Hari-hari berlalu seperti kilat, tanpa terasa sudah tiga hari berlalu sejak Tamara pergi. Dari balik railing lantai atas, Jia mengamati Liam. Tangannya meremas-remas ujung bajunya, perasaan cemas bercampur iba menyelimuti. Wajah Liam yang murung terpampang jelas, seolah tiap detik kehilangan lebih berat sejak Tamara meninggal. Jia menarik napas dalam, menahan pilu yang membara.Rasa geram bercampur amarah melihat perubahan yang cukup besar bagi suaminya, dan selama itu pula Liam tidak mengucapkan sepatah katapun. Jia menengadahkan kepala, menatap langit-langit ruangan itu diiringi helaan nafas. “Wow Tamara, pengaruhmu begitu kuat. Liam seperti mayat hidup, ajaklah dia juga ke alam baka.” Jia menyalahkan Tamara, benar-benar di buat geleng kepala atas sikap suaminya yang berubah drastis. “Sampai sekarang dia tidak mencari keberadaan Leo. Bukan saja menjadi suami tidak baik, justru pria itu juga ayah yang buruk.” Jia menarik napas dalam-dalam dan perlahan melepaskannya, mencoba mer
"Kamu gila ya?" teriak Jia, matanya membulat penuh kejutan melihat Sean bekerja dengan kecepatan yang tak terduga. Sean, dalam panik, segera menempatkan tangannya di mulut Jia, mata mereka saling berpandangan sejenak sebelum dia melirik ke sekitar, memastikan tak ada yang memperhatikan mereka.“Apa kamu ingin mengundang suamimu kesini?” bisik Sean. Jia terdiam, menganggukkan kepala diiringi panik takut mengundang perhatian dari Liam. Mulutnya yang dibungkam perlahan melonggar, terdengar helaan nafas lega saat semuanya masih di genggaman. “Aku begitu baik, menyiapkan surat perceraian mu. Jangan lupa ditandatangani surat itu?!” Sean tersenyum sinis sambil berlalu pergi, sosoknya yang tampan dan berkuasa itu terselip bayangan gelap saat menemui istri orang secara sembunyi-sembunyi. Jia memperhatikannya dari balik tirai, jantungnya berdebar, bimbang antara rasa kagum dan kecewa. "Apakah dia lelaki sejati? Atau pria naif yang rela menunggu aku hingga berstatus janda?" bisiknya pada d
Jia segera menetralkan perasaannya, sengaja berdehem menutupi wajahnya yang merona seperti udang rebus. “Kembali ke pembahasan awal.”Sean kembali duduk di kursinya, raut wajahnya mengeras saat menyerap setiap kata yang dilontarkan Jia tentang kecurigaan yang menggantung di udara. Keningnya berkerut, mata menerawang mencoba memecahkan teka-teki sikap Liam terhadap Jia. Dua kemungkinan muncul, menggelitik benaknya. Liam, suami yang mencari pelabuhan akhir setelah dihempas badai, atau Liam yang memiliki rencana gelap tersembunyi, kemungkinan yang paling mengkhawatirkan adalah Jia telah membaca gerak-geriknya.“Aku belum bisa memastikannya, informasikan apapun mengenai tindakan pria itu setiap kali kamu curiga!”Jia menarik napas lega, perasaan cemas yang sempat merayapi pikirannya kini mulai mencair. Dalam keheningan ruangan, dia bisa mendengar detak jam tangannya yang seperti berbisik.'Waktunya aku pergi!'Sean, dengan ekspresi yang tegang, melirik jam tangan yang melilit pergelanga
Jia merasa tidak sanggup menerima keinginan kakek Wijaya yang mendesaknya untuk segera melahirkan seorang cicit.Dalam hatinya, dia bertanya-tanya mengapa Liam, sang suami, justru mendukung keputusan sang kakek yang membuatnya begitu terbebani. "Apa yang mereka pikirkan? Apakah mereka tidak memikirkan perasaanku sama sekali?" gumam Jia bermonolog, berperang antara pikiran dan juga hatinya. Perasaan jijik kembali muncul saat Jia mengingat bagaimana Liam telah mengkhianatinya dengan asisten rumah tangga. Bayang-bayang kenangan itu membuat hatinya semakin sulit menerima kenyataan bahwa dia harus berhubungan intim dengan pria yang telah merusak kepercayaannya itu."Bagaimana mungkin aku bisa melupakan pengkhianatan Liam? Apakah aku bisa menerima anak dari hubungan kami yang ternoda oleh pengkhianatan?" Pertanyaan-pertanyaan itu terus menggelayuti pikiran Jia, membuatnya semakin terpuruk dalam keputusasaan.Jia berjalan mondar-mandir dalam ruangannya, langkah kakinya menggema rasa kece
Jia semakin resah akan keberadaan Sean di rumahnya, apalagi kakek Wijaya yang memberikan restu atas kehadiran pria itu. Setiap sudut rumah terasa sumpek, hatinya tidak bisa tenang karena merasa terusik. "Apa yang membuat kakek percaya padanya? Apakah dia lebih baik daripada orang lain yang pernah ada di hidupnya?" gumam Jia yang bermonolog.Di dapur, Jia bolak-balik memikirkan cara untuk mengusir Sean dari rumahnya. Tak tahan merasakan ketidaknyamanan ini. 'Aku harus mencari cara agar dia pergi, aku tidak ingin kehilangan kenyamanan hidupku sendiri gara-gara pria ini,' batin Jia dengan penuh keputusasaan. Tapi, di satu sisi, ada perasaan yang masih tertahan, karena ia tidak ingin mengecewakan kakek Wijaya. Harus ada jalan keluar yang dapat memuaskan semua pihak, termasuk hatinya sendiri yang penuh kebimbangan.Setelah sekian lama larut dalam lamunan, Jia memutuskan untuk pergi dari dapur dan memberi ruang bagi Murni untuk bekerja menyiapkan hidangan tamu nanti. "Ah, sudah cukup m
Jia merasakan tatapan yang tak nyaman dari salah seorang tamu, seakan mata itu berusaha menembus ruang personalnya. Dia tak tahan lagi. Dengan langkah berat, dia berdiri, menarik napas dalam-dalam seolah mengumpulkan keberanian. Jari-jarinya bergetar sedikit saat meletakkan sendok dan garpu dengan hati-hati di samping piring. "Maaf, saya harus segera pergi," ucapnya dengan suara rendah, mencoba menyembunyikan ketidaknyamanannya. Pesta makan malam itu kini terasa seperti sebuah medan pertempuran bagi Jia.“Aku sudah kenyang.” Jia berlalu pergi, mulai mengayunkan tongkat penuntun jalan menuju ke kamarnya. Senyum tipis menghiasi wajahnya saat mata Jia yang terkesan terburu-buru meninggalkan meja makan, dengan piringnya yang masih berisi setengah makanannya. Sean menatapnya penuh ketertarikan yang tak kunjung mendapat perhatian. "Aku sudah kenyang, saya ingin istirahat dulu!" ujarnya tegas, bangkit dari kursi dan berjalan dengan langkah sengaja memutar agar bisa bertemu dengan Jia di l
Seorang wanita berjalan pelan menuju bathub sambil meraba sekitarnya, ingin sekali dia menikmati waktu berendam menyenangkan. Lantai kamar mandi terlalu licin, perempuan sudah membalut tubuhnya dengan handuk itu pun tergelincir, mengakibatkan benturan kepala di bibir bathtub. Dia mengerang kesakitan sambil memegangi sisi kepala. Akan tetapi, rintihan itu terhenti begitu saja, ketika dia merasakan adanya cahaya masuk dalam penglihatan. “A—astaga, mataku … mataku sudah bisa melihat?” ujarnya tak percaya, mengedipkan mata berulang. “I—ini sebuah keajaiban!” Jia menatap langit, matanya menerawang ke masa lalu yang kelam. Perlahan, ia menggenggam erat tangan kanannya, seolah mencoba meraih ingatan itu kembali. Bayangan kejadian naas 7 tahun silam mulai menghantui pikirannya, rasa sakit dan kehilangan bercampur menjadi satu. Bibirnya menggigil, mencoba menahan getir yang muncul dari dalam hatinya. Di saat mobilnya melaju kencang membelah jalanan sepi, Jia tak menyadari bahaya yang
“Bi—bisa melihat?!” Liam melebarkan mata kaget, kemudian bergegas menemui istrinya. Dia tidak percaya dengan perkataan Tamara, akan jauh lebih baik kalau dia mencari tahu sendiri. “Kamu bisa melihat?!” tegur keras Liam begitu dia menemukan Jia di kamar. Jia terkejut akan pertanyaan dilayangkan dengan nada tinggi. Dia merasa terancam, dan langsung memeluk suaminya. Air mata Jia luruh, menenggelamkan wajah pada dada bidang Liam. “Kenapa kamu menyinggung hal itu, setelah aku bersusah payah menerima keadaanku?” tangis Jia. “Aku juga sangat ingin melihatmu.” Liam menurunkan paksa kedua tangan Jia yang masih mendekapnya. “Berhenti berbohong! Kamu pasti bisa melihat, karena mustahil orang buta bisa menumpahkan teh dan jus tepat sasaran!” Jia meraup oksigen dari mulut, sangat panjang dan menahannya sejenak. “Kamu tidak mempercayaiku, hanya karena masalah kecil yang tidak disengaja?” sendu Jia. Liam tidak mengatakan apa-apa lagi, diam-diam dia melambaikan tangan di depan kedu