“Muni, dimana Leo?” tanya Jia yang baru saja sampai, datang menghampiri tangan kanannya.“Dia berada di sebelah sana, bersama Cici.” Tunjuk Muni mengarahkan tangannya ke arah dua bocah yang duduk di kursi santai. Jia tersenyum tipis melihat Leo mulai akrab dengan Cici, seolah tak mau kehilangan sosok yang selama ini ada bersamanya. Dalam hati, ia merasa lega sekaligus berterima kasih pada Cici yang telah mengurangi beban pikiran akan keberadaannya. Secara perlahan, Jia mendekati Leo dan Cici, matanya berkaca-kaca. Dia pun dengan hati-hati memeluk erat tubuh beraroma segar itu dari belakang, lalu mengecup pipi Leo yang sedang merajuk. “Maaf, Mama datang terlambat.” Bisik Jia lembut, melepaskan pelukan dan memberikan mainan mobil-mobilan yang menggunakan remot kontrol sebagai ungkapan permintaan maafSungguh, walaupun Leo bukanlah anak kandungnya, tapi ikatan diantara mereka cukup memiliki pondasi yang kuat. “Mama kemana saja? Aku bosan menunggu!” Leo cemberut membuang wajah, enggan
"Beraninya mereka," umpat kesal Tamara, tangan bergetar saat ia membanting pintu kamar dengan keras, menciptakan gemuruh yang menggambarkan kemarahan memuncak di dalam dirinya. Dalam hati, dia mulai meragukan setiap perkataan manis yang pernah diucapkan Liam kepadanya. Menjadi pasangan Liam di ranjang ternyata tidak cukup membuat pria itu puas. Mata Tamara merah padam, air mata yang menggenang mulai turun perlahan melintasi pipi, menetes hingga ke dagu. Kesedihan dan amarah berbaur di benaknya saat ingat suara desahan kenikmatan yang terdengar dari mulut Jia tadi. Emosi yang bercampur aduk itu benar-benar sulit ditoleransi lagi. Dia bergumam dengan lirih. "Sampai kapan harus merasakan sakit hati seperti ini?"“Laki-laki pembohong!” pekik Tamara bergegas mengambil vas bunga dan melemparkannya tepat mengenai cermin rias, melampiaskan rasa yang menyesak di hati. Tak puas hanya dengan itu, Tamara kemudian melihat sebuah bantal yang tergeletak di atas ranjang. Bantal tersebut seolah-ola
Jia perlahan membuka matanya, pandangan matanya menyusuri sekeliling ruangan yang terasa asing baginya. Dia mengerang kesakitan di bagian punggung, sambil berusaha mengingat apa yang telah terjadi pada dirinya. Suatu ingatan muncul di benaknya, seseorang tiba-tiba menyerang dan memukul punggungnya dengan keras. Lalu, di tengah-tengah kabut kesadaran, ada orang yang datang bagaikan pahlawan kesiangan, berusaha menyelamatkan dari bahaya yang mengintai.“Sean.” Jia tersentak kaget setelah mengenali siapa penyelamatnya, seorang pria menyebalkan di panti asuhan. “Ah, akhirnya kamu bangun juga.” Suara familiar membuat jantung Jia berdegup kencang, dia terkejut dan berusaha untuk tidak menunjukkan kemampuannya melihat. Langkah sepatu yang baru saja memasuki bangsal, mendekatinya dengan membawa seikat bunga mawar putih.'Bunga mawar putih? Mungkin saja kebetulan,' gumam Jia dalam hati, melirik bunga kesukaannya dengan rasa haru. "Aku membawanya untukmu." Sean memberikan buket mawar putih d
“Aku sudah mengurus semuanya, dari kecil akulah yang membantu ibu panti mengurus Kevin.” Sean masih bersikeras dengan pendapatnya, sosok Kevin sangat berpengaruh dalam hidupnya. “Aku sangat berterima kasih, kalau kamu memberikan Kevin padaku.” Jia masih memohon pada Sean untuk melepaskan putra kandungnya yang sangat berarti di dalam hidup, tidak bisa dibayangkan hidup tanpa anak kandung. Beberapa rencana telah disusun, demi menciptakan momen indah yang selama 5 tahun tidak berada di sisinya. “Ibu macam apa kamu ini, membuang anakmu ke depan pintu panti asuhan dalam cuaca hujan badai. Terbuat dari apa hatimu, sampai tega membiarkannya hampir semalaman kedinginan dan menangis. Setelah membuangnya, kamu meminta hak asuh Kevin padaku. Ibu seperti apa kamu ini?!” Sean menyudutkan Jia, ikut merasakan sakit hati saat ibu panti meminta bantuannya memanggil dokter, saat menemukan bayi yang masih merah tergeletak di pintu panti dengan selimut tipis. Sean merasakan sudut matanya perih. A
Jia tersenyum sinis di dalam hati, Liam berubah menjadi pribadi yang sangat berbeda dan pandai memutar kata. Sekarang dia merasa kasihan pada Tamara, yang nyatanya telah terperangkap oleh kata-kata manis dari seorang lelaki buaya seperti suaminya. "Jika ada masalah, segera katakan padaku," ucap Liam dengan kepura-puraan yang membuat Jia makin jijik. Namun, dia masih bisa mengukir senyuman tipis di bibirnya untuk menutupi rasa pahit di hatinya. Sengaja, ia meletakkan sebelah tangannya ke atas paha sang suami, seolah-olah menunjukkan bahwa dia mempercayai ucapan manis tersebut. “Aku tidak punya siapa-siapa, selain dirimu dan juga Leo. Tentu aku lebih mempercayaimu di bandingkan dengan diriku sendiri.” “Mm, aku sangat bahagia mendengarnya.” Liam membuka laci nakas dan mengambil sebungkus pil obat, lalu memberikannya pada Jia yang sedang terduduk lesu di atas temoat tidur. Kedua bola mata Jia terasa berat, matanya berkaca-kaca menatap Liam. Di benak Liam, menyelesaikan masala
Tamara mendapati dirinya menjerit dan langsung berlari menuju Leo. Dengan lincah, tangannya mengambil dan membuang sendok dari genggaman Jia. Matanya melotot, mencoba memahami situasi. Tetapi perhatiannya segera terfokus kembali pada Leo, mendesak anak kecil itu untuk segera memuntahkan sup ayam yang baru saja ia telan. Liam, Jia, dan Muni saling pandang, merasa bingung dengan reaksi Tamara yang teramat khawatir itu. Sikapnya terlalu heroik dan membuat mereka penasaran tentang apa yang sebenarnya terjadi.“Liam, muntahkan sup ayam itu!” tegas Tamara cemas, sambil menepuk-nepuk bagian punggung bocah laki-laki yang mengenakan celana pendek berwarna hitam. “Memuntahkannya? Tapi, mengapa?” pertanyaan Liam mewakili Jia.“Ayo Sayang, muntahkan sup ayam itu!” pinta Tamara tanpa berputus asa.‘Astaga, bagaimana Leo bisa berada disini dan menyambar makanan yang seharusnya masih di rahasiakan. Liam sengaja menghentakkan pisau dan garpu di sisi piring dengan keras, wajahnya merah padam akibat
Jia menatap wajah suaminya dengan cermat, mencoba menangkap setiap guratan kegelisahan yang menyelimuti ekspresi Leo. Jantungnya seolah-olah ikut berdegup kencang menunggu kesadaran yang akan datang kembali pada buah hatinya."Mengapa hati ini rasanya sangat tidak tenang?" desah Jia dalam hati.Sementara itu, pancaran dari sepasang mata Liam menggambarkan betapa dia tidak senang melihat anaknya terbaring lemah di ranjang rumah sakit. Raut wajahnya penuh kekecewaan dan amarah, semuanya bercampur karena ulah ceroboh Tamara yang menyebabkan anak kesayangannya harus menderita seperti ini.Jia mengepalkan tangannya erat-erat, menatap wajah Leo yang cemas dan bertanya-tanya, apa dia pernah peduli pada anak Liam yang lain.Dalam hatinya, Jia merasa muak dengan sikap pilih kasih suaminya. Dia telah setia merawat anak yang selama ini dikira anak kandungnya, tetapi ternyata anak dari pelakor yang ditukar sengaja agar mendapatkan status. Liam menghela napas. "Kenapa ini bisa terjadi?" gumamnya,
Tamara mengecilkan suara tawanya yang terbahak-bahak, seraya menyelinap masuk ke dalam ruangan setelah memastikan bangsal tempat Leo dirawat hanya ditempati oleh Jia seorang. Niat jahatnya terpancar dari sorot matanya yang tajam, ingin membuktikan bahwa dia tak mau mengakui kekalahan. Tamara bersikeras melakukan hal nekat, demi mencapai tujuannya menjadi nyonya Liam. Akan tetapi, di tengah-tengah usahanya itu, ada sesuatu yang mengusik pikirannya, membuat rasa penasarannya semakin menjadi-jadi. Tamara merasa seolah ada sesuatu yang selalu membuntuti langkahnya, mengejutkan dirinya di saat yang tak terduga. Ya, Tamara terkejut melihat bagaimana Jia dengan sigap berhasil menyelamatkan diri dari maut. Kesal, hatinya melontarkan umpatan pada kecerobohannya yang nyaris membunuh istri sah itu. Gelombang kekacauan menerpa perasaannya saat persaingan semakin sengit. Tamara segera berlari melanjutkan aksinya menyerang Jia, mulai kehilangan kendali setelah teringat perlakuan kasar Liam yang