Tamara mengecilkan suara tawanya yang terbahak-bahak, seraya menyelinap masuk ke dalam ruangan setelah memastikan bangsal tempat Leo dirawat hanya ditempati oleh Jia seorang. Niat jahatnya terpancar dari sorot matanya yang tajam, ingin membuktikan bahwa dia tak mau mengakui kekalahan. Tamara bersikeras melakukan hal nekat, demi mencapai tujuannya menjadi nyonya Liam. Akan tetapi, di tengah-tengah usahanya itu, ada sesuatu yang mengusik pikirannya, membuat rasa penasarannya semakin menjadi-jadi. Tamara merasa seolah ada sesuatu yang selalu membuntuti langkahnya, mengejutkan dirinya di saat yang tak terduga. Ya, Tamara terkejut melihat bagaimana Jia dengan sigap berhasil menyelamatkan diri dari maut. Kesal, hatinya melontarkan umpatan pada kecerobohannya yang nyaris membunuh istri sah itu. Gelombang kekacauan menerpa perasaannya saat persaingan semakin sengit. Tamara segera berlari melanjutkan aksinya menyerang Jia, mulai kehilangan kendali setelah teringat perlakuan kasar Liam yang
Jia menatap tajam ke mata Sean saat mereka menyepakati perjanjian yang tidak ia ketahui sepenuhnya. Dia sadar bahwa di dunia ini tak ada yang gratis, pasti ada imbalan yang dicari oleh pria itu. Namun, ia merasa tak ada pilihan lain selain menerima bantuan Sean demi mewujudkan impian terpendamnya."Kamu terlihat berbeda dengan penampilan ini," ujar Sean sambil menelusuri sosok Jia dengan pandangannya, mulai dari ujung rambut hingga ujung kaki. Rok pendek di atas lutut dan jaket kulit berwarna coklat yang ia kenakan tampak serasi. Ia juga mengenakan wig berambut pendek dan kacamata berwarna hitam. Jia tersenyum simpul, sedikit merasa tidak nyaman dengan pujian yang baru saja ia terima. Akan tetapi, dalam hati, ia bersyukur Sean mau membantunya meski niat pria itu masih belum jelas."Terima kasih, Sean. Semoga dengan penampilan ini, aku bisa lebih percaya diri untuk mengejar impianku," gumam Jia penuh harap.“Hari ini aku tidak ingin berpenampilan seperti perempuan lugu yang buta, ber
Melihat Tamara berdiri di hadapannya dengan penuh percaya diri, seolah mampu mengungkapkan segala kebenaran pada Liam, Jia merasa gugup sekaligus marah. Di sisi lain, Jia telah bersiap menghadapi segala kemungkinan, terlebih mengingat betapa ia menyesal telah pernah menolong Tamara. Bukan hanya memberikannya tempat tinggal, namun juga pekerjaan yang layak. Namun, bantuan yang tulus itu seolah tak berarti bagi Tamara. Jia mengepalkan tangannya sambil memandang tajam ke arah Tamara. Betapa ia teringat istilah, air susu dibalas air tuba, dan bagai kacang lupa kulit, yang tepat menggambarkan perbuatan Tamara. Pelayan yang seharusnya setia malah berkhianat, berusaha merebut tempatnya sebagai nyonya Liam di rumah mewah tersebut. Tamara bahkan tak segan melakukan berbagai upaya yang bisa mencelakai Jia demi meraih ambisi tersebut.Perlahan tangan Jia mengepal menahan amarah yang hendak meluap, kecelakaan 7 tahun lalu pasti disebabkan dari rencana busuk Tamara. “Aku adukan pada Liam, maka
Jia melirik Muni sambil memegang lengan Tamara erat, menekankan pentingnya perintah yang baru saja diberikannya. "Muni, kamu harus menjaga Tamara dengan sangat baik. Beri dia makan tepat waktu agar dia bisa bertahan sampai Liam kembali," ujarnya dengan tegas. Dia terpaksa melakukan semua ini, berlatih menunjukkan wajah yang tenang saat memberikan instruksi pada pelayan pribadi Tamara, sembari berusaha menjaga rahasia besarnya yang belum terungkap: penglihatan yang sudah pulih. Dia mengharapkan Liam tidak akan mengetahui apa pun mengenai hal itu.Muni terduduk lesu di kursi, alisnya terkerut menunjukkan kecemasan yang mendalam. Jia, yang kebetulan lewat, menangkap momen tersebut dan merasa penasaran. Jia mendekati Muni dan bertanya dengan suara lembut. "Kenapa, Muni? Ada yang mengganggu pikiranmu?" Jia berusaha untuk menghilangkan rasa penasaran yang muncul dan sekaligus ingin membantu mengurangi kecemasan Muni.“Kamu terlihat khawatir.” Jia memegang sebelah bahu Muni, tampak ikut ter
“Berkasku ketinggalan, tidak ada yang bisa menjemputnya!” sahut Liam dengan makna ucapan sindiran, mengungkapkan jika Jia tidak bisa melakukan apapun untuk membantu pekerjaannya agar lebih cepat. Jika mengandalkan Tamara, pelayan pribadi itu tidak akan paham berkas apa yang dia inginkan. Daripada membuang banyak waktu menunggu hal yang tidak pasti, dia memaksa untuk pulang ke rumah dengan jarak tempuh cukup jauh.Jia memaksa tersenyum, jauh di lubuk hatinya yang terluka karena perkataan dari sang suami begitu meremehkannya karena buta.“Ahh, biar aku bantu.” Jia berinisiatif bergerak menghampiri Liam, membantu suaminya bagai seorang istri baik juga penurut.Liam melepaskan jasnya perlahan, membiarkannya tergantung di tangan Jia. Di wajahnya terlihat jelas guratan rasa lelah yang begitu menguras tenaga. Andai saja pengkhianatan itu tidak pernah terjadi, mungkin dia bisa lebih peduli dan mencintai suami seperti dulu lagi. Namun, khayalan bahagia yang sempat direncanakan sebelum pernikah
Jia menarik nafas panjang, perlahan menyimpan ponselnya ke dalam laci tersembunyi, tempat yang telah dipastikan tak akan pernah ditemui Liam. Kerut di keningnya mencerminkan kekhawatiran, takut jika suatu saat nanti suaminya itu menuntut untuk memeriksa ponselnya, rencana yang sudah susah payah dipikirkan akan menjadi sia-sia. Jia mengalihkan pandangan ke arah pintu yang terbuka, melihat Liam yang baru saja melangkah keluar dari kamar mandi. Suami itu berjalan mendekat, membuat Jia semakin gugup dan berdebar.'Semoga rencana ini berjalan lancar,' gumam Jia pelan dalam hati.“Kamu terlihat sangat cantik malam ini!” ucap Liam yang memblokir tubuh Jia, membiarkan tetesan air di tubuhnya mengenai sang istri. Liam merasa sepi karena Tamara, selingkuhannya yang biasa menjadi teman bermainnya, sedang berlibur. Mata Liam kemudian tertuju pada Jia, istrinya. Dalam hati, dia mengakui bahwa Jia lebih cantik daripada pelayan yang menjadi simpanannya itu. Seiring waktu berlalu, perasaan Liam ter
“Kenapa Liam tidak mencariku?” Tamara bergumam sambil menggelengkan kepala, pasalnya Liam selalu khawatir dan akan mencarinya jika tidak ada di rumah. Tamara menyipitkan kedua mata mempertajam penglihatan, dia sangat marah sambil menatap Jia kesal. “Beraninya kamu menggoda kekasihku!” pekik Tamara dengan kemarahan yang menggebu-gebu. Berusaha memberontak ingin sekali mematahkan leher itu, cukup sulit mengendalikan amarahnya saat ini, kesombongan dan keangkuhan di hadapan mata membuat darahnya mendidih. Jia mendekatkan tubuhnya ke Tamara, tatapan matanya tajam memotong keheningan. Senyumannya, penuh sindiran, terungkap dengan gerakan bibir yang pelan. "Sudah kutolong, eh malah kamu tikam dari belakang," ucapnya, sambil tangan kanannya yang bersimpuh kini menepuk-nepuk bahu Tamara, seakan menekankan setiap kata yang terucap.Wajah Jia memerah, nafasnya terengah-engah, matanya tajam menyelidik Tamara yang berdiri tanpa malu di hadapannya. Tangannya yang gemetar menangkap dagu Tamara,
Sudah setengah jam berlalu begitu saja dengan sia-sia, namun tidak ada tanda-tanda kedatangan asisten yang dimaksud oleh Sean. Dua cangkir kopi untuk melewati hari ini, Jia menghela nafas kasar sambil melirik jam yang ada di layar ponselnya, rasa jenuh dan bosan menunggu sesuatu yang tidak pasti membuatnya sangat kesal dan marah.Dengan sengaja Jia menggebrak meja, berhasil mengejutkan Sean yang tengah menyeruput secangkir kopi ke-tiga. Perasaan marah yang menggebu-gebu, merasa telah di tipu. “Ini bukan hutan, asal main gebrak meja.” Sean menahan emosi agar tidak meluap, menggelengkan kepala sambil melirik tumpahan kopi mengenai jas mahalnya. Jia tersenyum tanpa rasa bersalah, membuatnya menunggu begitu lama dan melimpahkan kesalahan penuh pada Sean yang telah mencuri waktunya. “Aku rasa jalanan kota tidak terlalu parah dalam segi macet, jika diperkirakan dia sudah sampai lima belas menit yang lalu.” Jia menyeringai, berdiri dari duduknya sambil mencondongkan tubuh. “Atau jangan-j