Jia perlahan membuka matanya, pandangan matanya menyusuri sekeliling ruangan yang terasa asing baginya. Dia mengerang kesakitan di bagian punggung, sambil berusaha mengingat apa yang telah terjadi pada dirinya. Suatu ingatan muncul di benaknya, seseorang tiba-tiba menyerang dan memukul punggungnya dengan keras. Lalu, di tengah-tengah kabut kesadaran, ada orang yang datang bagaikan pahlawan kesiangan, berusaha menyelamatkan dari bahaya yang mengintai.“Sean.” Jia tersentak kaget setelah mengenali siapa penyelamatnya, seorang pria menyebalkan di panti asuhan. “Ah, akhirnya kamu bangun juga.” Suara familiar membuat jantung Jia berdegup kencang, dia terkejut dan berusaha untuk tidak menunjukkan kemampuannya melihat. Langkah sepatu yang baru saja memasuki bangsal, mendekatinya dengan membawa seikat bunga mawar putih.'Bunga mawar putih? Mungkin saja kebetulan,' gumam Jia dalam hati, melirik bunga kesukaannya dengan rasa haru. "Aku membawanya untukmu." Sean memberikan buket mawar putih d
“Aku sudah mengurus semuanya, dari kecil akulah yang membantu ibu panti mengurus Kevin.” Sean masih bersikeras dengan pendapatnya, sosok Kevin sangat berpengaruh dalam hidupnya. “Aku sangat berterima kasih, kalau kamu memberikan Kevin padaku.” Jia masih memohon pada Sean untuk melepaskan putra kandungnya yang sangat berarti di dalam hidup, tidak bisa dibayangkan hidup tanpa anak kandung. Beberapa rencana telah disusun, demi menciptakan momen indah yang selama 5 tahun tidak berada di sisinya. “Ibu macam apa kamu ini, membuang anakmu ke depan pintu panti asuhan dalam cuaca hujan badai. Terbuat dari apa hatimu, sampai tega membiarkannya hampir semalaman kedinginan dan menangis. Setelah membuangnya, kamu meminta hak asuh Kevin padaku. Ibu seperti apa kamu ini?!” Sean menyudutkan Jia, ikut merasakan sakit hati saat ibu panti meminta bantuannya memanggil dokter, saat menemukan bayi yang masih merah tergeletak di pintu panti dengan selimut tipis. Sean merasakan sudut matanya perih. A
Jia tersenyum sinis di dalam hati, Liam berubah menjadi pribadi yang sangat berbeda dan pandai memutar kata. Sekarang dia merasa kasihan pada Tamara, yang nyatanya telah terperangkap oleh kata-kata manis dari seorang lelaki buaya seperti suaminya. "Jika ada masalah, segera katakan padaku," ucap Liam dengan kepura-puraan yang membuat Jia makin jijik. Namun, dia masih bisa mengukir senyuman tipis di bibirnya untuk menutupi rasa pahit di hatinya. Sengaja, ia meletakkan sebelah tangannya ke atas paha sang suami, seolah-olah menunjukkan bahwa dia mempercayai ucapan manis tersebut. “Aku tidak punya siapa-siapa, selain dirimu dan juga Leo. Tentu aku lebih mempercayaimu di bandingkan dengan diriku sendiri.” “Mm, aku sangat bahagia mendengarnya.” Liam membuka laci nakas dan mengambil sebungkus pil obat, lalu memberikannya pada Jia yang sedang terduduk lesu di atas temoat tidur. Kedua bola mata Jia terasa berat, matanya berkaca-kaca menatap Liam. Di benak Liam, menyelesaikan masala
Tamara mendapati dirinya menjerit dan langsung berlari menuju Leo. Dengan lincah, tangannya mengambil dan membuang sendok dari genggaman Jia. Matanya melotot, mencoba memahami situasi. Tetapi perhatiannya segera terfokus kembali pada Leo, mendesak anak kecil itu untuk segera memuntahkan sup ayam yang baru saja ia telan. Liam, Jia, dan Muni saling pandang, merasa bingung dengan reaksi Tamara yang teramat khawatir itu. Sikapnya terlalu heroik dan membuat mereka penasaran tentang apa yang sebenarnya terjadi.“Liam, muntahkan sup ayam itu!” tegas Tamara cemas, sambil menepuk-nepuk bagian punggung bocah laki-laki yang mengenakan celana pendek berwarna hitam. “Memuntahkannya? Tapi, mengapa?” pertanyaan Liam mewakili Jia.“Ayo Sayang, muntahkan sup ayam itu!” pinta Tamara tanpa berputus asa.‘Astaga, bagaimana Leo bisa berada disini dan menyambar makanan yang seharusnya masih di rahasiakan. Liam sengaja menghentakkan pisau dan garpu di sisi piring dengan keras, wajahnya merah padam akibat
Jia menatap wajah suaminya dengan cermat, mencoba menangkap setiap guratan kegelisahan yang menyelimuti ekspresi Leo. Jantungnya seolah-olah ikut berdegup kencang menunggu kesadaran yang akan datang kembali pada buah hatinya."Mengapa hati ini rasanya sangat tidak tenang?" desah Jia dalam hati.Sementara itu, pancaran dari sepasang mata Liam menggambarkan betapa dia tidak senang melihat anaknya terbaring lemah di ranjang rumah sakit. Raut wajahnya penuh kekecewaan dan amarah, semuanya bercampur karena ulah ceroboh Tamara yang menyebabkan anak kesayangannya harus menderita seperti ini.Jia mengepalkan tangannya erat-erat, menatap wajah Leo yang cemas dan bertanya-tanya, apa dia pernah peduli pada anak Liam yang lain.Dalam hatinya, Jia merasa muak dengan sikap pilih kasih suaminya. Dia telah setia merawat anak yang selama ini dikira anak kandungnya, tetapi ternyata anak dari pelakor yang ditukar sengaja agar mendapatkan status. Liam menghela napas. "Kenapa ini bisa terjadi?" gumamnya,
Tamara mengecilkan suara tawanya yang terbahak-bahak, seraya menyelinap masuk ke dalam ruangan setelah memastikan bangsal tempat Leo dirawat hanya ditempati oleh Jia seorang. Niat jahatnya terpancar dari sorot matanya yang tajam, ingin membuktikan bahwa dia tak mau mengakui kekalahan. Tamara bersikeras melakukan hal nekat, demi mencapai tujuannya menjadi nyonya Liam. Akan tetapi, di tengah-tengah usahanya itu, ada sesuatu yang mengusik pikirannya, membuat rasa penasarannya semakin menjadi-jadi. Tamara merasa seolah ada sesuatu yang selalu membuntuti langkahnya, mengejutkan dirinya di saat yang tak terduga. Ya, Tamara terkejut melihat bagaimana Jia dengan sigap berhasil menyelamatkan diri dari maut. Kesal, hatinya melontarkan umpatan pada kecerobohannya yang nyaris membunuh istri sah itu. Gelombang kekacauan menerpa perasaannya saat persaingan semakin sengit. Tamara segera berlari melanjutkan aksinya menyerang Jia, mulai kehilangan kendali setelah teringat perlakuan kasar Liam yang
Jia menatap tajam ke mata Sean saat mereka menyepakati perjanjian yang tidak ia ketahui sepenuhnya. Dia sadar bahwa di dunia ini tak ada yang gratis, pasti ada imbalan yang dicari oleh pria itu. Namun, ia merasa tak ada pilihan lain selain menerima bantuan Sean demi mewujudkan impian terpendamnya."Kamu terlihat berbeda dengan penampilan ini," ujar Sean sambil menelusuri sosok Jia dengan pandangannya, mulai dari ujung rambut hingga ujung kaki. Rok pendek di atas lutut dan jaket kulit berwarna coklat yang ia kenakan tampak serasi. Ia juga mengenakan wig berambut pendek dan kacamata berwarna hitam. Jia tersenyum simpul, sedikit merasa tidak nyaman dengan pujian yang baru saja ia terima. Akan tetapi, dalam hati, ia bersyukur Sean mau membantunya meski niat pria itu masih belum jelas."Terima kasih, Sean. Semoga dengan penampilan ini, aku bisa lebih percaya diri untuk mengejar impianku," gumam Jia penuh harap.“Hari ini aku tidak ingin berpenampilan seperti perempuan lugu yang buta, ber
Melihat Tamara berdiri di hadapannya dengan penuh percaya diri, seolah mampu mengungkapkan segala kebenaran pada Liam, Jia merasa gugup sekaligus marah. Di sisi lain, Jia telah bersiap menghadapi segala kemungkinan, terlebih mengingat betapa ia menyesal telah pernah menolong Tamara. Bukan hanya memberikannya tempat tinggal, namun juga pekerjaan yang layak. Namun, bantuan yang tulus itu seolah tak berarti bagi Tamara. Jia mengepalkan tangannya sambil memandang tajam ke arah Tamara. Betapa ia teringat istilah, air susu dibalas air tuba, dan bagai kacang lupa kulit, yang tepat menggambarkan perbuatan Tamara. Pelayan yang seharusnya setia malah berkhianat, berusaha merebut tempatnya sebagai nyonya Liam di rumah mewah tersebut. Tamara bahkan tak segan melakukan berbagai upaya yang bisa mencelakai Jia demi meraih ambisi tersebut.Perlahan tangan Jia mengepal menahan amarah yang hendak meluap, kecelakaan 7 tahun lalu pasti disebabkan dari rencana busuk Tamara. “Aku adukan pada Liam, maka
Jia merasakan tatapan yang tak nyaman dari salah seorang tamu, seakan mata itu berusaha menembus ruang personalnya. Dia tak tahan lagi. Dengan langkah berat, dia berdiri, menarik napas dalam-dalam seolah mengumpulkan keberanian. Jari-jarinya bergetar sedikit saat meletakkan sendok dan garpu dengan hati-hati di samping piring. "Maaf, saya harus segera pergi," ucapnya dengan suara rendah, mencoba menyembunyikan ketidaknyamanannya. Pesta makan malam itu kini terasa seperti sebuah medan pertempuran bagi Jia.“Aku sudah kenyang.” Jia berlalu pergi, mulai mengayunkan tongkat penuntun jalan menuju ke kamarnya. Senyum tipis menghiasi wajahnya saat mata Jia yang terkesan terburu-buru meninggalkan meja makan, dengan piringnya yang masih berisi setengah makanannya. Sean menatapnya penuh ketertarikan yang tak kunjung mendapat perhatian. "Aku sudah kenyang, saya ingin istirahat dulu!" ujarnya tegas, bangkit dari kursi dan berjalan dengan langkah sengaja memutar agar bisa bertemu dengan Jia di l
Jia semakin resah akan keberadaan Sean di rumahnya, apalagi kakek Wijaya yang memberikan restu atas kehadiran pria itu. Setiap sudut rumah terasa sumpek, hatinya tidak bisa tenang karena merasa terusik. "Apa yang membuat kakek percaya padanya? Apakah dia lebih baik daripada orang lain yang pernah ada di hidupnya?" gumam Jia yang bermonolog.Di dapur, Jia bolak-balik memikirkan cara untuk mengusir Sean dari rumahnya. Tak tahan merasakan ketidaknyamanan ini. 'Aku harus mencari cara agar dia pergi, aku tidak ingin kehilangan kenyamanan hidupku sendiri gara-gara pria ini,' batin Jia dengan penuh keputusasaan. Tapi, di satu sisi, ada perasaan yang masih tertahan, karena ia tidak ingin mengecewakan kakek Wijaya. Harus ada jalan keluar yang dapat memuaskan semua pihak, termasuk hatinya sendiri yang penuh kebimbangan.Setelah sekian lama larut dalam lamunan, Jia memutuskan untuk pergi dari dapur dan memberi ruang bagi Murni untuk bekerja menyiapkan hidangan tamu nanti. "Ah, sudah cukup m
Jia merasa tidak sanggup menerima keinginan kakek Wijaya yang mendesaknya untuk segera melahirkan seorang cicit.Dalam hatinya, dia bertanya-tanya mengapa Liam, sang suami, justru mendukung keputusan sang kakek yang membuatnya begitu terbebani. "Apa yang mereka pikirkan? Apakah mereka tidak memikirkan perasaanku sama sekali?" gumam Jia bermonolog, berperang antara pikiran dan juga hatinya. Perasaan jijik kembali muncul saat Jia mengingat bagaimana Liam telah mengkhianatinya dengan asisten rumah tangga. Bayang-bayang kenangan itu membuat hatinya semakin sulit menerima kenyataan bahwa dia harus berhubungan intim dengan pria yang telah merusak kepercayaannya itu."Bagaimana mungkin aku bisa melupakan pengkhianatan Liam? Apakah aku bisa menerima anak dari hubungan kami yang ternoda oleh pengkhianatan?" Pertanyaan-pertanyaan itu terus menggelayuti pikiran Jia, membuatnya semakin terpuruk dalam keputusasaan.Jia berjalan mondar-mandir dalam ruangannya, langkah kakinya menggema rasa kece
Jia segera menetralkan perasaannya, sengaja berdehem menutupi wajahnya yang merona seperti udang rebus. “Kembali ke pembahasan awal.”Sean kembali duduk di kursinya, raut wajahnya mengeras saat menyerap setiap kata yang dilontarkan Jia tentang kecurigaan yang menggantung di udara. Keningnya berkerut, mata menerawang mencoba memecahkan teka-teki sikap Liam terhadap Jia. Dua kemungkinan muncul, menggelitik benaknya. Liam, suami yang mencari pelabuhan akhir setelah dihempas badai, atau Liam yang memiliki rencana gelap tersembunyi, kemungkinan yang paling mengkhawatirkan adalah Jia telah membaca gerak-geriknya.“Aku belum bisa memastikannya, informasikan apapun mengenai tindakan pria itu setiap kali kamu curiga!”Jia menarik napas lega, perasaan cemas yang sempat merayapi pikirannya kini mulai mencair. Dalam keheningan ruangan, dia bisa mendengar detak jam tangannya yang seperti berbisik.'Waktunya aku pergi!'Sean, dengan ekspresi yang tegang, melirik jam tangan yang melilit pergelanga
"Kamu gila ya?" teriak Jia, matanya membulat penuh kejutan melihat Sean bekerja dengan kecepatan yang tak terduga. Sean, dalam panik, segera menempatkan tangannya di mulut Jia, mata mereka saling berpandangan sejenak sebelum dia melirik ke sekitar, memastikan tak ada yang memperhatikan mereka.“Apa kamu ingin mengundang suamimu kesini?” bisik Sean. Jia terdiam, menganggukkan kepala diiringi panik takut mengundang perhatian dari Liam. Mulutnya yang dibungkam perlahan melonggar, terdengar helaan nafas lega saat semuanya masih di genggaman. “Aku begitu baik, menyiapkan surat perceraian mu. Jangan lupa ditandatangani surat itu?!” Sean tersenyum sinis sambil berlalu pergi, sosoknya yang tampan dan berkuasa itu terselip bayangan gelap saat menemui istri orang secara sembunyi-sembunyi. Jia memperhatikannya dari balik tirai, jantungnya berdebar, bimbang antara rasa kagum dan kecewa. "Apakah dia lelaki sejati? Atau pria naif yang rela menunggu aku hingga berstatus janda?" bisiknya pada d
Hari-hari berlalu seperti kilat, tanpa terasa sudah tiga hari berlalu sejak Tamara pergi. Dari balik railing lantai atas, Jia mengamati Liam. Tangannya meremas-remas ujung bajunya, perasaan cemas bercampur iba menyelimuti. Wajah Liam yang murung terpampang jelas, seolah tiap detik kehilangan lebih berat sejak Tamara meninggal. Jia menarik napas dalam, menahan pilu yang membara.Rasa geram bercampur amarah melihat perubahan yang cukup besar bagi suaminya, dan selama itu pula Liam tidak mengucapkan sepatah katapun. Jia menengadahkan kepala, menatap langit-langit ruangan itu diiringi helaan nafas. “Wow Tamara, pengaruhmu begitu kuat. Liam seperti mayat hidup, ajaklah dia juga ke alam baka.” Jia menyalahkan Tamara, benar-benar di buat geleng kepala atas sikap suaminya yang berubah drastis. “Sampai sekarang dia tidak mencari keberadaan Leo. Bukan saja menjadi suami tidak baik, justru pria itu juga ayah yang buruk.” Jia menarik napas dalam-dalam dan perlahan melepaskannya, mencoba mer
Jia menarik Kevin dan Leo ke pelukannya, matanya berkaca-kaca saat melingkari tubuh keduanya. Kegembiraan tak terukur merasuki hatinya saat keduanya melekat di dada, kehangatan yang begitu berharga. Tapi ketika memandang Leo, kehangatan itu perlahan dipadukan dengan rasa bersalah yang mendalam. Menyadari bahwa merebut Leo dari pelukan ayahnya, Liam, bukan pilihan yang sepenuhnya benar. Namun, melihat betapa Liam telah lebih memilih Tamara daripada keluarga yang sudah dibangun bersama, memicu keputusan tegas di hati Jia. Bagi Jia, mengambil Leo bukan hanya melindungi putra kecilnya dari ketidakstabilan ayahnya, tetapi juga sebagai sanksi tegas untuk Liam, sebuah pembayaran untuk pengkhianatan yang menyakitkan itu.‘Liam, kamu merenggut kebahagiaanku. Aku pun begitu, merenggut anak kesayangmu!’ batin Jia sembari membelau wajah Leo dengan lembut sambil menarik sebelah sudut bibirnya ke atas. Jia melangkah dengan tenang, wajahnya tegar saat ia mengajak Leo dan Kevin ke sebuah tempat y
Mobil berhenti di sebuah halaman luas, terdapat bangunan mewah di tengah-tengah. Bangunan yang mirip seperti istana, memiliki arsitektur klasik eropa berwarna. Rumah yang berdiri kokoh membuat Jia terpana, hampir terbuai dengan pemandangan yang menakjubkan terbentang di hadapan mata. “Kenapa diam saja? Ayo masuk, anggap rumah sendiri.” Sean berjalan lebih dulu, kedua tangannya dimasukkan ke dalam saku celana, tampak berkharisma seperti pemimpin sejati. “Tunggu dulu!” Suara Jia berhasil mencegat langkah Sean, dia menoleh dengan kening yang berkerut. “Ada apa?” Keraguan Jia pada Sean yang membawanya ke rumah mewah, pikirannya tidak akan tenang sebelum menemukan Leo. Dia menghampiri Sean, langkah cepat tak membutuhkan waktu lama. “Kenapa kita kesini? Bukankah kamu ingin mempertemukan aku dengan Leo?!” protes Jia sedikit kesal, tanpa mendengarkan maksud Sean, langsung menudingnya berbohong. Tatapan nyalang tak melepaskan Sean dari pandangannya, berkacak pinggang menentang untuk me
Liam melangkah tergesa-gesa memasuki lokasi yang sudah Jia sebutkan sebelumnya. Ketegangan terasa menggantung di udara. Dengan nafas yang tercekat, ia mendapati Tamara tergeletak bergelimang darah di tengah jalanan sepi, tubuhnya penuh luka dan darah yang bercucuran.Wajah Tamara pucat pasi, napasnya tersengal-sengal seakan tiap helaan adalah yang terakhir. Mata Liam memerah, dadanya bergemuruh kesal dan dada Tamara naik turun tak beraturan. Rasa panik menyelinap memenuhi isi pikiran dan hatinya, melihat kekasihnya tak berdaya. “Tamara … Tamara, apa yang terjadi? Siapa yang melakukan ini?” Liam meletakkan kepala Tamara di atas pangkuannya, sangat khawatir hingga lupa memanggil ambulans. Tamara terbaring lemah, tak mampu bergerak ataupun berbicara, tetapi matanya tajam menatap ke arah Jia yang berdiri di belkang Liam sambil menatapnya tanpa dosa. Kilatan kemarahan nyata terpancar dari sorot mata Tamara yang memerah, sementara tubuhnya hanya bisa terkulai tanpa daya di atas aspal pan