Jia berdiri termenung di tengah ruang tamu yang sunyi. Tubuhnya tegang, ekspresi wajahnya bercampur antara marah dan cemas. Dia menggenggam ponselnya kuat-kuat, matanya terpaku pada layar ponsel yang memaparkan pesan dari Sean tentang kondisi Kevin. Keringat dingin mulai membasahi keningnya. "Tidak ada yang lebih membutuhkanmu daripada anakku," bisiknya pada diri sendiri, sambil hatinya berdebar keras, memikirkan Kevin yang sedang demam tinggi di rumah sakit. Seraya mengambil keputusan, Jia hendak mengambil tasnya dan berlari keluar rumah, hatinya diliputi kegelisahan seorang ibu.Jia khawatir tidak bisa menemani Kevin yang tengah membutuhkannya, perasaan yang meliputi isi pikiran bergelayut di dalam benaknya. Liam terus memaksanya untuk menjaga Leo yang tertidur pulas, tanpa memperdulikan ada anak kandungnya yang lain sedang membutuhkan pertolongan.“Kamu baru mengenal anak itu, dan sekarang beraninya menemui tanpa seizin dariku!” ucap Liam dengan tegas, dengan langkah cepat menari
Tangan kekar yang memegang kedua bahu Jia, segera di tepis dengan kasar. Tidak ada gunanya terus berdebat, karena di balik kekacauan yang memang dia sengaja memperkeruh suasana adalah sebagian dari rencana. “Jangan mencoba untuk menyentuhku, sebaiknya menjauhlah!” tegas Jia marah sambil menggertakkan giginya dalam mulut tertutup, mengayunkan tongkat penuntun jalan. Jia berlalu pergi dalam keadaan marah, rasa yang dulu tidak dipeduli oleh Liam, kini malah menyelimuti pikirannya. Ada perasaan tidak rela jika mereka sampai berpisah, kebahagiaan mendapatkan dua wanita mengisi hidupnya membuatnya telah terbiasa dengan semua itu. Liam sangat menyesal telah melakukan tindakan gegabah, meremas rambutnya dengan frustasi. Pandangannya tak terlepas dari sosok sang istri yang mulai menjauh dari pandangan mata, permasalahan kecil mereka malah merambat menjadi besar. Liam merasa terancam, terlepas jauh dari Tamara. Kesunyiannya mulai terasa saat Jia juga marah dan mengacuhkannya. Senyum Jia te
Langkah sepatu di lantai koridor bergema hingga ke ruangan kecil dimana Jia duduk menanti. Suara itu semakin mendekat, dan Jia menoleh ke arah pintu. Sekilas, ia mengulas senyum penuh arti saat sosok Sean muncul di ambang pintu. Jika bukan karena insiden yang membuat Sean harus bertindak cepat, mungkin sekarang Jia sudah kehilangan salah satu indranya. Sambil menunggu, Jia mulai mengetuk-ngetuk meja di hadapannya, menciptakan melodi yang hanya ia yang tahu. Ruangan itu dipenuhi dengan ketukan ritmis jari-jarinya, namun dokter yang duduk di sudut tampaknya tidak terganggu, fokus pada catatan-catatan medis di depannya.“Apa sudah selesai?” tanya Sean sembari menyimpan ponselnya, melirik ke samping menatap wajah cantik Jia. “Sudah. Tinggal menunggu resep dokter!” Jia memahat senyum kilat, Sean yang mendorongnya untuk segera memeriksa mata. “Mm, apa masih perih?” Sean cemas juga khawatir, terlambat sedikit saja berakibat sangat fatal. Sean duduk di bawah meja dengan tangan terkepal ra
Jia tak bisa menyembunyikan senyumnya saat mendengar kabar itu. Hatinya seperti berbunga. Di sisi lain, Liam tampak lunglai, dengan tatapan kosong yang tak bisa menutupi kehancuran di dalam hatinya. Usahanya yang telah ia bangun bertahun-tahun kini rontok menjadi debu. Kegigihan dan keangkuhan yang biasa menghiasi dirinya kini terkikis, menguap entah ke mana. Jia merasa ada kepuasan yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata melihat Liam yang perlahan kehilangan segalanya.Satu demi satu lawannya terkapar, tak satu pun yang luput dari pengaruh Sean. Dengan penampilan yang begitu biasa, siapa sangka Sean memiliki kekuatan yang luar biasa? Sementara orang lain masih bingung, Sean dengan tenang memainkan perannya. Liam, yang biasa tak terkalahkan, kini jatuh tak berdaya hanya dengan satu sentuhan dari Sean, yang berkuasa akan memegang kendali. ‘Dia tampak seperti pria biasa, mungkin pengangguran, tapi siapa sangka dia begitu cepat dan cekatan.’ Jia memuji kehebatan Sean, tidak bisa
Jia merasakan debaran yang menyusut dalam dada, sebuah gelombang lega yang perlahan memadamkan kegelisahan yang sempat mendominasi pikirannya. Dia menghela nafas, menganggap ancaman Tamara tak lebih dari sekadar lelucon semata, setelah memastikan kebenaran yang telah dia gali. Jia tersenyum sinis saat membayangkan Tamara, perempuan yang mencoba merusak rumah tangganya, yang sama sekali tidak menyadari bahwa dia telah beberapa langkah lebih maju. "Benar-benar konyol," gumamnya sambil mengguncang-guncang kepala, menertawakan kebodohan orang yang mencoba menakut-nakutinya.“Bagaimana Tamara bisa melakukan itu? Menggunakan anaknya sendiri untuk mengancamku?” gumam Jia yang kemudian tersenyum sambil menggeleng pelan.Jia duduk termenung, jemarinya memainkan ujung pena dengan gugup. Pikirannya bergolak mengingat bagaimana Tamara dengan dingin menggunakan Leo untuk mengancamnya. Meski pahit, dia bisa memahami, bahwa Tamara tidak menyadari fakta yang sudah terkuak. "Namun aku tak bisa mel
Jia melihat keraguan dari mimik wajah Tamara, memperhatikan setiap inci tanpa ada yang terlewatkan. Dia juga tidak bisa menghindari rasa yang menggelitik, karena pelayan pribadi itu bersusah payah untuk mengurus surat perceraian majikan.Tanpa ada rasa ragu, Jia membuka lembaran berkas perceraian dan menandatanganinya dengan serius, lagi pula tidak ada yang ingin ditunda untuk segera berpisah dari pria kejam seperti Liam. Dengan cepat Jia menandatangani tanpa berpikir dua kali, kembali menutup berkas dan melemparnya ke arah Tamara yang tengah tersenyum puas melihatnya secara langsung. “Aku sudah menandatanganinya, biarkan aku bertemu dengan Leo!” Jia berjalan mendekat menghampiri Tamara. Kedua pupil mata Jia membesar, mempertajam penglihatan. Tamara berjalan mundur beberapa langkah sambil menyunggingkan senyuman licik, mengangkat sebelah tangan dan menggerakkan jarinya ke udara. Ada hal yang tidak beres, Tamara menjebaknya. Jia menjadi waspada, lirikan matanya sangat tajam saat e
Liam melangkah tergesa-gesa memasuki lokasi yang sudah Jia sebutkan sebelumnya. Ketegangan terasa menggantung di udara. Dengan nafas yang tercekat, ia mendapati Tamara tergeletak bergelimang darah di tengah jalanan sepi, tubuhnya penuh luka dan darah yang bercucuran.Wajah Tamara pucat pasi, napasnya tersengal-sengal seakan tiap helaan adalah yang terakhir. Mata Liam memerah, dadanya bergemuruh kesal dan dada Tamara naik turun tak beraturan. Rasa panik menyelinap memenuhi isi pikiran dan hatinya, melihat kekasihnya tak berdaya. “Tamara … Tamara, apa yang terjadi? Siapa yang melakukan ini?” Liam meletakkan kepala Tamara di atas pangkuannya, sangat khawatir hingga lupa memanggil ambulans. Tamara terbaring lemah, tak mampu bergerak ataupun berbicara, tetapi matanya tajam menatap ke arah Jia yang berdiri di belkang Liam sambil menatapnya tanpa dosa. Kilatan kemarahan nyata terpancar dari sorot mata Tamara yang memerah, sementara tubuhnya hanya bisa terkulai tanpa daya di atas aspal pan
Mobil berhenti di sebuah halaman luas, terdapat bangunan mewah di tengah-tengah. Bangunan yang mirip seperti istana, memiliki arsitektur klasik eropa berwarna. Rumah yang berdiri kokoh membuat Jia terpana, hampir terbuai dengan pemandangan yang menakjubkan terbentang di hadapan mata. “Kenapa diam saja? Ayo masuk, anggap rumah sendiri.” Sean berjalan lebih dulu, kedua tangannya dimasukkan ke dalam saku celana, tampak berkharisma seperti pemimpin sejati. “Tunggu dulu!” Suara Jia berhasil mencegat langkah Sean, dia menoleh dengan kening yang berkerut. “Ada apa?” Keraguan Jia pada Sean yang membawanya ke rumah mewah, pikirannya tidak akan tenang sebelum menemukan Leo. Dia menghampiri Sean, langkah cepat tak membutuhkan waktu lama. “Kenapa kita kesini? Bukankah kamu ingin mempertemukan aku dengan Leo?!” protes Jia sedikit kesal, tanpa mendengarkan maksud Sean, langsung menudingnya berbohong. Tatapan nyalang tak melepaskan Sean dari pandangannya, berkacak pinggang menentang untuk me
Jia merasakan tatapan yang tak nyaman dari salah seorang tamu, seakan mata itu berusaha menembus ruang personalnya. Dia tak tahan lagi. Dengan langkah berat, dia berdiri, menarik napas dalam-dalam seolah mengumpulkan keberanian. Jari-jarinya bergetar sedikit saat meletakkan sendok dan garpu dengan hati-hati di samping piring. "Maaf, saya harus segera pergi," ucapnya dengan suara rendah, mencoba menyembunyikan ketidaknyamanannya. Pesta makan malam itu kini terasa seperti sebuah medan pertempuran bagi Jia.“Aku sudah kenyang.” Jia berlalu pergi, mulai mengayunkan tongkat penuntun jalan menuju ke kamarnya. Senyum tipis menghiasi wajahnya saat mata Jia yang terkesan terburu-buru meninggalkan meja makan, dengan piringnya yang masih berisi setengah makanannya. Sean menatapnya penuh ketertarikan yang tak kunjung mendapat perhatian. "Aku sudah kenyang, saya ingin istirahat dulu!" ujarnya tegas, bangkit dari kursi dan berjalan dengan langkah sengaja memutar agar bisa bertemu dengan Jia di l
Jia semakin resah akan keberadaan Sean di rumahnya, apalagi kakek Wijaya yang memberikan restu atas kehadiran pria itu. Setiap sudut rumah terasa sumpek, hatinya tidak bisa tenang karena merasa terusik. "Apa yang membuat kakek percaya padanya? Apakah dia lebih baik daripada orang lain yang pernah ada di hidupnya?" gumam Jia yang bermonolog.Di dapur, Jia bolak-balik memikirkan cara untuk mengusir Sean dari rumahnya. Tak tahan merasakan ketidaknyamanan ini. 'Aku harus mencari cara agar dia pergi, aku tidak ingin kehilangan kenyamanan hidupku sendiri gara-gara pria ini,' batin Jia dengan penuh keputusasaan. Tapi, di satu sisi, ada perasaan yang masih tertahan, karena ia tidak ingin mengecewakan kakek Wijaya. Harus ada jalan keluar yang dapat memuaskan semua pihak, termasuk hatinya sendiri yang penuh kebimbangan.Setelah sekian lama larut dalam lamunan, Jia memutuskan untuk pergi dari dapur dan memberi ruang bagi Murni untuk bekerja menyiapkan hidangan tamu nanti. "Ah, sudah cukup m
Jia merasa tidak sanggup menerima keinginan kakek Wijaya yang mendesaknya untuk segera melahirkan seorang cicit.Dalam hatinya, dia bertanya-tanya mengapa Liam, sang suami, justru mendukung keputusan sang kakek yang membuatnya begitu terbebani. "Apa yang mereka pikirkan? Apakah mereka tidak memikirkan perasaanku sama sekali?" gumam Jia bermonolog, berperang antara pikiran dan juga hatinya. Perasaan jijik kembali muncul saat Jia mengingat bagaimana Liam telah mengkhianatinya dengan asisten rumah tangga. Bayang-bayang kenangan itu membuat hatinya semakin sulit menerima kenyataan bahwa dia harus berhubungan intim dengan pria yang telah merusak kepercayaannya itu."Bagaimana mungkin aku bisa melupakan pengkhianatan Liam? Apakah aku bisa menerima anak dari hubungan kami yang ternoda oleh pengkhianatan?" Pertanyaan-pertanyaan itu terus menggelayuti pikiran Jia, membuatnya semakin terpuruk dalam keputusasaan.Jia berjalan mondar-mandir dalam ruangannya, langkah kakinya menggema rasa kece
Jia segera menetralkan perasaannya, sengaja berdehem menutupi wajahnya yang merona seperti udang rebus. “Kembali ke pembahasan awal.”Sean kembali duduk di kursinya, raut wajahnya mengeras saat menyerap setiap kata yang dilontarkan Jia tentang kecurigaan yang menggantung di udara. Keningnya berkerut, mata menerawang mencoba memecahkan teka-teki sikap Liam terhadap Jia. Dua kemungkinan muncul, menggelitik benaknya. Liam, suami yang mencari pelabuhan akhir setelah dihempas badai, atau Liam yang memiliki rencana gelap tersembunyi, kemungkinan yang paling mengkhawatirkan adalah Jia telah membaca gerak-geriknya.“Aku belum bisa memastikannya, informasikan apapun mengenai tindakan pria itu setiap kali kamu curiga!”Jia menarik napas lega, perasaan cemas yang sempat merayapi pikirannya kini mulai mencair. Dalam keheningan ruangan, dia bisa mendengar detak jam tangannya yang seperti berbisik.'Waktunya aku pergi!'Sean, dengan ekspresi yang tegang, melirik jam tangan yang melilit pergelanga
"Kamu gila ya?" teriak Jia, matanya membulat penuh kejutan melihat Sean bekerja dengan kecepatan yang tak terduga. Sean, dalam panik, segera menempatkan tangannya di mulut Jia, mata mereka saling berpandangan sejenak sebelum dia melirik ke sekitar, memastikan tak ada yang memperhatikan mereka.“Apa kamu ingin mengundang suamimu kesini?” bisik Sean. Jia terdiam, menganggukkan kepala diiringi panik takut mengundang perhatian dari Liam. Mulutnya yang dibungkam perlahan melonggar, terdengar helaan nafas lega saat semuanya masih di genggaman. “Aku begitu baik, menyiapkan surat perceraian mu. Jangan lupa ditandatangani surat itu?!” Sean tersenyum sinis sambil berlalu pergi, sosoknya yang tampan dan berkuasa itu terselip bayangan gelap saat menemui istri orang secara sembunyi-sembunyi. Jia memperhatikannya dari balik tirai, jantungnya berdebar, bimbang antara rasa kagum dan kecewa. "Apakah dia lelaki sejati? Atau pria naif yang rela menunggu aku hingga berstatus janda?" bisiknya pada d
Hari-hari berlalu seperti kilat, tanpa terasa sudah tiga hari berlalu sejak Tamara pergi. Dari balik railing lantai atas, Jia mengamati Liam. Tangannya meremas-remas ujung bajunya, perasaan cemas bercampur iba menyelimuti. Wajah Liam yang murung terpampang jelas, seolah tiap detik kehilangan lebih berat sejak Tamara meninggal. Jia menarik napas dalam, menahan pilu yang membara.Rasa geram bercampur amarah melihat perubahan yang cukup besar bagi suaminya, dan selama itu pula Liam tidak mengucapkan sepatah katapun. Jia menengadahkan kepala, menatap langit-langit ruangan itu diiringi helaan nafas. “Wow Tamara, pengaruhmu begitu kuat. Liam seperti mayat hidup, ajaklah dia juga ke alam baka.” Jia menyalahkan Tamara, benar-benar di buat geleng kepala atas sikap suaminya yang berubah drastis. “Sampai sekarang dia tidak mencari keberadaan Leo. Bukan saja menjadi suami tidak baik, justru pria itu juga ayah yang buruk.” Jia menarik napas dalam-dalam dan perlahan melepaskannya, mencoba mer
Jia menarik Kevin dan Leo ke pelukannya, matanya berkaca-kaca saat melingkari tubuh keduanya. Kegembiraan tak terukur merasuki hatinya saat keduanya melekat di dada, kehangatan yang begitu berharga. Tapi ketika memandang Leo, kehangatan itu perlahan dipadukan dengan rasa bersalah yang mendalam. Menyadari bahwa merebut Leo dari pelukan ayahnya, Liam, bukan pilihan yang sepenuhnya benar. Namun, melihat betapa Liam telah lebih memilih Tamara daripada keluarga yang sudah dibangun bersama, memicu keputusan tegas di hati Jia. Bagi Jia, mengambil Leo bukan hanya melindungi putra kecilnya dari ketidakstabilan ayahnya, tetapi juga sebagai sanksi tegas untuk Liam, sebuah pembayaran untuk pengkhianatan yang menyakitkan itu.‘Liam, kamu merenggut kebahagiaanku. Aku pun begitu, merenggut anak kesayangmu!’ batin Jia sembari membelau wajah Leo dengan lembut sambil menarik sebelah sudut bibirnya ke atas. Jia melangkah dengan tenang, wajahnya tegar saat ia mengajak Leo dan Kevin ke sebuah tempat y
Mobil berhenti di sebuah halaman luas, terdapat bangunan mewah di tengah-tengah. Bangunan yang mirip seperti istana, memiliki arsitektur klasik eropa berwarna. Rumah yang berdiri kokoh membuat Jia terpana, hampir terbuai dengan pemandangan yang menakjubkan terbentang di hadapan mata. “Kenapa diam saja? Ayo masuk, anggap rumah sendiri.” Sean berjalan lebih dulu, kedua tangannya dimasukkan ke dalam saku celana, tampak berkharisma seperti pemimpin sejati. “Tunggu dulu!” Suara Jia berhasil mencegat langkah Sean, dia menoleh dengan kening yang berkerut. “Ada apa?” Keraguan Jia pada Sean yang membawanya ke rumah mewah, pikirannya tidak akan tenang sebelum menemukan Leo. Dia menghampiri Sean, langkah cepat tak membutuhkan waktu lama. “Kenapa kita kesini? Bukankah kamu ingin mempertemukan aku dengan Leo?!” protes Jia sedikit kesal, tanpa mendengarkan maksud Sean, langsung menudingnya berbohong. Tatapan nyalang tak melepaskan Sean dari pandangannya, berkacak pinggang menentang untuk me
Liam melangkah tergesa-gesa memasuki lokasi yang sudah Jia sebutkan sebelumnya. Ketegangan terasa menggantung di udara. Dengan nafas yang tercekat, ia mendapati Tamara tergeletak bergelimang darah di tengah jalanan sepi, tubuhnya penuh luka dan darah yang bercucuran.Wajah Tamara pucat pasi, napasnya tersengal-sengal seakan tiap helaan adalah yang terakhir. Mata Liam memerah, dadanya bergemuruh kesal dan dada Tamara naik turun tak beraturan. Rasa panik menyelinap memenuhi isi pikiran dan hatinya, melihat kekasihnya tak berdaya. “Tamara … Tamara, apa yang terjadi? Siapa yang melakukan ini?” Liam meletakkan kepala Tamara di atas pangkuannya, sangat khawatir hingga lupa memanggil ambulans. Tamara terbaring lemah, tak mampu bergerak ataupun berbicara, tetapi matanya tajam menatap ke arah Jia yang berdiri di belkang Liam sambil menatapnya tanpa dosa. Kilatan kemarahan nyata terpancar dari sorot mata Tamara yang memerah, sementara tubuhnya hanya bisa terkulai tanpa daya di atas aspal pan