“Aku sudah mengurus semuanya, dari kecil akulah yang membantu ibu panti mengurus Kevin.” Sean masih bersikeras dengan pendapatnya, sosok Kevin sangat berpengaruh dalam hidupnya. “Aku sangat berterima kasih, kalau kamu memberikan Kevin padaku.” Jia masih memohon pada Sean untuk melepaskan putra kandungnya yang sangat berarti di dalam hidup, tidak bisa dibayangkan hidup tanpa anak kandung. Beberapa rencana telah disusun, demi menciptakan momen indah yang selama 5 tahun tidak berada di sisinya. “Ibu macam apa kamu ini, membuang anakmu ke depan pintu panti asuhan dalam cuaca hujan badai. Terbuat dari apa hatimu, sampai tega membiarkannya hampir semalaman kedinginan dan menangis. Setelah membuangnya, kamu meminta hak asuh Kevin padaku. Ibu seperti apa kamu ini?!” Sean menyudutkan Jia, ikut merasakan sakit hati saat ibu panti meminta bantuannya memanggil dokter, saat menemukan bayi yang masih merah tergeletak di pintu panti dengan selimut tipis. Sean merasakan sudut matanya perih. A
Jia tersenyum sinis di dalam hati, Liam berubah menjadi pribadi yang sangat berbeda dan pandai memutar kata. Sekarang dia merasa kasihan pada Tamara, yang nyatanya telah terperangkap oleh kata-kata manis dari seorang lelaki buaya seperti suaminya. "Jika ada masalah, segera katakan padaku," ucap Liam dengan kepura-puraan yang membuat Jia makin jijik. Namun, dia masih bisa mengukir senyuman tipis di bibirnya untuk menutupi rasa pahit di hatinya. Sengaja, ia meletakkan sebelah tangannya ke atas paha sang suami, seolah-olah menunjukkan bahwa dia mempercayai ucapan manis tersebut. “Aku tidak punya siapa-siapa, selain dirimu dan juga Leo. Tentu aku lebih mempercayaimu di bandingkan dengan diriku sendiri.” “Mm, aku sangat bahagia mendengarnya.” Liam membuka laci nakas dan mengambil sebungkus pil obat, lalu memberikannya pada Jia yang sedang terduduk lesu di atas temoat tidur. Kedua bola mata Jia terasa berat, matanya berkaca-kaca menatap Liam. Di benak Liam, menyelesaikan masala
Tamara mendapati dirinya menjerit dan langsung berlari menuju Leo. Dengan lincah, tangannya mengambil dan membuang sendok dari genggaman Jia. Matanya melotot, mencoba memahami situasi. Tetapi perhatiannya segera terfokus kembali pada Leo, mendesak anak kecil itu untuk segera memuntahkan sup ayam yang baru saja ia telan. Liam, Jia, dan Muni saling pandang, merasa bingung dengan reaksi Tamara yang teramat khawatir itu. Sikapnya terlalu heroik dan membuat mereka penasaran tentang apa yang sebenarnya terjadi.“Liam, muntahkan sup ayam itu!” tegas Tamara cemas, sambil menepuk-nepuk bagian punggung bocah laki-laki yang mengenakan celana pendek berwarna hitam. “Memuntahkannya? Tapi, mengapa?” pertanyaan Liam mewakili Jia.“Ayo Sayang, muntahkan sup ayam itu!” pinta Tamara tanpa berputus asa.‘Astaga, bagaimana Leo bisa berada disini dan menyambar makanan yang seharusnya masih di rahasiakan. Liam sengaja menghentakkan pisau dan garpu di sisi piring dengan keras, wajahnya merah padam akibat
Jia menatap wajah suaminya dengan cermat, mencoba menangkap setiap guratan kegelisahan yang menyelimuti ekspresi Leo. Jantungnya seolah-olah ikut berdegup kencang menunggu kesadaran yang akan datang kembali pada buah hatinya."Mengapa hati ini rasanya sangat tidak tenang?" desah Jia dalam hati.Sementara itu, pancaran dari sepasang mata Liam menggambarkan betapa dia tidak senang melihat anaknya terbaring lemah di ranjang rumah sakit. Raut wajahnya penuh kekecewaan dan amarah, semuanya bercampur karena ulah ceroboh Tamara yang menyebabkan anak kesayangannya harus menderita seperti ini.Jia mengepalkan tangannya erat-erat, menatap wajah Leo yang cemas dan bertanya-tanya, apa dia pernah peduli pada anak Liam yang lain.Dalam hatinya, Jia merasa muak dengan sikap pilih kasih suaminya. Dia telah setia merawat anak yang selama ini dikira anak kandungnya, tetapi ternyata anak dari pelakor yang ditukar sengaja agar mendapatkan status. Liam menghela napas. "Kenapa ini bisa terjadi?" gumamnya,
Tamara mengecilkan suara tawanya yang terbahak-bahak, seraya menyelinap masuk ke dalam ruangan setelah memastikan bangsal tempat Leo dirawat hanya ditempati oleh Jia seorang. Niat jahatnya terpancar dari sorot matanya yang tajam, ingin membuktikan bahwa dia tak mau mengakui kekalahan. Tamara bersikeras melakukan hal nekat, demi mencapai tujuannya menjadi nyonya Liam. Akan tetapi, di tengah-tengah usahanya itu, ada sesuatu yang mengusik pikirannya, membuat rasa penasarannya semakin menjadi-jadi. Tamara merasa seolah ada sesuatu yang selalu membuntuti langkahnya, mengejutkan dirinya di saat yang tak terduga. Ya, Tamara terkejut melihat bagaimana Jia dengan sigap berhasil menyelamatkan diri dari maut. Kesal, hatinya melontarkan umpatan pada kecerobohannya yang nyaris membunuh istri sah itu. Gelombang kekacauan menerpa perasaannya saat persaingan semakin sengit. Tamara segera berlari melanjutkan aksinya menyerang Jia, mulai kehilangan kendali setelah teringat perlakuan kasar Liam yang
Jia menatap tajam ke mata Sean saat mereka menyepakati perjanjian yang tidak ia ketahui sepenuhnya. Dia sadar bahwa di dunia ini tak ada yang gratis, pasti ada imbalan yang dicari oleh pria itu. Namun, ia merasa tak ada pilihan lain selain menerima bantuan Sean demi mewujudkan impian terpendamnya."Kamu terlihat berbeda dengan penampilan ini," ujar Sean sambil menelusuri sosok Jia dengan pandangannya, mulai dari ujung rambut hingga ujung kaki. Rok pendek di atas lutut dan jaket kulit berwarna coklat yang ia kenakan tampak serasi. Ia juga mengenakan wig berambut pendek dan kacamata berwarna hitam. Jia tersenyum simpul, sedikit merasa tidak nyaman dengan pujian yang baru saja ia terima. Akan tetapi, dalam hati, ia bersyukur Sean mau membantunya meski niat pria itu masih belum jelas."Terima kasih, Sean. Semoga dengan penampilan ini, aku bisa lebih percaya diri untuk mengejar impianku," gumam Jia penuh harap.“Hari ini aku tidak ingin berpenampilan seperti perempuan lugu yang buta, ber
Melihat Tamara berdiri di hadapannya dengan penuh percaya diri, seolah mampu mengungkapkan segala kebenaran pada Liam, Jia merasa gugup sekaligus marah. Di sisi lain, Jia telah bersiap menghadapi segala kemungkinan, terlebih mengingat betapa ia menyesal telah pernah menolong Tamara. Bukan hanya memberikannya tempat tinggal, namun juga pekerjaan yang layak. Namun, bantuan yang tulus itu seolah tak berarti bagi Tamara. Jia mengepalkan tangannya sambil memandang tajam ke arah Tamara. Betapa ia teringat istilah, air susu dibalas air tuba, dan bagai kacang lupa kulit, yang tepat menggambarkan perbuatan Tamara. Pelayan yang seharusnya setia malah berkhianat, berusaha merebut tempatnya sebagai nyonya Liam di rumah mewah tersebut. Tamara bahkan tak segan melakukan berbagai upaya yang bisa mencelakai Jia demi meraih ambisi tersebut.Perlahan tangan Jia mengepal menahan amarah yang hendak meluap, kecelakaan 7 tahun lalu pasti disebabkan dari rencana busuk Tamara. “Aku adukan pada Liam, maka
Jia melirik Muni sambil memegang lengan Tamara erat, menekankan pentingnya perintah yang baru saja diberikannya. "Muni, kamu harus menjaga Tamara dengan sangat baik. Beri dia makan tepat waktu agar dia bisa bertahan sampai Liam kembali," ujarnya dengan tegas. Dia terpaksa melakukan semua ini, berlatih menunjukkan wajah yang tenang saat memberikan instruksi pada pelayan pribadi Tamara, sembari berusaha menjaga rahasia besarnya yang belum terungkap: penglihatan yang sudah pulih. Dia mengharapkan Liam tidak akan mengetahui apa pun mengenai hal itu.Muni terduduk lesu di kursi, alisnya terkerut menunjukkan kecemasan yang mendalam. Jia, yang kebetulan lewat, menangkap momen tersebut dan merasa penasaran. Jia mendekati Muni dan bertanya dengan suara lembut. "Kenapa, Muni? Ada yang mengganggu pikiranmu?" Jia berusaha untuk menghilangkan rasa penasaran yang muncul dan sekaligus ingin membantu mengurangi kecemasan Muni.“Kamu terlihat khawatir.” Jia memegang sebelah bahu Muni, tampak ikut ter