Share

Bab 2

“Bi—bisa melihat?!” Liam melebarkan mata kaget, kemudian bergegas menemui istrinya.

Dia tidak percaya dengan perkataan Tamara, akan jauh lebih baik kalau dia mencari tahu sendiri.

“Kamu bisa melihat?!” tegur keras Liam begitu dia menemukan Jia di kamar.

Jia terkejut akan pertanyaan dilayangkan dengan nada tinggi. Dia merasa terancam, dan langsung memeluk suaminya. Air mata Jia luruh, menenggelamkan wajah pada dada bidang Liam.

“Kenapa kamu menyinggung hal itu, setelah aku bersusah payah menerima keadaanku?” tangis Jia. “Aku juga sangat ingin melihatmu.”

Liam menurunkan paksa kedua tangan Jia yang masih mendekapnya.

“Berhenti berbohong! Kamu pasti bisa melihat, karena mustahil orang buta bisa menumpahkan teh dan jus tepat sasaran!”

Jia meraup oksigen dari mulut, sangat panjang dan menahannya sejenak.

“Kamu tidak mempercayaiku, hanya karena masalah kecil yang tidak disengaja?” sendu Jia.

Liam tidak mengatakan apa-apa lagi, diam-diam dia melambaikan tangan di depan kedua mata Jia. Liam hening, dia berpikir sejenak dan mengulangi gerakan sama.

‘Mungkin, dia benar-benar tidak sengaja.’ Liam berbicara dalam hati tanpa keyakinan. “Aku akan bersiap sebentar,” ucapnya lalu pergi.

Liam berjalan meninggalkan ruang tengah, kemudian sengaja berhenti dan mengamati istrinya dari jarak berarti. Cukup lama, sampai Liam benar-benar yakin kalau Jia masih buta.

Mata Jia tertuju pada punggung suaminya yang baru saja pergi. Diam-diam, senyum tipis mengembang di bibirnya. Rencananya untuk menutupi kebenaran tampaknya berjalan lancar. Dia berhasil menciptakan suasana yang perlahan mulai berpihak padanya, mengendalikan emosi yang mencuat.

Namun, di lubuk hatinya, dia tahu bahwa semua itu tak sebanding dengan rasa sakit akibat penipuan dan pengkhianatan yang dilakukan suami dan pelayan pribadinya. Di tengah keheningan, ia meremas ujung roknya dengan erat, menahan rasa pahit yang tertahan.

Jia berdiri tegak, matanya bersinar penuh kegigihan. "Ini baru permulaannya," gumamnya sambil tersenyum misterius. Ia menggenggam erat tongkatnya, merasakan detak jantungnya semakin kencang. "Mengikuti permainan kalian sepertinya sangat seru." Lalu, dengan langkah mantap, ia berlalu pergi, membawa hati yang penuh dendam yang semakin menggelora di dalam dirinya.

Liam menghela napas, dia berbalik untuk menemui Tamara. Akan tetapi, selingkuhannya itu sudah lebih dulu menghampiri dengan tangan membawa garpu.

Liam mencegah pergelangan Tamara, namun perempuan itu menepis dan terus mendekati Jia. Garpu diangkat olehnya tepat di depan kedua mata Jia, berniat menusuk.

Liam berusaha menghentikan, tapi dia justru mendapatkan tatapan peringatan dari Tamara. Seakan, asisten rumah tangga itu meminta agar kekasihnya percaya dengan upaya dilakukan, demi membongkar sandiwara Jia.

‘Aku akan membongkar sandiwaramu!’ batin Tamara, menarik garpu dan menggerakkan cepat ke mata Jia.

Hanya tinggal beberapa sentimeter Liam segera mencengkram pergelangan tangan Tamara dan menyeretnya pergi.

“Kamu sudah gila?! Apa yang harus aku katakan pada semua orang, kalau sampai dia terluka?!” bentak Liam menahan suara.

“Dia berbohong, percayalah padaku!”

“Berhenti mengarang cerita, dan jangan pernah berani melakukan apapun padanya!” peringat tegas Liam.

“Kamu membelanya?! Bukankah kamu bilang terpaksa menikahinya, dan kamu hanya menginginkanku saja?!”

Tamara mencerca Liam, namun lelaki itu malah mendengus kesal dan berlalu tanpa kata menghampiri istrinya.

“Ada apa?” tanya Jia begitu mencium aroma sang suami dan merasakan sentuhan pada lengan.

“Tidak ada. Ini waktunya kamu minum obat,” lembut Liam.

Jia tersenyum, Liam menuntunnya hati-hati ke arah kamar. Dalam hati, Jia merasa jijik dengan tingkah palsu suaminya, namun terpaksa dia harus menerima demi tujuan besar ingin dicapai.

‘Bodohnya aku menaruh kepercayaan pada laki-laki ini,’ batin Jia menyesal. Kemudian menatap sendu melupakan dendam atas ukiran rasa sakit di hati, sebab keadaan yang merubah cinta suaminya. Andai dulu tidak terjadi kecelakaan, mungkin sekarang pernikahan harmonis dan bahagia sudah berhasil di sandangnya.

Segera Jia tersadar dari lamunannya, hampir saja dia terkecoh dengan perhatian yang diberikan.

Liam membantu Jia duduk di tepi ranjang, mengambilkan obat dan membantu perempuan itu minum. Sangat lembut dan penuh perhatian seperti hari sebelumnya.

‘Kalau saja aku tidak mengetahui kebenarannya, aku pasti terbuai dengan sikapmu!’ batin Jia mengutuk.

“Istirahatlah, aku akan ke kamar mandi sebentar.” Liam membaringkan tubuh Jia lembut.

Perempuan itu menurut, senyum serta anggukan diberikan sebagai jawaban. Sejenak, Jia memastikan bahwa suaminya telah lenyap dari pandangan, dan mendengar suara pintu kamar mandi.

Jia bergegas memuntahkan pil yang diberikan padanya, mengamati sejenak dan menyipitkan mata. “Ada yang salah dengan semua obat ini. Aku harus mencari tahu!”

Cepat-cepat Jia menyimpan pil tersebut untuk diselidiki, kemudian menarik selimut dan berpura-pura tidur setelah mendengar gerak dari arah kamar mandi.

Liam menghampiri istrinya, sekadar mengecek apakah wanita itu sudah pulas atau belum. Senyum simpul menghiasi wajah segar Liam, begitu tahu bahwa istrinya sudah lelap.

“Baguslah, aku bisa pergi ke kamar Tamara.” Liam bergumam di tengah senyum terpasang.

Lelaki itu pergi ke kamar sang pelayan, tanpa lagi mengenakan pakaian. Hanya handuk terlilit dari pinggang sisa dia menyegarkan tubuh saja yang menempel, Lian berjalan nyaman menghampiri si pemuas.

Tamara menyambut dengan pakaian seksi nan terbuka, Lian terpukau hingga saliva meluncur dalam tenggorokan. Tamara semakin berani dalam berpakaian di depannya, sangat terbuka dan menggoda.

Tamara mengayunkan jemari telunjuk memanggil Liam, wajah dipasang seksi dengan tatapan menggoda. Liam tidak butuh waktu lama untuk langsung menghampiri, bermain layaknya polisi dan pencuri.

Keduanya asyik memadu hasrat dengan liar, bergumul panas tanpa peduli ada penghuni lain di rumah. Lian benar-benar dimabukkan oleh pesona Tamara, begitu pula dengan permainan gila yang membuatnya terus ketagihan.

Satu jam mereka berbagi peluh bersama, berhenti sejenak untuk sekedar mengumpulkan tenaga di balkon sembari berpelukan. Liam ingin melakukan lagi bersama Tamara, berulang kali sampai dia terpuaskan.

***

Keesokan hari, Jia berjalan-jalan keliling komplek untuk mencari udara segar. Telah lama dia tidak melakukan hal itu, dan kini dia membutuhkannya setelah kenyataan menyesakkan diterima.

“Aku merindukan setiap warna yang tercipta alami,” gumam Jia seraya menarik dalam oksigen.

Pernapasan dilakukan untuk memberi ruang pada paru-paru dilakukan oleh Jia pelan, dia menyukai aroma kebebasan yang kini membuatnya semakin hidup.

Senyum terbingkai cantik, Jia menikmati pemandangan sekitar, meski dia harus menyembunyikan dengan tetap berpura-pura buta dan menjadikan tongkat sebagai penyempurna sandiwara.

Dari kejauhan, Jia melihat ada seorang wanita tengah dikejar-kejar preman, Jia menyipitkan mata untuk sekadar mempertajam. Penglihatan menangkap jelas wajah ketakutan dari wanita berpakaian lusuh, yang terus saja berlari sembari sesekali menoleh.

Jia tidak berpikir panjang untuk menolong, menghampiri dan menyeret wanita tengah merasa terancam itu untuk bersembunyi. Keduanya mengintip di balik rerimbunan tanaman, mencari tahu keberadaan preman yang sempat kebingungan.

“Dia sudah pergi,” ucap Jia mengejutkan wanita yang ditolong.

“Kamu tidak buta?!” terkejut wanita berpakaian lusuh tersebut.

Jia berdiri keluar dari persembunyian, mengulas senyum dan mengulurkan tangan agar wanita seumuran dengannya itu keluar juga.

“Ini rahasia. Jangan ceritakan pada siapa-siapa.” Jia berbisik.

Meski kebingungan, wanita dengan rambut acak-acakan tersebut mengangguk. “Terima kasih sudah menolongku. Namaku Muni.”

“Panggil aku Jia.” Keduanya berjabat tangan dan saling melempar senyuman.

Muni hening mengamati perlahan wajah Jia. “Sepertinya, aku mengenalmu.”

“Mengenalku? Di mana?” sahut Jia penasaran, karena sepertinya mustahil ada yang mengenalinya setelah tujuh tahun kehilangan penglihatan.

“Mm, entahlah. Aku lupa.”

Muni menggeleng, tak lama terdengar suara pemberontakan dari perutnya. Jia tertawa mengetahui hal itu, Muni merasa malu.

“Kita sarapan bersama. Kebetulan, aku belum sarapan.”

Muni tersenyum malu mendengar ajakan Jia, namun dia menolak halus karena teringat anaknya.

“Terima kasih banyak. Tapi, sepertinya aku harus pulang, karena putriku pasti sedang ketakutan menungguku di rumah.

Jia mengangguk berulang. “Apa aku boleh ikut?” tanyanya, dijawab anggukan oleh Muni.

Keduanya berjalan menuju rumah Muni, sembari berbincang dan sesekali mengulas senyuman. Muni menceritakan alasan dia dikejar oleh preman, dan bersyukur bisa diselamatkan oleh Jia.

Itu tak jauh berbeda dari apa dirasakan oleh Jia. Setidaknya, kemunculan Muni bisa membuatnya sedikit melupakan masalah Tamara juga suaminya, yang cukup menyita ruang dalam hati dan pikiran.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status