Air mata menetes dengan sendirinya, tidak ada yang bisa menahan cairan bening membasahi kedua pipi. Baik Jia maupun Sean ikut terharu dan hanyut dalam kesedihan Kevin yang begitu menginginkan keluarga lengkap. Jia tidak bisa bersedih dalam waktu yang lama, dia ingin menghibur dikala hati Kevin yang gundah menginginkan hak yang seharusnya sejak dulu ia berikan. Namun, keegoisan dari Liam membuatnya kekecewaanya semakin mendalam. “Ada sesuatu yang ingin aku tunjukkan!” kata Kevin kemudian berlari meninggalkan kedua orang dewasa itu, menuju sebuah tas untuk mencari sesuatu yang ingin di tunjukkan. Jia menumpahkan air matanya, walaupun dia ingin mengatakan kebenaran kepada Kevin, bahwa ialah ibu biologisnya, malah akan membuat anak kandungnya dijadikan target oleh kekejaman suaminya, Liam. Dia tidak berdaya, rasa sedih dan perih menjadi seorang ibu tidak tahan mendengar penderitaan sang buah hati begitu menginginkan keluarga utuh seperti keluarga pada umumnya. Hatinya tertusuk o
“Ah sial, daya ponselku habis.” Jia kesal kembali menyimpan ponselnya, cukup lama meninggalkan Leo di rumah membuatnya khawatir. “Pasti dia menangis mencariku. Ya Tuhan, kebersamaanku dengan Kevin membuatku melupakan keberadaan Leo, apa aku ibu yang kejam dan pilih kasih?” monolog Jia sembari mengalih pandang ke luar jendela mobil, memerintah pak supir untuk menambah kecepatan laju kendaraan yang ditumpangi. Mobil berhenti di depan halaman rumah, Jia keluar dan buru-buru masuk ke dalam rumah mencari keberadaan Leo. “Dari mana saja kamu?” Liam di lantai dua, menengok Jia yang tergesa-gesa masuk ke dalam rumah sampai membuatnya mulai keliru akan penglihatan sang istri. Suara bariton yang mendominasi ruangan membuat Jia berhenti dalam langkahnya. Liam, dengan tatapan tajam yang sedikit demi sedikit memakan jarak, perlahan menuruni tangga menghampirinya. Tak lama, wajah tak bersahabat Leo yang seharusnya masih di kantor karena belum waktunya pulang, muncul di depan pintu. Jia memper
Jia berdiri termenung di tengah ruang tamu yang sunyi. Tubuhnya tegang, ekspresi wajahnya bercampur antara marah dan cemas. Dia menggenggam ponselnya kuat-kuat, matanya terpaku pada layar ponsel yang memaparkan pesan dari Sean tentang kondisi Kevin. Keringat dingin mulai membasahi keningnya. "Tidak ada yang lebih membutuhkanmu daripada anakku," bisiknya pada diri sendiri, sambil hatinya berdebar keras, memikirkan Kevin yang sedang demam tinggi di rumah sakit. Seraya mengambil keputusan, Jia hendak mengambil tasnya dan berlari keluar rumah, hatinya diliputi kegelisahan seorang ibu.Jia khawatir tidak bisa menemani Kevin yang tengah membutuhkannya, perasaan yang meliputi isi pikiran bergelayut di dalam benaknya. Liam terus memaksanya untuk menjaga Leo yang tertidur pulas, tanpa memperdulikan ada anak kandungnya yang lain sedang membutuhkan pertolongan.“Kamu baru mengenal anak itu, dan sekarang beraninya menemui tanpa seizin dariku!” ucap Liam dengan tegas, dengan langkah cepat menari
Tangan kekar yang memegang kedua bahu Jia, segera di tepis dengan kasar. Tidak ada gunanya terus berdebat, karena di balik kekacauan yang memang dia sengaja memperkeruh suasana adalah sebagian dari rencana. “Jangan mencoba untuk menyentuhku, sebaiknya menjauhlah!” tegas Jia marah sambil menggertakkan giginya dalam mulut tertutup, mengayunkan tongkat penuntun jalan. Jia berlalu pergi dalam keadaan marah, rasa yang dulu tidak dipeduli oleh Liam, kini malah menyelimuti pikirannya. Ada perasaan tidak rela jika mereka sampai berpisah, kebahagiaan mendapatkan dua wanita mengisi hidupnya membuatnya telah terbiasa dengan semua itu. Liam sangat menyesal telah melakukan tindakan gegabah, meremas rambutnya dengan frustasi. Pandangannya tak terlepas dari sosok sang istri yang mulai menjauh dari pandangan mata, permasalahan kecil mereka malah merambat menjadi besar. Liam merasa terancam, terlepas jauh dari Tamara. Kesunyiannya mulai terasa saat Jia juga marah dan mengacuhkannya. Senyum Jia te
Langkah sepatu di lantai koridor bergema hingga ke ruangan kecil dimana Jia duduk menanti. Suara itu semakin mendekat, dan Jia menoleh ke arah pintu. Sekilas, ia mengulas senyum penuh arti saat sosok Sean muncul di ambang pintu. Jika bukan karena insiden yang membuat Sean harus bertindak cepat, mungkin sekarang Jia sudah kehilangan salah satu indranya. Sambil menunggu, Jia mulai mengetuk-ngetuk meja di hadapannya, menciptakan melodi yang hanya ia yang tahu. Ruangan itu dipenuhi dengan ketukan ritmis jari-jarinya, namun dokter yang duduk di sudut tampaknya tidak terganggu, fokus pada catatan-catatan medis di depannya.“Apa sudah selesai?” tanya Sean sembari menyimpan ponselnya, melirik ke samping menatap wajah cantik Jia. “Sudah. Tinggal menunggu resep dokter!” Jia memahat senyum kilat, Sean yang mendorongnya untuk segera memeriksa mata. “Mm, apa masih perih?” Sean cemas juga khawatir, terlambat sedikit saja berakibat sangat fatal. Sean duduk di bawah meja dengan tangan terkepal ra
Jia tak bisa menyembunyikan senyumnya saat mendengar kabar itu. Hatinya seperti berbunga. Di sisi lain, Liam tampak lunglai, dengan tatapan kosong yang tak bisa menutupi kehancuran di dalam hatinya. Usahanya yang telah ia bangun bertahun-tahun kini rontok menjadi debu. Kegigihan dan keangkuhan yang biasa menghiasi dirinya kini terkikis, menguap entah ke mana. Jia merasa ada kepuasan yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata melihat Liam yang perlahan kehilangan segalanya.Satu demi satu lawannya terkapar, tak satu pun yang luput dari pengaruh Sean. Dengan penampilan yang begitu biasa, siapa sangka Sean memiliki kekuatan yang luar biasa? Sementara orang lain masih bingung, Sean dengan tenang memainkan perannya. Liam, yang biasa tak terkalahkan, kini jatuh tak berdaya hanya dengan satu sentuhan dari Sean, yang berkuasa akan memegang kendali. ‘Dia tampak seperti pria biasa, mungkin pengangguran, tapi siapa sangka dia begitu cepat dan cekatan.’ Jia memuji kehebatan Sean, tidak bisa
Jia merasakan debaran yang menyusut dalam dada, sebuah gelombang lega yang perlahan memadamkan kegelisahan yang sempat mendominasi pikirannya. Dia menghela nafas, menganggap ancaman Tamara tak lebih dari sekadar lelucon semata, setelah memastikan kebenaran yang telah dia gali. Jia tersenyum sinis saat membayangkan Tamara, perempuan yang mencoba merusak rumah tangganya, yang sama sekali tidak menyadari bahwa dia telah beberapa langkah lebih maju. "Benar-benar konyol," gumamnya sambil mengguncang-guncang kepala, menertawakan kebodohan orang yang mencoba menakut-nakutinya.“Bagaimana Tamara bisa melakukan itu? Menggunakan anaknya sendiri untuk mengancamku?” gumam Jia yang kemudian tersenyum sambil menggeleng pelan.Jia duduk termenung, jemarinya memainkan ujung pena dengan gugup. Pikirannya bergolak mengingat bagaimana Tamara dengan dingin menggunakan Leo untuk mengancamnya. Meski pahit, dia bisa memahami, bahwa Tamara tidak menyadari fakta yang sudah terkuak. "Namun aku tak bisa mel
Jia melihat keraguan dari mimik wajah Tamara, memperhatikan setiap inci tanpa ada yang terlewatkan. Dia juga tidak bisa menghindari rasa yang menggelitik, karena pelayan pribadi itu bersusah payah untuk mengurus surat perceraian majikan.Tanpa ada rasa ragu, Jia membuka lembaran berkas perceraian dan menandatanganinya dengan serius, lagi pula tidak ada yang ingin ditunda untuk segera berpisah dari pria kejam seperti Liam. Dengan cepat Jia menandatangani tanpa berpikir dua kali, kembali menutup berkas dan melemparnya ke arah Tamara yang tengah tersenyum puas melihatnya secara langsung. “Aku sudah menandatanganinya, biarkan aku bertemu dengan Leo!” Jia berjalan mendekat menghampiri Tamara. Kedua pupil mata Jia membesar, mempertajam penglihatan. Tamara berjalan mundur beberapa langkah sambil menyunggingkan senyuman licik, mengangkat sebelah tangan dan menggerakkan jarinya ke udara. Ada hal yang tidak beres, Tamara menjebaknya. Jia menjadi waspada, lirikan matanya sangat tajam saat e