Sudah setengah jam berlalu begitu saja dengan sia-sia, namun tidak ada tanda-tanda kedatangan asisten yang dimaksud oleh Sean. Dua cangkir kopi untuk melewati hari ini, Jia menghela nafas kasar sambil melirik jam yang ada di layar ponselnya, rasa jenuh dan bosan menunggu sesuatu yang tidak pasti membuatnya sangat kesal dan marah.Dengan sengaja Jia menggebrak meja, berhasil mengejutkan Sean yang tengah menyeruput secangkir kopi ke-tiga. Perasaan marah yang menggebu-gebu, merasa telah di tipu. “Ini bukan hutan, asal main gebrak meja.” Sean menahan emosi agar tidak meluap, menggelengkan kepala sambil melirik tumpahan kopi mengenai jas mahalnya. Jia tersenyum tanpa rasa bersalah, membuatnya menunggu begitu lama dan melimpahkan kesalahan penuh pada Sean yang telah mencuri waktunya. “Aku rasa jalanan kota tidak terlalu parah dalam segi macet, jika diperkirakan dia sudah sampai lima belas menit yang lalu.” Jia menyeringai, berdiri dari duduknya sambil mencondongkan tubuh. “Atau jangan-j
Jia baru saja melangkahkan kaki keluar dari cafe di pinggir jalan ketika tiba-tiba ia terhenti. Langkahnya terhenti saat matanya menangkap pandangan mobil-mobil yang terparkir rapi beberapa meter di depannya. Tiba-tiba, kecemasan menggelayuti pikirannya, mengingatkannya akan sesuatu yang hampir terlupakan, setelan dan gaya dalam berpakaian. "Astaga, bagaimana bisa aku bertemu Leo dalam keadaan begini?" gumamnya gusar, rasa cemas memenuhi isi pikirannya yang lupa mengganti pakaian. "Dia pasti shock dengan penampilan ini," lirihnya. Hati Jia terasa berat karena sebelumnya gagal mengantarkan Leo ke taman kanak-kanak karena suatu hal yang mendesak. Tidak mungkin berpenampilan sebagai wanita berani untuk menemui anak itu, hingga memutuskan untuk mengganti setelan sebagai wanita hangat yang polos. Janji yang tidak bisa di tunda membuatnya ingin menebus terasa seperti dosa yang harus segera ia lunasi, tidak ingin mematahkan hati Leo, ia ingin menjemput ke taman kanak-kanak. Jia berjalan c
Jia yang masih bersenang-senang malah dikejutkan dengan pesan yang baru saja dikirim oleh Muni, kesenangannya langsung berakhir dan memutuskan untuk pulang ke rumah lebih awal, padahal dia tidak ingin pulang lebih cepat. ‘Astaga, aku harus pulang lebih cepat.”Raut wajah Jia tampak tenang, namun di pikirannya menjadi kalang kabut, gelisah, dan juga panik. Memerintah pak supir untuk melajukan kecepatan dalam mengemudi. Sepanjang perjalanan, pandangannya menjadi tidak fokus pada Leo yang tengah bercerita mengenai suasana hatinya yang sedang bahagia. “Ma, kenapa kita pulang lebih awal?” tanya Leo yang keheranan, hatinya tidak rela pulang cepat. Kedua sorot matanya menatap Jia dengan polos, berharap apapun itu berjalan baik. Jia menggenggam tangan Leo dan meletakkan di wajahnya. “Kasihan Cici ditinggal, pasti dia sangat kesepian.” Berusaha mengalihkan perhatian bocah itu untuk tidak bertanya lagi alasan pulang ke rumah lebih cepat. Leo mengangguk, dia lupa keberadaan Cici dan malah be
Liam memperhatikan Jia dengan tatapan yang menyelidik dan penuh kecurigaan. Setiap gerak tubuhnya, setiap ekspresi wajahnya, tidak ada yang luput dari pengamatannya. Dalam benaknya, dia mengulang-ulang kata-kata Tamara, mencari petunjuk kebenaran di baliknya. Sementara itu, Jia yang tak bisa melihat, hanya bisa merasakan aura kecurigaan yang begitu kental mengelilinginya. Jantungnya berdebar, tahu bahwa perceraian tak akan terelakkan jika kebenaran terungkap. Hidup dengan kutukan dan umpatan telah menjadi rutinitas sehari-hari, sejak nasib mempertemukannya dengan Liam, yang kini melihatnya sebagai beban.Kilas balik Liam dulu yang duduk termenung di sudut kamarnya yang remang-remang, menatap foto lama yang ditempel di dinding. Pernikahannya sudah di depan mata, semuanya dirancang rapi oleh kakeknya, Wijaya.Dulunya dia menyambut gembira perjodohan ini, menganggap Jia hampir sempurna. Tapi setelah kecelakaan yang terjadi tujuh tahun lalu, yang meninggalkan luka dalam di hati Jia, dia
Jia dengan perlahan menutup pintu kamarnya, matanya tertuju pada nakas di samping ranjangnya. Langkah kakinya terdengar sayup-sayup di karpet kamar yang tebal.Jia membuka laci, mengeluarkan kotak P3K yang telah lama ia simpan, kemudian duduk di tepi ranjang dan menaruhnya di atas pangkuannya.Dengan gerakan yang penuh kehati-hatian, Jia meraih obat antibiotik, mengolesinya sedikit demi sedikit untuk menghindari alergi. Hatinya masih berdebar-debar, masih merasakan sakit dari bekas cakaran itu. Tiba-tiba, telinganya yang masih sensitif itu menangkap suara pintu yang kembali terbuka.Suara telapak sepatu menghiasi indera pendengaran Jia yang terdengar semakin mendekat, kotak P3K di tutupnya kembali dan meletakkan di tempat semula. Tahu siapa yang datang untuk menemuinya, selalu siap dalam situasi apapun. “Jia … aku!” Liam memelankan langkahnya, dari suaranya tampak ragu ingin membagi sesuatu. Jia menyadari Liam yang gelisah duduk di ujung ranjang, menggenggam erat tangannya. Kerut di
Jia memberikan saran kepada Liam untuk mencari dokter dalam menangani Tamara, beruntung sarannya itu digunakan. Jia memegang pangkal lengan Liam, duduk di sebelah untuk ikut mendengarkan perkataan dokter mengenai mental sang pelayan pribadi. Menyimak setiap kata tanpa ada yang terlewatkan, akting yang sesuai dalam naskah. Merasa puas saat melirik sekilas ke arah Liam, terlihat jelas guratan kekhawatiran karena kondisi Tamara harus dipantau oleh dokter atau dimasukkan ke rumah sakit jiwa. “Aku tidak setuju Tamara di bawa ke rumah sakit jiwa!” Seketika Liam berdiri dan menunjukkan reaksi berlebihan, rasa cintanya pada pelayan seksi itu membuatnya tidak rela jauh. Jia terperanjat dengan ulah Liam, ikut berdiri memberikan dukungan atas perhatian yang terlihat memuakkan. “Sayang, biarkan dokter bekerja.” Jia berupaya membuat Liam untuk setuju, melempar Tamara ke rumah sakit jiwa. Liam menggelengkan kepala, sadar akan aksinya yang berlebihan tentu menarik perhatian. Kemudian dia kemba
Jia menghentikan langkahnya tepat di depan pintu hotel, ketegangan memenuhi dadanya, seolah-olah ribuan kupu-kupu menggeliat di perutnya gara-gara kata-kata Sean yang terkesan serius.Ia memandang pintu itu, kemudian kembali ke Sean.'Apakah benar kita harus masuk?' batinya bergetar. Ia berusaha keras meredam pikirannya yang mulai liar, menggeleng cepat sambil menarik napas dalam. Dari kejauhan, Sean menangkap pandangan ragu Jia, dia berbalik, memperhatikan sosok yang berdiri terpaku, terpisah dua meter dari dirinya, mata mereka bertemu sejenak dalam diam yang sarat akan pertanyaan.“Apa yang kamu ragukan?” Sean menghampiri Jia, melihat wajah perempuan itu dalam jarak dekat. Rasa takut bagai momok menakutkan, tidak bisa dibendung hingga melampiaskan demi harga diri yang tetap dipertahankan. Jia mundur selangkah, tangannya bersilang erat di depan dada sementara matanya tidak lepas memandang Sean dengan tatapan waspada dan penuh curiga. Napasnya terdengar berat, menyiratkan kekhawati
Air mata menetes dengan sendirinya, tidak ada yang bisa menahan cairan bening membasahi kedua pipi. Baik Jia maupun Sean ikut terharu dan hanyut dalam kesedihan Kevin yang begitu menginginkan keluarga lengkap. Jia tidak bisa bersedih dalam waktu yang lama, dia ingin menghibur dikala hati Kevin yang gundah menginginkan hak yang seharusnya sejak dulu ia berikan. Namun, keegoisan dari Liam membuatnya kekecewaanya semakin mendalam. “Ada sesuatu yang ingin aku tunjukkan!” kata Kevin kemudian berlari meninggalkan kedua orang dewasa itu, menuju sebuah tas untuk mencari sesuatu yang ingin di tunjukkan. Jia menumpahkan air matanya, walaupun dia ingin mengatakan kebenaran kepada Kevin, bahwa ialah ibu biologisnya, malah akan membuat anak kandungnya dijadikan target oleh kekejaman suaminya, Liam. Dia tidak berdaya, rasa sedih dan perih menjadi seorang ibu tidak tahan mendengar penderitaan sang buah hati begitu menginginkan keluarga utuh seperti keluarga pada umumnya. Hatinya tertusuk o