Bab 3
Jia dan Muni tiba di sebuah rumah, seorang bocah berlari menyambut riang. “Ibu … Ibu dari mana saja? Cici lapar,” ungkap seorang anak kecil yang langsung memeluk Muni. Jia mengusap ujung kepala bocah itu seraya tersenyum. Kantong plastik ada di tangan, diserahkan Jia kepala bocah berpenampilan lusuh tersebut. “Ini untukmu,” lembut Jia. Bocah itu diam, menatap sang ibu seakan meminta izin. Muni mengangguk, barulah gadis mungil itu menerima apa diberikan padanya. “Terima kasih banyak,” ungkap gadis bernama Cici tersebut. Bocah itu berbalik, meninggalkan dua orang yang tetap berdiri di ambang pintu. “Melihat Cici, aku jadi teringat dengan putraku,” sendu Jia. Muni terdiam, ada sebuah ingatan kembali dalam kepalanya. “Bukankah kamu memiliki anak laki-laki? Sepertinya, kita pernah berada di rumah sakit yang sama saat melahirkan, dan aku pernah sekilas melihat wajah anakmu. Aku bahkan sangat jelas mengingat, kalau dia memiliki tanda lahir di pelipis.” Muni teringat sesuatu, lalu menceritakannya, Jia menautkan kedua alis berpikir. “Benarkah?” Jia terkejut dengan ucapan Muni, sementara anak yang dirawat dan di asuhnya tidak memiliki tanda itu. Jia menggeleng tidak percaya, tetapi wanita di hadapannya bersikeras mengingat dengan sangat jelas. Perasaannya tiba-tiba berubah, menatap sepasang mata Muni dan menelisik dengan seksama, akan tetapi Jia tidak menemukan kebohongan di manik hitam. ‘Dia masih bersikeras,’ pikir Jia yang terdiam lama, mencermati setiap perkataan yang keluar dari mulut Muni. Perasaan tidak menentu memutuskannya untuk pergi dari sana. “Kalau begitu, aku permisi dulu.” Jia tiba-tiba berpamitan, Muni kebingungan dan bertanya dalam hati apakah ada kata yang menyinggung. Dia meminta maaf, tapi Jia tidak memiliki waktu untuk menjelaskan sekarang. Ada seorang anak laki-laki yang menunggu dirinya, itu adalah putranya yang berusia lima tahun. Jia bergegas untuk menjemput, hampir saja dia lupa karena tenggelam dalam suasana hangat rumah Muni. Jia bergegas menuju perkemahan tempat Leo berada, setelah menghubungi sopir pribadi untuk menyusulnya pada lokasi dibagikan. Jia tidak sabar untuk segera bertemu putranya, memastikan apa yang dikatakan oleh Muni. *** Beberapa waktu sampai Jia tiba di tempat putranya, bocah itu terlihat sangat kesal dan cemberut. “Kenapa lama sekali menjemputku? Apa mama sudah lupa denganku?” “Maaf, Sayang.” Jia tersenyum dan memeluk. Wanita tetap mempertahankan rahasianya itu, melepaskan dekapan sang anak. Mata menelisik pelan pada wajah menggemaskan yang masih saja bersungut kesal. Jia mengusap-usap kepala Leo, melihat apakah ada tanda lahir di pelipisnya. ‘Muni mengatakan kalau anakku memiliki tanda lahir di pelipis. Tapi …’ batin Jia, tidak melihat apapun di pelipis putranya. Jia memahat senyum, berdiri dan menuntun Leo untuk segera pulang. Dalam perjalanan, Jia terus memikirkan apa dikatakan oleh Muni, melirik anak sematawangnya berulang. Entah mengapa, semua itu mengusik Jia dan membuatnya mempertanyakan tentang sang anak. Gila memang, tapi Jia mulai penasaran juga menghubungkan perselingkuhan suaminya dengan Tamara. Sampai di rumah, Liam menyambut hangat kepulang Leo. Perilakunya tidak terlihat seperti seorang bajingan, dia lebih mirip seperti pemimpin bijaksana yang penuh kasih sayang. Memuakkan bagi Jia, tapi dia hanya bisa bersandiwara lewat senyum paksa. Paling membuat Jia tidak suka dari pemandangan yang ada, yakni Leo yang langsung mempertanyakan keberadaan Tamara. Hal itu, tentu saja semakin menguatkan praduga dalam hati Jia, tentang siapa sebenarnya Leo yang begitu berbeda dari apa diungkapkan oleh Muni. ‘Apa aku salah lihat? Kenapa wajah Leo sangat mirip dengan Tamara?’ batin Jia, melihat Leo dan Tamara berdekatan. Kecurigaan dirasakan, memaksa Jia untuk melakukan tes DNA. Dia tidak ingin dijadikan badut lagi oleh Lian dan pelayan pribadinya. Jia berpikir keras untuk bisa mengambil sampel dari Leo dan membawanya untuk melakukan tes, sampai akhirnya bibir mengulas senyum tatkala dia berhasil menemukan sebuah cara terbaik. Jia lekas menghubungi dokter pribadi, setelah Lian pergi bersama Leo dan Tamara selayaknya keluarga kecil harmonis. Jia mengutarakan tujuannya, dokter berkata akan mengutus orang datang dan mengambil sampel rambut Leo, memastikan bahwa Jia akan mendapatkan hasilnya hari ini juga. Lekas Jia melakukan hal tersebut, dengan sandiwara paling natural yang bisa dilakukan. *** Malam hari sekitar pukul delapan, orang suruhan dokter menemui Jia untuk memberikan hasil tes DNa. Tentu saja, tidak ada yang mengetahui hal tersebut, karena memang suruhan dokter tak berbeda dari penampilan kurir. Lagi pula, Liam tidak pernah peduli dengan apa pun yang dilakukan oleh Jia, dia lebih fokus pada Leo juga Tamara, hingga memudahkan Jia untuk mencapai tujuan. Di teras, Jia membuka amplop diberikan lalu membuka hati-hati apa yang tertera di dalam. Berulang kali wanita itu menoleh ke dalam rumah, memastikan bahwa tidak ada yang melihatnya. Alangkah terkejut Jia, ketika melihat hasil yang dipegang dan menyebutkan sesuatu tidak pernah diharapkan. “Leo bukan anak kandungku?” Bibir Jia gemetar, jantungnya terhenti sesaat. “La—lalu, di mana anakku?” Air mata Jia luruh, dia membekap mulutnya. Ada suara langkah, Jia cepat-cepat menyimpan kertas serta amplop di pangkuannya. Beruntung, itu hanya pelayan yang ingin membuang sampah. Jia memasuki rumah, walau kedua kakinya terasa lemas setelah tertampar sekali lagi oleh kenyataan pahit. Jia memasuki kamar tamu, menguncinya dari dalam. Ranjang dijadikan tempat tujuan, Jia membuka lagi kertas hasil DNA guna memastikan bahwa penglihatannya tidaklah salah. “Mereka sudah mengkhianati dan membohongiku. Kenapa mereka begitu tega padaku?” Jia mengurai tangis, hatinya terasa sakit melebihi saat dia tahu perselingkuhan suaminya. Jia keluar dari kamar tamu, dia berpacaran dengan suaminya. Kemarahan terpasang jelas dari wajah Lian, menelisik sekujur tubuh Jia perlahan. “Dari mana saja kamu seharian ini?! Kenapa kamu tidak memberitahu Tamara kalau ingin pergi?!” tegur Lian, dia mendapat laporan dari Tamara. “Aku hanya ingin berjalan-jalan.” “Tidak biasanya kamu melakukan ini tanpa Tamara. Jia tiba-tiba merasa muak dan marah, hatinya memanas. “Aku tidak ingin bergantung pada siapa pun!” “Kamu buta, jadi jangan berkeliaran sesuka hati. Itu sudah menjadi tugas Tamara untuk selalu menemanimu!” “Aku tahu! Tapi, aku juga ingin mandiri!” seru Jia. “Aku tidak mungkin bergantung terus padanya atau padamu, karena ….” Jia menggantung kalimat, pergi meninggalkan suaminya. Liam menelisik setiap ayunan kaki Jia, mengikutinya dengan langkah tegas. Ingin sekali dia marah dan mencerca Jia yang sudah membuatnya penasaran. Namun, tidak. Liam tidak akan melakukan hal itu dan menciptakan kecurigaan, mana tahu Jia akan berpikir kalau dia mendukung Tamara. Seperti biasa, Liam berperilaku manis dan memberikan obat pada Jia. Kecupan pun diberikan pada wanita yang sengaja ditunggu sampai terlelap. Wajah diamati oleh Liam, helaan nafas panjang pun dilakukan oleh lelaki yang merasakan sesuatu perbedaan dari istrinya. Namun, lagi-lagi Lian menepis lebih cepat, mustahil bahwa Jia mengetahui semua yang telah dilakukan olehnya selama ini. Lian memutuskan keluar dari kamar setelah memastikan istrinya pulas. Pintu dibuka perlahan, mata Lian berubah membelalak tatkala Tamara berdiri di depan pintu berpose seksi dengan mengenakan lingerie tipis. “Apa yang kamu lakukan?!” tegur Liam, menutup pintu dan membekap mulut Tamara agar tidak mengeluarkan suara. Tamara bukannya kalang kabut mendapat perlakuan itu, malah menjadikannya sebagai kesempatan merayu. “Bukankah, kamu merindukanku?” bisik Tamara sengaja menggigit telinga Liam. “Beraninya kamu melakukan ini.” Liam menoleh. “Aku akan menghukum!” “Hukum saja, aku akan menerimanya dengan senang hati. Tapi, boleh aku tahu alasanmu menghukumku?” Seketika Jia membuka mata, lekas duduk diiringi perasaan marah yang menggebu-gebu. Kedua tangannya meremas sprei, seakan mencekik musuhnya begis. Jia beranjak dari ranjang, berjalan menuju kamar sang pelayan pribadi. Di balik celah pintu kamar yang sedikit terbuka, diam-diam merekam aksi perselingkuhan itu walaupun harus menahan mata dan telinga yang ternodai. “Apa kamu bahagia?” tanya Liam sambil menarik ciumannya, membelai wajah cantik Tamara. “Ya, tapi aku bahagia saat Leo kembali pulang.” Liam mengerut, menarik cumbuan diberikan. “Kamu lebih menyayangi Leo daripada aku?” “Kamu cemburu?” Tamara membelai wajah Liam. “Tentu!” “Ayolah, Leo anak kita dan wajar kalau aku mencintainya. Dia adalah belahan jiwaku, dan kamu jiwaku. Kalian sama-sama istimewa untukku.” Liam mengulas senyum. “Aku mencintaimu.” “Aku juga sangat mencintaimu.” Obrolan menjijikkan itu berhasil terekam di ponsel Jia. Wajahnya memancarkan senyum tipis, penuh kemenangan, sebelum dia melangkah pergi. Tetapi, di balik senyum itu, ada perasaan lain yang mengusik hati Jia. "Mereka sendiri mengakui Leo bukanlah anak kandungku," gumam Jia, rasa penasarannya kian memuncak mengenai keberadaan anak kandungnya. Dia mengingat jelas detik-detik saat melahirkan, dan dokter yang mengatakan bayinya lahir sehat. "Jadi, anakku yang sebenarnya... di mana?" desisnya, begitu ingin mengetahui kebenaran. “Apa mereka membuang putraku?"Keesokan pagi, Liam terlambat bangun dan Jia sudah menanti di ruang makan. Tidak lama, lelaki itu datang dengan segala keromantisan yang justru membuat Jia muak. Perhatian, cinta, kasih sayang, kecupan dan apa pun yang semula disukai dan berhasil membuat Jia melayang, kini hanya mampu membuatnya ingin muntah. Leo menyusul tidak lama kemudian, berlari riang dan menyapa kedua orang tuanya. Jia berlaku seperti biasa, menerima pelukan juga kecupan dari bocah beraroma segar tersebut. Namun, semua tidak mampu mengikis fakta yang diterima, bahwa Leo bukanlah anak kandungnya. Hatinya memberontak ingin sekali bertanya mengenai anak kandungnya pada Liam, tapi Jia terpaksa bungkam untuk tidak menimbulkan kecurigaan. “Seminggu lagi aku berulang tahun, aku ingin acaranya diadakan dengan meriah dan mewah,” celoteh Leo sangat antusias dan bersemangat bercerita pada Liam. “Apa kalian melupakan hari istimewa itu?” “Tentu saja, tidak.” Liam tersenyum mengacak ujung rambut putranya. Mendenga
Bab 5 Liam merasa jantungnya berdebar kencang, tanda ketakutan. Matanya melotot ke arah Jia dan pria asing yang sedang membantunya. Ia tahu tatapan pria itu sebenarnya menggoda istrinya. Namun, di sudut hati ia memikirkan bahwa Jia hanyalah wanita buta dan tidak akan ada pria lain yang mau menerima kekurangannya. Dengan nada marah yang tersembunyi, Liam berbicara sambil memelotot. "Lain kali, perhatikan anakmu!" ucapnya dengan intonasi tinggi, ingin memberi peringatan pada Jia agar lebih berhati-hati di kemudian hari. Jia menggigit bibir bawahnya, berusaha untuk menenangkan perasaannya. Seharusnya dialah yang marah karena terdorong, namun suaminya terus bersikeras bahwa tidak ada kesalahan di pihaknya. Wajah suaminya tetap terlihat tenang, sama sekali tidak menunjukkan rasa bersalah atau penyesalan. "Padahal dia yang mendorong duluan," gumam Jia kesal. Matanya berkaca-kaca, menahan emosi yang ingin meledak. Tapi dia tahu, teriakan dan tangisan tak akan membuat suaminya mengaku
Jia membuka kedua matanya, kemudian berulang kali mencoba memejamkan kembali mata, namun sia-sia. Pikirannya terus saja melayang pada Kevin. "Apakah bocah itu tidur nyenyak setelah aku pergi?" gumamnya. Sambil menggeliat pelan di tempat tidur, matanya tertuju pada wajah lugu Leo yang ternyata tidur dengan pulas di sampingnya, membuat hatinya merana. Merasa adanya ikatan yang kuat, ia dengan perlahan mengusap lembut rambut Leo, meresapi perasaannya. Walaupun bukan ibu kandung, namun perasaan tersebut telah tumbuh sejak Jia merawat Leo semenjak bayi. Tak urung ia pun tersenyum sendu seraya berbisik pelan. 'Biar dunia mengatakan kamu bukan anakku, tapi kamu tetap mendapatkan posisi itu. Namun, hati Jia sulit menahan beban penuh kekecewaan akibat pengkhianatan suami dan pelayan pribadi. Perasaan ingin membalaskan dendam semakin membara sejak penglihatannya pulih. Di sela-sela pertarungan batin itu, dia merasa begitu dekat dengan Kevin. "Oh Tuhan, mengapa aku semakin condong pa
Jia menggenggam erat tongkat di tangannya, ekspresi wajahnya memancarkan kemarahan yang tak tertahankan. Matanya menatap tajam ke arah Tamara yang tersenyum menikmati drama yang baru saja dimulai. Panas membakar pipinya karena tamparan Liam yang bahkan lebih menyakitkan dari pukulan tongkat yang sedang ia genggam. Dalam hati, Jia berkata. 'Pria asing malah membantuku, sementara Liam dengan seenaknya berselingkuh dengan pelayan pribadiku!' Dia merasakan ketidakadilan yang tak terukur, lalu merenungkan hukuman yang setimpal bagi kedua pengkhianat di hadapannya.“Jawab Jia?!” bentak Liam. “Apa yang seharusnya aku jawab? Pria itu menolongku.” “Benarkah?” “Aku dengar di panti asuhan ini memiliki cctv. Kenapa tidak kamu cek saja, dan lihat kebenarannya.” Jia tak ingin terjebak dalam pertengkaran yang dipicu oleh kecemburuan suaminya. Dengan berat hati, ia melangkah pergi sambil menggenggam erat tongkat penuntun jalannya. Setiap langkah yang diambil, keluhan mengenai suaminya yang aneh
"Sayang, aku pernah membahas tentang Muni?" tanya Jia dengan penuh keingintahuan, wajahnya nampak serius. Liam mengerutkan kening, mencoba mengingat apakah pernah mendengar nama tersebut sebelumnya. Muni? Sepertinya mengingat nama yang sempat mereka bahas sebelumnya. Liam mulai merasa curiga. Jia ini kenal dari mana dengan Muni? Tetapi kemudian Liam berusaha mengalihkan pikiran itu. Baginya, yang penting adalah menyenangkan hati Tamara dan Jia bersamaan. "Muni?" tanyanya. "Oh, perkenalkan, dia itu temanku. Seorang wanita miskin yang tinggal di sekitar sini. Punya anak perempuan seusia Leo." Jia menjelaskan, berharap bisa meyakinkan Liam. Dia tahu, dalam perjuangan membalas dendam, Jia membutuhkan sekutu. Dan Muni mungkin bisa menjadi kunci kesuksesan dalam misi mereka. ‘Bagaimanapun caranya, Muni harus menjadi pelayan disini,’ batin Jia berharap Liam memberikan izin. “Sayang,” ucap Jia pelan sembari meyakinkan suaminya. “Di rumah sebesar ini, Tamara mengerjakan pekerjaan
Jia melangkah mondar-mandir di depan pintu rumah, rasa gelisah tak terbendung saat menunggu kurir yang akan menyerahkan hasil tes DNA."Seharusnya sudah datang," gumamnya dalam hati. Tiba-tiba bell pintu berbunyi, menandakan kedatangan seseorang. Dengan langkah sigap dan penuh semangat, Jia membuka pintu dan menemui orang suruhannya yang ditunggu-tunggu. Senyum sumringah merekah di wajah Jia saat melihat kurir tersebut datang sambil membawa kabar yang ditunggu.Jia merasa ada perasaan aneh yang terus mengganggu pikirannya, seperti ada magnet yang menarik dirinya kepada seorang bocah laki-laki di panti asuhan. Anak kecil berwajah polos yang kerap menghiasi mimpi-mimpinya. Ia percaya, intuisi seorang ibu adalah sesuatu yang luar biasa, punya kemampuan untuk menghubungkan hati seorang ibu dengan anak kandung.Perasaan ini terlalu kuat untuk diabaikan dan membuat Jia ingin membuktikannya. "Apakah dia memang anakku?" gumam Jia lirih, menatap wajah bocah tersebut dalam foto, yang diambiln
Jia merasa jantungnya berdegup kencang, menahan rasa panik yang mulai merayapi pikirannya. Hampir saja ia ketahuan oleh suaminya mengenai perihal tes DNA yang diam-diam ia jalani. Untungnya, hasil tes tersebut dikirim melalui pesan singkat khusus yang hanya bisa dibaca sekali, lalu menghilang tanpa meninggalkan jejak.Sambil mencoba mengendalikan perasaannya, Jia menoleh ke sumber suara yang datang dari suaminya. Ia tersenyum tipis, berusaha menutupi kegugupan yang tengah menghantui. Dengan mengayunkan tongkat menuntunnya, Jia bergerak perlahan menuju pintu kamar sambil meraba apa saja di sekitarannya. Hingga tiba-tiba, Liam menarik tangan Jia, mengajaknya datang lebih cepat dalam dekapannya yang hangat. “Sayang, aku mencarimu.” Liam memeluk istrinya beberapa detik, lalu melepaskannya. Menatap wajah, terutama fokusnya berpusat pada sepasang manik mata indah, yang sayangnya tidak bisa melihat. “Sedang apa di kamar?” tanyanya dengan nada curiga. Jia mengambil kesempatan itu kala melih
Jia diam-diam menghela nafas, mengecewakan hatinya. Lelaki yang berdiri di dekatnya bukanlah Liam seperti yang ia harapkan. Ia tersenyum paksa, berusaha menyembunyikan rasa kecewanya.Lelaki tersebut berdiri tegak, memegang sebelah tangan Kevin yang enggan dilepaskan, dan sebelah lainnya memegang tongkat penuntun jalan.Tatapan tajamnya seperti elang pemangsa menerawang ke arah Jia, membuat detak jantungnya semakin kencang. Merasa dicurigai seseorang, Jia pun semakin waspada, tangannya berkeringat dan kepala terasa berdenyut. 'Apakah dia akan tahu kalau aku tidak buta?' bisik Jia pelan dalam hati.Jia menggenggam erat tongkatnya, pandangan lurus kedepan yang kosong sekali lagi membuat penyamarannya sebagai wanita buta berhasil. "Pa-paman?" seru Kevin bersemangat, melepaskan pegangan tangan Jia dengan cepat, dan beralih pada pria berparas tampan di hadapan mereka. Kedua matanya bersinar penuh antusiasme. Jia terkesiap dengan aksi Kevin yang langsung akrab dengan pria yang disapa pama
Jia merasakan tatapan yang tak nyaman dari salah seorang tamu, seakan mata itu berusaha menembus ruang personalnya. Dia tak tahan lagi. Dengan langkah berat, dia berdiri, menarik napas dalam-dalam seolah mengumpulkan keberanian. Jari-jarinya bergetar sedikit saat meletakkan sendok dan garpu dengan hati-hati di samping piring. "Maaf, saya harus segera pergi," ucapnya dengan suara rendah, mencoba menyembunyikan ketidaknyamanannya. Pesta makan malam itu kini terasa seperti sebuah medan pertempuran bagi Jia.“Aku sudah kenyang.” Jia berlalu pergi, mulai mengayunkan tongkat penuntun jalan menuju ke kamarnya. Senyum tipis menghiasi wajahnya saat mata Jia yang terkesan terburu-buru meninggalkan meja makan, dengan piringnya yang masih berisi setengah makanannya. Sean menatapnya penuh ketertarikan yang tak kunjung mendapat perhatian. "Aku sudah kenyang, saya ingin istirahat dulu!" ujarnya tegas, bangkit dari kursi dan berjalan dengan langkah sengaja memutar agar bisa bertemu dengan Jia di l
Jia semakin resah akan keberadaan Sean di rumahnya, apalagi kakek Wijaya yang memberikan restu atas kehadiran pria itu. Setiap sudut rumah terasa sumpek, hatinya tidak bisa tenang karena merasa terusik. "Apa yang membuat kakek percaya padanya? Apakah dia lebih baik daripada orang lain yang pernah ada di hidupnya?" gumam Jia yang bermonolog.Di dapur, Jia bolak-balik memikirkan cara untuk mengusir Sean dari rumahnya. Tak tahan merasakan ketidaknyamanan ini. 'Aku harus mencari cara agar dia pergi, aku tidak ingin kehilangan kenyamanan hidupku sendiri gara-gara pria ini,' batin Jia dengan penuh keputusasaan. Tapi, di satu sisi, ada perasaan yang masih tertahan, karena ia tidak ingin mengecewakan kakek Wijaya. Harus ada jalan keluar yang dapat memuaskan semua pihak, termasuk hatinya sendiri yang penuh kebimbangan.Setelah sekian lama larut dalam lamunan, Jia memutuskan untuk pergi dari dapur dan memberi ruang bagi Murni untuk bekerja menyiapkan hidangan tamu nanti. "Ah, sudah cukup m
Jia merasa tidak sanggup menerima keinginan kakek Wijaya yang mendesaknya untuk segera melahirkan seorang cicit.Dalam hatinya, dia bertanya-tanya mengapa Liam, sang suami, justru mendukung keputusan sang kakek yang membuatnya begitu terbebani. "Apa yang mereka pikirkan? Apakah mereka tidak memikirkan perasaanku sama sekali?" gumam Jia bermonolog, berperang antara pikiran dan juga hatinya. Perasaan jijik kembali muncul saat Jia mengingat bagaimana Liam telah mengkhianatinya dengan asisten rumah tangga. Bayang-bayang kenangan itu membuat hatinya semakin sulit menerima kenyataan bahwa dia harus berhubungan intim dengan pria yang telah merusak kepercayaannya itu."Bagaimana mungkin aku bisa melupakan pengkhianatan Liam? Apakah aku bisa menerima anak dari hubungan kami yang ternoda oleh pengkhianatan?" Pertanyaan-pertanyaan itu terus menggelayuti pikiran Jia, membuatnya semakin terpuruk dalam keputusasaan.Jia berjalan mondar-mandir dalam ruangannya, langkah kakinya menggema rasa kece
Jia segera menetralkan perasaannya, sengaja berdehem menutupi wajahnya yang merona seperti udang rebus. “Kembali ke pembahasan awal.”Sean kembali duduk di kursinya, raut wajahnya mengeras saat menyerap setiap kata yang dilontarkan Jia tentang kecurigaan yang menggantung di udara. Keningnya berkerut, mata menerawang mencoba memecahkan teka-teki sikap Liam terhadap Jia. Dua kemungkinan muncul, menggelitik benaknya. Liam, suami yang mencari pelabuhan akhir setelah dihempas badai, atau Liam yang memiliki rencana gelap tersembunyi, kemungkinan yang paling mengkhawatirkan adalah Jia telah membaca gerak-geriknya.“Aku belum bisa memastikannya, informasikan apapun mengenai tindakan pria itu setiap kali kamu curiga!”Jia menarik napas lega, perasaan cemas yang sempat merayapi pikirannya kini mulai mencair. Dalam keheningan ruangan, dia bisa mendengar detak jam tangannya yang seperti berbisik.'Waktunya aku pergi!'Sean, dengan ekspresi yang tegang, melirik jam tangan yang melilit pergelanga
"Kamu gila ya?" teriak Jia, matanya membulat penuh kejutan melihat Sean bekerja dengan kecepatan yang tak terduga. Sean, dalam panik, segera menempatkan tangannya di mulut Jia, mata mereka saling berpandangan sejenak sebelum dia melirik ke sekitar, memastikan tak ada yang memperhatikan mereka.“Apa kamu ingin mengundang suamimu kesini?” bisik Sean. Jia terdiam, menganggukkan kepala diiringi panik takut mengundang perhatian dari Liam. Mulutnya yang dibungkam perlahan melonggar, terdengar helaan nafas lega saat semuanya masih di genggaman. “Aku begitu baik, menyiapkan surat perceraian mu. Jangan lupa ditandatangani surat itu?!” Sean tersenyum sinis sambil berlalu pergi, sosoknya yang tampan dan berkuasa itu terselip bayangan gelap saat menemui istri orang secara sembunyi-sembunyi. Jia memperhatikannya dari balik tirai, jantungnya berdebar, bimbang antara rasa kagum dan kecewa. "Apakah dia lelaki sejati? Atau pria naif yang rela menunggu aku hingga berstatus janda?" bisiknya pada d
Hari-hari berlalu seperti kilat, tanpa terasa sudah tiga hari berlalu sejak Tamara pergi. Dari balik railing lantai atas, Jia mengamati Liam. Tangannya meremas-remas ujung bajunya, perasaan cemas bercampur iba menyelimuti. Wajah Liam yang murung terpampang jelas, seolah tiap detik kehilangan lebih berat sejak Tamara meninggal. Jia menarik napas dalam, menahan pilu yang membara.Rasa geram bercampur amarah melihat perubahan yang cukup besar bagi suaminya, dan selama itu pula Liam tidak mengucapkan sepatah katapun. Jia menengadahkan kepala, menatap langit-langit ruangan itu diiringi helaan nafas. “Wow Tamara, pengaruhmu begitu kuat. Liam seperti mayat hidup, ajaklah dia juga ke alam baka.” Jia menyalahkan Tamara, benar-benar di buat geleng kepala atas sikap suaminya yang berubah drastis. “Sampai sekarang dia tidak mencari keberadaan Leo. Bukan saja menjadi suami tidak baik, justru pria itu juga ayah yang buruk.” Jia menarik napas dalam-dalam dan perlahan melepaskannya, mencoba mer
Jia menarik Kevin dan Leo ke pelukannya, matanya berkaca-kaca saat melingkari tubuh keduanya. Kegembiraan tak terukur merasuki hatinya saat keduanya melekat di dada, kehangatan yang begitu berharga. Tapi ketika memandang Leo, kehangatan itu perlahan dipadukan dengan rasa bersalah yang mendalam. Menyadari bahwa merebut Leo dari pelukan ayahnya, Liam, bukan pilihan yang sepenuhnya benar. Namun, melihat betapa Liam telah lebih memilih Tamara daripada keluarga yang sudah dibangun bersama, memicu keputusan tegas di hati Jia. Bagi Jia, mengambil Leo bukan hanya melindungi putra kecilnya dari ketidakstabilan ayahnya, tetapi juga sebagai sanksi tegas untuk Liam, sebuah pembayaran untuk pengkhianatan yang menyakitkan itu.‘Liam, kamu merenggut kebahagiaanku. Aku pun begitu, merenggut anak kesayangmu!’ batin Jia sembari membelau wajah Leo dengan lembut sambil menarik sebelah sudut bibirnya ke atas. Jia melangkah dengan tenang, wajahnya tegar saat ia mengajak Leo dan Kevin ke sebuah tempat y
Mobil berhenti di sebuah halaman luas, terdapat bangunan mewah di tengah-tengah. Bangunan yang mirip seperti istana, memiliki arsitektur klasik eropa berwarna. Rumah yang berdiri kokoh membuat Jia terpana, hampir terbuai dengan pemandangan yang menakjubkan terbentang di hadapan mata. “Kenapa diam saja? Ayo masuk, anggap rumah sendiri.” Sean berjalan lebih dulu, kedua tangannya dimasukkan ke dalam saku celana, tampak berkharisma seperti pemimpin sejati. “Tunggu dulu!” Suara Jia berhasil mencegat langkah Sean, dia menoleh dengan kening yang berkerut. “Ada apa?” Keraguan Jia pada Sean yang membawanya ke rumah mewah, pikirannya tidak akan tenang sebelum menemukan Leo. Dia menghampiri Sean, langkah cepat tak membutuhkan waktu lama. “Kenapa kita kesini? Bukankah kamu ingin mempertemukan aku dengan Leo?!” protes Jia sedikit kesal, tanpa mendengarkan maksud Sean, langsung menudingnya berbohong. Tatapan nyalang tak melepaskan Sean dari pandangannya, berkacak pinggang menentang untuk me
Liam melangkah tergesa-gesa memasuki lokasi yang sudah Jia sebutkan sebelumnya. Ketegangan terasa menggantung di udara. Dengan nafas yang tercekat, ia mendapati Tamara tergeletak bergelimang darah di tengah jalanan sepi, tubuhnya penuh luka dan darah yang bercucuran.Wajah Tamara pucat pasi, napasnya tersengal-sengal seakan tiap helaan adalah yang terakhir. Mata Liam memerah, dadanya bergemuruh kesal dan dada Tamara naik turun tak beraturan. Rasa panik menyelinap memenuhi isi pikiran dan hatinya, melihat kekasihnya tak berdaya. “Tamara … Tamara, apa yang terjadi? Siapa yang melakukan ini?” Liam meletakkan kepala Tamara di atas pangkuannya, sangat khawatir hingga lupa memanggil ambulans. Tamara terbaring lemah, tak mampu bergerak ataupun berbicara, tetapi matanya tajam menatap ke arah Jia yang berdiri di belkang Liam sambil menatapnya tanpa dosa. Kilatan kemarahan nyata terpancar dari sorot mata Tamara yang memerah, sementara tubuhnya hanya bisa terkulai tanpa daya di atas aspal pan