Jia merasa tidak sanggup menerima keinginan kakek Wijaya yang mendesaknya untuk segera melahirkan seorang cicit.Dalam hatinya, dia bertanya-tanya mengapa Liam, sang suami, justru mendukung keputusan sang kakek yang membuatnya begitu terbebani. "Apa yang mereka pikirkan? Apakah mereka tidak memikirkan perasaanku sama sekali?" gumam Jia bermonolog, berperang antara pikiran dan juga hatinya. Perasaan jijik kembali muncul saat Jia mengingat bagaimana Liam telah mengkhianatinya dengan asisten rumah tangga. Bayang-bayang kenangan itu membuat hatinya semakin sulit menerima kenyataan bahwa dia harus berhubungan intim dengan pria yang telah merusak kepercayaannya itu."Bagaimana mungkin aku bisa melupakan pengkhianatan Liam? Apakah aku bisa menerima anak dari hubungan kami yang ternoda oleh pengkhianatan?" Pertanyaan-pertanyaan itu terus menggelayuti pikiran Jia, membuatnya semakin terpuruk dalam keputusasaan.Jia berjalan mondar-mandir dalam ruangannya, langkah kakinya menggema rasa kece
Jia semakin resah akan keberadaan Sean di rumahnya, apalagi kakek Wijaya yang memberikan restu atas kehadiran pria itu. Setiap sudut rumah terasa sumpek, hatinya tidak bisa tenang karena merasa terusik. "Apa yang membuat kakek percaya padanya? Apakah dia lebih baik daripada orang lain yang pernah ada di hidupnya?" gumam Jia yang bermonolog.Di dapur, Jia bolak-balik memikirkan cara untuk mengusir Sean dari rumahnya. Tak tahan merasakan ketidaknyamanan ini. 'Aku harus mencari cara agar dia pergi, aku tidak ingin kehilangan kenyamanan hidupku sendiri gara-gara pria ini,' batin Jia dengan penuh keputusasaan. Tapi, di satu sisi, ada perasaan yang masih tertahan, karena ia tidak ingin mengecewakan kakek Wijaya. Harus ada jalan keluar yang dapat memuaskan semua pihak, termasuk hatinya sendiri yang penuh kebimbangan.Setelah sekian lama larut dalam lamunan, Jia memutuskan untuk pergi dari dapur dan memberi ruang bagi Murni untuk bekerja menyiapkan hidangan tamu nanti. "Ah, sudah cukup m
Jia merasakan tatapan yang tak nyaman dari salah seorang tamu, seakan mata itu berusaha menembus ruang personalnya. Dia tak tahan lagi. Dengan langkah berat, dia berdiri, menarik napas dalam-dalam seolah mengumpulkan keberanian. Jari-jarinya bergetar sedikit saat meletakkan sendok dan garpu dengan hati-hati di samping piring. "Maaf, saya harus segera pergi," ucapnya dengan suara rendah, mencoba menyembunyikan ketidaknyamanannya. Pesta makan malam itu kini terasa seperti sebuah medan pertempuran bagi Jia.“Aku sudah kenyang.” Jia berlalu pergi, mulai mengayunkan tongkat penuntun jalan menuju ke kamarnya. Senyum tipis menghiasi wajahnya saat mata Jia yang terkesan terburu-buru meninggalkan meja makan, dengan piringnya yang masih berisi setengah makanannya. Sean menatapnya penuh ketertarikan yang tak kunjung mendapat perhatian. "Aku sudah kenyang, saya ingin istirahat dulu!" ujarnya tegas, bangkit dari kursi dan berjalan dengan langkah sengaja memutar agar bisa bertemu dengan Jia di l
Seorang wanita berjalan pelan menuju bathub sambil meraba sekitarnya, ingin sekali dia menikmati waktu berendam menyenangkan. Lantai kamar mandi terlalu licin, perempuan sudah membalut tubuhnya dengan handuk itu pun tergelincir, mengakibatkan benturan kepala di bibir bathtub. Dia mengerang kesakitan sambil memegangi sisi kepala. Akan tetapi, rintihan itu terhenti begitu saja, ketika dia merasakan adanya cahaya masuk dalam penglihatan. “A—astaga, mataku … mataku sudah bisa melihat?” ujarnya tak percaya, mengedipkan mata berulang. “I—ini sebuah keajaiban!” Jia menatap langit, matanya menerawang ke masa lalu yang kelam. Perlahan, ia menggenggam erat tangan kanannya, seolah mencoba meraih ingatan itu kembali. Bayangan kejadian naas 7 tahun silam mulai menghantui pikirannya, rasa sakit dan kehilangan bercampur menjadi satu. Bibirnya menggigil, mencoba menahan getir yang muncul dari dalam hatinya. Di saat mobilnya melaju kencang membelah jalanan sepi, Jia tak menyadari bahaya yang
“Bi—bisa melihat?!” Liam melebarkan mata kaget, kemudian bergegas menemui istrinya. Dia tidak percaya dengan perkataan Tamara, akan jauh lebih baik kalau dia mencari tahu sendiri. “Kamu bisa melihat?!” tegur keras Liam begitu dia menemukan Jia di kamar. Jia terkejut akan pertanyaan dilayangkan dengan nada tinggi. Dia merasa terancam, dan langsung memeluk suaminya. Air mata Jia luruh, menenggelamkan wajah pada dada bidang Liam. “Kenapa kamu menyinggung hal itu, setelah aku bersusah payah menerima keadaanku?” tangis Jia. “Aku juga sangat ingin melihatmu.” Liam menurunkan paksa kedua tangan Jia yang masih mendekapnya. “Berhenti berbohong! Kamu pasti bisa melihat, karena mustahil orang buta bisa menumpahkan teh dan jus tepat sasaran!” Jia meraup oksigen dari mulut, sangat panjang dan menahannya sejenak. “Kamu tidak mempercayaiku, hanya karena masalah kecil yang tidak disengaja?” sendu Jia. Liam tidak mengatakan apa-apa lagi, diam-diam dia melambaikan tangan di depan kedu
Bab 3 Jia dan Muni tiba di sebuah rumah, seorang bocah berlari menyambut riang. “Ibu … Ibu dari mana saja? Cici lapar,” ungkap seorang anak kecil yang langsung memeluk Muni. Jia mengusap ujung kepala bocah itu seraya tersenyum. Kantong plastik ada di tangan, diserahkan Jia kepala bocah berpenampilan lusuh tersebut. “Ini untukmu,” lembut Jia. Bocah itu diam, menatap sang ibu seakan meminta izin. Muni mengangguk, barulah gadis mungil itu menerima apa diberikan padanya. “Terima kasih banyak,” ungkap gadis bernama Cici tersebut. Bocah itu berbalik, meninggalkan dua orang yang tetap berdiri di ambang pintu. “Melihat Cici, aku jadi teringat dengan putraku,” sendu Jia. Muni terdiam, ada sebuah ingatan kembali dalam kepalanya. “Bukankah kamu memiliki anak laki-laki? Sepertinya, kita pernah berada di rumah sakit yang sama saat melahirkan, dan aku pernah sekilas melihat wajah anakmu. Aku bahkan sangat jelas mengingat, kalau dia memiliki tanda lahir di pelipis.” Muni teringat s
Keesokan pagi, Liam terlambat bangun dan Jia sudah menanti di ruang makan. Tidak lama, lelaki itu datang dengan segala keromantisan yang justru membuat Jia muak. Perhatian, cinta, kasih sayang, kecupan dan apa pun yang semula disukai dan berhasil membuat Jia melayang, kini hanya mampu membuatnya ingin muntah. Leo menyusul tidak lama kemudian, berlari riang dan menyapa kedua orang tuanya. Jia berlaku seperti biasa, menerima pelukan juga kecupan dari bocah beraroma segar tersebut. Namun, semua tidak mampu mengikis fakta yang diterima, bahwa Leo bukanlah anak kandungnya. Hatinya memberontak ingin sekali bertanya mengenai anak kandungnya pada Liam, tapi Jia terpaksa bungkam untuk tidak menimbulkan kecurigaan. “Seminggu lagi aku berulang tahun, aku ingin acaranya diadakan dengan meriah dan mewah,” celoteh Leo sangat antusias dan bersemangat bercerita pada Liam. “Apa kalian melupakan hari istimewa itu?” “Tentu saja, tidak.” Liam tersenyum mengacak ujung rambut putranya. Mendenga
Bab 5 Liam merasa jantungnya berdebar kencang, tanda ketakutan. Matanya melotot ke arah Jia dan pria asing yang sedang membantunya. Ia tahu tatapan pria itu sebenarnya menggoda istrinya. Namun, di sudut hati ia memikirkan bahwa Jia hanyalah wanita buta dan tidak akan ada pria lain yang mau menerima kekurangannya. Dengan nada marah yang tersembunyi, Liam berbicara sambil memelotot. "Lain kali, perhatikan anakmu!" ucapnya dengan intonasi tinggi, ingin memberi peringatan pada Jia agar lebih berhati-hati di kemudian hari. Jia menggigit bibir bawahnya, berusaha untuk menenangkan perasaannya. Seharusnya dialah yang marah karena terdorong, namun suaminya terus bersikeras bahwa tidak ada kesalahan di pihaknya. Wajah suaminya tetap terlihat tenang, sama sekali tidak menunjukkan rasa bersalah atau penyesalan. "Padahal dia yang mendorong duluan," gumam Jia kesal. Matanya berkaca-kaca, menahan emosi yang ingin meledak. Tapi dia tahu, teriakan dan tangisan tak akan membuat suaminya mengaku