“Bi—bisa melihat?!” Liam melebarkan mata kaget, kemudian bergegas menemui istrinya.
Dia tidak percaya dengan perkataan Tamara, akan jauh lebih baik kalau dia mencari tahu sendiri. “Kamu bisa melihat?!” tegur keras Liam begitu dia menemukan Jia di kamar. Jia terkejut akan pertanyaan dilayangkan dengan nada tinggi. Dia merasa terancam, dan langsung memeluk suaminya. Air mata Jia luruh, menenggelamkan wajah pada dada bidang Liam. “Kenapa kamu menyinggung hal itu, setelah aku bersusah payah menerima keadaanku?” tangis Jia. “Aku juga sangat ingin melihatmu.” Liam menurunkan paksa kedua tangan Jia yang masih mendekapnya. “Berhenti berbohong! Kamu pasti bisa melihat, karena mustahil orang buta bisa menumpahkan teh dan jus tepat sasaran!” Jia meraup oksigen dari mulut, sangat panjang dan menahannya sejenak. “Kamu tidak mempercayaiku, hanya karena masalah kecil yang tidak disengaja?” sendu Jia. Liam tidak mengatakan apa-apa lagi, diam-diam dia melambaikan tangan di depan kedua mata Jia. Liam hening, dia berpikir sejenak dan mengulangi gerakan sama. ‘Mungkin, dia benar-benar tidak sengaja.’ Liam berbicara dalam hati tanpa keyakinan. “Aku akan bersiap sebentar,” ucapnya lalu pergi. Liam berjalan meninggalkan ruang tengah, kemudian sengaja berhenti dan mengamati istrinya dari jarak berarti. Cukup lama, sampai Liam benar-benar yakin kalau Jia masih buta. Mata Jia tertuju pada punggung suaminya yang baru saja pergi. Diam-diam, senyum tipis mengembang di bibirnya. Rencananya untuk menutupi kebenaran tampaknya berjalan lancar. Dia berhasil menciptakan suasana yang perlahan mulai berpihak padanya, mengendalikan emosi yang mencuat. Namun, di lubuk hatinya, dia tahu bahwa semua itu tak sebanding dengan rasa sakit akibat penipuan dan pengkhianatan yang dilakukan suami dan pelayan pribadinya. Di tengah keheningan, ia meremas ujung roknya dengan erat, menahan rasa pahit yang tertahan. Jia berdiri tegak, matanya bersinar penuh kegigihan. "Ini baru permulaannya," gumamnya sambil tersenyum misterius. Ia menggenggam erat tongkatnya, merasakan detak jantungnya semakin kencang. "Mengikuti permainan kalian sepertinya sangat seru." Lalu, dengan langkah mantap, ia berlalu pergi, membawa hati yang penuh dendam yang semakin menggelora di dalam dirinya. Liam menghela napas, dia berbalik untuk menemui Tamara. Akan tetapi, selingkuhannya itu sudah lebih dulu menghampiri dengan tangan membawa garpu. Liam mencegah pergelangan Tamara, namun perempuan itu menepis dan terus mendekati Jia. Garpu diangkat olehnya tepat di depan kedua mata Jia, berniat menusuk. Liam berusaha menghentikan, tapi dia justru mendapatkan tatapan peringatan dari Tamara. Seakan, asisten rumah tangga itu meminta agar kekasihnya percaya dengan upaya dilakukan, demi membongkar sandiwara Jia. ‘Aku akan membongkar sandiwaramu!’ batin Tamara, menarik garpu dan menggerakkan cepat ke mata Jia. Hanya tinggal beberapa sentimeter Liam segera mencengkram pergelangan tangan Tamara dan menyeretnya pergi. “Kamu sudah gila?! Apa yang harus aku katakan pada semua orang, kalau sampai dia terluka?!” bentak Liam menahan suara. “Dia berbohong, percayalah padaku!” “Berhenti mengarang cerita, dan jangan pernah berani melakukan apapun padanya!” peringat tegas Liam. “Kamu membelanya?! Bukankah kamu bilang terpaksa menikahinya, dan kamu hanya menginginkanku saja?!” Tamara mencerca Liam, namun lelaki itu malah mendengus kesal dan berlalu tanpa kata menghampiri istrinya. “Ada apa?” tanya Jia begitu mencium aroma sang suami dan merasakan sentuhan pada lengan. “Tidak ada. Ini waktunya kamu minum obat,” lembut Liam. Jia tersenyum, Liam menuntunnya hati-hati ke arah kamar. Dalam hati, Jia merasa jijik dengan tingkah palsu suaminya, namun terpaksa dia harus menerima demi tujuan besar ingin dicapai. ‘Bodohnya aku menaruh kepercayaan pada laki-laki ini,’ batin Jia menyesal. Kemudian menatap sendu melupakan dendam atas ukiran rasa sakit di hati, sebab keadaan yang merubah cinta suaminya. Andai dulu tidak terjadi kecelakaan, mungkin sekarang pernikahan harmonis dan bahagia sudah berhasil di sandangnya. Segera Jia tersadar dari lamunannya, hampir saja dia terkecoh dengan perhatian yang diberikan. Liam membantu Jia duduk di tepi ranjang, mengambilkan obat dan membantu perempuan itu minum. Sangat lembut dan penuh perhatian seperti hari sebelumnya. ‘Kalau saja aku tidak mengetahui kebenarannya, aku pasti terbuai dengan sikapmu!’ batin Jia mengutuk. “Istirahatlah, aku akan ke kamar mandi sebentar.” Liam membaringkan tubuh Jia lembut. Perempuan itu menurut, senyum serta anggukan diberikan sebagai jawaban. Sejenak, Jia memastikan bahwa suaminya telah lenyap dari pandangan, dan mendengar suara pintu kamar mandi. Jia bergegas memuntahkan pil yang diberikan padanya, mengamati sejenak dan menyipitkan mata. “Ada yang salah dengan semua obat ini. Aku harus mencari tahu!” Cepat-cepat Jia menyimpan pil tersebut untuk diselidiki, kemudian menarik selimut dan berpura-pura tidur setelah mendengar gerak dari arah kamar mandi. Liam menghampiri istrinya, sekadar mengecek apakah wanita itu sudah pulas atau belum. Senyum simpul menghiasi wajah segar Liam, begitu tahu bahwa istrinya sudah lelap. “Baguslah, aku bisa pergi ke kamar Tamara.” Liam bergumam di tengah senyum terpasang. Lelaki itu pergi ke kamar sang pelayan, tanpa lagi mengenakan pakaian. Hanya handuk terlilit dari pinggang sisa dia menyegarkan tubuh saja yang menempel, Lian berjalan nyaman menghampiri si pemuas. Tamara menyambut dengan pakaian seksi nan terbuka, Lian terpukau hingga saliva meluncur dalam tenggorokan. Tamara semakin berani dalam berpakaian di depannya, sangat terbuka dan menggoda. Tamara mengayunkan jemari telunjuk memanggil Liam, wajah dipasang seksi dengan tatapan menggoda. Liam tidak butuh waktu lama untuk langsung menghampiri, bermain layaknya polisi dan pencuri. Keduanya asyik memadu hasrat dengan liar, bergumul panas tanpa peduli ada penghuni lain di rumah. Lian benar-benar dimabukkan oleh pesona Tamara, begitu pula dengan permainan gila yang membuatnya terus ketagihan. Satu jam mereka berbagi peluh bersama, berhenti sejenak untuk sekedar mengumpulkan tenaga di balkon sembari berpelukan. Liam ingin melakukan lagi bersama Tamara, berulang kali sampai dia terpuaskan. *** Keesokan hari, Jia berjalan-jalan keliling komplek untuk mencari udara segar. Telah lama dia tidak melakukan hal itu, dan kini dia membutuhkannya setelah kenyataan menyesakkan diterima. “Aku merindukan setiap warna yang tercipta alami,” gumam Jia seraya menarik dalam oksigen. Pernapasan dilakukan untuk memberi ruang pada paru-paru dilakukan oleh Jia pelan, dia menyukai aroma kebebasan yang kini membuatnya semakin hidup. Senyum terbingkai cantik, Jia menikmati pemandangan sekitar, meski dia harus menyembunyikan dengan tetap berpura-pura buta dan menjadikan tongkat sebagai penyempurna sandiwara. Dari kejauhan, Jia melihat ada seorang wanita tengah dikejar-kejar preman, Jia menyipitkan mata untuk sekadar mempertajam. Penglihatan menangkap jelas wajah ketakutan dari wanita berpakaian lusuh, yang terus saja berlari sembari sesekali menoleh. Jia tidak berpikir panjang untuk menolong, menghampiri dan menyeret wanita tengah merasa terancam itu untuk bersembunyi. Keduanya mengintip di balik rerimbunan tanaman, mencari tahu keberadaan preman yang sempat kebingungan. “Dia sudah pergi,” ucap Jia mengejutkan wanita yang ditolong. “Kamu tidak buta?!” terkejut wanita berpakaian lusuh tersebut. Jia berdiri keluar dari persembunyian, mengulas senyum dan mengulurkan tangan agar wanita seumuran dengannya itu keluar juga. “Ini rahasia. Jangan ceritakan pada siapa-siapa.” Jia berbisik. Meski kebingungan, wanita dengan rambut acak-acakan tersebut mengangguk. “Terima kasih sudah menolongku. Namaku Muni.” “Panggil aku Jia.” Keduanya berjabat tangan dan saling melempar senyuman. Muni hening mengamati perlahan wajah Jia. “Sepertinya, aku mengenalmu.” “Mengenalku? Di mana?” sahut Jia penasaran, karena sepertinya mustahil ada yang mengenalinya setelah tujuh tahun kehilangan penglihatan. “Mm, entahlah. Aku lupa.” Muni menggeleng, tak lama terdengar suara pemberontakan dari perutnya. Jia tertawa mengetahui hal itu, Muni merasa malu. “Kita sarapan bersama. Kebetulan, aku belum sarapan.” Muni tersenyum malu mendengar ajakan Jia, namun dia menolak halus karena teringat anaknya. “Terima kasih banyak. Tapi, sepertinya aku harus pulang, karena putriku pasti sedang ketakutan menungguku di rumah. Jia mengangguk berulang. “Apa aku boleh ikut?” tanyanya, dijawab anggukan oleh Muni. Keduanya berjalan menuju rumah Muni, sembari berbincang dan sesekali mengulas senyuman. Muni menceritakan alasan dia dikejar oleh preman, dan bersyukur bisa diselamatkan oleh Jia. Itu tak jauh berbeda dari apa dirasakan oleh Jia. Setidaknya, kemunculan Muni bisa membuatnya sedikit melupakan masalah Tamara juga suaminya, yang cukup menyita ruang dalam hati dan pikiran.Bab 3 Jia dan Muni tiba di sebuah rumah, seorang bocah berlari menyambut riang. “Ibu … Ibu dari mana saja? Cici lapar,” ungkap seorang anak kecil yang langsung memeluk Muni. Jia mengusap ujung kepala bocah itu seraya tersenyum. Kantong plastik ada di tangan, diserahkan Jia kepala bocah berpenampilan lusuh tersebut. “Ini untukmu,” lembut Jia. Bocah itu diam, menatap sang ibu seakan meminta izin. Muni mengangguk, barulah gadis mungil itu menerima apa diberikan padanya. “Terima kasih banyak,” ungkap gadis bernama Cici tersebut. Bocah itu berbalik, meninggalkan dua orang yang tetap berdiri di ambang pintu. “Melihat Cici, aku jadi teringat dengan putraku,” sendu Jia. Muni terdiam, ada sebuah ingatan kembali dalam kepalanya. “Bukankah kamu memiliki anak laki-laki? Sepertinya, kita pernah berada di rumah sakit yang sama saat melahirkan, dan aku pernah sekilas melihat wajah anakmu. Aku bahkan sangat jelas mengingat, kalau dia memiliki tanda lahir di pelipis.” Muni teringat s
Keesokan pagi, Liam terlambat bangun dan Jia sudah menanti di ruang makan. Tidak lama, lelaki itu datang dengan segala keromantisan yang justru membuat Jia muak. Perhatian, cinta, kasih sayang, kecupan dan apa pun yang semula disukai dan berhasil membuat Jia melayang, kini hanya mampu membuatnya ingin muntah. Leo menyusul tidak lama kemudian, berlari riang dan menyapa kedua orang tuanya. Jia berlaku seperti biasa, menerima pelukan juga kecupan dari bocah beraroma segar tersebut. Namun, semua tidak mampu mengikis fakta yang diterima, bahwa Leo bukanlah anak kandungnya. Hatinya memberontak ingin sekali bertanya mengenai anak kandungnya pada Liam, tapi Jia terpaksa bungkam untuk tidak menimbulkan kecurigaan. “Seminggu lagi aku berulang tahun, aku ingin acaranya diadakan dengan meriah dan mewah,” celoteh Leo sangat antusias dan bersemangat bercerita pada Liam. “Apa kalian melupakan hari istimewa itu?” “Tentu saja, tidak.” Liam tersenyum mengacak ujung rambut putranya. Mendenga
Bab 5 Liam merasa jantungnya berdebar kencang, tanda ketakutan. Matanya melotot ke arah Jia dan pria asing yang sedang membantunya. Ia tahu tatapan pria itu sebenarnya menggoda istrinya. Namun, di sudut hati ia memikirkan bahwa Jia hanyalah wanita buta dan tidak akan ada pria lain yang mau menerima kekurangannya. Dengan nada marah yang tersembunyi, Liam berbicara sambil memelotot. "Lain kali, perhatikan anakmu!" ucapnya dengan intonasi tinggi, ingin memberi peringatan pada Jia agar lebih berhati-hati di kemudian hari. Jia menggigit bibir bawahnya, berusaha untuk menenangkan perasaannya. Seharusnya dialah yang marah karena terdorong, namun suaminya terus bersikeras bahwa tidak ada kesalahan di pihaknya. Wajah suaminya tetap terlihat tenang, sama sekali tidak menunjukkan rasa bersalah atau penyesalan. "Padahal dia yang mendorong duluan," gumam Jia kesal. Matanya berkaca-kaca, menahan emosi yang ingin meledak. Tapi dia tahu, teriakan dan tangisan tak akan membuat suaminya mengaku
Jia membuka kedua matanya, kemudian berulang kali mencoba memejamkan kembali mata, namun sia-sia. Pikirannya terus saja melayang pada Kevin. "Apakah bocah itu tidur nyenyak setelah aku pergi?" gumamnya. Sambil menggeliat pelan di tempat tidur, matanya tertuju pada wajah lugu Leo yang ternyata tidur dengan pulas di sampingnya, membuat hatinya merana. Merasa adanya ikatan yang kuat, ia dengan perlahan mengusap lembut rambut Leo, meresapi perasaannya. Walaupun bukan ibu kandung, namun perasaan tersebut telah tumbuh sejak Jia merawat Leo semenjak bayi. Tak urung ia pun tersenyum sendu seraya berbisik pelan. 'Biar dunia mengatakan kamu bukan anakku, tapi kamu tetap mendapatkan posisi itu. Namun, hati Jia sulit menahan beban penuh kekecewaan akibat pengkhianatan suami dan pelayan pribadi. Perasaan ingin membalaskan dendam semakin membara sejak penglihatannya pulih. Di sela-sela pertarungan batin itu, dia merasa begitu dekat dengan Kevin. "Oh Tuhan, mengapa aku semakin condong pa
Jia menggenggam erat tongkat di tangannya, ekspresi wajahnya memancarkan kemarahan yang tak tertahankan. Matanya menatap tajam ke arah Tamara yang tersenyum menikmati drama yang baru saja dimulai. Panas membakar pipinya karena tamparan Liam yang bahkan lebih menyakitkan dari pukulan tongkat yang sedang ia genggam. Dalam hati, Jia berkata. 'Pria asing malah membantuku, sementara Liam dengan seenaknya berselingkuh dengan pelayan pribadiku!' Dia merasakan ketidakadilan yang tak terukur, lalu merenungkan hukuman yang setimpal bagi kedua pengkhianat di hadapannya.“Jawab Jia?!” bentak Liam. “Apa yang seharusnya aku jawab? Pria itu menolongku.” “Benarkah?” “Aku dengar di panti asuhan ini memiliki cctv. Kenapa tidak kamu cek saja, dan lihat kebenarannya.” Jia tak ingin terjebak dalam pertengkaran yang dipicu oleh kecemburuan suaminya. Dengan berat hati, ia melangkah pergi sambil menggenggam erat tongkat penuntun jalannya. Setiap langkah yang diambil, keluhan mengenai suaminya yang aneh
"Sayang, aku pernah membahas tentang Muni?" tanya Jia dengan penuh keingintahuan, wajahnya nampak serius. Liam mengerutkan kening, mencoba mengingat apakah pernah mendengar nama tersebut sebelumnya. Muni? Sepertinya mengingat nama yang sempat mereka bahas sebelumnya. Liam mulai merasa curiga. Jia ini kenal dari mana dengan Muni? Tetapi kemudian Liam berusaha mengalihkan pikiran itu. Baginya, yang penting adalah menyenangkan hati Tamara dan Jia bersamaan. "Muni?" tanyanya. "Oh, perkenalkan, dia itu temanku. Seorang wanita miskin yang tinggal di sekitar sini. Punya anak perempuan seusia Leo." Jia menjelaskan, berharap bisa meyakinkan Liam. Dia tahu, dalam perjuangan membalas dendam, Jia membutuhkan sekutu. Dan Muni mungkin bisa menjadi kunci kesuksesan dalam misi mereka. ‘Bagaimanapun caranya, Muni harus menjadi pelayan disini,’ batin Jia berharap Liam memberikan izin. “Sayang,” ucap Jia pelan sembari meyakinkan suaminya. “Di rumah sebesar ini, Tamara mengerjakan pekerjaan
Jia melangkah mondar-mandir di depan pintu rumah, rasa gelisah tak terbendung saat menunggu kurir yang akan menyerahkan hasil tes DNA."Seharusnya sudah datang," gumamnya dalam hati. Tiba-tiba bell pintu berbunyi, menandakan kedatangan seseorang. Dengan langkah sigap dan penuh semangat, Jia membuka pintu dan menemui orang suruhannya yang ditunggu-tunggu. Senyum sumringah merekah di wajah Jia saat melihat kurir tersebut datang sambil membawa kabar yang ditunggu.Jia merasa ada perasaan aneh yang terus mengganggu pikirannya, seperti ada magnet yang menarik dirinya kepada seorang bocah laki-laki di panti asuhan. Anak kecil berwajah polos yang kerap menghiasi mimpi-mimpinya. Ia percaya, intuisi seorang ibu adalah sesuatu yang luar biasa, punya kemampuan untuk menghubungkan hati seorang ibu dengan anak kandung.Perasaan ini terlalu kuat untuk diabaikan dan membuat Jia ingin membuktikannya. "Apakah dia memang anakku?" gumam Jia lirih, menatap wajah bocah tersebut dalam foto, yang diambiln
Jia merasa jantungnya berdegup kencang, menahan rasa panik yang mulai merayapi pikirannya. Hampir saja ia ketahuan oleh suaminya mengenai perihal tes DNA yang diam-diam ia jalani. Untungnya, hasil tes tersebut dikirim melalui pesan singkat khusus yang hanya bisa dibaca sekali, lalu menghilang tanpa meninggalkan jejak.Sambil mencoba mengendalikan perasaannya, Jia menoleh ke sumber suara yang datang dari suaminya. Ia tersenyum tipis, berusaha menutupi kegugupan yang tengah menghantui. Dengan mengayunkan tongkat menuntunnya, Jia bergerak perlahan menuju pintu kamar sambil meraba apa saja di sekitarannya. Hingga tiba-tiba, Liam menarik tangan Jia, mengajaknya datang lebih cepat dalam dekapannya yang hangat. “Sayang, aku mencarimu.” Liam memeluk istrinya beberapa detik, lalu melepaskannya. Menatap wajah, terutama fokusnya berpusat pada sepasang manik mata indah, yang sayangnya tidak bisa melihat. “Sedang apa di kamar?” tanyanya dengan nada curiga. Jia mengambil kesempatan itu kala melih