm, apa masih perih?” Sean cemas juga khawatir, terlambat sedikit saja berakibat sangat fatal. Sean duduk di bawah meja dengan tangan terkepal ra