“Berkasku ketinggalan, tidak ada yang bisa menjemputnya!” sahut Liam dengan makna ucapan sindiran, mengungkapkan jika Jia tidak bisa melakukan apapun untuk membantu pekerjaannya agar lebih cepat. Jika mengandalkan Tamara, pelayan pribadi itu tidak akan paham berkas apa yang dia inginkan. Daripada membuang banyak waktu menunggu hal yang tidak pasti, dia memaksa untuk pulang ke rumah dengan jarak tempuh cukup jauh.Jia memaksa tersenyum, jauh di lubuk hatinya yang terluka karena perkataan dari sang suami begitu meremehkannya karena buta.“Ahh, biar aku bantu.” Jia berinisiatif bergerak menghampiri Liam, membantu suaminya bagai seorang istri baik juga penurut.Liam melepaskan jasnya perlahan, membiarkannya tergantung di tangan Jia. Di wajahnya terlihat jelas guratan rasa lelah yang begitu menguras tenaga. Andai saja pengkhianatan itu tidak pernah terjadi, mungkin dia bisa lebih peduli dan mencintai suami seperti dulu lagi. Namun, khayalan bahagia yang sempat direncanakan sebelum pernikah
Jia menarik nafas panjang, perlahan menyimpan ponselnya ke dalam laci tersembunyi, tempat yang telah dipastikan tak akan pernah ditemui Liam. Kerut di keningnya mencerminkan kekhawatiran, takut jika suatu saat nanti suaminya itu menuntut untuk memeriksa ponselnya, rencana yang sudah susah payah dipikirkan akan menjadi sia-sia. Jia mengalihkan pandangan ke arah pintu yang terbuka, melihat Liam yang baru saja melangkah keluar dari kamar mandi. Suami itu berjalan mendekat, membuat Jia semakin gugup dan berdebar.'Semoga rencana ini berjalan lancar,' gumam Jia pelan dalam hati.“Kamu terlihat sangat cantik malam ini!” ucap Liam yang memblokir tubuh Jia, membiarkan tetesan air di tubuhnya mengenai sang istri. Liam merasa sepi karena Tamara, selingkuhannya yang biasa menjadi teman bermainnya, sedang berlibur. Mata Liam kemudian tertuju pada Jia, istrinya. Dalam hati, dia mengakui bahwa Jia lebih cantik daripada pelayan yang menjadi simpanannya itu. Seiring waktu berlalu, perasaan Liam ter
“Kenapa Liam tidak mencariku?” Tamara bergumam sambil menggelengkan kepala, pasalnya Liam selalu khawatir dan akan mencarinya jika tidak ada di rumah. Tamara menyipitkan kedua mata mempertajam penglihatan, dia sangat marah sambil menatap Jia kesal. “Beraninya kamu menggoda kekasihku!” pekik Tamara dengan kemarahan yang menggebu-gebu. Berusaha memberontak ingin sekali mematahkan leher itu, cukup sulit mengendalikan amarahnya saat ini, kesombongan dan keangkuhan di hadapan mata membuat darahnya mendidih. Jia mendekatkan tubuhnya ke Tamara, tatapan matanya tajam memotong keheningan. Senyumannya, penuh sindiran, terungkap dengan gerakan bibir yang pelan. "Sudah kutolong, eh malah kamu tikam dari belakang," ucapnya, sambil tangan kanannya yang bersimpuh kini menepuk-nepuk bahu Tamara, seakan menekankan setiap kata yang terucap.Wajah Jia memerah, nafasnya terengah-engah, matanya tajam menyelidik Tamara yang berdiri tanpa malu di hadapannya. Tangannya yang gemetar menangkap dagu Tamara,
Sudah setengah jam berlalu begitu saja dengan sia-sia, namun tidak ada tanda-tanda kedatangan asisten yang dimaksud oleh Sean. Dua cangkir kopi untuk melewati hari ini, Jia menghela nafas kasar sambil melirik jam yang ada di layar ponselnya, rasa jenuh dan bosan menunggu sesuatu yang tidak pasti membuatnya sangat kesal dan marah.Dengan sengaja Jia menggebrak meja, berhasil mengejutkan Sean yang tengah menyeruput secangkir kopi ke-tiga. Perasaan marah yang menggebu-gebu, merasa telah di tipu. “Ini bukan hutan, asal main gebrak meja.” Sean menahan emosi agar tidak meluap, menggelengkan kepala sambil melirik tumpahan kopi mengenai jas mahalnya. Jia tersenyum tanpa rasa bersalah, membuatnya menunggu begitu lama dan melimpahkan kesalahan penuh pada Sean yang telah mencuri waktunya. “Aku rasa jalanan kota tidak terlalu parah dalam segi macet, jika diperkirakan dia sudah sampai lima belas menit yang lalu.” Jia menyeringai, berdiri dari duduknya sambil mencondongkan tubuh. “Atau jangan-j
Jia baru saja melangkahkan kaki keluar dari cafe di pinggir jalan ketika tiba-tiba ia terhenti. Langkahnya terhenti saat matanya menangkap pandangan mobil-mobil yang terparkir rapi beberapa meter di depannya. Tiba-tiba, kecemasan menggelayuti pikirannya, mengingatkannya akan sesuatu yang hampir terlupakan, setelan dan gaya dalam berpakaian. "Astaga, bagaimana bisa aku bertemu Leo dalam keadaan begini?" gumamnya gusar, rasa cemas memenuhi isi pikirannya yang lupa mengganti pakaian. "Dia pasti shock dengan penampilan ini," lirihnya. Hati Jia terasa berat karena sebelumnya gagal mengantarkan Leo ke taman kanak-kanak karena suatu hal yang mendesak. Tidak mungkin berpenampilan sebagai wanita berani untuk menemui anak itu, hingga memutuskan untuk mengganti setelan sebagai wanita hangat yang polos. Janji yang tidak bisa di tunda membuatnya ingin menebus terasa seperti dosa yang harus segera ia lunasi, tidak ingin mematahkan hati Leo, ia ingin menjemput ke taman kanak-kanak. Jia berjalan c
Jia yang masih bersenang-senang malah dikejutkan dengan pesan yang baru saja dikirim oleh Muni, kesenangannya langsung berakhir dan memutuskan untuk pulang ke rumah lebih awal, padahal dia tidak ingin pulang lebih cepat. ‘Astaga, aku harus pulang lebih cepat.”Raut wajah Jia tampak tenang, namun di pikirannya menjadi kalang kabut, gelisah, dan juga panik. Memerintah pak supir untuk melajukan kecepatan dalam mengemudi. Sepanjang perjalanan, pandangannya menjadi tidak fokus pada Leo yang tengah bercerita mengenai suasana hatinya yang sedang bahagia. “Ma, kenapa kita pulang lebih awal?” tanya Leo yang keheranan, hatinya tidak rela pulang cepat. Kedua sorot matanya menatap Jia dengan polos, berharap apapun itu berjalan baik. Jia menggenggam tangan Leo dan meletakkan di wajahnya. “Kasihan Cici ditinggal, pasti dia sangat kesepian.” Berusaha mengalihkan perhatian bocah itu untuk tidak bertanya lagi alasan pulang ke rumah lebih cepat. Leo mengangguk, dia lupa keberadaan Cici dan malah be
Liam memperhatikan Jia dengan tatapan yang menyelidik dan penuh kecurigaan. Setiap gerak tubuhnya, setiap ekspresi wajahnya, tidak ada yang luput dari pengamatannya. Dalam benaknya, dia mengulang-ulang kata-kata Tamara, mencari petunjuk kebenaran di baliknya. Sementara itu, Jia yang tak bisa melihat, hanya bisa merasakan aura kecurigaan yang begitu kental mengelilinginya. Jantungnya berdebar, tahu bahwa perceraian tak akan terelakkan jika kebenaran terungkap. Hidup dengan kutukan dan umpatan telah menjadi rutinitas sehari-hari, sejak nasib mempertemukannya dengan Liam, yang kini melihatnya sebagai beban.Kilas balik Liam dulu yang duduk termenung di sudut kamarnya yang remang-remang, menatap foto lama yang ditempel di dinding. Pernikahannya sudah di depan mata, semuanya dirancang rapi oleh kakeknya, Wijaya.Dulunya dia menyambut gembira perjodohan ini, menganggap Jia hampir sempurna. Tapi setelah kecelakaan yang terjadi tujuh tahun lalu, yang meninggalkan luka dalam di hati Jia, dia
Jia dengan perlahan menutup pintu kamarnya, matanya tertuju pada nakas di samping ranjangnya. Langkah kakinya terdengar sayup-sayup di karpet kamar yang tebal.Jia membuka laci, mengeluarkan kotak P3K yang telah lama ia simpan, kemudian duduk di tepi ranjang dan menaruhnya di atas pangkuannya.Dengan gerakan yang penuh kehati-hatian, Jia meraih obat antibiotik, mengolesinya sedikit demi sedikit untuk menghindari alergi. Hatinya masih berdebar-debar, masih merasakan sakit dari bekas cakaran itu. Tiba-tiba, telinganya yang masih sensitif itu menangkap suara pintu yang kembali terbuka.Suara telapak sepatu menghiasi indera pendengaran Jia yang terdengar semakin mendekat, kotak P3K di tutupnya kembali dan meletakkan di tempat semula. Tahu siapa yang datang untuk menemuinya, selalu siap dalam situasi apapun. “Jia … aku!” Liam memelankan langkahnya, dari suaranya tampak ragu ingin membagi sesuatu. Jia menyadari Liam yang gelisah duduk di ujung ranjang, menggenggam erat tangannya. Kerut di
Jia merasakan tatapan yang tak nyaman dari salah seorang tamu, seakan mata itu berusaha menembus ruang personalnya. Dia tak tahan lagi. Dengan langkah berat, dia berdiri, menarik napas dalam-dalam seolah mengumpulkan keberanian. Jari-jarinya bergetar sedikit saat meletakkan sendok dan garpu dengan hati-hati di samping piring. "Maaf, saya harus segera pergi," ucapnya dengan suara rendah, mencoba menyembunyikan ketidaknyamanannya. Pesta makan malam itu kini terasa seperti sebuah medan pertempuran bagi Jia.“Aku sudah kenyang.” Jia berlalu pergi, mulai mengayunkan tongkat penuntun jalan menuju ke kamarnya. Senyum tipis menghiasi wajahnya saat mata Jia yang terkesan terburu-buru meninggalkan meja makan, dengan piringnya yang masih berisi setengah makanannya. Sean menatapnya penuh ketertarikan yang tak kunjung mendapat perhatian. "Aku sudah kenyang, saya ingin istirahat dulu!" ujarnya tegas, bangkit dari kursi dan berjalan dengan langkah sengaja memutar agar bisa bertemu dengan Jia di l
Jia semakin resah akan keberadaan Sean di rumahnya, apalagi kakek Wijaya yang memberikan restu atas kehadiran pria itu. Setiap sudut rumah terasa sumpek, hatinya tidak bisa tenang karena merasa terusik. "Apa yang membuat kakek percaya padanya? Apakah dia lebih baik daripada orang lain yang pernah ada di hidupnya?" gumam Jia yang bermonolog.Di dapur, Jia bolak-balik memikirkan cara untuk mengusir Sean dari rumahnya. Tak tahan merasakan ketidaknyamanan ini. 'Aku harus mencari cara agar dia pergi, aku tidak ingin kehilangan kenyamanan hidupku sendiri gara-gara pria ini,' batin Jia dengan penuh keputusasaan. Tapi, di satu sisi, ada perasaan yang masih tertahan, karena ia tidak ingin mengecewakan kakek Wijaya. Harus ada jalan keluar yang dapat memuaskan semua pihak, termasuk hatinya sendiri yang penuh kebimbangan.Setelah sekian lama larut dalam lamunan, Jia memutuskan untuk pergi dari dapur dan memberi ruang bagi Murni untuk bekerja menyiapkan hidangan tamu nanti. "Ah, sudah cukup m
Jia merasa tidak sanggup menerima keinginan kakek Wijaya yang mendesaknya untuk segera melahirkan seorang cicit.Dalam hatinya, dia bertanya-tanya mengapa Liam, sang suami, justru mendukung keputusan sang kakek yang membuatnya begitu terbebani. "Apa yang mereka pikirkan? Apakah mereka tidak memikirkan perasaanku sama sekali?" gumam Jia bermonolog, berperang antara pikiran dan juga hatinya. Perasaan jijik kembali muncul saat Jia mengingat bagaimana Liam telah mengkhianatinya dengan asisten rumah tangga. Bayang-bayang kenangan itu membuat hatinya semakin sulit menerima kenyataan bahwa dia harus berhubungan intim dengan pria yang telah merusak kepercayaannya itu."Bagaimana mungkin aku bisa melupakan pengkhianatan Liam? Apakah aku bisa menerima anak dari hubungan kami yang ternoda oleh pengkhianatan?" Pertanyaan-pertanyaan itu terus menggelayuti pikiran Jia, membuatnya semakin terpuruk dalam keputusasaan.Jia berjalan mondar-mandir dalam ruangannya, langkah kakinya menggema rasa kece
Jia segera menetralkan perasaannya, sengaja berdehem menutupi wajahnya yang merona seperti udang rebus. “Kembali ke pembahasan awal.”Sean kembali duduk di kursinya, raut wajahnya mengeras saat menyerap setiap kata yang dilontarkan Jia tentang kecurigaan yang menggantung di udara. Keningnya berkerut, mata menerawang mencoba memecahkan teka-teki sikap Liam terhadap Jia. Dua kemungkinan muncul, menggelitik benaknya. Liam, suami yang mencari pelabuhan akhir setelah dihempas badai, atau Liam yang memiliki rencana gelap tersembunyi, kemungkinan yang paling mengkhawatirkan adalah Jia telah membaca gerak-geriknya.“Aku belum bisa memastikannya, informasikan apapun mengenai tindakan pria itu setiap kali kamu curiga!”Jia menarik napas lega, perasaan cemas yang sempat merayapi pikirannya kini mulai mencair. Dalam keheningan ruangan, dia bisa mendengar detak jam tangannya yang seperti berbisik.'Waktunya aku pergi!'Sean, dengan ekspresi yang tegang, melirik jam tangan yang melilit pergelanga
"Kamu gila ya?" teriak Jia, matanya membulat penuh kejutan melihat Sean bekerja dengan kecepatan yang tak terduga. Sean, dalam panik, segera menempatkan tangannya di mulut Jia, mata mereka saling berpandangan sejenak sebelum dia melirik ke sekitar, memastikan tak ada yang memperhatikan mereka.“Apa kamu ingin mengundang suamimu kesini?” bisik Sean. Jia terdiam, menganggukkan kepala diiringi panik takut mengundang perhatian dari Liam. Mulutnya yang dibungkam perlahan melonggar, terdengar helaan nafas lega saat semuanya masih di genggaman. “Aku begitu baik, menyiapkan surat perceraian mu. Jangan lupa ditandatangani surat itu?!” Sean tersenyum sinis sambil berlalu pergi, sosoknya yang tampan dan berkuasa itu terselip bayangan gelap saat menemui istri orang secara sembunyi-sembunyi. Jia memperhatikannya dari balik tirai, jantungnya berdebar, bimbang antara rasa kagum dan kecewa. "Apakah dia lelaki sejati? Atau pria naif yang rela menunggu aku hingga berstatus janda?" bisiknya pada d
Hari-hari berlalu seperti kilat, tanpa terasa sudah tiga hari berlalu sejak Tamara pergi. Dari balik railing lantai atas, Jia mengamati Liam. Tangannya meremas-remas ujung bajunya, perasaan cemas bercampur iba menyelimuti. Wajah Liam yang murung terpampang jelas, seolah tiap detik kehilangan lebih berat sejak Tamara meninggal. Jia menarik napas dalam, menahan pilu yang membara.Rasa geram bercampur amarah melihat perubahan yang cukup besar bagi suaminya, dan selama itu pula Liam tidak mengucapkan sepatah katapun. Jia menengadahkan kepala, menatap langit-langit ruangan itu diiringi helaan nafas. “Wow Tamara, pengaruhmu begitu kuat. Liam seperti mayat hidup, ajaklah dia juga ke alam baka.” Jia menyalahkan Tamara, benar-benar di buat geleng kepala atas sikap suaminya yang berubah drastis. “Sampai sekarang dia tidak mencari keberadaan Leo. Bukan saja menjadi suami tidak baik, justru pria itu juga ayah yang buruk.” Jia menarik napas dalam-dalam dan perlahan melepaskannya, mencoba mer
Jia menarik Kevin dan Leo ke pelukannya, matanya berkaca-kaca saat melingkari tubuh keduanya. Kegembiraan tak terukur merasuki hatinya saat keduanya melekat di dada, kehangatan yang begitu berharga. Tapi ketika memandang Leo, kehangatan itu perlahan dipadukan dengan rasa bersalah yang mendalam. Menyadari bahwa merebut Leo dari pelukan ayahnya, Liam, bukan pilihan yang sepenuhnya benar. Namun, melihat betapa Liam telah lebih memilih Tamara daripada keluarga yang sudah dibangun bersama, memicu keputusan tegas di hati Jia. Bagi Jia, mengambil Leo bukan hanya melindungi putra kecilnya dari ketidakstabilan ayahnya, tetapi juga sebagai sanksi tegas untuk Liam, sebuah pembayaran untuk pengkhianatan yang menyakitkan itu.‘Liam, kamu merenggut kebahagiaanku. Aku pun begitu, merenggut anak kesayangmu!’ batin Jia sembari membelau wajah Leo dengan lembut sambil menarik sebelah sudut bibirnya ke atas. Jia melangkah dengan tenang, wajahnya tegar saat ia mengajak Leo dan Kevin ke sebuah tempat y
Mobil berhenti di sebuah halaman luas, terdapat bangunan mewah di tengah-tengah. Bangunan yang mirip seperti istana, memiliki arsitektur klasik eropa berwarna. Rumah yang berdiri kokoh membuat Jia terpana, hampir terbuai dengan pemandangan yang menakjubkan terbentang di hadapan mata. “Kenapa diam saja? Ayo masuk, anggap rumah sendiri.” Sean berjalan lebih dulu, kedua tangannya dimasukkan ke dalam saku celana, tampak berkharisma seperti pemimpin sejati. “Tunggu dulu!” Suara Jia berhasil mencegat langkah Sean, dia menoleh dengan kening yang berkerut. “Ada apa?” Keraguan Jia pada Sean yang membawanya ke rumah mewah, pikirannya tidak akan tenang sebelum menemukan Leo. Dia menghampiri Sean, langkah cepat tak membutuhkan waktu lama. “Kenapa kita kesini? Bukankah kamu ingin mempertemukan aku dengan Leo?!” protes Jia sedikit kesal, tanpa mendengarkan maksud Sean, langsung menudingnya berbohong. Tatapan nyalang tak melepaskan Sean dari pandangannya, berkacak pinggang menentang untuk me
Liam melangkah tergesa-gesa memasuki lokasi yang sudah Jia sebutkan sebelumnya. Ketegangan terasa menggantung di udara. Dengan nafas yang tercekat, ia mendapati Tamara tergeletak bergelimang darah di tengah jalanan sepi, tubuhnya penuh luka dan darah yang bercucuran.Wajah Tamara pucat pasi, napasnya tersengal-sengal seakan tiap helaan adalah yang terakhir. Mata Liam memerah, dadanya bergemuruh kesal dan dada Tamara naik turun tak beraturan. Rasa panik menyelinap memenuhi isi pikiran dan hatinya, melihat kekasihnya tak berdaya. “Tamara … Tamara, apa yang terjadi? Siapa yang melakukan ini?” Liam meletakkan kepala Tamara di atas pangkuannya, sangat khawatir hingga lupa memanggil ambulans. Tamara terbaring lemah, tak mampu bergerak ataupun berbicara, tetapi matanya tajam menatap ke arah Jia yang berdiri di belkang Liam sambil menatapnya tanpa dosa. Kilatan kemarahan nyata terpancar dari sorot mata Tamara yang memerah, sementara tubuhnya hanya bisa terkulai tanpa daya di atas aspal pan